“A—a—apa yang.” Sulit sekali menyelesaikan kalimat yang ada di mulutku. Tenggorokanku tiba-tiba mendadak kering. Kepalaku langsung pusing. Tuhan, apa yang kulihat di depan mataku ini?
Kenapa Tia bisa melakukan perbuatan laknat ini?Tuhan, selama ini, aku hanya membaca berita di gadget atau menonton di televisi. Lalu, sekarang?Setelah beristigfar berkali-kali di dalam hati dan menarik napas perlahan, aku baru bisa menguasai diri. “Apa yang kalian lakukan?”Keduanya saling berpandangan.Aku terisak lagi. Entah mengapa rasa marah, kesal, dan tidak percaya di dalam hati bikin aku ingin menangis meraung-raung.“Tia, Bang Udin, apa yang kalian lakukan? Kalian telah berzina!” Kalimat itu sengaja aku keluarkan agar mereka sadar dengan kesalahan yang telah diperbuatnya. “Kalian akan mendapatkan dosa besar kalau sampai benar-benar melakukan perkara haram ini. Bahkan kalian bisa diarak keliling kampung. Dan kamu Tia. Kamu bisa hamil dan berhenti sekolah.”Sesak kembali memenuhi dadaku. Bagaimana bisa adik kandungku sendiri melakukan dosa sebesar ini? Sebagai kakak, kemana saja aku selama ini?Bang Udin segera turun dari ranjang kecil Tia. Dia mengambil baju dan celana panjangnya yang berserakan di lantai.“Dan kau Bang Udin. Kenapa kau tega mengkhianati Kak Dina? Di mana rasa tanggung jawabmu?”Tia menangis.“Ini bukan salahku. Tia yang memintaku melayaninya,” ucap Bang Udin tegas. Di wajah tegas itu, tidak sedikit pun tampak ada penyesalan atau rasa bersalah.“Jahat kau, Bang!” teriakku. “Seharusnya kau yang melindungi Tia bukan kau yang mempermainkannya. Tuhan, apa jadinya kalau Kak Dina tahu semua yang terjadi?” Rasa amarah tiba-tiba menguasai diriku. Jika tidak mengingat kekuatan dan usianya, rasanya ingin kujambak atau kucakar saja wajahnya itu.“Makanya Kakak jangan katakan apa-apa atau kau akan mati!” udara di sekelilingku seketika menghilang. Aku sesak, sulit bernapas mendengar kalimat yang keluar dari mulut Tia.“Apa yang kamu katakan, Tia? Sadar kamu dengan yang kamu ucapkan? Kamu baru saja melakukan kesalahan fatal!”Tia menghapus sisa air matanya. Dia buru-buru mengambil baju kaos lengan pendek dan menggunakannya.Bersama Bang Udin, Tia mendekatiku. Aku mundur beberapa langkah. Apa yang akan mereka lakukan.“Ingat, Kak. Jangan pernah buka mulut!” ancam Tia kemudian berlalu dari hadapanku.Namun, sebelum mereka benar-benar pergi, aku mencegah langkah Tia. “Tia sadar!” teriakku.“Aku sadar Kak Wulan. Aku tahu dengan semua yang kulakukan,” ucapnya lagi.“Kalau kamu sadar, seharusnya kamu tahu kalau apa yang kamu lakukan itu salah. Bang Udin bukan pasangan halalmu. Dia itu Abang iparmu. Dia milik Kak Dina.”“Peduli apa aku, Kak. Hanya Bang Udin yang memberikan aku cinta dan kasih sayang yang selama ini aku butuhkan.”Ucapan Tia membuat Bang Udin tampak sombong. Dadanya benar-benar membusung ke depan. Dia juga mengelus-elus wajah Tia.“Abang sayang kamu,” ucapnya. Kemudian, keduanya berciuman. Ciuman yang bikin aku ingin muntah. Untung bibir mereka hanya bertemu sesaat.Setelah mereka pergi, aku seperti orang yang kehilangan oksigen. Aku bingung harus berbuat apa. Satu sisi dalam diriku menyatakan kalau aku harus cari cara untuk menghentikan mereka. Namun, sisi lainnya juga ada rasa malas untuk mengurusi mereka.Dengan langkah lunglai, akhirnya aku memutuskan untuk masuk ke dalam kamar. Di tempat ternyaman itu, aku coba menjernihkan pikiranku.Saat sedang duduk di pinggir kasur, aku teringat bagaimana Tia kecil sudah ditinggalkan ayah untuk selama-lamanya.Waktu itu, aku sudah lebih besar dari Tia. Aku sudah mulai mengerti segalanya. Termasuk, saat ayah ditemukan di laut dan dibawa pulang ke rumah tanpa nyawa lagi.Ibu sangat terpukul. Semua orang bersedih. Namun, setiap hari ada saja orang yang datang untuk memberikan bantuan. Ada yang memberikan makanan, ada yang memberikan pakaian, pokoknya hidup kami selalu dibantu.Akan tetapi, ibu tidak ingin berpangku tangan. Setelah tujuh hari ayah meninggal, ibu sudah membuat kue untuk mencari rezeki tambahan.Aku yang sudah mulai tahu kondisi rumah, juga ikut membantu berjualan kue itu.Kehidupan kami tetap berjalan seperti biasa. Ibu tetap berusaha hadir buat aku dan Tia. Sedangkan Kak Dina baru saja melahirkan anak pertamanya dan tinggal di rumah ibu mertuanya.“Aku istri muda Bang Sam. Aku baru tahu kalau Bang Sam sudah meninggal. Aku ke sini ingin minta warisan yang ditinggalkan Bang Sam untuk salah satu anaknya yang sudah saya lahirkan.” Seorang wanita cantik mendatangi rumah kami di tengah siang yang terik. Dia bersama seorang anak kecil yang kira-kira seumuran dengan Tia.“Kau jangan mengada-ada, suamiku orang baik, tidak mungkin dia melakukan hal yang tidak senonoh,” jawab ibu dengan tegas.Namun, wanita muda itu tampak sudah mempersiapkan segalanya. Dia mengeluarkan banyak foto-fotonya bersama ayah. Aku yang hanya bisa mengintip dari balik tirai bisa melihat wajah murka ibu saat melihat foto pernikahan ayah dan wanita itu.“Kami memang hanya menikah sirih,” ucap perempuan itu lagi. “Namun, anak ini tetap mendapatkan hak atas harta Bang Sam.”“Harta apa? Kau lihat rumah kami seperti ini? Apa yang ditinggalkan Sam selain kesengsaraan.” Amarah ibu langsung tersulut.Sambil bercekak pinggang, ibu mengusir wanita itu pergi dari rumah.“Kalau kau memang menuntut hak kau untuk anak haram itu!” ibu menunjuk anak laki-laki yang dibawa perempuan itu. “Kau jangan minta di sini. Tapi, pergi kau ke kuburan laki-laki biadab itu. Kau minta dengannya.” Saat mengucapkan itu, wajah ibu kulihat benar-benar memerah, bahkan tampak berubah seperti arang yang baru selesai dibakar.Sejak saat itu kehidupan kami berubah. Di rumah ini tidak ada lagi tawa, yang ada hanya ada kemarahan, bentakan, pukulan dari ibu.“Malam ini Kak Dina tidur sana ya, Bang?”Di tengah lamunanku, aku mendengar suara berisik yang mengusik telingaku.“Iya, Sayang. Tadi dia baru saja menelepon. Sekarang kita bebas.”“Benar banget , Bang. Kamar siapa kita malam ini?”“Di kamar aku aja, yuk! Kamar kamu tempat tidurnya sempit, sulit buat guling-guling.”Keduanya terdengar terkekeh kecil.Setelah keduanya berlalu, hati kecilku benar-benar meronta tidak terima. Aku tidak boleh diam. Bukankah bencana itu dimulai dari tempat orang saleh yang membiarkan kemungkaran?Dengan sigap aku membawa HP-ku ke kamar Kak Dina. Kini, aku sudah mengatur rencana. Diam-diam, aku akan merekam aksinya sebagai barang bukti. Dengan begini, mereka tidak akan bisa mengelak lagi dan aku yakin setelah itu mereka akan berhenti melakukan dosa besar ini. Bahkan, aku akan mengancam mereka jika tidak benar-benar bertobat.Tiba di depan kamar Kak Dina, aku mulai mengatur napas. Pelan, aku mendorong pintunya. Sayangnya, pintu kamar itu terkunci.Aku kembali menarik napas agar tidak panik. Setelah mataku menelusuri seluruh bagian kamar, aku dapat ide.Dengan cekatan, aku mengangkat kursi yang ada di dapur. Pelan, aku meletakkan kursi itu di pintu. Dari celah lubang angin yang ada di atas pintu kamar ini, aku akan merekam aksi mereka.Sebelum naik, aku benar-benar memastikan semuanya aman.Suara-suara di dalam kamar juga tidak terdengar lagi. Ini tandanya mereka sudah melakukan hal-hal yang tidak senonoh. Dengan begitu, video yang kuambil pasti sudah tepat. Mereka tidak akan bisa mengelak.“Bismillah,” ucapku pelan sambil naik ke atas kursi.Bagus. Mereka sedang berciuman. Sambil memejamkan mata, aku tidak ingin melihat perbuatan keji mereka. Aku mengarahkan kamera gadgetku ke arah mereka.Namun, tiba-tiba terdengar bunyi benda patah. Dalam seketika tubuhku goyang.Tanpa bisa dicegah, tubuhku melayang begitu saja dan terhempas ke lantai.Belum hilang rasa sakit di punggungku, Bang Udin dan Tia sudah ada di hadapanku sambil bertepuk tangan dengan senyum penuh kemenangan.“Itu balasan bagi orang yang sudah kepo sama kehidupan orang lain,” ucap Tia.“Tapi, kalian sudah keterlaluan. Kalian tidak boleh melakukan ini. Kalian telah berzina. Ini dosa besar,” ucapku, coba menyadarkan mereka dari kesalahan yang telah mereka perbuat.“Tahu apa kau tentang dosa, Kak?” Tia berjongkok di depanku. “Hidup kau sempurna. Kau memiliki segalanya. Aku?” Saat mengucapkan ini, matanya tampak berkaca-kaca. Dia seperti menyimpan suatu luka yang mendalam. Apakah itu disebabkan ulah ayah? Apa karena dia tidak diperhatikan oleh ibu?“Kau juga bisa punya kehidupan sempurna Tia. Kakak janji akan bantu kamu untuk kuliah.”Dia tersenyum sesaat. “Tapi, aku nggak mau," jawabnya. Kemudian, Tia mengulurkan tangannya di hadapanku.Aku terdiam. Sungguh, aku sangat bingung dengan semua keadaan ini. Tia yang tiba-tiba ketus. Tia yang ....“Nggak mau dibantu?” ucap Tia.Mendengar ucapan Tia, aku buru-buru menerima uluran tangannya.Seketika, saat aku hendak berdiri, dia memutar tanganku ke
Aku terbangun dalam keadaan badanku sakit semua. Ini pasti akibat ulah Bang Udin dan Tia dan perlawananku kemarin.Namun, anehnya, sekarang aku tidak lagi terikat pada tempat tidur. Hanya, kedua pergelangan tangan dan kakiku yang memerah.Saat kesadaranku benar-benar pulih pun, aku melihat diriku sudah menggunakan baju piama tidur yang lengkap. Tubuhku juga ditutupi dengan selimut tidur yang biasa kugunakan.Aku beranjak turun dari atas ranjang.“Astagfirullah, badanku rasanya sakit semua,” keluhku sambil berjalan menuju ke dapur. Aku mau minum. Tenggorokanku terasa benar-benar kering.“Baru bangun kau, Wulan?” tanya ibu, orang pertama kali kutemui pagi ini.“Iya, Bu,” jawabku lemas.“Tumben kau tidur nyenyak sekali, sampai-sampai ibu bangunkan berkali-kali, tapi kau tidak bangun.”Aku melihat sekeliling. Apa aku katakan saja apa yang terjadi kemarin malam? Tapi, dari mana aku harus memulainya.“Hei, ditanya kok, malah termenung.” Senggolan ibu menyadarkanku kembali.“Eh, itu, Bu. Ti
Setelah membaca pesan dari Tia, aku meminta Kak Dina untuk langsung keluar dari kamarku. Sungguh, aku takut tidak tahan untuk tidak mengatakan yang sebenarnya.Namun, aku rasa lebih baik tidak mengambil risiko, kan, dari pada terjadi apa-apa. Melihat ulah Tia kemarin, aku jadi yakin kalau dia akan tega melakukan apa saja untuk menutupi kejahatannya.Jadi, seharian ini, aku memutuskan untuk diam dan menutup mulut dulu. Setelah ini, aku akan berpikir lagi. Intinya, aku harus menyadarkan Tia dan Bang Udin untuk kembali ke jalan yang benar.Malam ini pun, aku memutuskan untuk tidur lebih awal. Pagi-pagi sekali, aku langsung pergi ke sekolah. Aku memutuskan untuk sarapan di kantin saja.“Benar kan, apa yang aku katakan.” Seorang guru langsung berbisik pada teman di sebelahnya begitu aku memasuki kantor. Ibu-ibu di sebelahnya pun tampak mengangguk-angguk.Si guru kepo yang sering mengomentariku pun berkata dengan lantang, “Tampangnya aja yang MasyaaaaAllah. Tapi, ternyata ...” Namun, lagi
Pikiranku bertambah kalut. Dadaku semakin sesak. Air mataku semakin deras. Setelah berteriak menumpahkan segala emosi, bukannya tenang, aku malah tambah uring-uringan.Dengan segera, kulajukan motor metikku.Setibanya di rumah, aku sudah tidak tahan lagi. Aku menangis, membentak, dan marah. “Kemana Tia? Kenapa dia sejahat itu. Bukankah dia yang telah selingkuh dengan Bang Udin. Lalu, kenapa aku yang malah difitnah.”“Apa yang kamu katakan, Lan? Kamu kenapa? Kenapa pula kamu pulang sepagi ini?” Kak Dina menghampiriku.Aku duduk dan mengatur napas. “Kakak—ta—hu, Bang—Udin dan Tia—sudah—selingkuh,” ucapku terbata-bata.“Ngomong yang jelas, Lan! Apa maksudmu?”Kak Dina juga terlihat tidak sabaran. Dia sampai berdiri mendekatiku.Aku menarik napas kembali, mencoba untuk tenang, agar bisa menjelaskan dengan benar.“Kak Dina tahu, selama ini, Bang Udin dan Tia sudah selingkuh. Mereka bahkan sudah tidur bersama.”Wajah Kak Dina seketika memerah. Ibu yang tampak hendak pergi ke depan untuk
“Tik ... Tik ... Tik ....” Sebuah suara memaksaku untuk sadar. Perlahan, aku mencoba membuka kelopak mata yang terasa begitu berat.Saat mata ini mulai terbuka, ada sebuah cahaya yang begitu terang dan bikin silau.“Dimana aku sekarang?” Aku berusaha untuk bicara. Namun, semua tetap senyap. Hanya ada suara udara yang berhembus.Kembali, aku berusaha untuk membuka mata. Saat cahaya itu berhasil beradaptasi, kudapati semua serba putih-putih.Di surgakah aku saat ini? Apa sekarang aku sedang di alam kubur? Namun, kenapa terang sekali. Bukankah kuburan itu tempat yang sangat gelap? Kita hanya ditemani oleh cacing, ular, dan bintang yang hidup di tanah lainnya?Aku berusaha untuk menoleh ke kanan atau ke kiri, tetapi leherku rasanya sakit sekali. Seperti sulit untuk digerakkan.“Selamat pagi, Mbak, sudah sadar, ya?” Seorang wanita masuk dengan menggunakan seragam putih-putih.Berarti aku masih hidup sekarang. Tabrakan kemarin itu tidak membuat nyawaku melayang. Maka, aku kembali mencoba
“Mbak Wulan tadi mau ngomong apa?” Bu Mila meraba lenganku sambil tersenyum.Astagfirullah, Bu Mila pasti menangkap gelagatku. Aku merasa sangat malu. Seharusnya aku bisa menjaga diri dan pandangan.“Mbak Wulan sudah sadar?” Mas Lukman meletakkan buah yang dibawanya ke meja di samping kepalaku.Aku tidak menjawab. Entah mengapa hatiku rasanya berbunga-bunga dan perasaan itu tidak bisa kusembunyikan. Bahkan rasa sedih tadi seolah-olah sirna begitu saja. Apakah ini yang dinamakan cinta?Tidak boleh. Aku tidak boleh seperti ini. Bagaimana kalau ternyata Mas Lukman tidak punya perasaan padaku? Aku bisa kecewa, kan?“Hm, hm, hm.” Bu Mila berdehem beberapa kali. “Sepertinya saya tidak diperlukan lagi di sini?”“Hm, itu, hm.” Aku jadi benar-benar gugup.“Kapan Mbak Mila boleh kembali?” Mas Lukman langsung mengambil alih, membuatku terasa lebih baik dan terlindungi.“Nanti Mas Lukman tanya sendiri pada Susternya saja,” jawab Bu Mila.“Kata susternya, keadaan saya sudah lebih baik. Kalau tidak
Mas Lukman benar-benar memberiku pekerjaan. Dia memintaku menjadi administrasi di kantornya. Apalagi aku jurusan Akuntansi. Jadi, aku juga diminta untuk merekap data keuangan dari setiap sekolah yang masuk.“Selama ini, memang saya yang meng-handle semuanya. Namun, sekarang saya rasa, saya harus lebih banyak waktu untuk keluarga,” ucapnya.Eh, sebentar, keluarga? Apa mas Lukman sudah menikah? Kalau dilihat dari segi ekonomi, memang sepantasnya Mas Lukman sudah mempunyai istri. Dia sudah terlihat begitu mapan dan dewasa. Perempuan mana sih, yang tidak mau dengan laki-laki seperti Mas Lukman. Jadi, dia tinggal tunjuk perempuan mana yang mau dia jadikan istri.Namun, kenapa Bu Mila tetap menjodohkanku? Apa yang dimaksud Mas Lukman keluarga itu ayah dan ibunya?Astagfirullah, kenapa aku malah mencoba mencari pembenaran seperti ini? Memangnya apa urusanku dengan status Mas Lukman. Aku kan hanya mencari pekerjaan untuk menyambung hidupku, kan, seharusnya?“Bagaimana kamu mau bekerja dengan
Setelah membaca pesan Tia, aku memilih untuk tidak membalasnya. Biarkan saja dengan permainannya sendiri. Meskipun, sebenarnya aku juga penasaran. Apa penyebab anak itu bisa berubah seperti itu? Namun, dia kembali mengirim pesan. “Benar kan, kalian tidak peduli.”“Bagaimana Kakak mau peduli kalau kamu tidak cerita?” Akhirnya aku terpancing untuk membalasnya kembali.“Sudahlah. Aku sudah hidup bahagia dengan Bang Udin,” balasnya lagi.Ya sudah, hiduplah kamu dengan kemaksiatan Tia. Tunggulah Tuhan membalas perbuatanmu. Selain itu, aku akan berusaha juga menghentikan maksiat yang kamu lakukan. Lihat saja suatu hari nanti.Tiba-tiba seseorang mengetuk pintu kamar. “Assalamualikum. Mbak Wulan sudah siap?” Mas Lukman mengintip di depan pintu.“Motornya sudah selesai diperbaiki, Pak?”“Sudahlah pakai Mas saja,” ucapnya sambil tersenyum. “Alhamdulillah sudah. Jadi, kita mau langsung berangkat atau mau ke rumah Bu Mila dulu?”Eh, aku sampai lupa mau minta tolong sama Mas Lukman untuk diambil
Setelah Mas Lukman pergi, aku bergegas menuju kamar mandi. Aku harus sudah pergi sebelum kantor ini dipenuhi para karyawan. Tidak enak juga rasanya jika aku berada di sini, takut jadi fitnah bagi Mas Lukman.Namun, belum selesai aku mengganti pakaian setelah mandi, pintu kamarku sudah diketok seseorang.Eh, apakah itu Mas Lukman? Tapi, kenapa dia tidak mengucapkan salam.Karena pintu terus diketok dan makin hari makin keras, aku bergegas menggunakan baju dan mengambil jilbab langsung yang memang kuletakkan di tempat yang mudah kuraih.“Sebentar,” ucapku sambil tergopoh-gopoh membuka pintu.Namun, saat sekat itu terbuka, aku terkejut bukan main. Di hadapanku ada seorang ibu paruh baya yang rambutnya sudah tampak memutih.Dia memandangku dengan teliti dari atas sampai ke bawah.“Kamu yang bernama Wulan?” tanyanya dengan nada yang menurutku tidak terlalu bersahabat. Sebab, tidak ada senyum yang tersungging di wajahnya.Aku mengangguk sambil mencoba tersenyum. Dengan sedikit gugup, aku b
“Assalamualaikum anak papa. Apa kabar semuanya? Bagaimana dengan sekolahnya hari ini?” Mas Lukman langsung menghampiri anak-anaknya sambil menciumnya secara bergiliran.Aku merasa cemburu. Aku merasa iri. Kenapa bukan anak-anak yang lahir dari rahimku yang mendapatkan perlakuan seperti itu?Lukman memang laki-laki yang baik dan sempurna. Pasti dia mendapatkan wanita yang baik juga. Apa mungkin Tuhan memintaku untuk memperbaiki diri agar bisa mendapatkan laki-laki sehebat Mas Lukman?“Papa kemana saja? Kenapa sudah beberapa hari ini tidak pulang?” protes anak perempuan yang paling besar.“Papa masih ada urusan di sekolah dan diluar, Nak. Kalian sudah makan?” Mas Lukman menjelaskan pada anaknya tanpa berbohong.Dia benar-benar meladeni anaknya. Padahal, kebanyakan orang tua saat ini malas melayani anak mereka, kan? Saat anak-anak mereka bertanya, mereka akan menjawab asal-asalan. Yang lebih parahnya lagi, ada orang tua yang malah mengusir anaknya, menyuruh mereka pergi karena dianggap m
Setelah membaca pesan Tia, aku memilih untuk tidak membalasnya. Biarkan saja dengan permainannya sendiri. Meskipun, sebenarnya aku juga penasaran. Apa penyebab anak itu bisa berubah seperti itu? Namun, dia kembali mengirim pesan. “Benar kan, kalian tidak peduli.”“Bagaimana Kakak mau peduli kalau kamu tidak cerita?” Akhirnya aku terpancing untuk membalasnya kembali.“Sudahlah. Aku sudah hidup bahagia dengan Bang Udin,” balasnya lagi.Ya sudah, hiduplah kamu dengan kemaksiatan Tia. Tunggulah Tuhan membalas perbuatanmu. Selain itu, aku akan berusaha juga menghentikan maksiat yang kamu lakukan. Lihat saja suatu hari nanti.Tiba-tiba seseorang mengetuk pintu kamar. “Assalamualikum. Mbak Wulan sudah siap?” Mas Lukman mengintip di depan pintu.“Motornya sudah selesai diperbaiki, Pak?”“Sudahlah pakai Mas saja,” ucapnya sambil tersenyum. “Alhamdulillah sudah. Jadi, kita mau langsung berangkat atau mau ke rumah Bu Mila dulu?”Eh, aku sampai lupa mau minta tolong sama Mas Lukman untuk diambil
Mas Lukman benar-benar memberiku pekerjaan. Dia memintaku menjadi administrasi di kantornya. Apalagi aku jurusan Akuntansi. Jadi, aku juga diminta untuk merekap data keuangan dari setiap sekolah yang masuk.“Selama ini, memang saya yang meng-handle semuanya. Namun, sekarang saya rasa, saya harus lebih banyak waktu untuk keluarga,” ucapnya.Eh, sebentar, keluarga? Apa mas Lukman sudah menikah? Kalau dilihat dari segi ekonomi, memang sepantasnya Mas Lukman sudah mempunyai istri. Dia sudah terlihat begitu mapan dan dewasa. Perempuan mana sih, yang tidak mau dengan laki-laki seperti Mas Lukman. Jadi, dia tinggal tunjuk perempuan mana yang mau dia jadikan istri.Namun, kenapa Bu Mila tetap menjodohkanku? Apa yang dimaksud Mas Lukman keluarga itu ayah dan ibunya?Astagfirullah, kenapa aku malah mencoba mencari pembenaran seperti ini? Memangnya apa urusanku dengan status Mas Lukman. Aku kan hanya mencari pekerjaan untuk menyambung hidupku, kan, seharusnya?“Bagaimana kamu mau bekerja dengan
“Mbak Wulan tadi mau ngomong apa?” Bu Mila meraba lenganku sambil tersenyum.Astagfirullah, Bu Mila pasti menangkap gelagatku. Aku merasa sangat malu. Seharusnya aku bisa menjaga diri dan pandangan.“Mbak Wulan sudah sadar?” Mas Lukman meletakkan buah yang dibawanya ke meja di samping kepalaku.Aku tidak menjawab. Entah mengapa hatiku rasanya berbunga-bunga dan perasaan itu tidak bisa kusembunyikan. Bahkan rasa sedih tadi seolah-olah sirna begitu saja. Apakah ini yang dinamakan cinta?Tidak boleh. Aku tidak boleh seperti ini. Bagaimana kalau ternyata Mas Lukman tidak punya perasaan padaku? Aku bisa kecewa, kan?“Hm, hm, hm.” Bu Mila berdehem beberapa kali. “Sepertinya saya tidak diperlukan lagi di sini?”“Hm, itu, hm.” Aku jadi benar-benar gugup.“Kapan Mbak Mila boleh kembali?” Mas Lukman langsung mengambil alih, membuatku terasa lebih baik dan terlindungi.“Nanti Mas Lukman tanya sendiri pada Susternya saja,” jawab Bu Mila.“Kata susternya, keadaan saya sudah lebih baik. Kalau tidak
“Tik ... Tik ... Tik ....” Sebuah suara memaksaku untuk sadar. Perlahan, aku mencoba membuka kelopak mata yang terasa begitu berat.Saat mata ini mulai terbuka, ada sebuah cahaya yang begitu terang dan bikin silau.“Dimana aku sekarang?” Aku berusaha untuk bicara. Namun, semua tetap senyap. Hanya ada suara udara yang berhembus.Kembali, aku berusaha untuk membuka mata. Saat cahaya itu berhasil beradaptasi, kudapati semua serba putih-putih.Di surgakah aku saat ini? Apa sekarang aku sedang di alam kubur? Namun, kenapa terang sekali. Bukankah kuburan itu tempat yang sangat gelap? Kita hanya ditemani oleh cacing, ular, dan bintang yang hidup di tanah lainnya?Aku berusaha untuk menoleh ke kanan atau ke kiri, tetapi leherku rasanya sakit sekali. Seperti sulit untuk digerakkan.“Selamat pagi, Mbak, sudah sadar, ya?” Seorang wanita masuk dengan menggunakan seragam putih-putih.Berarti aku masih hidup sekarang. Tabrakan kemarin itu tidak membuat nyawaku melayang. Maka, aku kembali mencoba
Pikiranku bertambah kalut. Dadaku semakin sesak. Air mataku semakin deras. Setelah berteriak menumpahkan segala emosi, bukannya tenang, aku malah tambah uring-uringan.Dengan segera, kulajukan motor metikku.Setibanya di rumah, aku sudah tidak tahan lagi. Aku menangis, membentak, dan marah. “Kemana Tia? Kenapa dia sejahat itu. Bukankah dia yang telah selingkuh dengan Bang Udin. Lalu, kenapa aku yang malah difitnah.”“Apa yang kamu katakan, Lan? Kamu kenapa? Kenapa pula kamu pulang sepagi ini?” Kak Dina menghampiriku.Aku duduk dan mengatur napas. “Kakak—ta—hu, Bang—Udin dan Tia—sudah—selingkuh,” ucapku terbata-bata.“Ngomong yang jelas, Lan! Apa maksudmu?”Kak Dina juga terlihat tidak sabaran. Dia sampai berdiri mendekatiku.Aku menarik napas kembali, mencoba untuk tenang, agar bisa menjelaskan dengan benar.“Kak Dina tahu, selama ini, Bang Udin dan Tia sudah selingkuh. Mereka bahkan sudah tidur bersama.”Wajah Kak Dina seketika memerah. Ibu yang tampak hendak pergi ke depan untuk
Setelah membaca pesan dari Tia, aku meminta Kak Dina untuk langsung keluar dari kamarku. Sungguh, aku takut tidak tahan untuk tidak mengatakan yang sebenarnya.Namun, aku rasa lebih baik tidak mengambil risiko, kan, dari pada terjadi apa-apa. Melihat ulah Tia kemarin, aku jadi yakin kalau dia akan tega melakukan apa saja untuk menutupi kejahatannya.Jadi, seharian ini, aku memutuskan untuk diam dan menutup mulut dulu. Setelah ini, aku akan berpikir lagi. Intinya, aku harus menyadarkan Tia dan Bang Udin untuk kembali ke jalan yang benar.Malam ini pun, aku memutuskan untuk tidur lebih awal. Pagi-pagi sekali, aku langsung pergi ke sekolah. Aku memutuskan untuk sarapan di kantin saja.“Benar kan, apa yang aku katakan.” Seorang guru langsung berbisik pada teman di sebelahnya begitu aku memasuki kantor. Ibu-ibu di sebelahnya pun tampak mengangguk-angguk.Si guru kepo yang sering mengomentariku pun berkata dengan lantang, “Tampangnya aja yang MasyaaaaAllah. Tapi, ternyata ...” Namun, lagi
Aku terbangun dalam keadaan badanku sakit semua. Ini pasti akibat ulah Bang Udin dan Tia dan perlawananku kemarin.Namun, anehnya, sekarang aku tidak lagi terikat pada tempat tidur. Hanya, kedua pergelangan tangan dan kakiku yang memerah.Saat kesadaranku benar-benar pulih pun, aku melihat diriku sudah menggunakan baju piama tidur yang lengkap. Tubuhku juga ditutupi dengan selimut tidur yang biasa kugunakan.Aku beranjak turun dari atas ranjang.“Astagfirullah, badanku rasanya sakit semua,” keluhku sambil berjalan menuju ke dapur. Aku mau minum. Tenggorokanku terasa benar-benar kering.“Baru bangun kau, Wulan?” tanya ibu, orang pertama kali kutemui pagi ini.“Iya, Bu,” jawabku lemas.“Tumben kau tidur nyenyak sekali, sampai-sampai ibu bangunkan berkali-kali, tapi kau tidak bangun.”Aku melihat sekeliling. Apa aku katakan saja apa yang terjadi kemarin malam? Tapi, dari mana aku harus memulainya.“Hei, ditanya kok, malah termenung.” Senggolan ibu menyadarkanku kembali.“Eh, itu, Bu. Ti