POV HaniAku sampai di restoran, hari ini nggak ada alasan untuk menangis. Aku harus menunjukkan kepada mereka para orang-orang pelit itu bahwa aku bisa. Biar saja mereka sekarang kelabakan dirumah, mereka pikir aku akan selamanya jadi pesuruh mereka, sorry laa yau! Masuk ke restoran mengisi absensi lalu mulai bekerja. Tip lemburan kemarin membuatku ketagihan. "Eh, Lo ngapain hari Minggu masuk?" Sherin salah satu karyawati resto yang selalu rese padaku heran aku masuk kerja di hari libur. "Suka-suka gue, dong! Emang ada larangan karyawan lembur enggak 'kan?" sahutku malas. "Oooh, gue tau! Jangan-jangan Lo lembur gara-gara nggak dinafkahin sama laki Lo, ya? Hahaha, ngenes amat!" Aku yang hendak menuju ke ruangan khusus karyawan berhenti melangkah lalu berbalik menatap tajam Sherin. "Elo nggak berhak ngurusin hidup gue! Mau lembur atau enggak bukan urusan Elo, tau!" "Stop! Stop! Udah jangan brantem! Elu juga Sher, jangan gangguin Hani!" Lukas memisahkan kami. "Han, kamu dipanggil
POV Hani Ya Allah, suamiku ini memang ma-ti rasa padaku atau apa sih? Yang dia pikirin hanya uang, uang, dan uang saja. Boro-boro bertanya bagaimana keadaanku sekarang. Rita juga, mulutnya minta di tamplok pakai ulekan sambel, ya Allah ... kuatkan hamba-Mu ini untuk menghadapi orang-orang model pohon pisang ini, mereka punya jantung, tetapi tidak punya hati. "Begini, Pak. Masalah biaya perawatan, akan ditanggung oleh restoran, sebab Hani kecelakaan saat mengantarkan pesanan makanan ke konsumen." Aryan mencoba menjelaskan. "Eh, Mbak! Lo itu jo-ngos, apa kurir sih? Kerjaan kok nggak jelas banget!" sewot Rita dia mengibaskan rambutnya yang tergerai sebahu. "Begini, Mbak ... kebetulan restoran kami sedang banjir pesanan delivery order, dan karyawan juga sibuk melayani pelanggan yang datang, kebetulan Hani bertugas mengantarkan pesanan gitu, Mbak. Tolong jangan salahkan Hani, ini kecelakaan." Aryan menjelaskan lagi. "Jangan salahkan Hani, jangan salahkan Hani, Bapak nggak tau, dia cel
POV Hani Usai Mas Heru dan Bu Lasmi pergi, Bayu datang menemaniku. Tangan ini terasa sakit sekali gara-gara dipukul keras oleh Bu Lasmi. "Bay, kok sakit banget tanganku ini, tadi habis di pukul keras sama mertuaku. Dia pikir aku cuma pura-pura." Aku meringis. "Apa pura-pura! Aaah, katarak orang itu! Mbak berita kecelakaan itu sudah jadi trending topik di media sosial dan media berita online tau! Em, lagian ini harusnya di urut, Mbak. Atau ... kita pulang aja ke kampung disana biar di urut Wak Hasanudin, beliau terkenal dukun pijat handal!" Ah, pulang ke kampung dalam keadaan begini, apa kata bapak dan ibu nanti. Usul Bayu kadang-kadang asal. Selama ini, mereka tahunya rumah tanggaku bahagia, meskipun aku menyembunyikan jati diri dari suamiku dan keluarganya. "Bay, aku malu pulang ke kampung," lirihku sambil merebahkan diri di bed yang di sering aggak tinggi. Tanganku kini dipasang arm sling, agar tanganku tidak bergeser. Bayu menatapku, sorot matanya sendu. "Sebenarnya aku kesin
POV AuthorLasmi dan Heru pulang dari restoran dimana tempat Hani bekerja dengan tangan hampa. Keduanya tidak berhasil membawa pulang sepeda motor milik Hani. "Huh! Gara-gara dua satpam pe kok itu, gagal deh bawa motor si Hani!" Lasmi ngomel sepanjang jalan. "Kamu itu jadi laki-laki harus tegas, dong! Hani itu istrimu, dia harus wajib tunduk sama kamu, Heru!" Lasmi memukul keras helm anaknya. Heru mendadak hilang kendali sebab Lasmi terlalu kuat memukul helmnya. Sepeda motor Heru oleng hingga membuat mereka terperosok ke saluran air. "Aaaaaaw! Dasar 00n kamu, Her! Bisa-bisanya kita jatuh begini?!" umpat Lasmi meringis kesakitan ia tertimpa sepeda motor. "Aaaaw! Kakiku!" pekik Lasmi kesakitan. Heru berusaha bangkit lalu membenarkan posisi sepeda motornya. Keduanya jatuh di tempat sepi. Tebeng motor Heru sebelah kiri pecah, kaca lampu juga pecah. "Aduuuuh, kakiku!" Lasmi mengaduh, meringis memegangi pergelangan kakinya. Nampak biru diantara mata kaki wanita itu. "Ibu sih, pake muk
POV AuthorSuara sentakan dari arah pintu ruang perawatan Hani membuat Heru menoleh sementara tangannya masih mencengkeram kuat rahang Hani. Ini kali pertama ia melakukan kekerasan terhadap istrinya. Tindakan Heru terlihat jelas dari pintu, tirai Hani hanya tertutup bagian samping saja. Tekanan mental yang ia hadapi saat ini sanggup membuat Heru bertindak kasar. Beban hutang yang dia tanggung sangat menggangu pikiran, ditambah sepeda motornya rusak, serta tuntutan Lasmi untuk mencari biaya operasi Caesar Rita membuat pikiran Heru gonjang-ganjing. "Huh!" Laki-laki itu melepaskan cengkraman tangannya kasar hingga membuat tubuh Hani berguncang. Wanita dengan kepala terbalut perban dan tangan menggunakan arm sling itu meringis kesakitan sebab tangan kirinya sempat tertekan Heru. "Siapa Kau? Jangan ikut campur urusanku! Dia istriku, mau kuapakan saja, suka-suka aku!" ujar Heru matanya menyiratkan api amarah. "Saya Habibi, Dokter yang merawat Nona Hani! Ada berurusan dengan saya, sebab
POV Heru"Pergi dari sini! Jangan kembali lagi!" Shiiit! Dua satpam itu menyebalkan! Bisa-bisanya aku diusir dari ruang perawatan istriku sendiri. Dan dokter itu tadi benar-benar membuatku kesal. Pokoknya gimanapun caranya, Hani harus secepatnya keluar dari rumah sakit ini. Lebih baik uangnya ku buat untuk servis motorku yang hancur. Aku menuju parkiran, nampak motorku paling hancur sendiri rupanya. Ooh, tidak! Apa kata orang-orang kantor besok kalau mereka lihat kondisi motorku yang buruk rupa? Lebih baik aku pulang sekarang, biarin aja si Hani sendirian di sini, biar dia urus dirinya sendiri! Kunyalakan mesin motorku lalu pergi. Kumandang adzan Maghrib mulai menggema langit juga sedang berproses pergantian siang dan malam. Aku masih dijalanan pulang dari rumah sakit. Dompetku kering, saldo ATM ku juga limit. Aarrggh! Gara-gara Rita dan Ibu aku sampai minus keuangan. Aku menepi. Duduk di pinggir jalan pada sebuah trotoar sambil menanti kumandang Adzan berhenti. ___ "Aku janji,
POV HaniMataku mengerjap perlahan serta rasa sakit di kepala ini mulai terasa lagi. Rasanya berat saat ingin melek membuka mata lebar. "Aaaaw." Aku bergerak dan merasakan tanganku sakit sekali. "Aaaaaaw!" "Mbak Hani." Mendengar suara laki-laki memanggil, aku pun berusaha untuk membuka mataku. Jam dinding berwarna putih adalah benda pertama yang bisa kulihat, lalu pandanganku mengedar, kesemua arah. "Sepi?" Aku baru sadar, jika ini bukan ruang perawatan yang tadi, ini dimana? Kenapa berbeda? Perlahan kucoba bangkit namun tangan ini terasa amat sakit. "Pelan-pelan, Mbak! Tangannya jangan banyak gerak dulu." Bayu membantuku.Oh, iya aku baru ingat, tanganku 'kan retak. Sambil mengerjap perlahan aku minta untuk diposisikan duduk. "Kenapa kita ada disini, Bay?" "Semua demi kebaikan dan keselamatan Mbak Hani. Dokter Habibi yang mindahin Mbak kesini. Dia nggak mau Mbak semakin ngedrop gara-gara kelakuan Mas Heru. Kenapa Mbak nggak crita kalo suami Mbak itu temperamen?" Bayu nyeroc
Yuuk, baca lagi, yuuk ... POV AuthorHani meletakkan ponselnya di bed pasien dimana ia berbaring, mengabaikan telepon dari Heru. 'Sementara waktu, biarlah dia kuabaikan dulu. Aku malas diomelin.' Hani berusaha memejamkan mata, namun ia belum mengantuk. "Bay, aku nggak ada baju ganti, masa selama rawat inap disini aku nggak ganti, yang bener aja?" Hani menoleh Bayu. Laki-laki berparas tampan dengan kumis tipis itu mendekat. "Nih, pilih aja barang kebutuhan Mbak, biar nanti dikirim kesini." Bayu tersenyum. "Hah? Beli onlen? Kenapa nggak ngambil dari rumah aja? Buang-buang duit!" ketus Hani. Ia memang terbiasa hidup berhemat. Bayu menarik kursi lalu duduk di dekat bed Hani. "Mbak, dirawat disini itu bukan atas nama Hani, tapi Nona Wijaya, semua itu untuk menghindar dari suami Mbak. Tolonglah, jangan kacaukan rencana ini. Nanti, kalau Mbak udah sembuh, mau pecicilan terserah," ujar Bayu. Hani nyengir kuda, lalu mengangguk. "Ya udah, cariin aku br a, cd, dan baju tidur sama daster,
POV Author Mbak Enik panik sebab tak mendengar suara Hani padahal tadi ia dengan jelas sekali mendengar wanita itu berteriak minta tolong. Didalam rumah .... "Jangan coba-coba teriak, atau kupatahkan sekalian tanganmu ini!" desis Heru mengancam Hani. Wanita dengan tangan masih mengenakan arm sling itu hanya bisa meneteskan air mata dalam diam sebab mulutnya dibekap kuat oleh Heru. "Hani! Han! Kamu nggak papa 'kan?" Mbak Enik terus memanggil Hani, ia hendak membuka pintu namun takut disebut pencuri sebab dirinya hanya sendirian. Mbak Enik bingung mencari bantuan, ia clingukan kesana kemari. Sepeda motor Heru masih di halaman rumah. Namun, kedua manusia itu tak menyahut dari dalam sana. "Heru, kamu akan menyesal melakukan ini padaku," lirih Hani. "Apa, menyesal? Nggak! Aku nggak akan menyesal! Ini hukuman untuk istri pembangkang sepertimu!" geram Heru masih mengunci tubuh Hani sambil menahan sakit pada area sensitifnya. Hani meneteskan air mata. Ia sadar, jika berteriak Heru ak
POV AuthorHani berjalan mencari makanan siap santap sambil menggendong tangannya yang retak. Rambutnya juga nggak di ikat. Biasanya jam segini, warung nasi uduk Ibu Hartati sudah siap nasi uduk, sayur matang, gorengan, dan es cendol juga ada, pedagang itu sering mangkal di sekolahan yang tak jauh dari rumah mertua Hani. "Mbak Hani! Ya Allah, itu Mbak Hani!" Para tetangga yang melihat Hani berjalan perlahan langsung menghampiri istrinya Heru itu. "Ya Allah, alhamdulilah, Mbak Hani selamat!" ungkap Bu Lis. "Si Hani, eta?!" Ceu Kokom ikutan heboh. Mereka mendekati Hani. "Aduuh hatur nuhun, Gusti, si Hani diselamet keun!" syukur Ceu Kokom. Hani tersenyum menanggapi para tetangga yang kepo terhadap dirinya. "Ya Allah, Han ... alhamdulilah kamu selamat. Aku liat berita di tv ngeri lho! Aku kemarin nanya sama mertuamu, dia malah cuek!" ujar Bu Lis. Dia terkenal biang kerok tukang adu ayam, eh domba. Dia senang jika melihat menantu dan mertua yang tidak akur."Alhamdulilah, aku selama
POV Author Heru memacu sepeda motornya menuju ke rumah, ia harus masuk kerja hari ini agar tidak kena pinalti dan berakhir pemecatan. Kepalanya pusing sebab Deni tidak mau menanggung biaya operasi Caesar Rita. 'Kenapa rasanya ini sama dengan keadaan Hani dulu? Pas Hani mau SC ibu melarangku memberikan izin untuk SC hingga akhirnya tindakan itu telat dilakukan, dan sampai saat ini aku juga tak tau menau perihal biaya itu, orang tua Hani yang menanggung semuanya. Ya Allah, apakah ini namanya karma?' batin Heru kebingungan. Motor terus melaju membawanya menjauh dari area rumah sakit. Hatinya dongkol sebab Deni lebih mementingkan adik kandungnya sendiri dari pada Rita istrinya. 'Aku bingung dengan jalan pikiran Deni, dalam perut Rita itu anaknya, darah dagingnya, kenapa dia bersikap begini?' Sepertinya karma dimasa lalu kini tengah menghampiri Heru. Situasinya sama dengan masa-masa Hani akan melahirkan. Heru terkesan cuek dan bodo amat pada Hani. Erangan, serta rintihan perempuan itu
POV HaniAku sedikit curiga melihat Bu Lasmi membawa buku KMS, ditambah ia bebenah baju dua tas berukuran besar serta Mas Heru dan Rita tidak ada dirumah. Jangan-jangan Rita sudah kontraksi dan akan melahirkan. Ahh, semoga saja dia juga merasakan apa yang kurasa dulu. Jahat? Yaa ... terserah deh mau dibilang apa, yang jelas, aku ingin sekali Rita merasakan apa yang aku rasakan dulu, saat berjuang melahirkan Zidan. Sakit, tertekan, dan setres. "Bu, Rita sama Mas Heru kemana? Ibu juga mau kemana pagi-pagi udah sibuk sama dua tas gede-gede gini. Mau liburan, kah?" Iseng aku kembali bertanya. "Udahlah kamu nggak usah kepo! Urusi aja rumah yang kacau ini. Pastikan semuanya bersih, sebelum kami pulang!" sentaknya. Aku berdecak kesal. "Bu, tanganku sakit. Jangankan beberes, ngiket rambutku sendiri aja aku kesusahan, gimana sih?!" Aku mencebik bibir. Aneh mertuaku ini, udah tahu mantunya masih cidera pasca kecelakaan, tetep aja nyuruh-nyuruh. Dasar mertua gaje! Aku duduk di kursi makan
POV Hani Aku masih mengompres tanganku sambil duduk di ranjang. Mas Heru masih berdiri di dekat meja kerjanya. "Hani, bukanya istri itu tugasnya melayani suami, kau tau 'kan?" Dia mendekat. Aku mengerling sekilas, menatapnya sambil tersenyum. Kini dia membahas perihal tugas istri. Baiklah, akan kubahas juga tugas suami. "Iya, melayani urusan syahwat terutama. Sebab, pernikahan memang bertujuan untuk berkembang biak, bukan diperbudak. Dan selama ini, aku merasakan, hidup bersamamu dirumah ini, hanya dijadikan babu gratisan serta pemuas n4fsv mu aja. Kau tak pernah peduli dengan kebahagiaanku, kesejahteraan ku. Yang ada di pikiranmu cuma kebahagiaanmu dan keluarga intimu saja, ibu dan Rita, tanpa aku." "Tapi, Han ... surgaku ada pada ibuku, dan surgamu ada padaku!" Dia ngegas. "Ya udah kalo gitu. Kamu tetap pada pendirianmu, aku juga akan milih jalanku sendiri. Kalo kamu nggak bisa berubah, maaf ... aku mending nggak punya suami, deh! Buat apa punya suami, kalo kenyataannya lahir
POV HaniAku menautkan alis menatap sekilas suamiku yang tumben banget berubah sikapnya, ada apa ini? "Yuk, kita istirahat aja, Dek! Mas temenin!" Mas Heru menggamit lembut tanganku. Widih, ciyus? Kok jadi lembut kek brownis kukus begini, wah patut di curigai ini! Aku merasa aneh dengan perubahan sikap suamiku. Nggak ada angin, nggak ada hujan, dia yang tadinya cuek secuek bebek mendadak lembut dan romantis, wah kurasa ada yang nggak beres ini. Okelah, kita ikuti saja alur yang dibuat Mas Heru, ada misi apa sebenarnya? Kok hatiku bilang, dia sedang melakukan modus demi sesuatu, aku harus waspada! Mas Heru membimbingku masuk kamar. Mataku menyipit melihat bungkusan plastik serta paper bag pemberian Aryan. Kuambil plastik itu, oooh rupanya berisi buah. Baguslah, buah ini aman dikamarku. "Apa ini, Dek?" Mas Heru meraih paper bag pemberian Aryan. "Jangan! Ini dari menejerku!" Refleks tangan kananku langsung merebut paper bag itu. Bukan tanpa sebab, tadi sempat ku intip ada amplop d
POV Hani"Aku nggak jadikan sakit ini alasan. Memang aku perlu istirahat dan jangan banyak gerak dulu, tanganku retak. Atau, gini aja ... kalo kalian keberatan merawatku selama sakit, gampang ... aku akan minta Bayu menjemput kesini, dan pergi dari rumah ini selamanya. Buat apa punya suami dan mertua yang nggak peduli terhadapku?" "Apa?! Kau bilang, suami dan mertua nggak peduli sama kamu?!" Mas Heru berkomentar. Kutatap kedua ibu dan anak ini bergantian. "Iya. Emang bener, 'kan? Bahkan Mas sendiri tega menyakitiku saat di rumah sakit kemarin." Bodo amat sama perasaan mereka. Wong mereka aja nggak peduli dengan perasaanku. Kalau bicara masalah dendam, tentu saja iya. Balas dendam itu dosa! Hanya Allah yang tahu. "Hani, jangan kau kuliti aib keluargamu didepan orang lain!" Mas Heru mencengkeram kuat bahu tanganku yang sakit. "Aaaw, sakit! Lepas!" Kupukul tangan suamiku. Kurang 4jar emang, dia sengaja apa gimana sih?! Tu buh ini di dorong oleh Mas Heru hingga membuatku limbung. Ooh
POV Hani"Haniii! Buka pintunya!" Aku menutup telinga mendengar gedoran pintu kamar oleh si Rita pemalas itu. Teriak dan gedor saja sekuatmu, Ta! "Busyet, tuh iparmu rese bener ya, Han?" Lea nyengir duduk di lantai yang kini sudah digelari karpet. "Biarin ajalah, ntar juga capek sendiri. Masa dia nyuruh aku buat beberes dapur, katarak dia. Pokoknya akan kuberi pelajaran dia dan ibunya, Lee. Kebangetan lho, sakit begini masih aja disuruh-suruh." Aku ingat saat aku hamil dulu, setiap hari ada aja perintah dari Bu Lasmi maupun Rita, terlebih saat persiapan pernikahan anak itu, kebetulan aku sedang hamil trimester ke dua, seenak j1dat mereka mendikte perintah ini dan itu. Waktu hamil tua, hmm lebih parah lagi. Bahkan aku sampai tertekan hingga menyebabkan tensi darahku tinggi. Kutenteng map cokelat berisi hasil foto Rontgen tanganku, biar saja nanti mas Heru atau Bu Lasmi melihat sendiri kondisi tanganku. "Haniii! Kurang 4jar kamu, ya!" Terdengar umpatan Rita terhadapku dari luar
POV AuthorHari telah berlalu, Heru kebingungan mencari dimana keberadaan istrinya. "Hani, kemana aku harus mencarimu?" Ia frustasi sebab datang ke restoran dan menghubungi rekan kerja istrinya, hanya sia-sia belaka. Mereka tidak ada yang tahu dimana keberadaan Hani. Jam istirahat kantor digunakan Heru untuk mencari keberadaan istrinya. Sementara di rumah sakit ... "Bay, aku mau pulang. Bosen disini," ujar Hani. Berada di ruangan VIP membuatnya kesepian. "Enggak! Mbak nggak boleh pulang dulu. Pengobatan Mbak belum tuntas," sahut Bayu. Jelas saja Bayu melarang, ia tak ingin terjadi sesuatu pada kakak kesayangannya itu. Hani duduk di brankar pasien, ia sudah mandi dan berganti pakaian dibantu oleh Suster. "Tapi, Bay ... aku kesepian disini." Hani memelas. Bayu bangkit lalu mendekati kakaknya. "Mbak mau pulang? Kita pulang kerumah bapak, bukan pulang kerumah suaminya Mbak!" Hani spontan menatap Bayu, ia menelisik mata adiknya itu, sorot serius terpancar dari mata indah itu. "Aa