"Mama tidak menyangka bagaimana bisa? Bagaimana bisa Sheline berbuat seperti itu? Padahal Mama sangat mempercayainya, tapi kenapa Sheline mengkhianati kamu?""Apa sekarang Mama sudah puas?" ujar Sean dengan dingin. Hati dan perasaannya terasa remuk saat ini dan ia tidak bisa berbuat apapun, "Mama sadar sekarang? Keegoisan dan rasa angkuh Mama yang membuat kehidupanku menjadi seperti ini. Aku membuang anakku sendiri saat Kania hamil, tapi malah menganggap anak orang lain sebagai anakku. Benar-benar miris.""Mama minta maaf, Mama benar minta maaf." ujar Catherine dengan rasa bersalah. Segala yang dilakukannya demi kebaikan Sean, nyatanya malah mendorong puteranya sendiri ke lubang kesengsaraan. Keyakinan dan keangkuhannya seketika runtuh, nyatanya apa yang menurutnya benar belum tentu baik untuk Sean."Aku tidak akan memaafkan Mama. Sampai kapanpun aku akan selalu menyalahkan Mama atas segala kehancuran hidup yang aku alami. Jika saja Mama tidak ikut campur kehidupanku, mungkin aku... M
"Kania... Apa ini benar kau? Kau benar-benar ada di hadapanku?"Kania mengangkat alisnya mendengar gumaman Sean yang terasa janggal di hadapannya. Ia menelisik wajah Sean yang memerah dan pandangannya yang tidak fokus, bukan hanya itu bahkan dari mulutnya menguar bau alkohol yang khas.Kania mengibaskan tangannya, "Kau mabuk?" Tanyanya dengan nada tidak percaya.Alih-alih mendapatkan jawaban atas pertanyaannya, Kania tersentak saat Sean tiba-tiba menubruk tubuhnya lalu memeluknya dengan erat."Astaga!" decaknya."Aku merindukanmu, Kania. Aku merindukanmu. Maafkan aku, aku sungguh-sungguh meminta maaf."Kania mencoba menyingkirkan tubuh Sean dari tubuhnya, namun pelukan pria itu malah semakin menguat. Ia mulai merasa sesak, sepertinya pria di hadapannya ini benar-benar mabuk. Bukankah akhir-akhir ini kehidupan Sean sangat baik, lalu kenapa pria itu datang kemari setelah bermabuk-mabukan? Berapa banyak sebenarnya pria ini minum?"Sean sadarlah!"Kania menepuk-nepuk punggung Sean agar pr
Mendapat tatapan tajam penuh tekanan dari Kania, Sean hanya tersenyum dengan canggung, "Selamat pagi,"Kania mendesah mendengan Sean malah mengalihkan pembicaraan dengan menyapa dirinya saat ini. Ia menyedekapkan tangganya di depan dada, "Tidak perlu bersikap ramah padaku saat ini, Sean. Apa kau tidak ingat kekacauan apa yang kau buat semalam,"Sean menggigit bibir, "Apa aku membuat banyak kesalahan?""Tentu saja, banyak. Kau membuat kami, kedua wanita yang lemah dan anak berumur tujuh tahun kepayahan semalam,""Kalian yang memapahku?" Tanya Sean tidak percaya."Ku harap kau ingat atau aku benar-benar akan membunuhmu saat ini.""Mama, jangan marahi Papa."Kania memutar matanya saat mendengar suara Devan yang menginterupsi pembicaraan mereka. Ia menghela nafasnya panjang, "Keluarlah dan makan bersama kami, aku sudah membuat sup pereda pengar untukmu."Sean mengangguk kecil, ia menelungkupkan wajahnya merasa sangat malu saat ini. Dari sekian tempat, kenapa ia memilih melarikan diri ke t
"Aku akan pulang sekarang, kurasa ada banyak yang harus ku lakukan setelah ini." ujar Sean setelah seharian berada di tempat Kania. Bertemu dengan Devan dan juga Kania cukup membuat perasaannya sedikit lebih baik.Kania balas tersenyum dengan canggung. Perkataan Sean tadi masih saja teringat di benaknya. Meski Sean sama sekali tidak meminta jawaban darinya, tapi Kania merasa sedikit terbebani. Bagaimanapun masalalu mereka cukup panjang."Papa jangan sedih lagi, ya?"Sean mengulas senyumnya mendengar ucapan Devan, ia mengacak rambut Devan dengan gemas lalu menatap ke arah Kania."Terimakasih karena mau menampungku hari ini Kania,"Kania terlihat mengangkat bahu, "Aku tidak mungkin membiarkan orang mabuk tertidur di depan rumahku begitu saja, bukan?"Sean terkekeh kecil, "Setelah urusanku selesai, lain kali aku akan mentraktir kalian. Kalau begitu sampai nanti."Sean segera membuka pintu, namun sebelum ia melangkah ke arah luar, Kania kembali memanggilnya."Sean?"Sean membalikkan tubuh
"Hentikan Ma, tolong hentikan." Sean mencoba membuang wajah. Saat ini keputusannya sudah bulat, ia tidak ingin lagi terlibat dengan kehidupan penuh kekangan ini.Sean melepaskan pegangan tangan Catherine di kakinya, "Semoga Anda selalu sehat meski saya tidak akan berada di sisi Anda lagi."Sean terlihat beranjak hendak pergi melangkahkan kakinya ke luar, namun tangannya seketika ditahan oleh Catherine, "Beri Mama kesempatan lagi, Sean. Tolong.. kamu anak satu-satunya bagi Mama, jangan tinggalkan Mama seperti ini."Sean menghela nafasnya panjang mendengar ucapan Catherine. Sepertinya keinginannya untuk keluar dari rumah ini akan tertahan dengan panjang."Mama yakin akan berubah?" Tanya Sean ragu.Catherine mengangguk dengan cepat, "Tentu. Katakan saja apa yang harus Mama lakukan?""Buktikan saja pada Sean jika Mama memang sudah berubah. Mama harus mempertanggungjawabkan perbuatan Mama apalagi kepada Kania dan juga Devan. Mereka sudah sangat menderita selama ini karena ulah Mama.""Baik
Catherine terlihat terdiam mendengar ucapan Kania. Wajar jika Kania semurna ini, wajar jika Kania tidak menerima permintaan maafnya.Nafas Kania memburu merasakan emosi yang melekat di dalam dadanya. Setelah membuat kehidupan dirinya dan juga Devan berantakan, bagaimana bisa Catherine berkata bahwa Devan adalah cucunya?"Selama ini Anda selalu membuangnya, bahkan Anda hampir melenyapkannya, tapi apa Anda bilang? Devan adalah cucu Anda?" Kania menggeleng dengan kuat, tangannya terkepal di samping tubuhnya. Saat ini benar-benar merasa sangat emosional, "Devan bukanlah cucu Anda. Dari dia lahir sampai sekarang Devan tidak pernah mempunyai seorang nenek!" ucap Kania penuh dengan penekanan.Catherine seolah kehilangan kata-kata mendengar seluruh fakta yang diberikan oleh Kania. Air matanya seketika jatuh, sebegitu bejadkah dirinya?"Ayo Devan, kita masuk."Kania hendak membawa masuk Devan ke dalam rumah, namun tiba-tibaBruughKania terkejut saat Catherine berlutut di hadapannya begitu saj
Kania menghela nafasnya panjang mendengar pertanyaan dari Sean, "Sebenarnya ia tidak mengacau, ia hanya meminta maaf. Tapi, kau tahu sendiri bagaimana dia dahulu memperlakukan kami. Rasanya–"Suara Kania yang gemetar di hadapannya membuat Sean merasa bersalah. Ia menyentuh bahu Kania, "Tidak perlu diteruskan, aku mengerti, Kania. Aku yang meminta Mama untuk meminta maaf padamu, tapi malah itu membuatmu tidak nyaman. Aku minta maaf,""Tidak apa-apa. Kurasa aku juga terlalu berlebihan tadi. Aku hanya takut jika ibumu mencelakai Devan lagi."Sean seketika menggeleng, ia menarik tangan Kania lalu menggenggamnya, "Aku akan pastikan kali ini Mama tidak akan melakukan hal itu lagi pada kalian, Kania." Sean melirik ke lantai atas tempat dimana kamar Devan berada, "Aku akan bicara dengan Devan di kamarnya sekarang, kau tidak perlu khawatir."Kania menganggukkan kepalanya, berharap Sean bisa membuat Devan luluh dan berhenti merajuk. Ia hanya ingin melindungi Devan, bukan untuk mengekangnya, tap
Kania terperangah mendengar ucapan Sean. Fakta bahwa Sheline hendak bunuh diri sepertinya cukup mengguncang perasaan Sean. Kania menyentuh tangan pria itu, mencoba memberikannya kekuatan."Aku harus pergi ke rumah sakit," putus Sean, ia segera mengambil jasnya yang tersampir di sofa. Melihat raut wajah Sean yang panik, Kania segera mengikutinya. Sean terlihat hendak menyetop, Kania segera menghampirinya dengan tatapan bingung, "Kau tidak membawa mobil?""Aku menyerahkan kembali mobil itu pada ibuku."Kania berdecak, ia menarik tangan Sean lalu berkata, "Kalau begitu pakai mobilku, aku juga akan ikut."Sean terlihat terkejut mendengar ucapan Keina, namun kemudian ia menggeleng, "Jangan. Kau akan merasa tidak nyaman berada di sana.""Tidak apa-apa, sepertinya aku juga ikut bertanggung jawab atas apa yang menimpa Sheline."Sean yang tidak memiliki waktu banyak akhirnya mengangguk, mereka segera bergerak ke arah mobil Kania yang terparkir lalu Sean mulai menyalakan mesin mobilnya.Sementa