"Jangan bicara omong kosong, Sean. Kapan aku berniat kembali padamu?""Ah, aku kecewa, tidak bisakah kau berpura-pura untuk membuatku senang? Tapi meski begitu, tidak apa aku akan menunggu.""Jangan menunggu karena aku tidak akan pernah kembali." balas Kania dengan nada sesak.Kania menarik nafasnya lalu menghembuskannya perlahan, "Sudahlah, aku sedang bekerja. Jangan mengganggu." lanjut Kania dengan cepat.Kania segera mematikan panggilan ponselnya dengan cepat. Ia mendesah panjang melihat tingkah Sean yang kini berbanding terbalik mengejarnya. Ia seharusnya merasa senang dengan hal in karena ia bisa lebih mudah membalasnya.Tidak lama setelah mendapat telepon, pintu ruangannya diketuk kembali oleh Dewi."Bu di depan ada kiriman bunga. Bunganya cantik dan besar." seru Dewi.Firasat Kania seketika memburuk mendengar ucapan Dewi. Ia segera berlari ke arah pintu depan lalu terhenyak melihat penampakan bunga itu. Buket bunga itu merupakan bunga mawar merah yang sangat cantik."Apa ini?"
Kania menghela nafasnya panjang, ia mengerutkan dahinya berpikir panjang mencari alasan yang tepat untuk jawaban Devan."Begini Sayang... Mama dan Paman Leon memang sudah bertunangan, tapi masih harus berpikir panjang untuk menikah. Untuk saat ini Mama tidak terpikir untuk menikah lagi dengan Papa atau Paman Leon. Saat ini bagi Mama yang terpenting adalah kebahagiaan kamu. Jika nanti Mama akan menikah dengan siapapun itu, Mama pasti akan meminta pendapat Devan. Bagaimana?"Devan terlihat merenung mendengar jawaban Kania. Kania mengulas senyuman tipis lalu kembali bertanya, "Kalau seperti itu, kamu tidak keberatan, bukan? Mama menyayangi Devan, Mama tidak akan mengambil keputusan sendiri tanpa Devan. Kamu mengerti, bukan?"Devan terlihat mengangguk, Kania mengacak rambut Devan dengan gemas, "Ternyata putera Mama sudah besar." ucap Kania penuh haru. Ia tidak menyangka bahwa pemikiran Devan sudah sedewasa ini, mungkin karena lahir di keluarga yang tidak utuh, pemikiran Devan jadi lebih b
"Arghh! Ini tidak adil! Tidak adil!"Sheline berteriak dengan penuh amarah lalu melempar segala barang yang ada di rumahnya. Tadinya ia hanya ingin mengawasi Sean lalu meminta maaf padanya, namun tidak ia sangka mobil Sean malah bergerak ke arah butik Kania dari kantornya. Sean dan Kania bahkan makan bersama, meski Kania meninggalkan Sean setelahnya, ia yakin mereka memiliki pembicaraan yang penting."Dia mencampakanku dan ingin kembali pada Kania. Sean brengsek!" Sheline terus mengumpat, keributan itu seketika dapat didengar oleh Herlina."Sheline, ada apa Sayang? Astaga Sheline!" ucap Herlina dengan panik.Herlina tercengang saat melihat betapa kacaunya kamar Sheline, pecahan kaca dimana-mana. Bahkan semua barang dan parfum yang Sheline punyai sudah tergeletak di lantai. Herlina segera bergerak menghampiri Sheline yang tertunduk lesu di pinggir ranjang. Melihat puterinya yang tengah patah hati berat membuat Herlina merasa tidak tega."Sayang, ada apa sebenarnya? Ceritakan pada Mama.
"Jawab aku, Kania.""Kau terlalu percaya diri. Sudah ku bilang itu karena aku lupa membuangnya.""Lalu bagaimana dengan susunan barang yang terlihat sangat rapi, kau masih mau mengelak?"Kania menelan ludahnya dengan gugup. Sial, ia jadi terpojok."Itu... Tunggu sebentar apa aku harus menjawabnya? Itu gudangku, kenapa pula aku harus memberi penjelasan? Sekarang, bisa minggir?" ujar Kania dengan sebal.Sean mengulas senyumannya melihat Kania yang malah mengalihkan pembicaraan. Senyuman menurut Kania cukup membahayakan."Aku akan minggir jika kau mengiyakan tawaran kencanku,"Kania memutar bola matanya mendengar ucapan Sean, "Kau tengah mengancamku?""Jika menurutmu begitu ya, aku sedang mengancam. Tapi, bukankah tadi kita sudah melakukan perjanjian sebelum memulai pertandingan? Beberapa menit lagi aku akan menang jika kau tidak bertindak kekanakkan."Kania mendengus, "Aku kekanakkan?""Ya, jika bukan begitu apa namanya? Kau melarikan diri begitu saja saat aku hampir menang. Jadi, cepat
Sentuhan lembut bibir Sean yang basah terasa menyapu bibir Kania. Padahal kata Sean alkohol yang mereka tenggak adalah alkohol yang kadarnya ringan, tapi entah kenapa Kania merasa sangat mabuk. Tiap sentuhan Sean di bibirnya membuat Kania terbuai dan melayang. Ia kehilangan arah, ia bahkan membuka mulutnya lebih lebar agar Sean mendapatkan akses lebih banyak ke dalam sana. Jantungnya terasa hampir meledak merasakan lumatan Sean yang mengabsen bagian mulutnya dengan hati-hati. Apa ia juga merindukan sentuhan itu? Apa ia juga merindukan Sean?Sadar bahwa yang ia lakukan salah, Kania mendorong tubuh Sean tiba-tiba. Ia mengerjapkan matanya dengan raut wajah bingung, apa yang sudah ia lakukan? Bagaimana bisa ia menikmati ciuman yang dilakukan oleh pria itu?Kania segera mengambil tas tangannya dengan cepat. Satu hal yang harus ia lakukan adalah melarikan diri secepatnya dari tempat ini."Aku harus pergi." Saat mendengar langkah kaki Sean yang hendak mengejarnya Kania segera berbalik, "Jang
"Bu? Ibu?""Hah?"Kania mendongakkan wajahnya dengan raut wajah terkejut saat mendengar panggilan dari Dewi. Ia membenarkan posisi duduknya, mencoba memfokuskan pikirannya kembali ke arah Dewi, "Kamu bilang apa tadi, Dew?""Tadi saya bilang baju Bu Ferla sudah beres semua,""Oh ya, nanti akan saya kabarkan ke Bu Ferla," jawab Kania dengan cepat.Dewi terlihat menelisik ke arah Kania dengan raut wajah heran, "Ibu tidak apa-apa? Apa Ibu sakit?"Kania seketika menggeleng mendengar ucapan Dewi. Karena kejadian semalam, ia bahkan jadi tidak fokus dalam bekerja. Kania menghela nafasnya panjang, "Tidak apa-apa, saya hanya banyak pikiran." jawab Kania dengan jujur."Apa karena perusahaan mantan suami Ibu? Bagaimanapun Ibu pasti terkejut soal ini. Ya keadaan memang sulit ditebak."Kania mengangkat alisnya tidak paham mendengar ucapan Dewi, "Perusahaan Sean? Ada apa dengan perusahaannya?""Lho Ibu tidak tahu beritanya? Saya pikir Ibu sedang memikirkan berita yang baru saja terbit hari ini. Semu
"Apa?"Wajah Keina seketika memerah mendengar ucapan Sean. Apa karena efek demam yang ia rasakan atau karena Sean memang tengah menggodanya, Kania terperangah dengan permintaan itu. Tidur dengannya? Tidur memiliki dua arti, bukan?""Kau tidak mau, ya? Jahat sekali."Kania kembali mengerjap, kini pria itu malah memasang raut wajah penuh kepedihan di hadapannya. Sebenarnya pria ini kenapa?"Kau benar-benar demam rupanya," gumam Kania saat melihat sikap Sean yang mulai melantur."Aku hanya meminta tidur bersama, tapi kau tidak mau. Jahat sekali."Kania menghela nafas saat mendengar Sean mulai merajuk. Kenapa tingkah kekanakkannya sangat mirip dengan Devan yang berumur tujuh tahun?"Ayo kita tidur, sebaiknya kau harus mulai berbaring karena sikapmu benar-benar aneh."Kania menyeret tangan Sean lalu membawanya ke arah kamar tidur. Ia membaringkan tubuh Sean, namun baru saja Kania hendak beranjak Sean malah menariknya hingga tubuhnya ikut jatuh ke arah ranjang."Sudah ku bilang, temani aku
"Seluruh usaha kita ditolak oleh distributor yang tersisa Pak, mereka masih tidak percaya dengan produk kita."Sean melemparkan berkas-berkas yang berada di tangannya dengan kuat. Seluruh usahanya selama beberapa hari rupanya sama sekali tidak membuahkan hasil. Ia sudah melakukan segala cara, tapi krisis di perusahaannya tidak bisa sepenuhnya teratasi."Bramantyo benar-benar menutup semua jalan untuk kita," gumam Sean dengan kesal. Ia meremas rambutnya dengan frustasi. Jika terus seperti ini, perusahaannya benar-benar akan tamat.Apa yang harus ia lakukan? Apa ia harus membiarkan perusahaannya bangkrut begitu saja?Tepat saat ia hampir putus asa, Sean tersentak saat ponselnya berdering dengan nyaring. Ia membuka layar ponselnya lalu seketika berdiri saat melihat siapa yang memanggilnya. Sheline. Ah, akhirnya wanita ini menghubunginya."Sheline?""Hai, Sean.""Aku senang kau menghubungiku.""Maaf aku baru melihat pesan yang kau kirim, aku baru pulang dari liburan bersama ibuku. Ibu men