"Bu? Ibu?""Hah?"Kania mendongakkan wajahnya dengan raut wajah terkejut saat mendengar panggilan dari Dewi. Ia membenarkan posisi duduknya, mencoba memfokuskan pikirannya kembali ke arah Dewi, "Kamu bilang apa tadi, Dew?""Tadi saya bilang baju Bu Ferla sudah beres semua,""Oh ya, nanti akan saya kabarkan ke Bu Ferla," jawab Kania dengan cepat.Dewi terlihat menelisik ke arah Kania dengan raut wajah heran, "Ibu tidak apa-apa? Apa Ibu sakit?"Kania seketika menggeleng mendengar ucapan Dewi. Karena kejadian semalam, ia bahkan jadi tidak fokus dalam bekerja. Kania menghela nafasnya panjang, "Tidak apa-apa, saya hanya banyak pikiran." jawab Kania dengan jujur."Apa karena perusahaan mantan suami Ibu? Bagaimanapun Ibu pasti terkejut soal ini. Ya keadaan memang sulit ditebak."Kania mengangkat alisnya tidak paham mendengar ucapan Dewi, "Perusahaan Sean? Ada apa dengan perusahaannya?""Lho Ibu tidak tahu beritanya? Saya pikir Ibu sedang memikirkan berita yang baru saja terbit hari ini. Semu
"Apa?"Wajah Keina seketika memerah mendengar ucapan Sean. Apa karena efek demam yang ia rasakan atau karena Sean memang tengah menggodanya, Kania terperangah dengan permintaan itu. Tidur dengannya? Tidur memiliki dua arti, bukan?""Kau tidak mau, ya? Jahat sekali."Kania kembali mengerjap, kini pria itu malah memasang raut wajah penuh kepedihan di hadapannya. Sebenarnya pria ini kenapa?"Kau benar-benar demam rupanya," gumam Kania saat melihat sikap Sean yang mulai melantur."Aku hanya meminta tidur bersama, tapi kau tidak mau. Jahat sekali."Kania menghela nafas saat mendengar Sean mulai merajuk. Kenapa tingkah kekanakkannya sangat mirip dengan Devan yang berumur tujuh tahun?"Ayo kita tidur, sebaiknya kau harus mulai berbaring karena sikapmu benar-benar aneh."Kania menyeret tangan Sean lalu membawanya ke arah kamar tidur. Ia membaringkan tubuh Sean, namun baru saja Kania hendak beranjak Sean malah menariknya hingga tubuhnya ikut jatuh ke arah ranjang."Sudah ku bilang, temani aku
"Seluruh usaha kita ditolak oleh distributor yang tersisa Pak, mereka masih tidak percaya dengan produk kita."Sean melemparkan berkas-berkas yang berada di tangannya dengan kuat. Seluruh usahanya selama beberapa hari rupanya sama sekali tidak membuahkan hasil. Ia sudah melakukan segala cara, tapi krisis di perusahaannya tidak bisa sepenuhnya teratasi."Bramantyo benar-benar menutup semua jalan untuk kita," gumam Sean dengan kesal. Ia meremas rambutnya dengan frustasi. Jika terus seperti ini, perusahaannya benar-benar akan tamat.Apa yang harus ia lakukan? Apa ia harus membiarkan perusahaannya bangkrut begitu saja?Tepat saat ia hampir putus asa, Sean tersentak saat ponselnya berdering dengan nyaring. Ia membuka layar ponselnya lalu seketika berdiri saat melihat siapa yang memanggilnya. Sheline. Ah, akhirnya wanita ini menghubunginya."Sheline?""Hai, Sean.""Aku senang kau menghubungiku.""Maaf aku baru melihat pesan yang kau kirim, aku baru pulang dari liburan bersama ibuku. Ibu men
Kania tertegun mendengar pertanyaan yang diajukan oleh Leon. Perasaan ragu yang tadi sempat ia hapus, kini kembali mendera perasaannya. Apa Sean masih bisa dipercaya? Apa langkahnya memberikan kesempatan kepada Sean adalah salah? Kania seketika menggeleng, bukankah ia sudah membuat keputusan? Kenapa ia harus kembali ragu?"Aku akan memberikan kesempatan kepadanya lagi, Leon. Aku yakin Sean akan berubah." balasnya dengan yakin.Mendengar hal itu, Leon hanya bisa mengangguk dengan raut wajah kecewa. Ia mengambil cincin yang berada di atas meja lalu menyimpannya."Ku harap keyakinanmu itu tidak berubah, Kania."Kania mengulas senyuman tipis, "Terimakasih karena kau sudah mengerti, Leon."Kania kembali melangkahkan kakinya meninggalkan. Namun beberapa saat ia berjalan, Leon kembali memanggilnya."Tunggu, Kania?"Kania mengerutkan alisnya saat Leon terlihat bangkit berdiri lalu memegang bahunya."Hubungi aku jika Sean kembali menyakitimu. Aku akan selalu berada di sisimu, Kania."Sekali la
Sheline seketika terkekeh mendengar ucapan Sean."Kau tahu apa yang kumasukkan ke dalamnya? Aku memasukkan sesuatu yang bisa membuat kau bertekuk lutut padaku."Tatapan Sean seketika berubah nyalang, ia mencengkram leher Sheline lebih kuat, "Kau!""Hahaha..." Sheline tertawa dengan puas. Meski Sean berusaha terlihat marah, namun tatapannya berubah teduh saat ia merapatkan tubuh mereka. Tubuhnya yang basah juga pakaian yang terbuka membuat gairah Sean semakin menggila. Sheline membuka satu persatu kancing kemeja Sean lalu berbisik, "Jangan dilawan Sean, sentuh aku. Bukankah sudah lama kau tidak merasakan sebuah sentuhan? Kau butuh aku untuk meredakan sakitnya.""Tidak."Sean mencoba menjauh lalu bergerak ke arah pintu. Namun, tatapannya kembali melebar saat tahu pintunya sudah dikunci. Rencana Sheline benar-benar terencana."Mencari apa Sean? Mencari ini?"Sean terhenyak saat melihat kunci yang berada di genggaman Sheline."Kemarilah jika kau ingin keluar."Dengan susah payah, Sean men
"Kau!"Sean merangsek maju dengan penuh amarah saat efek obat yang diberikan Sheline hilang sepenuhnya. Sean lupa diri, ia mencengkram leher Sheline dengan kuat seolah hendak membunuhnya."Bunuh saja aku, Sean. Setelah itu kau akan terkejut melihat berita tentang kita."Mata Sean seketika melebar saat melihat Sheline yang menunjuk ke arah sudut. Ia terhenyak melihat ada kamera kecil bertengger di sana."Video itu sudah tersimpan dengan baik di seluruh gadget yang ku punya juga ponselku.""Sialan kau Sheline!" Sean menggeram dengan kuat sementara Sheline hanya tersenyum melihatnya."Bagaimana Sean? Kau mau aku memberikan video panas kita kepada siapa dulu? Ibumu? Kania? Atau Devan?""Brengsek!" Sean mengumpat dengan kuat, ia menghempaskan tubuh Sheline dengan kuat ke atas ranjang.Sean segera mengambil kemejanya lalu memakainya dengan cepat. Ia tidak menyangka jika perjalanannya kemari merupakan jebakan yang sudah dipersiapkan Sheline. Pantas saja wanita itu bersikap ramah padanya, pan
"Kau bisa ke apartemenku, aku sudah meminta Bi Minah untuk menemani Devan. Kau tidak ingin Devan tahu soal masalah ini, bukan?"Tatapan Kania yang tengah memandang ke arah jendela seketika berpindah saat mendengar ucapan Leonard. Ia mengangguk dengan lemah, saat ini ia tengah merasa rapuh, ia tidak akan sanggup melihat Devan dengan kondisinya yang seperti ini."Terimakasih Leon. Terimakasih kau sudah mau menjemputku dan menampungku hari ini.""Tidak apa-apa, Kania."Setelah mengatakan hal itu, Kania kembali menatap ke luar jendela. Kejadian hari ini masih mengguncang perasaan dan dunianya. Ia tidak menyangka Sean ternyata akan melakukan hal sekejam ini. Memang ia yang bodoh, ia percaya saja bahwa Sean telah berubah."Kita sudah sampai, Kania."Kania terhenyak saat mendengar ucapan Leon. Rasanya baru beberapa menit ia berada di mobil, tapi tiba-tiba mereka sudah sampai. Sepertinya kepalanya terlalu banyak berpikir hingga tak sadar seberapa lama waktu berjalan.Mereka keluar dari mobil
Tidak diangkat. Sean berdecak saat panggilannya kembali diabaikan oleh Kania. Ia menghela nafasnya panjang, perasaannya sangat tidak tenang melihat ekspresi Kania tadi. Kania terlihat sangat kecewa dan enggan berurusan dengannya kembali. Ia sungguh mengkhawatirkan keadaan Kania, tapi kemana ia harus mencari tahu?Ah Devan. Benar, ia bisa menelepon Bu Minah untuk mengetahui kabar dari Kania. Beruntung, ia pernah menyimpan nomor Bi Minah selama ini. Hanya dalam beberapa menit, panggilannya seketika tersambung. Sean segera menegakkan tubuhnya dengan antusias, ia harap Bi Minah belum pulang dari pekerjaannya."Hallo?""Hallo Bi, saya Sean.""Oh Nak Sean? Iya Nak, ada apa?""Saya ingin bicara dengan Devan, apa Devannya ada?""Ada Nak, tunggu sebentar.""Baik Bi,"Dalam beberapa detik suara Devan yang ceria seketika menggema dari sebrang sana, "Papa!""Sayang, kamu sedang apa?""Devan sedang makan dengan Bi Minah,""Kamu hanya makan berdua dengan Bi Minah? Memangnya Mama kemana, Sayang?""M
Saat mengetahui bahwa yang berada di hadapannya adalah Leonard, Kania segera mengambil langkah. Ia mundur untuk kemudian berlari menghindar dari pria itu.Leonard yang melihat Kania melarikan diri darinya segera menyusulnya. Dengan cepat ia kembali menahan Kania lalu bertanya dengan nafas tersengal saat berhasil mendapatkan tangannya, "Kenapa kau lari?""Lepaskan aku.""Baik, tapi bagaimana kalau kita bicara? Aku sudah menyewa seluruh tempat ini khusus untukmu, apa kau tidak sayang jika aku membuang-buang uang karena kau tidak mau menemuiku?""Aku tidak menyuruhmu menyewa tempat untukku,""Ayolah Kania, aku mohon."Kania terlihat menghela nafasnya panjang, "Baik, tapi lepaskan tanganku dulu."Dengan cepat Leonard melepaskan genggaman tangannya. Kania segera memilih kursi yang berada tepat di hadapannya lalu duduk di sana. Musik romantis segera mengalun saat mereka duduk berdampingan. Kania memberikan tatapan jengahnya, sebenarnya apa maksud pria ini?"Kenapa kau lari?""Tidak apa-apa,
Leonard pulang ke rumahnya dengan langkah gontai. Setelah berkeliling selama hampir satu jam di dalam bandara, Leonard sama sekali tidak bisa menemukan Kania dimanapun. Kania sudah pergi dari kehidupannya, ia terlambat, sangat terlambat."Jadi bagaimana? Kamu menemukan wanita itu?"Leonard mendengus kuat mendengar pertanyaan yang diajukan oleh Lauren tepat saat ia tiba di kediaman mereka."Mama pasti senang sekarang, Kania tidak bisa aku temukan. Dia sudah pergi dari hidupku selamanya. Apa sekarang Mama puas?" Tukas Leonard dengan penuh emosional.Alih-alih merasa simpati Lauren yang malah menuang alkohol ke gelasnya membuat Leonard merasa geram. Lauren memang sudah tidak perduli kepadanya lagi."Sepertinya Mama cukup senang karena sudah menghancurkan hidupku." ucap Leonard dingin. Ia menghela nafasnya panjang lalu mulai beranjak meninggalkan Lauren.Namun, baru saja ia hendak melangkah, Lauren tiba-tiba memanggilnya kembali, "Kau akan menyerah begitu saja padanya?"Leonard seketika m
Leonard seketika tertegun mendengar ucapan Jasmine. Jasmine terlihat sangat serius di hadapannya membuat Leonard seketika mengangkat alis."Apa maksudmu?""Hari ini adalah keberangkatan Kania, apa kau akan terus berdiam diri di tempat ini dan membiarkan Kania pergi begitu saja?"Mata Leonard seketika melebar mendengar ucapan Jasmine, cekalannya di tangan Jasmine seketika terlepas, "Kania pergi hari ini?" tanyanya dengan nada tidak percaya. Sepengatahuannya projek mereka belum selesai dengan sempurna, masih ada beberapa tahapan pendistribusian dan promosi produk yang harus dilakukan."Pekerjaannya untuk membuat pakaian sudah selesai, jadi dia tidak akan ikut andil dalam promosi produk, semuanya hanya akan dilakukan oleh pihak Valerine."Leonard terlihat terhenyak mendengar penuturan Jasmine. Jadi Kania benar-benar akan pergi hari ini?"Tunggu apa lagi? Pergi!"Mendengar ucapan Jasmine, Leonard segera beranjak dari sana. Ia berlari keluar dari restoran itu tanpa menghiraukan panggilan d
"Yak selesai! Hasilnya bagus sekali."Semua bertepuk tangan ketika foto terakhir yang diambil dari Jasmine selesai. Beberapa orang menyalami Kania dan juga Jasmine karena projek itu berhasil dilakukan. Kania tersenyum, merasa cukup lega karena ia bisa melakukan projek itu tepat pada waktunya. Meski hatinya teramat berantakan dan juga banyak drama yang terjadi, akhirnya semuanya selesai. Ia menatap kursi tempat Leonard berada yang diduduki oleh Hannah. Masih sama, Leonard masih tidak ingin menemuinya sama sekali."Nanti malam akan ada perayaan kecil karena pekerjaan kita sudah selesai dilakukan, apa Ibu mau ikut?"Kania menggelengkan kepalanya mendengar pertanyaan dari Dewi, "Kalian saja yang ikut, saya akan mempersiapkan semua persiapan kita untuk terbang besok?""Apa tidak apa-apa, Bu?" Tanya Dewi merasa tidak enak."Tidak apa-apa, kalian sudah banyak bekerja keras selama dua Minggu ini. Bersenang-senanglah di sana. Ah, jangan lupa bawa instal aplikasi bahasa di ponsel kalian masing-
Setelah kejadian di rumah sakit tempo hari, Leonard tidak pernah datang lagi ke pertemuan mereka. Hanya ada asistennya yang mengikuti pertemuan mereka beberapa kali.Penasaran dengan keadaan Leonard, Kania menahan langkah asisten pribadinya setelah rapat selesai."Hannah, bisa bicara sebentar?"Hannah terlihat mengangkat alisnya lalu kemudian mengangguk mendengar pertanyaan Kania, "Ya, ada apa Bu Kania?""Apa Leonard baik-baik saja? Ah maksud saya sudah beberapa kali dia mangkir dari pertemuan kami.""Ah, Pak Leon baik-baik saja, dia sangat sibuk akhir-akhir ini karena projek yang lain. Apa ada masalah jika saya yang menggantikan Beliau?"Kania segera mengibaskan tangannya mendengar ucapan Hannah, "Ah tidak, kamu adalah orang yang kompeten juga, saya rasa Leonard tepat memilih kamu untuk mengurusi projek ini. Kalau begitu terimakasih,"Kania terlihat membalikkan tubuhnya untuk beranjak, namun Hannah kembali memanggilnya."Emm... Bu Kania? Apa Anda memiliki pesan untuk atasan saya?"Ka
Delon seketika terdiam mendengar ucapan Leonard. Keningnya berkerut dengan bingung, jadi mereka sudah saling mengenal sebelumnya? Tapi kenapa mereka berpura-pura tidak saling mengenal seolah baru berkenalan? Sebenarnya sedalam apa hubungan mereka hingga Leonard bersikap sangat posesif kepada Kania?Delon menghela nafasnya panjang, tidak ingin membuat keributan karena hal sepele akhirnya ia menyerah."Baiklah, saya serahkan Bu Kania kepada Anda."Delon menatap ke arah Kania yang masih tidak sadarkan diri lalu beranjak meninggalkannya. Untuk terakhir kalinya ia membalikkan tubuhnya lalu tertegun saat melihat pemandangan Leonard yang tengah memegang tangan Kania dengan erat. Delon terlihat mengangkat alis, sebenarnya apa hubungan mereka hingga Leonard bisa bersikap sedekat itu pada Kania?****Kania mengerjapkan matany saat mendapati atap putih di hadapannya, bau alkohol dan obat-obatan yang menyeruak membuat Kania seketika terhenyak. Dimana ia? Apa dia ada di rumah sakit?Kania mengangk
Kania mendesah panjang, "Haruskah kita melakukan ini?""Aku harus meyakinkan segalanya berjalan dengan lancar."Dengan ragu Kania menyambut telunjuk itu. Entah apa yang sebenarnya terjadi, Jasmine Maureen adalah gadis yang teramat percaya diri, kenapa ia melihat Jasmine sangat berusaha keras agar hubungannya dengan Leonard berjalan dengan lancar?"Sekarang, apa aku boleh pergi?"Jasmine menganggukkan kepalanya mendengar pertanyaan Kania, Kania mengusap mulutnya dengan serbet lalu bangkit berdiri.Tepat sebelum ia melangkah, Jasmine kembali memanggilnya."Aku minta maaf atas segala sikap menyebalkan yang aku tunjukkan selama ini padamu, Kania."Kania mengulas senyumnya mendengar ucapan Jasmine, "Ternyata kau sudah banyak berubah. Tidak apa-apa aku mengerti semuanya. Kau memang lebih pantas untuk Leonard."Setelah berkata seperti itu, Kania meninggalkan meja mereka. Ia menghela nafasnya panjang lalu kembali ke ruangan bengkelnya.Dewi yang melihatnya hanya bisa terkejut saat tatapan Kan
"Anda menyukai seseorang?""Ya, saya harap Anda mengerti ucapan saya hari ini Pak Delon. Kalau begitu saya permisi."Kania segera bergerak meninggalkannya Delon dengan cepat. Ia menghela nafasnya panjang, sebelum semuanya semakin rumit dan memusingkan, ia harus bisa menyelesaikan seluruh tugas ini dengan cepat. Jika perlu, ia akan menyelesaikan semuanya kurang dari dua minggu.****Selama seharian penuh, Kania berada di bengkel kerjanya. Seperti tekadnya kemarin, ia akan menyelesaikan seluruh pekerjaan ini dengan cepat. Ia sudah tidak bisa terus berada di sini dan menyiksa seluruh hatinya.Pintu ruangannya seketika diketuk, Dewi menghampiri dirinya lalu terhenyak saat melihat Kania berada di sana pagi-pagi sekali."Ibu? Ibu semalaman berada di sini?" Tanya Dewi dengan raut wajah terkejut."Ya, saya harus menyelesaikan semuanya dengan cepat agar kita segera kembali.""Tapi Bu, kalau begitu terus ibu bisa sakit.""Saya baik-baik saja, Dewi."Tepat saat ia mengatakan hal itu, darah segar
"Anda memang cukup jeli, Bu Jasmine. Siapa yang tidak tertarik pada Bu Kania? Dia wanita yang mandiri dan cantik, bagaimana saya tidak terpesona olehnya?"Kania terperangah tidak percaya mendengar ucapan Delon yang terus terang. Delon tersenyum ke arahnya tanpa beban sama sekali membuat Kania merasa sangat gugup. Kania segera mengambil minumannya lalu menyeruputnya dengan perlahan, mengabaikan tatapan tajam dari Leonard yang sejak tadi tiba-tiba terdiam."Pak Delon benar-benar tipe pria yang romantis, Anda menyatakan ketertarikan Anda pada Bu Kania tepat disaat Bu Kania ada di hadapan Anda.""Bu Kania hanya sebentar di sini, jadi saya harus bergerak cepat, bukan?""Ah, Anda benar."Berbeda dengan dirinya yang merasa canggung, Delon dan juga Jasmine malah terlibat pembicaraan seru. Kania menghela nafasnya, sungguh ia ingin melarikan diri saja dari tempat ini.Tepat saat ketidaknyamanan yang ia rasakan semakin tidak terkendali, ponsel Kania berdering dengan nyaring. Tidak peduli siapa