"Aku akan pulang sekarang, kurasa ada banyak yang harus ku lakukan setelah ini." ujar Sean setelah seharian berada di tempat Kania. Bertemu dengan Devan dan juga Kania cukup membuat perasaannya sedikit lebih baik.Kania balas tersenyum dengan canggung. Perkataan Sean tadi masih saja teringat di benaknya. Meski Sean sama sekali tidak meminta jawaban darinya, tapi Kania merasa sedikit terbebani. Bagaimanapun masalalu mereka cukup panjang."Papa jangan sedih lagi, ya?"Sean mengulas senyumnya mendengar ucapan Devan, ia mengacak rambut Devan dengan gemas lalu menatap ke arah Kania."Terimakasih karena mau menampungku hari ini Kania,"Kania terlihat mengangkat bahu, "Aku tidak mungkin membiarkan orang mabuk tertidur di depan rumahku begitu saja, bukan?"Sean terkekeh kecil, "Setelah urusanku selesai, lain kali aku akan mentraktir kalian. Kalau begitu sampai nanti."Sean segera membuka pintu, namun sebelum ia melangkah ke arah luar, Kania kembali memanggilnya."Sean?"Sean membalikkan tubuh
"Hentikan Ma, tolong hentikan." Sean mencoba membuang wajah. Saat ini keputusannya sudah bulat, ia tidak ingin lagi terlibat dengan kehidupan penuh kekangan ini.Sean melepaskan pegangan tangan Catherine di kakinya, "Semoga Anda selalu sehat meski saya tidak akan berada di sisi Anda lagi."Sean terlihat beranjak hendak pergi melangkahkan kakinya ke luar, namun tangannya seketika ditahan oleh Catherine, "Beri Mama kesempatan lagi, Sean. Tolong.. kamu anak satu-satunya bagi Mama, jangan tinggalkan Mama seperti ini."Sean menghela nafasnya panjang mendengar ucapan Catherine. Sepertinya keinginannya untuk keluar dari rumah ini akan tertahan dengan panjang."Mama yakin akan berubah?" Tanya Sean ragu.Catherine mengangguk dengan cepat, "Tentu. Katakan saja apa yang harus Mama lakukan?""Buktikan saja pada Sean jika Mama memang sudah berubah. Mama harus mempertanggungjawabkan perbuatan Mama apalagi kepada Kania dan juga Devan. Mereka sudah sangat menderita selama ini karena ulah Mama.""Baik
Catherine terlihat terdiam mendengar ucapan Kania. Wajar jika Kania semurna ini, wajar jika Kania tidak menerima permintaan maafnya.Nafas Kania memburu merasakan emosi yang melekat di dalam dadanya. Setelah membuat kehidupan dirinya dan juga Devan berantakan, bagaimana bisa Catherine berkata bahwa Devan adalah cucunya?"Selama ini Anda selalu membuangnya, bahkan Anda hampir melenyapkannya, tapi apa Anda bilang? Devan adalah cucu Anda?" Kania menggeleng dengan kuat, tangannya terkepal di samping tubuhnya. Saat ini benar-benar merasa sangat emosional, "Devan bukanlah cucu Anda. Dari dia lahir sampai sekarang Devan tidak pernah mempunyai seorang nenek!" ucap Kania penuh dengan penekanan.Catherine seolah kehilangan kata-kata mendengar seluruh fakta yang diberikan oleh Kania. Air matanya seketika jatuh, sebegitu bejadkah dirinya?"Ayo Devan, kita masuk."Kania hendak membawa masuk Devan ke dalam rumah, namun tiba-tibaBruughKania terkejut saat Catherine berlutut di hadapannya begitu saj
Kania menghela nafasnya panjang mendengar pertanyaan dari Sean, "Sebenarnya ia tidak mengacau, ia hanya meminta maaf. Tapi, kau tahu sendiri bagaimana dia dahulu memperlakukan kami. Rasanya–"Suara Kania yang gemetar di hadapannya membuat Sean merasa bersalah. Ia menyentuh bahu Kania, "Tidak perlu diteruskan, aku mengerti, Kania. Aku yang meminta Mama untuk meminta maaf padamu, tapi malah itu membuatmu tidak nyaman. Aku minta maaf,""Tidak apa-apa. Kurasa aku juga terlalu berlebihan tadi. Aku hanya takut jika ibumu mencelakai Devan lagi."Sean seketika menggeleng, ia menarik tangan Kania lalu menggenggamnya, "Aku akan pastikan kali ini Mama tidak akan melakukan hal itu lagi pada kalian, Kania." Sean melirik ke lantai atas tempat dimana kamar Devan berada, "Aku akan bicara dengan Devan di kamarnya sekarang, kau tidak perlu khawatir."Kania menganggukkan kepalanya, berharap Sean bisa membuat Devan luluh dan berhenti merajuk. Ia hanya ingin melindungi Devan, bukan untuk mengekangnya, tap
Kania terperangah mendengar ucapan Sean. Fakta bahwa Sheline hendak bunuh diri sepertinya cukup mengguncang perasaan Sean. Kania menyentuh tangan pria itu, mencoba memberikannya kekuatan."Aku harus pergi ke rumah sakit," putus Sean, ia segera mengambil jasnya yang tersampir di sofa. Melihat raut wajah Sean yang panik, Kania segera mengikutinya. Sean terlihat hendak menyetop, Kania segera menghampirinya dengan tatapan bingung, "Kau tidak membawa mobil?""Aku menyerahkan kembali mobil itu pada ibuku."Kania berdecak, ia menarik tangan Sean lalu berkata, "Kalau begitu pakai mobilku, aku juga akan ikut."Sean terlihat terkejut mendengar ucapan Keina, namun kemudian ia menggeleng, "Jangan. Kau akan merasa tidak nyaman berada di sana.""Tidak apa-apa, sepertinya aku juga ikut bertanggung jawab atas apa yang menimpa Sheline."Sean yang tidak memiliki waktu banyak akhirnya mengangguk, mereka segera bergerak ke arah mobil Kania yang terparkir lalu Sean mulai menyalakan mesin mobilnya.Sementa
Saat tengah menunggu kesadaran Sheline, Sean tersentak saat Bramantyo menghampirinya."Sean?""Ya?""Ayo kita merokok sebentar."Sean melirik ke arah Kania yang kemudian tersenyum ke arahnya, "Pergilah, aku tidak apa-apa berada di sini."Sean mengangguk, ia kemudian bangkit berdiri lalu mengikuti langkah Bramantyo yang membawanya ke arah luar. Mereka memiliki area balkon yang dekat lalu merokok di sana."Bagaimana keadaan Anda?" Tanya Sean hati-hati.Bram menghela nafasnya panjang mendengar pertanyaan Sean, "Tidak baik, tentu saja. Kau tidak tahu bagaimana shocknya aku melihat Sheline yang sudah bersimbah darah di hadapanku."Sean tertegun. Ia sendiri merasa gemetar mendengar kabar Sheline menyakiti diri sendiri, apalagi Bram yang melihat semuanya."Ini salahku karena terlalu memanjakannya." desah Bram dengan berat.Sean hanya terdiam, cukup paham apa yang sebenarnya Bramantyo tengah rasakan. Sheline adalah puteri satu-satunya yang Bramantyo miliki, wajar jika Sheline sangat dimanjaka
Leonard seketika terjaga saat mendengar bunyi suara bel pintu di apartemennya. Ia memijat kepalanya yang terasa berputar lalu bangkit. Sial, karena bir yang ia tenggak semalam, kepalanya terasa sangat pusing. Bunyi bel pintu yang semakin kencang membuat Leonard seketika berdecak. Sial, siapa yang sebenarnya mengganggu dirinya di pagi hari seperti ini?Leonard menendang botol bir yang berserakan di kamar tidurnya lalu berjalan menuju pintu. Ia benar-benar akan memarahi siapapun yang datang hari ini karena sudah menggangu tidurnya, lihat saja!Dengan enggan Leonard membuka pintu, namun alih-alih marah, Leonard seketika terkejut melihat siapa yang tiba di sana."Kejutan!"Leonard terlihat mengerjap melihat siapa yang berada di sana, "Jasmine?" ujar Leonard tidak percaya. Ia mengucek-ngucek matanya sekali lagi, meyakinkan dirinya bahwa orang yang berada di hadapannya memang Jasmine.Jasmine terlihat tertawa lebar lalu melemparkan tubuhnya ke arah Leonard, memeluk pinggang pria itu dengan
Belum sempat Kania menjawab pertanyaan wanita di hadapannya, terdengar suara Leonard yang berteriak menghampiri mereka, "Siapa yang datang, Jes?"Jasmine terlihat berdecak, ia membuka pintu apartemen Leonard lebih dalam lalu menggerakkan kepalanya, "Masuklah."Kania menelan ludahnya dengan gugup mengikuti langkah wanita di hadapannya. Benaknya yang masih dipenuhi pertanyaan siapa wanita di hadapannya saat ini membuat Kania mau tidak mau mengikutinya. Ia harus bertanya pada Leonard siapa wanita ini sebenarnya. Kenapa dia ada di apartemen Leonard dan sangat leluasa di sini?Ada perasaan rendah diri saat melihat betapa cantiknya penampilan wanita yang bernama Jasmine ini. Dengan rambut pirang bergelombang, mata biru yang jernih juga badan bak gitar spanyol membuat Kania seketika merasa tersingkir. Melihat wanita secantik ini berada di sampingnya, apa Leonard tidak merasa tergoda?"Kania? Kau datang kesini?"Leonard terlihat terkejut melihat kedatangannya. Wajah Kania terlihat sangat lela