Setelah membaca pesan dari Tia, aku meminta Kak Dina untuk langsung keluar dari kamarku. Sungguh, aku takut tidak tahan untuk tidak mengatakan yang sebenarnya.
Namun, aku rasa lebih baik tidak mengambil risiko, kan, dari pada terjadi apa-apa. Melihat ulah Tia kemarin, aku jadi yakin kalau dia akan tega melakukan apa saja untuk menutupi kejahatannya.Jadi, seharian ini, aku memutuskan untuk diam dan menutup mulut dulu. Setelah ini, aku akan berpikir lagi. Intinya, aku harus menyadarkan Tia dan Bang Udin untuk kembali ke jalan yang benar.Malam ini pun, aku memutuskan untuk tidur lebih awal. Pagi-pagi sekali, aku langsung pergi ke sekolah. Aku memutuskan untuk sarapan di kantin saja.“Benar kan, apa yang aku katakan.” Seorang guru langsung berbisik pada teman di sebelahnya begitu aku memasuki kantor.Ibu-ibu di sebelahnya pun tampak mengangguk-angguk.Si guru kepo yang sering mengomentariku pun berkata dengan lantang, “Tampangnya aja yang MasyaaaaAllah. Tapi, ternyata ...”Namun, lagi-lagi, aku memilih untuk tidak peduli. Bukankah selama ini mereka juga seperti itu padaku? Sudah biasa kan, kalau ada yang baru dan bersinar, yang lama akan mencoba untuk menampakkan dirinya juga. Sayangnya, banyak yang menghalalkan segala cara agar terlihat di permukaan."Kalau gaji guru honor nggak cukup buat gaya hidup, kenapa nggak nikah aja? Pakai kedok agama, tapi nyatanya bikin rusak nama sekolah." Seorang guru berbicara dan jelas-jelas menghadapkan wajahnya ke arahku.Ah, ada apa sebenarnya ini? Semua mata pun mengamatiku dengan intens. Seolah-olah, ada yang salah padaku.Ya sudah, lebih baik, aku memeriksa tugas anak-anak sebelum masuk ke kelas. Untuk apa juga meladeni sikap Bu Aini, kan?Namun, lama-lama aku merasa tidak nyaman juga. Masa aku diperhatikan dari atas sampai bawah. Akhirnya, aku memilih ke kantin.Akan tetapi, saat melewati ruang kepala sekolah, aku langsung diminta untuk mampir oleh Pak Iwan, staf kebersihan sekolah.“Bu Wulan diminta kepala sekolah ke ruangannya,” ucapnya langsung.Karena merasa perutku masih bisa diajak kompromi, aku langsung saja mampir ke ruangan yang bersebelahan dengan perpustakaan sekolah.“Maaf sebelumnya, Bu Wulan. Mungkin lebih baik Bu Wulan bikin surat pengunduran diri saja. Saya merasa tidak enak hati mau memecat Bu Wulan,” ucap Bapak kepala sekolah.Eh, sebentar, ada apa ini? Kenapa aku mau dipecat? Apa salahku memangnya?Laki-laki yang berwibawa dan berkumis tebal ini langsung menarik napas panjang.“Sebenarnya saya tidak percaya dengan berita yang beredar, Bu. Namun, saya juga bingung menolak kebenaran yang ada.”“Sebentar, Pak. Sebenarnya apa maksud Bapak? Ada apa ini, Pak?”Bapak kepala sekolah tidak menjawab. Dia hanya merogoh saku celananya. Kemudian, mengutak-atik gadget miliknya. Kemudian, menyerahkan benda pipih itu padaku.“Astagfirullah!” Aku langsung beristigfar saat melihat foto tidak senonohku sudah terpajang di F******k dalam grup perempuan-perempuan kesepian.Di atas fotoku dipasang tulisan “Chat me biar nggak kesepian.” Terus nomor teleponku terpampang di sana.“Apakah semua ini benar, Bu? Terus, sudah berapa lama Ibu melakukan ini? Rasanya Ibu tidak pantas melakukan ini. Ibu seorang guru, panutan bagi anak didik Ibu.”“Astagfirullah, sumpah, Pak. Demi Allah, aku tidak melakukan ini. Ini bukan akun saya. Akun saya dibajak orang lain.”“Tapi, itu foto Bu Wulan, kan?”Aku tidak bisa lagi menahan air mataku. “Itu pasti editan, Pak. Aku yakin itu,” ucapku sambil menyeka air mata.Dengan keyakinan penuh, aku bisa berkata seperti itu. Aku yakin itu perbuatan Tia. Kenapa anak itu begitu tega?Aku kembali menyeka air mataku yang benar-benar tidak bisa ditahan.“Awalnya saya juga tidak percaya dengan berita ini. Namun, karena sudah melihatnya sendiri, saya tidak bisa berbuat apa-apa. Makanya saya minta Bu Wulan untuk mengundurkan diri. Jujur, saya tidak tega mau memecat Ibu. Namun, saya juga takut dapat teguran dari atas.”Aku mengerti posisi kepala sekolah. Aku juga paham ini bukan salahnya. Ini murni kesalahan Tia. Seharusnya, tadi malam aku benar-benar nekat masuk ke kamar Tia dan menghapus foto-foto itu.“Baik, Pak. Saya akan membuat surat pengunduran diri. Besok saya akan kirim ke sini.”“Baik, Bu Wulan. Untuk hari ini, Ibu boleh istirahat di rumah dulu. Ibu boleh selidiki orang yang melakukan pencemaran nama Ibu.”“Bapak juga tidak percaya padaku?”Sungguh, aku tidak percaya dengan apa yang dikatakan Bapak kelapa sekolah. Aku juga sungguh tidak percaya dengan apa yang terjadi. Tia sungguh sudah benar-benar kelewatan.Bapak kepala sekolah tidak menjawab.Aku mengangguk. “Terima kasih, Pak, atas kesempatannya. Saya merasa sangat beruntung bisa mengajar di sekolah ini. Akan tetapi, saya juga berjanji, saya akan buktikan kalau semua ini hanya rekayasa.”Setelah mengucapkan itu, aku benar-benar langsung pulang. Aku yakin anak-anak sudah melihat semuanya juga. Anak-anak sekarang kan, lebih cepat memperoleh informasi dari pada orang dewasa, kan? Apalagi, para orang tua di kampung ini tidak begitu peduli pada pendidikan anak-anak mereka. Mereka membiarkan anak-anak mereka bermain seharian dengan gadget atau televisi, yang penting mereka bisa pergi ke sawah dengan tenang.Sepanjang perjalanan pulang, gadgetku di dalam tas terus berbunyi. Akhirnya, aku memilih menepikan motorku untuk melihat, siapa tahu ada pesan penting yang masuk.Ternyata, semua pesan dan panggilan itu berasal dari nomor yang tidak kukenal.“Bisa pakai main atau hanya untuk diajak ngobrol, nih?” Aku membuka salah satu pesan dari nomor yang tidak kukenal.“Aku tidak menyangka Bu Wulan punya moral serendah ini. Pantas saja tidak ada cowok yang dekat. Saya kira Bu Wulan cewek baik-baik yang nggak mau pacaran. Eh, ternyata sudah dipakai setiap malam, toh.” Sebuah pesan dari salah satu guru di sekolah.Berikutnya, begitu banyak pesan yang berisi kata-kata yang menghina dan sungguh menyakitkan. Namun, entah mengapa, meskipun air mataku mengalir, tanganku tetap kuat membuka pesan yang masuk satu per satu.Tia. Sebuah pesan baru dari Tia. Dengan segera, aku membukanya.“Jangan pernah main-main denganku. Sekarang, hidupmu lebih hancur dariku.”Dengan cepat, kubalas pesan itu. “Tia, kenapa kamu tega seperti itu dengan Kakak? Memangnya apa salah Kakak? Kakak tidak pernah membuka aibmu.”Tidak ada balasan. Aku terus saja melihat benda berlayar itu, berharap segera mendapat balasan.Namun, tiba-tiba sebuah telepon masuk. Ragu-ragu, aku mengangkat telepon itu.“Mbak, aku pakai malam ini, ya? Kita ketemuan di mana?”“Aku bukan pelacuuur! Aku perempuan baik-baik. Itu semua ulah adikku!” teriakku sekuat tenaga. Entah mengapa, aku merasa sangat marah dan kesal pada Tia. Darahku serasa mendidih mendapatkan perlakuan seperti ini.Sekarang, aku ingin membalas semua perbuatannya. Jika dia bisa sejahat ini padaku. Maka aku akan bikin dia bertobat dan menyesali perbuatannya.Pikiranku bertambah kalut. Dadaku semakin sesak. Air mataku semakin deras. Setelah berteriak menumpahkan segala emosi, bukannya tenang, aku malah tambah uring-uringan.Dengan segera, kulajukan motor metikku.Setibanya di rumah, aku sudah tidak tahan lagi. Aku menangis, membentak, dan marah. “Kemana Tia? Kenapa dia sejahat itu. Bukankah dia yang telah selingkuh dengan Bang Udin. Lalu, kenapa aku yang malah difitnah.”“Apa yang kamu katakan, Lan? Kamu kenapa? Kenapa pula kamu pulang sepagi ini?” Kak Dina menghampiriku.Aku duduk dan mengatur napas. “Kakak—ta—hu, Bang—Udin dan Tia—sudah—selingkuh,” ucapku terbata-bata.“Ngomong yang jelas, Lan! Apa maksudmu?”Kak Dina juga terlihat tidak sabaran. Dia sampai berdiri mendekatiku.Aku menarik napas kembali, mencoba untuk tenang, agar bisa menjelaskan dengan benar.“Kak Dina tahu, selama ini, Bang Udin dan Tia sudah selingkuh. Mereka bahkan sudah tidur bersama.”Wajah Kak Dina seketika memerah. Ibu yang tampak hendak pergi ke depan untuk
“Tik ... Tik ... Tik ....” Sebuah suara memaksaku untuk sadar. Perlahan, aku mencoba membuka kelopak mata yang terasa begitu berat.Saat mata ini mulai terbuka, ada sebuah cahaya yang begitu terang dan bikin silau.“Dimana aku sekarang?” Aku berusaha untuk bicara. Namun, semua tetap senyap. Hanya ada suara udara yang berhembus.Kembali, aku berusaha untuk membuka mata. Saat cahaya itu berhasil beradaptasi, kudapati semua serba putih-putih.Di surgakah aku saat ini? Apa sekarang aku sedang di alam kubur? Namun, kenapa terang sekali. Bukankah kuburan itu tempat yang sangat gelap? Kita hanya ditemani oleh cacing, ular, dan bintang yang hidup di tanah lainnya?Aku berusaha untuk menoleh ke kanan atau ke kiri, tetapi leherku rasanya sakit sekali. Seperti sulit untuk digerakkan.“Selamat pagi, Mbak, sudah sadar, ya?” Seorang wanita masuk dengan menggunakan seragam putih-putih.Berarti aku masih hidup sekarang. Tabrakan kemarin itu tidak membuat nyawaku melayang. Maka, aku kembali mencoba
“Mbak Wulan tadi mau ngomong apa?” Bu Mila meraba lenganku sambil tersenyum.Astagfirullah, Bu Mila pasti menangkap gelagatku. Aku merasa sangat malu. Seharusnya aku bisa menjaga diri dan pandangan.“Mbak Wulan sudah sadar?” Mas Lukman meletakkan buah yang dibawanya ke meja di samping kepalaku.Aku tidak menjawab. Entah mengapa hatiku rasanya berbunga-bunga dan perasaan itu tidak bisa kusembunyikan. Bahkan rasa sedih tadi seolah-olah sirna begitu saja. Apakah ini yang dinamakan cinta?Tidak boleh. Aku tidak boleh seperti ini. Bagaimana kalau ternyata Mas Lukman tidak punya perasaan padaku? Aku bisa kecewa, kan?“Hm, hm, hm.” Bu Mila berdehem beberapa kali. “Sepertinya saya tidak diperlukan lagi di sini?”“Hm, itu, hm.” Aku jadi benar-benar gugup.“Kapan Mbak Mila boleh kembali?” Mas Lukman langsung mengambil alih, membuatku terasa lebih baik dan terlindungi.“Nanti Mas Lukman tanya sendiri pada Susternya saja,” jawab Bu Mila.“Kata susternya, keadaan saya sudah lebih baik. Kalau tidak
Mas Lukman benar-benar memberiku pekerjaan. Dia memintaku menjadi administrasi di kantornya. Apalagi aku jurusan Akuntansi. Jadi, aku juga diminta untuk merekap data keuangan dari setiap sekolah yang masuk.“Selama ini, memang saya yang meng-handle semuanya. Namun, sekarang saya rasa, saya harus lebih banyak waktu untuk keluarga,” ucapnya.Eh, sebentar, keluarga? Apa mas Lukman sudah menikah? Kalau dilihat dari segi ekonomi, memang sepantasnya Mas Lukman sudah mempunyai istri. Dia sudah terlihat begitu mapan dan dewasa. Perempuan mana sih, yang tidak mau dengan laki-laki seperti Mas Lukman. Jadi, dia tinggal tunjuk perempuan mana yang mau dia jadikan istri.Namun, kenapa Bu Mila tetap menjodohkanku? Apa yang dimaksud Mas Lukman keluarga itu ayah dan ibunya?Astagfirullah, kenapa aku malah mencoba mencari pembenaran seperti ini? Memangnya apa urusanku dengan status Mas Lukman. Aku kan hanya mencari pekerjaan untuk menyambung hidupku, kan, seharusnya?“Bagaimana kamu mau bekerja dengan
Setelah membaca pesan Tia, aku memilih untuk tidak membalasnya. Biarkan saja dengan permainannya sendiri. Meskipun, sebenarnya aku juga penasaran. Apa penyebab anak itu bisa berubah seperti itu? Namun, dia kembali mengirim pesan. “Benar kan, kalian tidak peduli.”“Bagaimana Kakak mau peduli kalau kamu tidak cerita?” Akhirnya aku terpancing untuk membalasnya kembali.“Sudahlah. Aku sudah hidup bahagia dengan Bang Udin,” balasnya lagi.Ya sudah, hiduplah kamu dengan kemaksiatan Tia. Tunggulah Tuhan membalas perbuatanmu. Selain itu, aku akan berusaha juga menghentikan maksiat yang kamu lakukan. Lihat saja suatu hari nanti.Tiba-tiba seseorang mengetuk pintu kamar. “Assalamualikum. Mbak Wulan sudah siap?” Mas Lukman mengintip di depan pintu.“Motornya sudah selesai diperbaiki, Pak?”“Sudahlah pakai Mas saja,” ucapnya sambil tersenyum. “Alhamdulillah sudah. Jadi, kita mau langsung berangkat atau mau ke rumah Bu Mila dulu?”Eh, aku sampai lupa mau minta tolong sama Mas Lukman untuk diambil
“Assalamualaikum anak papa. Apa kabar semuanya? Bagaimana dengan sekolahnya hari ini?” Mas Lukman langsung menghampiri anak-anaknya sambil menciumnya secara bergiliran.Aku merasa cemburu. Aku merasa iri. Kenapa bukan anak-anak yang lahir dari rahimku yang mendapatkan perlakuan seperti itu?Lukman memang laki-laki yang baik dan sempurna. Pasti dia mendapatkan wanita yang baik juga. Apa mungkin Tuhan memintaku untuk memperbaiki diri agar bisa mendapatkan laki-laki sehebat Mas Lukman?“Papa kemana saja? Kenapa sudah beberapa hari ini tidak pulang?” protes anak perempuan yang paling besar.“Papa masih ada urusan di sekolah dan diluar, Nak. Kalian sudah makan?” Mas Lukman menjelaskan pada anaknya tanpa berbohong.Dia benar-benar meladeni anaknya. Padahal, kebanyakan orang tua saat ini malas melayani anak mereka, kan? Saat anak-anak mereka bertanya, mereka akan menjawab asal-asalan. Yang lebih parahnya lagi, ada orang tua yang malah mengusir anaknya, menyuruh mereka pergi karena dianggap m
Setelah Mas Lukman pergi, aku bergegas menuju kamar mandi. Aku harus sudah pergi sebelum kantor ini dipenuhi para karyawan. Tidak enak juga rasanya jika aku berada di sini, takut jadi fitnah bagi Mas Lukman.Namun, belum selesai aku mengganti pakaian setelah mandi, pintu kamarku sudah diketok seseorang.Eh, apakah itu Mas Lukman? Tapi, kenapa dia tidak mengucapkan salam.Karena pintu terus diketok dan makin hari makin keras, aku bergegas menggunakan baju dan mengambil jilbab langsung yang memang kuletakkan di tempat yang mudah kuraih.“Sebentar,” ucapku sambil tergopoh-gopoh membuka pintu.Namun, saat sekat itu terbuka, aku terkejut bukan main. Di hadapanku ada seorang ibu paruh baya yang rambutnya sudah tampak memutih.Dia memandangku dengan teliti dari atas sampai ke bawah.“Kamu yang bernama Wulan?” tanyanya dengan nada yang menurutku tidak terlalu bersahabat. Sebab, tidak ada senyum yang tersungging di wajahnya.Aku mengangguk sambil mencoba tersenyum. Dengan sedikit gugup, aku b
“Tia, itu kan, baju baru Kakak? Kenapa kamu pakai?” Aku langsung menghampiri Tia yang akan pergi ke undangan dengan baju batik yang baru kubeli beberapa hari yang lalu.“Iya, pinjam,” jawabnya singkat tanpa menoleh ke arahku. Dia tetap sibuk dengan gadget di tangannya.“Tapi, baju itu mau Kakak pakai untuk acara nikahan teman Kakak minggu depan.”“Ya, nggak papa, kan, Tia pinjam dulu. Acaranya kan, Minggu depan.”Astagfirullah. Aku mencoba menarik napas panjang agar bisa lebih tenang.“Tapi, nggak gitu juga Tia. Kamu kan, bisa pakai baju Kakak yang lainnya. Kakak kan, malu kalau pakai baju yang sudah kamu pakai.”“Kok, Kakak pelit banget, sih.” Tia mencak-mencak masuk ke kamar. Dia juga menutup pintu kamar dengan keras sehingga menimbulkan bunyi degum yang besar.“Ada apa? Kenapa rumah seperti kena gempa?" Ibu menghampiriku.“Ti ....” “Kakak Wulan pelit, Bu. Masa aku nggak boleh pinjam bajunya.” Belum selesai aku bicara, Tia sudah ada di depan pintu kamarnya dengan wajah jutek dan m
Setelah Mas Lukman pergi, aku bergegas menuju kamar mandi. Aku harus sudah pergi sebelum kantor ini dipenuhi para karyawan. Tidak enak juga rasanya jika aku berada di sini, takut jadi fitnah bagi Mas Lukman.Namun, belum selesai aku mengganti pakaian setelah mandi, pintu kamarku sudah diketok seseorang.Eh, apakah itu Mas Lukman? Tapi, kenapa dia tidak mengucapkan salam.Karena pintu terus diketok dan makin hari makin keras, aku bergegas menggunakan baju dan mengambil jilbab langsung yang memang kuletakkan di tempat yang mudah kuraih.“Sebentar,” ucapku sambil tergopoh-gopoh membuka pintu.Namun, saat sekat itu terbuka, aku terkejut bukan main. Di hadapanku ada seorang ibu paruh baya yang rambutnya sudah tampak memutih.Dia memandangku dengan teliti dari atas sampai ke bawah.“Kamu yang bernama Wulan?” tanyanya dengan nada yang menurutku tidak terlalu bersahabat. Sebab, tidak ada senyum yang tersungging di wajahnya.Aku mengangguk sambil mencoba tersenyum. Dengan sedikit gugup, aku b
“Assalamualaikum anak papa. Apa kabar semuanya? Bagaimana dengan sekolahnya hari ini?” Mas Lukman langsung menghampiri anak-anaknya sambil menciumnya secara bergiliran.Aku merasa cemburu. Aku merasa iri. Kenapa bukan anak-anak yang lahir dari rahimku yang mendapatkan perlakuan seperti itu?Lukman memang laki-laki yang baik dan sempurna. Pasti dia mendapatkan wanita yang baik juga. Apa mungkin Tuhan memintaku untuk memperbaiki diri agar bisa mendapatkan laki-laki sehebat Mas Lukman?“Papa kemana saja? Kenapa sudah beberapa hari ini tidak pulang?” protes anak perempuan yang paling besar.“Papa masih ada urusan di sekolah dan diluar, Nak. Kalian sudah makan?” Mas Lukman menjelaskan pada anaknya tanpa berbohong.Dia benar-benar meladeni anaknya. Padahal, kebanyakan orang tua saat ini malas melayani anak mereka, kan? Saat anak-anak mereka bertanya, mereka akan menjawab asal-asalan. Yang lebih parahnya lagi, ada orang tua yang malah mengusir anaknya, menyuruh mereka pergi karena dianggap m
Setelah membaca pesan Tia, aku memilih untuk tidak membalasnya. Biarkan saja dengan permainannya sendiri. Meskipun, sebenarnya aku juga penasaran. Apa penyebab anak itu bisa berubah seperti itu? Namun, dia kembali mengirim pesan. “Benar kan, kalian tidak peduli.”“Bagaimana Kakak mau peduli kalau kamu tidak cerita?” Akhirnya aku terpancing untuk membalasnya kembali.“Sudahlah. Aku sudah hidup bahagia dengan Bang Udin,” balasnya lagi.Ya sudah, hiduplah kamu dengan kemaksiatan Tia. Tunggulah Tuhan membalas perbuatanmu. Selain itu, aku akan berusaha juga menghentikan maksiat yang kamu lakukan. Lihat saja suatu hari nanti.Tiba-tiba seseorang mengetuk pintu kamar. “Assalamualikum. Mbak Wulan sudah siap?” Mas Lukman mengintip di depan pintu.“Motornya sudah selesai diperbaiki, Pak?”“Sudahlah pakai Mas saja,” ucapnya sambil tersenyum. “Alhamdulillah sudah. Jadi, kita mau langsung berangkat atau mau ke rumah Bu Mila dulu?”Eh, aku sampai lupa mau minta tolong sama Mas Lukman untuk diambil
Mas Lukman benar-benar memberiku pekerjaan. Dia memintaku menjadi administrasi di kantornya. Apalagi aku jurusan Akuntansi. Jadi, aku juga diminta untuk merekap data keuangan dari setiap sekolah yang masuk.“Selama ini, memang saya yang meng-handle semuanya. Namun, sekarang saya rasa, saya harus lebih banyak waktu untuk keluarga,” ucapnya.Eh, sebentar, keluarga? Apa mas Lukman sudah menikah? Kalau dilihat dari segi ekonomi, memang sepantasnya Mas Lukman sudah mempunyai istri. Dia sudah terlihat begitu mapan dan dewasa. Perempuan mana sih, yang tidak mau dengan laki-laki seperti Mas Lukman. Jadi, dia tinggal tunjuk perempuan mana yang mau dia jadikan istri.Namun, kenapa Bu Mila tetap menjodohkanku? Apa yang dimaksud Mas Lukman keluarga itu ayah dan ibunya?Astagfirullah, kenapa aku malah mencoba mencari pembenaran seperti ini? Memangnya apa urusanku dengan status Mas Lukman. Aku kan hanya mencari pekerjaan untuk menyambung hidupku, kan, seharusnya?“Bagaimana kamu mau bekerja dengan
“Mbak Wulan tadi mau ngomong apa?” Bu Mila meraba lenganku sambil tersenyum.Astagfirullah, Bu Mila pasti menangkap gelagatku. Aku merasa sangat malu. Seharusnya aku bisa menjaga diri dan pandangan.“Mbak Wulan sudah sadar?” Mas Lukman meletakkan buah yang dibawanya ke meja di samping kepalaku.Aku tidak menjawab. Entah mengapa hatiku rasanya berbunga-bunga dan perasaan itu tidak bisa kusembunyikan. Bahkan rasa sedih tadi seolah-olah sirna begitu saja. Apakah ini yang dinamakan cinta?Tidak boleh. Aku tidak boleh seperti ini. Bagaimana kalau ternyata Mas Lukman tidak punya perasaan padaku? Aku bisa kecewa, kan?“Hm, hm, hm.” Bu Mila berdehem beberapa kali. “Sepertinya saya tidak diperlukan lagi di sini?”“Hm, itu, hm.” Aku jadi benar-benar gugup.“Kapan Mbak Mila boleh kembali?” Mas Lukman langsung mengambil alih, membuatku terasa lebih baik dan terlindungi.“Nanti Mas Lukman tanya sendiri pada Susternya saja,” jawab Bu Mila.“Kata susternya, keadaan saya sudah lebih baik. Kalau tidak
“Tik ... Tik ... Tik ....” Sebuah suara memaksaku untuk sadar. Perlahan, aku mencoba membuka kelopak mata yang terasa begitu berat.Saat mata ini mulai terbuka, ada sebuah cahaya yang begitu terang dan bikin silau.“Dimana aku sekarang?” Aku berusaha untuk bicara. Namun, semua tetap senyap. Hanya ada suara udara yang berhembus.Kembali, aku berusaha untuk membuka mata. Saat cahaya itu berhasil beradaptasi, kudapati semua serba putih-putih.Di surgakah aku saat ini? Apa sekarang aku sedang di alam kubur? Namun, kenapa terang sekali. Bukankah kuburan itu tempat yang sangat gelap? Kita hanya ditemani oleh cacing, ular, dan bintang yang hidup di tanah lainnya?Aku berusaha untuk menoleh ke kanan atau ke kiri, tetapi leherku rasanya sakit sekali. Seperti sulit untuk digerakkan.“Selamat pagi, Mbak, sudah sadar, ya?” Seorang wanita masuk dengan menggunakan seragam putih-putih.Berarti aku masih hidup sekarang. Tabrakan kemarin itu tidak membuat nyawaku melayang. Maka, aku kembali mencoba
Pikiranku bertambah kalut. Dadaku semakin sesak. Air mataku semakin deras. Setelah berteriak menumpahkan segala emosi, bukannya tenang, aku malah tambah uring-uringan.Dengan segera, kulajukan motor metikku.Setibanya di rumah, aku sudah tidak tahan lagi. Aku menangis, membentak, dan marah. “Kemana Tia? Kenapa dia sejahat itu. Bukankah dia yang telah selingkuh dengan Bang Udin. Lalu, kenapa aku yang malah difitnah.”“Apa yang kamu katakan, Lan? Kamu kenapa? Kenapa pula kamu pulang sepagi ini?” Kak Dina menghampiriku.Aku duduk dan mengatur napas. “Kakak—ta—hu, Bang—Udin dan Tia—sudah—selingkuh,” ucapku terbata-bata.“Ngomong yang jelas, Lan! Apa maksudmu?”Kak Dina juga terlihat tidak sabaran. Dia sampai berdiri mendekatiku.Aku menarik napas kembali, mencoba untuk tenang, agar bisa menjelaskan dengan benar.“Kak Dina tahu, selama ini, Bang Udin dan Tia sudah selingkuh. Mereka bahkan sudah tidur bersama.”Wajah Kak Dina seketika memerah. Ibu yang tampak hendak pergi ke depan untuk
Setelah membaca pesan dari Tia, aku meminta Kak Dina untuk langsung keluar dari kamarku. Sungguh, aku takut tidak tahan untuk tidak mengatakan yang sebenarnya.Namun, aku rasa lebih baik tidak mengambil risiko, kan, dari pada terjadi apa-apa. Melihat ulah Tia kemarin, aku jadi yakin kalau dia akan tega melakukan apa saja untuk menutupi kejahatannya.Jadi, seharian ini, aku memutuskan untuk diam dan menutup mulut dulu. Setelah ini, aku akan berpikir lagi. Intinya, aku harus menyadarkan Tia dan Bang Udin untuk kembali ke jalan yang benar.Malam ini pun, aku memutuskan untuk tidur lebih awal. Pagi-pagi sekali, aku langsung pergi ke sekolah. Aku memutuskan untuk sarapan di kantin saja.“Benar kan, apa yang aku katakan.” Seorang guru langsung berbisik pada teman di sebelahnya begitu aku memasuki kantor. Ibu-ibu di sebelahnya pun tampak mengangguk-angguk.Si guru kepo yang sering mengomentariku pun berkata dengan lantang, “Tampangnya aja yang MasyaaaaAllah. Tapi, ternyata ...” Namun, lagi
Aku terbangun dalam keadaan badanku sakit semua. Ini pasti akibat ulah Bang Udin dan Tia dan perlawananku kemarin.Namun, anehnya, sekarang aku tidak lagi terikat pada tempat tidur. Hanya, kedua pergelangan tangan dan kakiku yang memerah.Saat kesadaranku benar-benar pulih pun, aku melihat diriku sudah menggunakan baju piama tidur yang lengkap. Tubuhku juga ditutupi dengan selimut tidur yang biasa kugunakan.Aku beranjak turun dari atas ranjang.“Astagfirullah, badanku rasanya sakit semua,” keluhku sambil berjalan menuju ke dapur. Aku mau minum. Tenggorokanku terasa benar-benar kering.“Baru bangun kau, Wulan?” tanya ibu, orang pertama kali kutemui pagi ini.“Iya, Bu,” jawabku lemas.“Tumben kau tidur nyenyak sekali, sampai-sampai ibu bangunkan berkali-kali, tapi kau tidak bangun.”Aku melihat sekeliling. Apa aku katakan saja apa yang terjadi kemarin malam? Tapi, dari mana aku harus memulainya.“Hei, ditanya kok, malah termenung.” Senggolan ibu menyadarkanku kembali.“Eh, itu, Bu. Ti