Share

Bab 41

Penulis: Goresan Pena93
last update Terakhir Diperbarui: 2025-01-20 08:09:57

Merasa pipi begitu perih, tiba-tiba saja emosiku meled4k-led4k. Aku tidak bisa mengendalikan diri sampai tangan yang terikat oleh lakban itu akhirnya terputus juga.

Kutarik kerah baju milik lelaki itu dan membalas dengan tinju dari kepalan tanganku. "Bug!"

Seketika hidung lelaki itu mengalirkan dar4h segar. Kubuka ikatan di kaki juga dengan pisau yang sempat dia pegang tadi. Lalu mengacungkan benda taj4m itu pada lelaki di depanku.

"Berani-beraninya kamu menamparku! Belum tau kamu kekuatan ras terkuat di bumi ini, hah!" Tak peduli dengan perut yang sudah terlihat menyembul ini, aku tetap berlagak garang di depan lelaki itu.

"Ampun, Nisa. Ampun! Aku akui kamu memang tidak bisa ku ...."

"Apa!" bentakku lagi. Dan dia makin ciut nyali untuk mendongakkan kepalanya.

"Sekarang, mana kuncinya? Cepetan!"

Pria sok-sokan itu ketakutan. Karena aku sudah mulai menggores sedikit tangannya. Dia lantas menyerahkan kunci kamar kepadaku. Setelah itu, aku pun bergegas keluar dan mengunci dia dari l
Bab Terkunci
Lanjutkan Membaca di GoodNovel
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (1)
goodnovel comment avatar
Mamahnya Rayhan
...️...️...️...️...️
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Bang Juna (Izinkan Aku Memilikimu)   Bab 42

    "Nisa!" panggil lelaki itu lagi. Lelaki bertubuh atletis itu berlari menghampiriku. Dia terengah-engah dengan tatapan haru. Akhirnya, dia menemukanku. Pasti semalam tak bisa tidur. Aku tertawa melihat ekspresi pria itu yang langsung memelukku. Menghujaniku dengan kecupan di setiap inci dari wajahku. "Akhirnya, aku menemukanmu juga. Ya Allah, terima kasih." Kulihat Bang Juna sampai menitikkan air mata. "Abang ...." Dia mulai menatapku seraya merenggangkan pelukan. Terlihat tak mampu berkata, dia kembali mendekapku. "Dari mana sih kamu, Yank. Bikin jantungaaaan terus. Kamu enggak kasihan apa sama Abang? Semalam enggak tidur nyari kamu. Lapor polisi juga udah. Ilang gitu aja enggak ada jejak.""Ceritanya panjang, Bang. Nanti aja di rumah. Kita pulang dulu aja!" "Anak kita gimana, Yank? Kamu enggak pake sendal? Duh, dari mana sih?""Abang sekarang tang cerewet. Dibilang nanti aja ceritanya. Itu mobil papa Angkasa, kan? Di awal Rian tadinya. Terus, dia nyuruh aku bawa pulang.""Apa? R

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-20
  • Bang Juna (Izinkan Aku Memilikimu)   Bab 43

    "Selamat pagi, Kept." Seorang wanita yang tersenyum manis datang lalu duduk di bagian kokpit sebelahku. "Faiza ...." Aku tercengang melihat gadis muda berseragam pilot itu menyapaku. Dia kembali tersenyum. "Akhirnya, bisa duduk di sebelah Mas Juna. Apa kabar, Mas?""Faiza ... kamu pilot juga?" Aku masih terkaget-kaget, tak pernah menyangka. "Iya, Mas. Udah lama ya kita enggak ketemu. Sejak aku pindahan." Dia tersenyum lagi. "Em, iya." Aku agak kaku menjawabnya. Hari itu, aku dan dia menjalankan penerbangan kembali ke Jakarta setelah sebelumnya kami bertemu di Dubai. Dia memang keturunan orang sana. Bapak ibunya campuran sehingga bisa dibayangkan bagaimana wajah gadis itu."Mas Juna masih tinggal di Kebon Jeruk? Atau udah pindah?" tanya dia lagi saat kami sudah landing dan bersiap keluar. "Em, enggak. Aku udah pindah dan tinggal bersama istriku di Botanical Garden." "Duluan ya, Mas." Dia meninggalkan jejak senyuman sesaat sebelum keluar dari pesawat. Aku berusaha tidak terlalu

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-20
  • Bang Juna (Izinkan Aku Memilikimu)   Bab 44

    "Siapa yang datang?" tanyaku pada mereka semua. "Biar kami yang liat. Kalian di sini saja!" balas mama Aida. Dua wanita sepuh itu keluar. Mereka membiarkan kami melepas rindu di kamar ini. Bang Juna pun juga langsung menutup pintu kamar. Mesam-mesem bibirnya, lalu ikut merebahkan diri di sebelahku. "Kangen." Dia tersenyum lagi. "Abang sebenarnya cinta enggak sama aku? Jawab yang jujur!" Entah kenapa aku takut dia berpaling karena bodiku yang sekarang. "Yank, kenapa nanya begitu, sih? Abang kan udah berkali-kali bilang kalau kamu jangan meragukan hati Abang lagi. Demi Allah, demi Rosulullah. Abang sayang sama kamu. Dan anak kita.""Aku jadi kepikiran ucapan mama tadi. Katanya tetangga kita sekarang itu temen Abang sekolah. Laki apa perempuan sih dia?" "Em, perempuan. Tapi, lupain aja. Kan cuman temen sekolah. Ya mau gimana lagi kalau dia udah takdir jadi tetangga kita. Intinya sih kalau Abang, belajar dari yang udah-udah itu saling percaya aja. Pikiran kita mempengaruhi takdir ki

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-20
  • Bang Juna (Izinkan Aku Memilikimu)   Bab 45

    "Nisa," panggil mama dari luar. Saat kakiku tengah diolesin pelembab oleh Bang Juna. "Iya, Ma. Ada apa?" balasku dengan pertanyaan. "Kamu ngapain? Mama sama papa mau melawat di tetangga sebelah." Hah? Aku bingung lantas menatap Bang Juna yang terlihat kaget juga. "Tetangga, Bang? Siapa?" "Enggak tau. Tetangga baru, kah?" Aku dan Bang Juna saling bertanya. Tidak ada kabar soal orang meninggal. Tapi, kenapa mama bilang ....Bang Juna memutuskan untuk berdiri setelah pintu kamar dia buka. Entah apa yang mereka bicarakan, aku tidak begitu dengar. Setelah bicara dengan mereka, Bang Juna kembali lagi ke kamar. "Gimana, Bang?" tanyaku setelah dia datang. "Bukan tetangga sebelah rumah. Tapi sebelah ujung sana. Memang enggak ada pengumuman di masjid, enggan tau kenapa."Aku mengusap-usap lagi perutku yang terasa tendangan makin kuat. Beberapa kali memejamkan mata, menikmati setiap pijatan kaki yang terasa nyaman. "Abang ...." Aku memanggilnya dengan lembut. "Ya, Sayang? Kenapa? Sakit?

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-20
  • Bang Juna (Izinkan Aku Memilikimu)   Bab 46

    "Enggak tau, kan Abang yang mau kasih nama kemarin. Di pikiranku cuman nanya anak cowok." Nisa menyindirku sambil tertawa. Semua orang di ruangan seketika menertawakan kami. Mungkin di pikiran mereka, kami masih seperti pengantin baru yang suka meledek satu sama lain. Soal nama saja masih bingung. Tapi, memang di kepalaku juga belum ada rencana mau dikasih nama siapa anak ini. "Mungkin mama ada saran," ucapku seraya menatap mertua yang kini menyuapi istriku itu. "Ya kalian aja lah yang kasih nama. Mama juga bingung." Wanita tua itu tertawa. Aku yang masih tengah memeluk bayi merah ini lantas memandangi wajah mungil itu. Mirip sekali dia Nisa. Bibirnya lembut, tapi tiba-tiba dia mewek lalu menangis kencang. Tangisannya membuatku panik karena saking kencangnya. "Oeeeee!""Duh, ini gimana, Yank?" Kubawa bayi kecil pada ibunya. "Biar Nisa kasih ASI dulu, Juna!" Mama memintaku memberikan bayi itu pada Nisa. Setelah itu benar saja, terlihat dia seperti kelaparan. Reflek, aku ikut men

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-20
  • Bang Juna (Izinkan Aku Memilikimu)   Bab 47

    "Assalamualaikum?" Malam itu aku sampai di rumah, terlihat ada tamu di ruang tamu. Mereka semua menatapku yang baru saja menjejakkan kaki ke dalam. "Wa'alaykumsalam warahmatullahi wa barokatuh." Nisa dan yang lainnya menjawab. Kupikir mereka datang ke rumah ini untuk menjenguk Nisa yang baru melahirkan. Namun, sepertinya tidak. Ada Vania dan Revan serta dua mertuaku juga di sana. Tapi, Vania terlihat menangis. "Juna, lebih baik kamu ke kamar dulu, ya, Nak!" Mama mertuaku langsung memberitahu. "Iya, Ma." Aku sengaja berjalan dengan pelan agar mendengar percakapan mereka. Tapi, rupanya mereka malah pamitan. Ah, mungkin hanya perasaanku saja. Setelah sampai di kamar, aku melihat baby kecilku sedang tertidur pulang di dalam kelambu. Keranjang bayi lantas kugoyangkannagar dia makin nyenyak tidur. Tak berapa lama, Nisa masuk ke kamar. Dia langsung memelukku dari belakang. Kulepaskan tangannya, lalu memutar badan. Kupeluk dia dari depan. "Cieee, kangen.""Tau aja." Nisa tetap memeluk e

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-22
  • Bang Juna (Izinkan Aku Memilikimu)   Bab 48

    "Yank, kamu izinin enggak aku nemuin dia?" Aku mencoba membujuknya. "Terserah Abang aja lah. Kan udah tau dia itu begitu. Dia juga pernah bilang kalau Abang pernah naksir dia, kan." Nisa masih cemberut, tapi aku terus mendekatinya. "Ya udah, kamu juga ikut aja ke depan. Biar tau apa saja yang dia akan katakan.""Males, ah. Apalagi liat mukanya itu yang suka caper sama Abang." "Hem, jangan gitulah. Kita kan hidup juga bertetangga. Cuek aja. Yang pentingkan Abang milik kamu." Aku menoel dagunya, tapi Nisa tetap kesal. Aku meraih Humaira kecil lagi meskipun dia sedang tidur. Kubawa bayi merah itu keluar kamar. Terlihat ada mama Ayu dan Faiza di ruang tamu sedang mengobrol. "Dalam Islam itu, kalau berteman ya boleh saja. Tapi memang ada batasannya. Apalagi sudah berkeluarga," kata Mama. Aku tidak bertanya langsung pada Faiza sebab dia datang. Tapi, langsung duduk di sebelah mama sambil menepuk-nepuk bayi kecil ini. "Nah, Juna udah dateng. Katakan saja apa keperluan kamu datang ke s

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-22
  • Bang Juna (Izinkan Aku Memilikimu)   Bab 49

    Aku tidak terlalu memikirkan apa yang Revan katakan tadi. Yang penting sekarang keluargaku. Aku tidak peduli mau mereka berpisah atau bagaimana. Yang jelas, perasaanku agak tidak enak kalau urusan dengan mereka. Seperti biasa, aku sibuk dengan jam terbang yang sudah diatur. Setiap momen terkadang kunikmati sambil mendokumentasikannya. Lalu mengirimkan pada Nisa. Begitu juga dengan dia dan bayi kami. Seakan semua kegiatan berjalan dengan biasa, tapi ada yang menghampiriku yang akan bording dengan tangan yang langsung memegangiku. "Mas!""Faiza!" Aku langsung melepaskan tangannya. "Aku boleh bicara sebentar?" Dia mengiba. "Bicara apa? Di sini saja. Seperti yang mama mertuaku katakan kemarin, aku tidak bisa membantu banyak. Kita ada batasan," balasku lagi. "Mas, aku tau kamu dulu suka sama aku. Aku tau kamu masih ada perasaan sama aku sampai saat ini, kan? Aku jadi pilot itu karena kamu loh.""Loh, kok jadi aku? Kamu tau sendiri, kan, kalau aku sudah punya istri. Dan aku hanya cinta

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-22

Bab terbaru

  • Bang Juna (Izinkan Aku Memilikimu)   Bab 104

    Pagi ini aku sangat sibuk dengan kerjaan kantor. Bolak-balik meninggalkan Humaira yang perutnya sudah membesar, rasanya hatiku tak tenang. Dia adalah belahan jiwaku yang di mana, rasa sakit atau apa pun yang menimpanya, aku pasti juga merasakannya. Seperti sekarang ini. Tiba-tiba perutku tak enak saat sedang meeting jam dua siang. Tiba-tiba pula aku ingat perkataanku saat itu kalau andai aku bisa ikut mengurasi rasa sakit melahirkan istriku, aku siap. Tapi, beberapa hari ini rasa sakit aneh ini mulai merajai. Keringat dingin keluar melalui pori-pori saat aku sedang presentasi di depan klien dan atasan. Sampai aku dibilang gerogi juga. Padahal sedang menahan mulas. "Kamu enggak apa-apa, Jay?" tanya atasanku saat kami selesai pertemuan di sebuah gedung. "Enggak, Pak. Aman." Sebisa mungkin aku mengulas senyuman. "Pucet banget mukamu. Sakit? Atau masih ada efek gerogi? Tumben banget kamu," lanjut pria paruh baya dengan setelan jas hitam itu. "Enggak apa-apa, Pak. Saya cuman khawatir

  • Bang Juna (Izinkan Aku Memilikimu)   Bab 103

    "Enak makanannya?" tanyaku saat Humaira menikmati setiap suapan. Dia hanya mengangguk, tapi terus melahap setiap sendok makanan ke mulutnya. Malam itu, tepatnya setelah dua bulan kami tak melihat Mbak Julia datang ke rumah lagi. Hidup kami serasa di dalam surga dunia. Setiap waktu sangat berharga bagiku. Apalagi, dia sangat ingin dimanja setiap saat. "Habis ini jalan ke mana, Dek?" "Aku udah kenyang. Tapi, baiknya jangan langsung pulang," balasnya sangat menohok. Pasti ada udang di balik batu. "Uhuk." Aku hampir saja menyembur karena tersedak. "Pelan-pelan, Mas!" Dia meraih tisu, lalu mengusap bibirku. "Habisnya, kamu lucu. Masih mau jalan? Mau nyari apa?""Enggak. Cuman kan habis makan, jangan duduk aja. Jalan-jalan lagi, kata orang."Aku menahan tawa. "Pengen apa, sih? Bilang aja! Mas jabaning, kok.""Beneran?" Kedua matanya berbinar-binar. "Tuh, kan, pasti pengen sesuatu. Mau apa?" "Aku mau ... ngasih Mas ini." Dia menyodorkan kotak persegi yang ukurannya sebesar kotak nasi

  • Bang Juna (Izinkan Aku Memilikimu)   Bab 102

    Aku memeluk raga yang dingin malam itu. Dia memunggungiku karena curiga. Tak masalah dia curiga, dan memang pantas dia seperti itu karena selama ini, aku belum bisa sepenuhnya jujur. Aku tidak tega dengan Mbak Julia, karena dia yang selama ini merawat kakak kandungku yang kelakuannya seperti itu. Ingin mengabaikan, tapi selalu merasa bersalah. Takut memutuskan silaturahmi. Tadi dia menelponku karena ingin tinggal di sini. Memaksa agar aku mengizinkan dia satu atap denganku dan Mai. Tapi, aku menolaknya. Tidak masalah kalau setiap bulan aku kirim uang padanya. Asalkan di tidak meminta tinggal di sini. Namun, yang ada malah Mai yang curiga. Dia pasti mikir yang enggak-enggak. Lagipula, ini memang tugasku juga meyakinkan dia kalau aku hanya mencintai dia. "Dek ....""Hem." Dia masih menjawab meskipun dingin. "Mas minta maaf, ya.""Bukan hari lebaran."Aku ingin tertawa rasanya. "Mas tadi ditelpon Mbak Julia. Mas jujur, loh. Jangan marah dulu.""Males.""Dengerin, Dek. Mas nolak dia,

  • Bang Juna (Izinkan Aku Memilikimu)   Bab 101

    "Kalian mau ngapain sih, Mas? Aku boleh ikut enggak? Perasaanku enggak enak kalau kalian ketemuan berdua gitu."Sambil sarapan, aku mengutarakan isi hatiku pada Mas Jaya. Lelaki gagah yang tampak rapi itu mengulas senyuman. Sambil mengunyah, dia membalas, "Kamu tenang aja, Dek. Mas juga tau siapa dia. Mas enggak akan tanggapi dia."Tak lama, ponsel di dalam saku Mas Jaya bergetar. Dia menatap layar ponselnya seraya mengernyit. "Baru juga diomongin, dia udah telpon.""Siapa? Mbak Julia?" Aku langsung paham. "Iya." Mas Jaya langsung mengangkat. "Assalamualaikum? Ada apa, Mbak?"Awalnya aku acuh, tak mau dengar karena kesal duluan. Namun, setelah melihat ekspresi Mas Jaya yang kaget dengan raut tegang. "Iya, Mbak. Aku ke sana sekarang." Setelah itu dia menutup panggilan. Dia menatapku lalu berkata, "Dek, kamu mau ikut enggak?""Ke mana?" Pura-pura tidak tahu saja lah aku. "Mas Fandi meninggal. Mbak Julia bingung dan minta aku untuk ikut urus pemakaman.""Innalillahi. Serius, Mas?" Ak

  • Bang Juna (Izinkan Aku Memilikimu)   Bab 100

    "Maaf ya, Mas." Aku membuka pintu dengan wajah menunduk. Mas Jaya tersenyum membalasnya. "Enggak apa-apa. Lagian, masih banyak waktu juga. Oh ya, kita istirahat aja, ya. Aku tau, kamu pasti capek."Lelaki itu menarik tanganku dan mengajaknya ke atas tempat tidur. Dia mengangkat kakiku lalu menutupinya dengan selimut. Pintu dia kunci, lalu lampu utama dia matikan. Seperti tidak ada apa-apa. Dadaku masih berdebar-debar saat dia mulai naik ke atas tempat tidur. Aroma wangi dari parfumnya membuatku gugup. "Dek."Aku mendelik sambil menelan ludah. "Iya, Mas?""Kamu enggak mau peluk aku?" Dia mengulas senyuman. Tatapannya masih ke atas, pada langit-langit kamar setelan merebahkan diri. "Aku ... aku ...." Kenapa harus tanya, sih. Udah pasti mau lah. Tapi aku malu kalau diminta duluan. Masa laki-laki tidak paham begituan. Ya harusnya dia lah yang mulai. "Kalau enggak mau, juga enggak apa-apa. Aku tidak memaksa." Lah, malah ngambek dia. "Bukan itu." Aku bingung jadinya. Apa dia tidak paha

  • Bang Juna (Izinkan Aku Memilikimu)   Bab 99

    "Aku kenapa?" Sayup-sayup mata elang lelaki itu tak lagi taj4m. Dia terkulai lemas dia atas ranjang datar. Bibirnya semu putih pucat, menandakan keadaannya yang lemah. "Mas lagi di rumah sakit. Tadi tiba-tiba pingsan. Sekarang gimana rasanya? Apanya yang sakit?" Aku tanya dia balik. "Enggak ada. Asalkan liat kamu, semua sakitku hilang." Bibirnya melengkung manis. "Lagi sakit, bisa aja bercandanya. Lagian kenapa sih bisa sampe kena asam lambung? Mas enggak perhatiin kondisi diri sendiri, ya.""Aku kepikiran kamu terus. Aku takut kamu ....""Kenapa jadi overthinking begini sekarang?" Aku menghela napas. "Kapan kita nikahnya? Aku pengen cepet-cepet." Dia menyentuh tanganku. "Kita enggak akan nikah kalau Mas belum sembuh. Perhatikan dulu kondisi diri sendiri, sebelum mengurusi aku." "Iya-iya, Tuan Putri." Dia tertawa.Dua hari lelaki itu dalam perawatanku dan kini, agak aneh saja sifatnya. Makin manja dan ingin aku agar selalu di sampingnya. "Aku harus periksa pasien lagi, Mas." A

  • Bang Juna (Izinkan Aku Memilikimu)   Bab 98

    "Mai, kamu harus segera memutuskan. Karena ini menyangkut masa depan. Terus, ta'aruf itu juga bukan jalan yang ditempuh dengan suka-suka. Ini melibatkan Allah, Nak."Mama menyentuh pundakku saat aku melamun memikirkan semua itu di dalam kamar. Suasana pagi yang cukup dingin setelah hujan membuatku malas beranjak dari sana. "Ini lagi aku pikirkan, Mah. Kenapa harus Mas Jaya lagi?" Aku meratapi nasibku sendiri. "Kamu tau, enggak, Mai? Dulu, Mama sama papa itu terpisah beberapa bulan lamanya. Mama yakin papa kamu masih hidup. Dan saat peristiwa itu ditutup, karena tak ada harapan lagi. Tapi, Allah mentakdirkan lain. Papa kamu ternyata masih hidup dan kembali lagi. Kamu jangan salah sangka soal takdir Tuhan. Karena semua itu banyak hikmahnya. Jangan-jangan, kamu memang jodoh Jay yang sesungguhnya.""Tapi, Ma. Mau harus gimana? Pasti dia juga kaget tadinya karena ternyata, akhwat yang dia inginkan bukan yang jauh lebih baik. Tapi mantan istrinya sendiri.""Kamu itu su'udzon aja! Buktinya

  • Bang Juna (Izinkan Aku Memilikimu)   Bab 97

    "Jadi enggak ke sini?" Sebuah pesan akhirnya sampai juga padaku. Pesan singkat melalui aplikasi hijau itu dari Ustadz Firman yang kukenal belum lama ini. "Insyaallah, Ustadz. Tapi, saya deg-degan, nih. Saya takut mengecewakan akhwatnya.""Jangan khawatir, Mas. Kan saya temani nanti. Ada istri saya juga yang menemani dia.""Kalau dia enggak cocok sama saya gimana?" "Ya enggak masalah. Namanya juga masih nadzor. Mas banyakin dzikir aja. Siapa tau ini jawaban atas doa-doa Mas Jay selama ini."Menunggu pesan balasan dari ustadz itu, dadaku berdebar-debar. Seperti sedang menunggu hasil ujian saja. "Ya sudah, Ustadz. Saya berangkat sekarang.""Nah, gitu dong! Dari tadi kami tunggu ini. Sebagai laki-laki memang kita harusnya tidak mengecewakan pihak perempuan. Apa pun yang terjadi nanti, yakinlah kalau semua itu bagian dari ikhtiar kita. Semoga sukses ya, Mas.""Makasih, Ustadz."Pagi itu aku masih belum pakai baju setelah mandi karena menunggu balasan dari sang ustadz yang kebetulan memb

  • Bang Juna (Izinkan Aku Memilikimu)   Bab 96

    "Lu enggak mau nikah lagi gitu? Udah lama lu duda, Bro!" Pertanyaan menohok itu membuatku tersedak saat makan siang. Aku pun langsung meneguk minuman segar di atas mejaku. "Apaan, sih! Rese. Enggak ada kek pertanyaan yang lebih berbobot daripada itu?" Aku menghela napas. "Bukannya gitu, lu entar ada acara di kantor, enggak bawa pasangan? Lu kek orang ngenes tau enggak, Bro?" Ada saja pertanyaan seperti ini lagi. Sampai tak nafsu makan lagi aku. Kuletakkan sendok garpu lagi, lalu mengusap kedua sudut bibir. "Biarin aje. Enggak usah ngurusin gue. Lagian juga gue udah enggak minta lagi punya istri." Aku menjawab asal saja. Niatnya agar Reno, rekan kerjaku itu berhenti bicara. "Buset, dah! Lu yang bener aje? Laki-laki normal itu pasti ada saat-saatnya pengen anu," sindirnya lagi. "Anu apaan? Jangan ngawur! Aku puasa kalau lagi pengen gituan. Istighfar, nyadari kalau enggak punya istri." Lagi-lagi aku mengingat masa lalu. "Ya udah, buruan lu nyari kek biar enggak puasa terus. Lu ja

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status