"Apa?"Wajah Keina seketika memerah mendengar ucapan Sean. Apa karena efek demam yang ia rasakan atau karena Sean memang tengah menggodanya, Kania terperangah dengan permintaan itu. Tidur dengannya? Tidur memiliki dua arti, bukan?""Kau tidak mau, ya? Jahat sekali."Kania kembali mengerjap, kini pria itu malah memasang raut wajah penuh kepedihan di hadapannya. Sebenarnya pria ini kenapa?"Kau benar-benar demam rupanya," gumam Kania saat melihat sikap Sean yang mulai melantur."Aku hanya meminta tidur bersama, tapi kau tidak mau. Jahat sekali."Kania menghela nafas saat mendengar Sean mulai merajuk. Kenapa tingkah kekanakkannya sangat mirip dengan Devan yang berumur tujuh tahun?"Ayo kita tidur, sebaiknya kau harus mulai berbaring karena sikapmu benar-benar aneh."Kania menyeret tangan Sean lalu membawanya ke arah kamar tidur. Ia membaringkan tubuh Sean, namun baru saja Kania hendak beranjak Sean malah menariknya hingga tubuhnya ikut jatuh ke arah ranjang."Sudah ku bilang, temani aku
"Seluruh usaha kita ditolak oleh distributor yang tersisa Pak, mereka masih tidak percaya dengan produk kita."Sean melemparkan berkas-berkas yang berada di tangannya dengan kuat. Seluruh usahanya selama beberapa hari rupanya sama sekali tidak membuahkan hasil. Ia sudah melakukan segala cara, tapi krisis di perusahaannya tidak bisa sepenuhnya teratasi."Bramantyo benar-benar menutup semua jalan untuk kita," gumam Sean dengan kesal. Ia meremas rambutnya dengan frustasi. Jika terus seperti ini, perusahaannya benar-benar akan tamat.Apa yang harus ia lakukan? Apa ia harus membiarkan perusahaannya bangkrut begitu saja?Tepat saat ia hampir putus asa, Sean tersentak saat ponselnya berdering dengan nyaring. Ia membuka layar ponselnya lalu seketika berdiri saat melihat siapa yang memanggilnya. Sheline. Ah, akhirnya wanita ini menghubunginya."Sheline?""Hai, Sean.""Aku senang kau menghubungiku.""Maaf aku baru melihat pesan yang kau kirim, aku baru pulang dari liburan bersama ibuku. Ibu men
Kania tertegun mendengar pertanyaan yang diajukan oleh Leon. Perasaan ragu yang tadi sempat ia hapus, kini kembali mendera perasaannya. Apa Sean masih bisa dipercaya? Apa langkahnya memberikan kesempatan kepada Sean adalah salah? Kania seketika menggeleng, bukankah ia sudah membuat keputusan? Kenapa ia harus kembali ragu?"Aku akan memberikan kesempatan kepadanya lagi, Leon. Aku yakin Sean akan berubah." balasnya dengan yakin.Mendengar hal itu, Leon hanya bisa mengangguk dengan raut wajah kecewa. Ia mengambil cincin yang berada di atas meja lalu menyimpannya."Ku harap keyakinanmu itu tidak berubah, Kania."Kania mengulas senyuman tipis, "Terimakasih karena kau sudah mengerti, Leon."Kania kembali melangkahkan kakinya meninggalkan. Namun beberapa saat ia berjalan, Leon kembali memanggilnya."Tunggu, Kania?"Kania mengerutkan alisnya saat Leon terlihat bangkit berdiri lalu memegang bahunya."Hubungi aku jika Sean kembali menyakitimu. Aku akan selalu berada di sisimu, Kania."Sekali la
Sheline seketika terkekeh mendengar ucapan Sean."Kau tahu apa yang kumasukkan ke dalamnya? Aku memasukkan sesuatu yang bisa membuat kau bertekuk lutut padaku."Tatapan Sean seketika berubah nyalang, ia mencengkram leher Sheline lebih kuat, "Kau!""Hahaha..." Sheline tertawa dengan puas. Meski Sean berusaha terlihat marah, namun tatapannya berubah teduh saat ia merapatkan tubuh mereka. Tubuhnya yang basah juga pakaian yang terbuka membuat gairah Sean semakin menggila. Sheline membuka satu persatu kancing kemeja Sean lalu berbisik, "Jangan dilawan Sean, sentuh aku. Bukankah sudah lama kau tidak merasakan sebuah sentuhan? Kau butuh aku untuk meredakan sakitnya.""Tidak."Sean mencoba menjauh lalu bergerak ke arah pintu. Namun, tatapannya kembali melebar saat tahu pintunya sudah dikunci. Rencana Sheline benar-benar terencana."Mencari apa Sean? Mencari ini?"Sean terhenyak saat melihat kunci yang berada di genggaman Sheline."Kemarilah jika kau ingin keluar."Dengan susah payah, Sean men
"Kau!"Sean merangsek maju dengan penuh amarah saat efek obat yang diberikan Sheline hilang sepenuhnya. Sean lupa diri, ia mencengkram leher Sheline dengan kuat seolah hendak membunuhnya."Bunuh saja aku, Sean. Setelah itu kau akan terkejut melihat berita tentang kita."Mata Sean seketika melebar saat melihat Sheline yang menunjuk ke arah sudut. Ia terhenyak melihat ada kamera kecil bertengger di sana."Video itu sudah tersimpan dengan baik di seluruh gadget yang ku punya juga ponselku.""Sialan kau Sheline!" Sean menggeram dengan kuat sementara Sheline hanya tersenyum melihatnya."Bagaimana Sean? Kau mau aku memberikan video panas kita kepada siapa dulu? Ibumu? Kania? Atau Devan?""Brengsek!" Sean mengumpat dengan kuat, ia menghempaskan tubuh Sheline dengan kuat ke atas ranjang.Sean segera mengambil kemejanya lalu memakainya dengan cepat. Ia tidak menyangka jika perjalanannya kemari merupakan jebakan yang sudah dipersiapkan Sheline. Pantas saja wanita itu bersikap ramah padanya, pan
"Kau bisa ke apartemenku, aku sudah meminta Bi Minah untuk menemani Devan. Kau tidak ingin Devan tahu soal masalah ini, bukan?"Tatapan Kania yang tengah memandang ke arah jendela seketika berpindah saat mendengar ucapan Leonard. Ia mengangguk dengan lemah, saat ini ia tengah merasa rapuh, ia tidak akan sanggup melihat Devan dengan kondisinya yang seperti ini."Terimakasih Leon. Terimakasih kau sudah mau menjemputku dan menampungku hari ini.""Tidak apa-apa, Kania."Setelah mengatakan hal itu, Kania kembali menatap ke luar jendela. Kejadian hari ini masih mengguncang perasaan dan dunianya. Ia tidak menyangka Sean ternyata akan melakukan hal sekejam ini. Memang ia yang bodoh, ia percaya saja bahwa Sean telah berubah."Kita sudah sampai, Kania."Kania terhenyak saat mendengar ucapan Leon. Rasanya baru beberapa menit ia berada di mobil, tapi tiba-tiba mereka sudah sampai. Sepertinya kepalanya terlalu banyak berpikir hingga tak sadar seberapa lama waktu berjalan.Mereka keluar dari mobil
Tidak diangkat. Sean berdecak saat panggilannya kembali diabaikan oleh Kania. Ia menghela nafasnya panjang, perasaannya sangat tidak tenang melihat ekspresi Kania tadi. Kania terlihat sangat kecewa dan enggan berurusan dengannya kembali. Ia sungguh mengkhawatirkan keadaan Kania, tapi kemana ia harus mencari tahu?Ah Devan. Benar, ia bisa menelepon Bu Minah untuk mengetahui kabar dari Kania. Beruntung, ia pernah menyimpan nomor Bi Minah selama ini. Hanya dalam beberapa menit, panggilannya seketika tersambung. Sean segera menegakkan tubuhnya dengan antusias, ia harap Bi Minah belum pulang dari pekerjaannya."Hallo?""Hallo Bi, saya Sean.""Oh Nak Sean? Iya Nak, ada apa?""Saya ingin bicara dengan Devan, apa Devannya ada?""Ada Nak, tunggu sebentar.""Baik Bi,"Dalam beberapa detik suara Devan yang ceria seketika menggema dari sebrang sana, "Papa!""Sayang, kamu sedang apa?""Devan sedang makan dengan Bi Minah,""Kamu hanya makan berdua dengan Bi Minah? Memangnya Mama kemana, Sayang?""M
"Jadi, jelaskan, kenapa kalian bersikap tidak amoral saat ini?"Kening Leon seketika berkerut mendengar ucapan Sean, "Bertindak amoral?""Kalian meninggalkan anak kecil di rumah tanpa pengawasan. Apa lagi jika bukan disebut amoral?"Leon mengulas senyuman tipisnya, "Apa saya tidak salah dengar? Bukankah kata itu lebih cocok disematkan kepada Anda?""Apa maksud perkataanmu?" Tanya Sean dengan raut wajah tersinggung."Anda mendekati Kania kembali untuk mempermainkannya? Apa Anda juga memanfaatkan Devan demi segala keinginan untuk menemui Kania?""Bicara Anda sudah keterlaluan,""Kania tidak membuangnya ataupun menolak kehadirannya seperti ayahnya. Kania sangat menyayangi Devan, hanya karena Anda bersikap seperti ayah yang baik selama beberapa hari bukan berarti Anda bisa menghapus kesalahan Anda selama ini.""Untuk orang yang sudah membuat Kania meninggalkan tanggung jawabnya, saya rasa Anda tidak berhak menilai saya seperti itu." Balas Sean dengan geram. Mulai merasa emosi dengan perka