"Neng? Itu airnya tumpah-tumpah ke lantai.""Astaga!"Kania tersentak saat menyadari apa yang telah ia lakukan saat ini. Bagaimana bisa ia melamun saat menuang air minum hingga tumpah seperti ini? Kania segera mengambil sebuah kain lalu mengelap air yang tumpah."Neng baik-baik aja? Kenapa nuang air minum sambil ngelamun atuh, Neng?"Kania segera mengangguk ke arah Bi Minah, "Gapapa Bi, kalau begitu Kania pergi ke kamar dulu.""Gak ke Butik, Neng?""Nanti agak siang aja Bi, kepala Kania agak pusing." Kania beranjak pergi ke arah kamarnya. Ini semua gara-gara ulah Leon semalam, ia jadi tidak fokus dan banyak melamun.Kania menghela nafasnya panjang. Kenapa Leon harus mencium bibirnya semalam dan membuatnya kepikiran? Kania mengetuk kepalanya dengan kuat.Lupakan. Ia harus melupakannya.Namun, baru saja ia hendak membaringkan tubuhnya lalu memejamkan mata. Ponselnya bergetar menandakan ada pesan masuk di sana. Kania melonjak segera saat melihat pesan yang tiba di sana.Pesan dari Leona
Kania hampir terlonjak saat mendengar bel rumahnya berdering. Jantungnya kembali berdegup dengan cepat, ia tidak percaya, cepat sekali Leonard datang."Ma, ada tamu.""Itu Paman Leon, kamu saja kesana duluan, Sayang.""Memangnya kenapa bukan Mama yang membuka pintu?""Mama kebelet, kamu liat dulu sebentar nanti Mama nyusul."Devan menganggukkan kepalanya lalu berjalan menuju pintu. Setelah Devan menghilang, Kania menarik nafasnya lalu menghembuskannya perlahan. Ia harus tenang, jangan sampai ia menunjukkan bahwa ia terpengaruh dengan kejadian kemarin atau Leon akan merasa di atas angin. Itu hanya Leonard, kenapa dia harus malu kepada temannya sendiri? Ciuman itu hanya berlangsung beberapa detik saja, jadi itu bukan apa-apa, bukan?Setelah berhasil menenangkan diri, Kania berjalan menyusul Devan."Sudah ku bilang aku tidak mau bertemu denganmu Le..."Kata-kata Kania tergantung di udara saat melihat siapa yang berada di hadapannya kini. Ternyata bukan Leon, tapi Sean. Raut wajah Sean te
Kania melempar beberapa kantung belanjaan yang diberikan Leonard dengan lelah. Saat Leonard bilang akan berbelanja, ia tidak percaya Leonard membelikan barang sebanyak ini untuknya. Kania menghela nafasnya panjang saat mengingat apa jawaban Leonard saat ia mengeluhkan hal ini."Kau akan bertemu dengan orang tuaku, jadi aku akan memberikan pakaian terbaik untukmu agar mereka menyukainya."Leonard setulus itu padanya, tapi apa ia bisa membalas ketulusan Leonard saat hatinya masih terpaut pada Sean? Ini sangat rumit."Ma?"Kania seketika tersentak saat melihat kedatangan Devan ke arahnya dengan wajah setengah mengantuk."Kenapa kamu belum tidur, Sayang?" Tanya Kania dengan heran."Devan menunggu Mama, ada yang Devan ingin beritahukan pada Mama.""Apa Sayang?""Papa bilang kita bisa tinggal bersama tidak lama lagi. Apa itu benar?"Mata Kania seketika mengerjap mendengar ucapan Devan. Perkataan Sean siang tadi kembali mengusik hatinya. Sean memintanya kembali, bohong jika Kania tidak meras
"Darimana saja kamu, Sayang?"Sheline menghentikan langkahnya saat mendengar pertanyaan dari Herlina ketika ia tiba di rumah. Ia membasahi bibirnya yang mendadak kering, ia pulang di pagi hari tanpa memberi tahu apapun pada ibunya. Tidak heran ibunya sekarang cemas."Sayang?""Ah, aku dari rumah teman, Ma,""Kenapa tidak mengabari kalau pergi ke rumah teman? Mama telepon malah tidak aktif."Sheline menunjukkan ponsel dengan layar yang tidak menyala, "Ponselku kehabisan baterai, aku lupa."Herlina menggelengkan kepalanya, "Padahal tadi Sean kesini. Dia sudah menghubungi kamu, tapi nomor kamu tidak aktif."Mata Sheline seketika melebar mendengar ucapan Herlina, "Sean datang kesini?"Herlina mengangguk, "Ya, karena kamu tadi tidak ada, ia bilang akan datang nanti malam."Raut wajah Sheline seketika berubah cerah, "Benarkah Sean berkata seperti itu?""Ya Sayang, dia merasa bersalah karena sudah lama tidak berkunjung ke sini. Jadi Sean dan ibunya akan datang.""Kalau begitu aku akan bersia
"Jangan bicara omong kosong, Sean. Kapan aku berniat kembali padamu?""Ah, aku kecewa, tidak bisakah kau berpura-pura untuk membuatku senang? Tapi meski begitu, tidak apa aku akan menunggu.""Jangan menunggu karena aku tidak akan pernah kembali." balas Kania dengan nada sesak.Kania menarik nafasnya lalu menghembuskannya perlahan, "Sudahlah, aku sedang bekerja. Jangan mengganggu." lanjut Kania dengan cepat.Kania segera mematikan panggilan ponselnya dengan cepat. Ia mendesah panjang melihat tingkah Sean yang kini berbanding terbalik mengejarnya. Ia seharusnya merasa senang dengan hal in karena ia bisa lebih mudah membalasnya.Tidak lama setelah mendapat telepon, pintu ruangannya diketuk kembali oleh Dewi."Bu di depan ada kiriman bunga. Bunganya cantik dan besar." seru Dewi.Firasat Kania seketika memburuk mendengar ucapan Dewi. Ia segera berlari ke arah pintu depan lalu terhenyak melihat penampakan bunga itu. Buket bunga itu merupakan bunga mawar merah yang sangat cantik."Apa ini?"
Kania menghela nafasnya panjang, ia mengerutkan dahinya berpikir panjang mencari alasan yang tepat untuk jawaban Devan."Begini Sayang... Mama dan Paman Leon memang sudah bertunangan, tapi masih harus berpikir panjang untuk menikah. Untuk saat ini Mama tidak terpikir untuk menikah lagi dengan Papa atau Paman Leon. Saat ini bagi Mama yang terpenting adalah kebahagiaan kamu. Jika nanti Mama akan menikah dengan siapapun itu, Mama pasti akan meminta pendapat Devan. Bagaimana?"Devan terlihat merenung mendengar jawaban Kania. Kania mengulas senyuman tipis lalu kembali bertanya, "Kalau seperti itu, kamu tidak keberatan, bukan? Mama menyayangi Devan, Mama tidak akan mengambil keputusan sendiri tanpa Devan. Kamu mengerti, bukan?"Devan terlihat mengangguk, Kania mengacak rambut Devan dengan gemas, "Ternyata putera Mama sudah besar." ucap Kania penuh haru. Ia tidak menyangka bahwa pemikiran Devan sudah sedewasa ini, mungkin karena lahir di keluarga yang tidak utuh, pemikiran Devan jadi lebih b
"Arghh! Ini tidak adil! Tidak adil!"Sheline berteriak dengan penuh amarah lalu melempar segala barang yang ada di rumahnya. Tadinya ia hanya ingin mengawasi Sean lalu meminta maaf padanya, namun tidak ia sangka mobil Sean malah bergerak ke arah butik Kania dari kantornya. Sean dan Kania bahkan makan bersama, meski Kania meninggalkan Sean setelahnya, ia yakin mereka memiliki pembicaraan yang penting."Dia mencampakanku dan ingin kembali pada Kania. Sean brengsek!" Sheline terus mengumpat, keributan itu seketika dapat didengar oleh Herlina."Sheline, ada apa Sayang? Astaga Sheline!" ucap Herlina dengan panik.Herlina tercengang saat melihat betapa kacaunya kamar Sheline, pecahan kaca dimana-mana. Bahkan semua barang dan parfum yang Sheline punyai sudah tergeletak di lantai. Herlina segera bergerak menghampiri Sheline yang tertunduk lesu di pinggir ranjang. Melihat puterinya yang tengah patah hati berat membuat Herlina merasa tidak tega."Sayang, ada apa sebenarnya? Ceritakan pada Mama.
"Jawab aku, Kania.""Kau terlalu percaya diri. Sudah ku bilang itu karena aku lupa membuangnya.""Lalu bagaimana dengan susunan barang yang terlihat sangat rapi, kau masih mau mengelak?"Kania menelan ludahnya dengan gugup. Sial, ia jadi terpojok."Itu... Tunggu sebentar apa aku harus menjawabnya? Itu gudangku, kenapa pula aku harus memberi penjelasan? Sekarang, bisa minggir?" ujar Kania dengan sebal.Sean mengulas senyumannya melihat Kania yang malah mengalihkan pembicaraan. Senyuman menurut Kania cukup membahayakan."Aku akan minggir jika kau mengiyakan tawaran kencanku,"Kania memutar bola matanya mendengar ucapan Sean, "Kau tengah mengancamku?""Jika menurutmu begitu ya, aku sedang mengancam. Tapi, bukankah tadi kita sudah melakukan perjanjian sebelum memulai pertandingan? Beberapa menit lagi aku akan menang jika kau tidak bertindak kekanakkan."Kania mendengus, "Aku kekanakkan?""Ya, jika bukan begitu apa namanya? Kau melarikan diri begitu saja saat aku hampir menang. Jadi, cepat