Binar masih belajar berdamai dengan masa lalu menyakitkan terkait orang tuanya. Masih berusaha untuk melupakan segala hal buruk yang pernah ditorehkan oleh mereka. Keinginan terbesarnya dulu setelah menikah adalah tidak ada perceraian, tapi nyatanya dia mengikuti jejak orang tuanya. Binar tersenyum miris. Mengutuk dirinya sendiri karena tidak mampu mempertahankan rumah tangganya bersama dengan Rasya. Tapi, siapa yang akan bersedia tetap bersama dengan orang yang tidak setia? Tentu saja tidak ada. Pun, dengan Binar. Deringan ponselnya membuat Binar membuyarkan lamunannya. Nama kepala bengkel muncul dan Binar segera menerimanya. Kepala bengkel mengatakan jika dia harus melakukan pelunasan karena mobil Kala sudah selesai diperbaiki. Tentu saja itu kabar yang baik. Dengan begitu dia sudah bebas masalah tentang mobil Kala. “Kamu mau ke bengkel ‘kan?” Binar menoleh ke arah sumber suara ketika mendengar orang yang berbicara dengannya. Binar mengangguk. “Iya, Pak.” “Kita ke sana sama-sam
“Apa yang Bapak lakukan di sini?” Binar baru saja keluar dari rumah dan hendak pergi ke kantor ketika dikejutkan oleh keberadaan Kala di depan rumahnya. Lelaki itu berdiri sambil menyandarkan tubuhnya di mobil miliknya. Mobil yang baru selesai diperbaiki itu sudah dipakai kembali. Kala pun tidak sendirian, ada dua lelaki lain yang menggunakan seragam montir berdiri tak jauh darinya. Langkah Binar sempat memelan saat melihat sosok Kala. Dalam kepalanya bertanya apa yang tengah dilakukan oleh Kala di rumahnya. Dan saat dia sudah membuka pagarnya, Kala dengan seenaknya bersuara. “Itu mobilnya.” Begitu katanya tanpa memberikan jawaban atas pertanyaan Binar, Kala menunjuk salah satu mobil Binar yang terparkir di garasi. Dua montir itu mengucap permisi kepada Binar sebelum melewati perempuan itu dan berjalan mendekati mobil yang Kala tunjuk. Melihat dengan seksama mobil tersebut dan sedikit pengecekan. Jika dilihat dari belakang, mobil itu tampak baik-baik saja. Tapi saat dilihat dari d
“Lo gila, Kal!” Ramon sedikit memekik ketika mendengar tujuan Kala akan menikahi Binar. Lelaki itu tidak akan pernah setuju dengan rencana Kala. Binar adalah sahabat Ramon yang paling disayangi. Dia tak ingin perempuan itu akan mengalami kegagalan untuk kedua kalinya. “Bukannya untuk melupakan seseorang kita perlu orang baru untuk membantu?” Kala menatap Ramon seolah tanpa dosa. “Jadi gue pikir ini cara yang baik. Gue dan Binar bisa sama-sama saling menguntungkan.” “Lo bisa cari orang lain, Kal. Bukan Binar.” “Kenapa harus orang lain kalau ada orang yang gue rasa cocok untuk gue.” “Lo gila. Binar sahabat gue, lo juga sahabat gue. Tapi gue nggak setuju dengan ide lo yang di luar nalar.” Ramon melotot marah mendengar penuturan Kala yang terdengar menyebalkan di telinganya. Yang membuat Ramon tampak uring-uringan adalah ketika Kala memiliki rencana, maka dia tidak akan mundur sampai dia mendapatkannya. Kekhawatiran di dalam hati Ramon tentu saja melambung begitu tinggi. Dia m
“Kenapa kamu sekarang jadi hitung-hitungan begini?” Rasya protes kepada Nindi saat mereka sudah ada di dalam kamar. “Bukankah sebelum menikah, aku selalu kasih uang ke kamu? Aku dulu jarang kasih uang ke Binar tapi aku nggak pernah lupa kasih jatah buat kamu. Saat itu kita belum menikah, lho,” lanjutnya lagi untuk mengingatkan Nindi. Rasya tampak geram, tapi Nindi justru bersikap biasa saja. Perempuan itu menatap Rasya sebelum menjawab. “Kita dulu pacaran itu diam-diam, Mas. Kalau aku dan kamu ketahuan selingkuh, aku yang dirugikan. Rasanya pantas kalau aku mendapatkan uang ‘tutup mulut’ agar aku bisa mengontrol sikapku. Jadi, uang yang dulu kamu kasih ke aku, seharusnya kamu nggak pernah mengungkitnya lagi.” “Aku nggak akan mengungkitnya kalau sekarang kamu bisa sedikit lebih bijak, Nindi. Dengan kamu mengatakan tentang jatah bulanan di depan Mama, dan mengatakan kami datang nggak bawa apa-apa, itu sama aja kamu ngerendahin aku secara nggak langsung.” “Ngerendahin gimana sih, Mas?
Pengusiran itu apakah lantas membuat ‘tamu’ Binar itu pergi meninggalkan rumahnya? Tentu saja tidak. Sejak dia mengatakan fakta yang sebenarnya, baik ayah dan ibunya menatap Rasya dengan ekspresi penuh permusuhan. Pak Amir terlihat emosi dengan tangan terkepal erat. Bu Yuni pun melotot marah. Bagaimanapun, Binar adalah putrinya, mereka akan sakit hati ketika putrinya dikhianati.“Berdirilah Rasya!” Pak Amir berdiri kemudian menggulung lengan bajunya. Kepalan tangannya tidak terurai dan justru semakin menguat. Rasya yang melihat itu tampak terkejut, tapi dia memilih diam. Sudah bisa dipastikan apa yang akan dilakukan oleh ayah mertuanya itu kepadanya. Dia pasti akan dihajar habis-habisan oleh lelaki paruh baya tersebut karena sudah melukai Binar. “Saya bilang, berdiri!” Pak Amir membentak Rasya sehingga suaranya mengaung di ruang keluarga tersebut. Rasya hampir berdiri ketika suara Binar mengudara. “Ayah tidak perlu melakukannya,” cegah Binar tahu apa yang akan dilakukan oleh sang a
Kala membaca chat yang Binar kirimkan kepadanya. Tatapannya tidak terbaca, tapi setelahnya ada seringaian kecil muncul di bibirnya. Tidak tahu apakah ada sesuatu yang tengah memengaruhi Binar dengan keputusan yang diambil, tapi apa pun itu, Kala merasa puas. Tidak kurang enam bulan lagi, dia pasti akan menikah dengan perempuan itu. “Jadi kamu sudah memikirkan keputusan yang kamu ambil?” Keesokan harinya, Binar dipanggil Kala masuk ke dalam ruangannya untuk membicarakan masalah tersebut. “Keputusan apa yang Bapak maksud?” tanya Binar pura-pura bodoh. Dia bahkan tidak dipersilakan untuk duduk oleh bosnya tersebut. “Kamu tahu maksud saya.” Kala memberikan atensinya pada Binar tanpa beralih sama sekali. “Chat kamu yang semalam, itu bukan karena kamu mimpi ‘kan?” Binar tidak bereaksi. Ekspresinya juga begitu dingin dan tampak tidak bersahabat. Kemudian satu jawaban lolos membuat Kala hampir mengumpati perempuan itu. “Ini di kantor, Pak. Pembahasan masalah pribadi seharusnya dilakukan
Kala tampak tidak terpengaruh dengan pertanyaan Anton dan dengan santainya dia menyuapkan ayam ke dalam mulutnya. Iseng. Mulut Anton memang sering seperti itu. Kala memang belum terlalu mengenalnya, tapi dia juga bisa melihat ketika Anton bersama dengan teman-temannya, ada saja ulahnya yang membuat geram. “Binar!” Nama itu terlontar. Membuat satu meja itu tampak terkejut. Tidak tahu apakah itu sebuah jawaban yang Kala berikan, atau hanya ingin mengungkapkan sesuatu kepada perempuan itu. Sedangkan Binar bahkan terlihat membeku. Kini mereka semua menunggu dengan harap-harap cemas atas kelanjutan jawaban Kala. Tapi selanjutnya mereka semua justru mendesah kecewa. “Kamu sudah berapa lama kerja dengan Anton?” tanya Kala dengan santai. “Kamu nggak merasa dia merepotkan?” Binar menatap Kala yang kemudian menoleh pada Anton. Ada seringaian tipis yang terlihat. “Namanya orang marketing, Pak. Harus bisa improvisasi.” Anton mendengus kesal. “Saya tanya apa, jawabannya malah buat orang keki.
Kala masih berada di depan rumah Binar meskipun perempuan itu sudah masuk ke dalam rumah. Menarik napasnya panjang, Kala membuka jendela mobil, mengeluarkan rokok dari dashboard mobilnya, lalu menyalakannya. Menghisap nikotin tersebut dengan santai sambil menumpukan kepalanya pada kepalan tangannya. Lelaki itu masih belum berniat untuk pergi dari sana. Menikah. Kala pernah berpikir akan menikah lagi setelah dirinya menyandang status duda selama tiga tahun terakhir ini. Tapi di antara banyak perempuan yang dikenalnya, tidak satupun yang menarik perhatiannya. Tapi Binar, perempuan itu tentu menjadi pilihan yang tepat untuk saat ini dan waktu-waktu selanjutnya. “Kamu nggak ada niatan untuk menikah lagi?” Malam itu, malam di mana dia mengalami ‘kecelakaan’ yang membuatnya pada akhirnya mengenal Binar, dia mendapatkan pertanyaan itu dari ibunya. Ibunya yang selalu mendorong dirinya untuk segera kembali berkeluarga setelah kegagalan yang dialami. “Aku akan menikah kalau aku sudah bertem
“Istriku.” Ancala baru saja sampai rumah ketika melihat penampilan Gemi yang sudah cantik. Meskipun hanya mengenakan daster rumahan kebanggaannya, kecantikan perempuan itu selalu terpancar. Dan inilah yang selalu disukai oleh Ancala, Gemi akan selalu menunggu kepulangannya di teras rumah sambil membaca buku. Tidak di rumah Kala, atau bahkan di rumah mereka sendiri, Gemi memiliki perpustakaan sendiri dengan koleksi buku-bukunya. Gemi tersenyum melihat Ancala yang berjalan ke arahnya. Perempuan itu beranjak untuk menerima tas kerja lelaki itu. “Suamiku capek banget kayaknya.” Ancala memeluk Gemi sambil mencium pipi perempuan itu. Bagi Ancala, energinya akan kembali ketika sudah bertemu dengan sang istri setelah seharian bekerja. Rasa lelah itu seolah menguap begitu saja. Pelukan mereka terurai. Masih dengan memeluk pinggang sang istri, Ancala sedikit menjauhkan tubuhnya untuk menatap wajah Gemi yang halus. “Makan apa malam ini?” tanyanya, “lama nggak ke angkringan. Kangen nasi
“Kalian udah datang?” Ancala mendekati istri dan kedua adiknya dengan senyum kecil. Meskipun pagi tadi dia sempat kesal, tetapi setelah Gemi sekarang datang ke kantor, perasaannya menjadi sedikit membaik. Tatapannya mengarah pada ‘tiga tamunya’ yang tidak membawa apa pun. “Jadi belanjanya?” tanyanya. Perempuan yang dimaksud oleh Laksa tadi tidak mengikuti Ancala dan kembali lebih dulu. Gemi tidak bertanya siapa perempuan tersebut karena dia tahu kalau itu adalah sekretaris Ancala. Laksa pun sebenarnya juga tahu, tetapi dia hanya pura-pura untuk mengerjai Gemi. “Bang, aku laper banget, lho.” Laksa mengadu. “Aku laper, Bang.” Ulangnya lagi. “Kalian nggak makan dulu tadi?” Ancala mengernyit aneh menatap satu per satu saudaranya. “Istri Abang ngambek karena diajak desak-desakan. Jadi, nggak memedulikan aku yang kelaparan. Tapi, aku nggak mau makan di kantin ini. Abang tolong pesankan aku makanan yang enak, ya.” Laksa memang benar-benar membuat kakak-kakaknya kesal kalau sudah me
“Gem, bangun!” Ancala menepuk paha sang istri pelan ketika sudah sampai di rumah. Mereka baru saja sampai rumah ketika Gemi tidak sadarkan diri, tidur. Sepanjang jalan, Ancala memegangi tangan Gemi takut-takut kalau istrinya itu terjatuh. Bukannya apa-apa, Gemi tidur sepanjang jalan sedangkan mereka menggunakan motor. Kebanyakan makan kepala ayam membuat Gemi lemas sepertinya. “Bang, aku nggak sanggup jalan. Gendong.” Dengan suara lemas, perempuan itu masih memeluk pinggang Ancala dengan erat takut jatuh. Matanya masih tertutup erat enggan untuk terjaga. Napas panjang Ancala terbuang kasar. Menikahi Gemi adalah impiannya, tetapi kalau sifat manja perempuan keluar, maka habislah dia. “Iya, tapi tunggu dulu deh. Aku turun dulu.” Ancala melepaskan tangan Gemi dari pinggangnya sebelum dia turun dengan pelan dari motor. Baru setelahnya menarik tangan Gemi agar istrinya itu naik ke gendongannya. Diam-diam Ancala tersenyum kecil. Terkadang istrinya itu memang menyebalkan, tetapi juga me
Perdebatan yang terjadi malam itu dianggap bukan apa-apa. Pernikahan antara Gemi dan Ancala bahkan akan segera dilakukan dalam waktu dua hari lagi. Pernikahan mewah itu akan dilakukan di outdoor di pinggir pantai. Tidak banyak yang diundang karena Gemi dan Ancala benar-benar memilih orang-orang terdekat mereka saja yang datang. Kabar pernikahan yang sudah merebak itu membuat banyak orang terkejut. Tidak pernah menyangka kalau Gemi dan Ancala akan menikah. Semua orang tahu jika Abimanyu dan Sambara group adalah saudara. Tentu saja hal itu menjadi perbincangan banyak orang. “Gimana rasanya mau menikah?” Denta datang ke rumah Ancala untuk sekedar menemani sahabatnya itu mengobrol. “Dan menikah dengan perempuan yang lo cintai?” “Setelah semua yang terjadi, tentu saja gue bahagia, Den.” Ancala memainkan kakinya yang ada di kolam renang, menimbulkan bunyi kecipak air. “Gue kira akan sulit mendapatkan restu dari para tetua.” Denial mengatakan itu merujuk pada nenek dan kakek Ancala, lela
“Kamu sudah benar-benar yakin akan menikah dengan Gemi, Bang?” Ramon meyakinkan sekali lagi kepada sang putra atas keputusan untuk meminang sang pencuri hati. Para tetua, nenek kakeknya sudah memberikan izin untuk mempersatukan dua keluarga yang seharusnya tetap menjadi keluarga yang sesungguhnya. Namun, mereka memilih untuk memberikan restu dan menyingkirkan segala ego yang ada. Dua anak manusia itu sudah tidak bisa dipisahkan, untuk apa lagi mereka menahannya dan akan berakhir buruk. “Aku udah yakin, Yah. Aku sudah berbicara dengan Gemi dan dia menerima lamaranku.” Senyum lebar tersemat di bibir Ancala dan wajah sumringah itu tidak bisa berbohong jika dia sangat bahagia. “Kalau begitu, Ayah dan Bunda akan berbicara kepada Papa Kala kalau kami akan segera melamar Gemi. Pikirkan juga kamu ingin menikah di mana? Outdoor atau indoor, masalah biaya jangan khawatir, semua biaya Ayah yang urus.” Rasa sayang Ramon yang diberikan kepada Ancala tidak surut sedikitpun sejak dulu. Lelaki it
Setelah obrolan semalam, Gemi bangun tidur dengan perasaan yang terasa ringan. Hubungannya dengan sang ayah sudah membaik dan dia sudah memaafkan apa pun yang pernah sang ayah lakukan. Semua yang dilakukan oleh sang ayah semata untuk melindungi keluarganya. Suasana hati Gemi pun terlihat sangat baik seharian ini. Meskipun Ancala sejak tadi tak kunjung menghubunginya seperti yang sudah dijanjikan semalam, dia masih baik-baik saja. Seperti yang sudah Ancala bilang semalam, lelaki itu akan membicarakan masalah kerjaan dengan sang ayah. “Jadi, kamu mau balik kerja lagi?” Gemi yang baru saja duduk di sofa di samping sang bunda, segera mendapatkan pertanyaan tersebut. “Aku akan pikirkan lagi, Ma.” Sudah kebiasaan berada di rumah selama beberapa bulan, menjadikan Gemi enggan untuk kembali beraktivitas. “Tapi, Ma, Papa ngeluarin aku dari kantor dengan alasan apa, ya?” Benar, Binar pun tampaknya belum tahu tentang masalah tersebut karena dia tak pernah bertanya dengan Kala. “Mama juga
Binar dan Kala mendengar dengan jelas ucapan putri mereka meskipun kata-kata yang diucapkan terbata-bata. Mereka mendengarkan di balik dinding hanya untuk mengetahui reaksi Gemi ketika bertemu dengan Ancala. Nyatanya, Gemi mengatakan sesuatu yang membuat orang tuanya menahan kesedihannya. “Jangan bicara yang tidak-tidak. Sekarang fokuslah pada kesembuhanmu dulu. Papa bilang, kamu masih perlu bertemu dengan psikiater. Kapan jadwalnya? Aku temani ya?” “Aku nggak butuh psikiater lagi, Bang. Obatku udah ada di sini.” Kala mendesah pasrah mendengar jawaban Ancala atas ucapan sang putri. Sudah pasti perasaan Kala sekarang dipenuhi oleh rasa penyesalan yang amat besar. Di ruang tamu, Gemi dan Ancala melepaskan pelukan mereka. Ancala mengusap air mata Gemi yang mengalir menganak sungai di wajahnya. “Aku nggak akan ke mana-mana lagi, Gemi. Aku udah pulang sekarang. Jadi, kamu nggak perlu takut aku pergi lagi.” “Memangnya, Abang dari mana kemarin?” Ancala menyodorkan minuman yang disiapka
Kala pasti tidak pernah menyangka jika Ramon akan menurunkan egonya untuk meminta putranya pulang. Dia tahu betul bagaimana Ramon menolak permintaannya saat itu. Namun, sekarang tiba-tiba Ancala sudah ada di rumahnya dan menanyakan kabar Gemi. Hal itu tentu saja membuat Kala sedikit bingung. Apa pun itu, Kala tentulah merasa senang dengan kedatangan Ancala ke rumahnya. “Keadaan Gemi sudah lebih baik. Dia sekarang sedang istirahat.” Tepat setelah itu, Binar datang dan segera duduk di samping Ancala. Perempuan paruh baya itu mengelus punggung Ancala tanpa berbicara. Kelegaan terpancar dari matanya. “Kamu dari mana saja, Bang?” tanyanya setelah itu, “Mama cariin kamu.” “Aku jalan-jalan, Ma,” jawab Ancala dengan lembut, “Mama baik-baik aja ‘kan?” “Mama baik. Anca, kamu masih mau nemuin Gemi ‘kan? Setelah waktu itu, dia murung dan tidak ingin berurusan dengan siapa pun.” “Tentu saja aku mau, Ma. Gemi adalah adikku. Kalau memang perlu, aku akan menemaninya sampai dia sembuh.” “Apa mak
“Aku harus pulang, Den. Sorry, ya.” Gemi memilih menghindar daripada harus menjawab ucapan Denta. Gadis itu berdiri, lalu buru-buru pergi meninggalkan Denta yang tampak kebingungan. “Gem!” Denta berteriak memanggil gadis itu, tetapi seolah tuli, Gemi tetap berjalan dan sesekali berlari untuk menghindari sahabat Ancala tersebut. Setelah memasuki komplek perumahannya, barulah dia berjalan dengan tenang. Gemi berpikir, kalau Denta saja tidak tahu keberadaan Ancala, itu artinya, kepergian lelaki itu dirahasiakan. Sepertinya, masalah ini benar-benar serius. Gemi berhenti di pinggir jalan, terpaku di tempatnya, lalu berpikir sejenak. Apa dia harus menghubungi Ancala? Apa lelaki itu akan menerima panggilannya kalau dia melakukannya? Kebingungan itu melanda dirinya. Gara-gara kedatangan Denta, menjadikannya berpikir lebih keras tentang Ancala. Gadis berdaster coklat itu kembali melangkah untuk kembali ke rumah. Meskipun dia banyak memikirkan banyak hal, tapi beruntung kini halusinasinya ti