Share

Katakan atau Tidak

last update Terakhir Diperbarui: 2023-09-27 09:34:09

Aku terbangun dalam keadaan badanku sakit semua. Ini pasti akibat ulah Bang Udin dan Tia dan perlawananku kemarin.

Namun, anehnya, sekarang aku tidak lagi terikat pada tempat tidur. Hanya, kedua pergelangan tangan dan kakiku yang memerah.

Saat kesadaranku benar-benar pulih pun, aku melihat diriku sudah menggunakan baju piama tidur yang lengkap. Tubuhku juga ditutupi dengan selimut tidur yang biasa kugunakan.

Aku beranjak turun dari atas ranjang.

“Astagfirullah, badanku rasanya sakit semua,” keluhku sambil berjalan menuju ke dapur. Aku mau minum. Tenggorokanku terasa benar-benar kering.

“Baru bangun kau, Wulan?” tanya ibu, orang pertama kali kutemui pagi ini.

“Iya, Bu,” jawabku lemas.

“Tumben kau tidur nyenyak sekali, sampai-sampai ibu bangunkan berkali-kali, tapi kau tidak bangun.”

Aku melihat sekeliling. Apa aku katakan saja apa yang terjadi kemarin malam? Tapi, dari mana aku harus memulainya.

“Hei, ditanya kok, malah termenung.” Senggolan ibu menyadarkanku kembali.

“Eh, itu, Bu. Tia mana?” Aku balik bertanya pada ibu.

“Kak Wulan kecapean mungkin, Bu,” jawab Tia yang tiba-tiba muncul di belakangku. “Tadi malam Kak Wulan pulangnya jatuh. Untung ada Tia yang bantuin.” Tia duduk di sampingku. “Tuh, lihat muka Kak Wulan leban begitu.”

Seperti biasa, ibu tidak peduli. Namun, aku segera ingin beranjak dari tempat dudukku. Aku ingin ke kamar melihat apa yang sebenarnya terjadi dengan wajahku.

Sebelum aku benar-benar pergi, Tia menggamit lenganku. “Kak, ini HP-nya, udah dibenerin sama Bang Udin. Jangan lupa dibaca pesannya, ya!” bisiknya sembari kembali fokus untuk sarapan pagi.

Aku yang awalnya juga ingin sarapan, memilih untuk kembali di kamar.

Di kamar, di depan cermin, aku melihat ada lebam di dekat mataku. Pasti ini yang membuatku pingsan tadi malam. Selebihnya tidak ada yang lecet.

Setelah yakin dan merasa semua baik-baik saja, aku langsung melihat pesan-pesan yang masuk di gadgetku.

“Astagfirullah!” Aku hampir saja menjerit. Untung dengan segera aku sadar dan menutup mulutku dengan tangan.

Apa yang Tia lakukan? Apa Tia benar-benar sudah gila?

Aku beristigfar sekali lagi. Kalian tahu apa yang terjadi? Tia mengirimkan file yang berisi foto-fotoku tanpa busana. Parahnya lagi, dia mengeditnya, menjadikan foto itu seolah-olah kulakukan dengan sengaja. Aku seolah-olah menikmati momen itu.

“Ingat, Kak, foto-foto ini akan bisa beredar ke mana saja aku mau kalau Kakak berani buka mulut.” Sebuah pesan baru saja masuk ke gadgetku. Tia pengirimnya.

Astagfirullah. Air mataku mengalir tiba-tiba. Apa yang telah diperbuat Tia? Mengapa dia bisa sejahat dan senekat ini?

Aku kembali memperhatikan foto yang dikirim Tia. Bagaimana bisa dia mengedit fotoku seperti ini? Dalam gambar itu, aku yang hanya menggunakan dalaman, terlihat tersenyum ke arah kamera.

Hebatnya, dia membuat banyak pose. Ada aku yang sedang duduk manis dengan kaki terbuka. Ada pula aku yang sedang berbaring miring dengan manja.

Astagfirullah. Berulang kali aku beristigfar.

Dengan segera kubalas pesan Tia. “Apa yang kamu lakukan, Tia? Kenapa kamu berubah nakal seperti ini?”

Tidak ada jawaban. Pesanku hanya dibaca saja.

Dalam keadaan setengah gila, aku mencoba untuk mencari solusi.

Oke. Sekarang aku harus cari cara untuk mengambil gadget Tia dan menghapus semua fotoku di sana. Aku harus tenang. Aku tidak boleh panik.

Setelah itu, aku harus mendekati Tia. Aku harus mencari tahu alasan apa yang membuatnya bisa terjerumus pada kejahatan yang tidak masuk akal ini.

Namun, bagaimana caranya?

Sekali lagi, aku mencoba untuk berpikir keras. Namun, aku tetap tidak menemukan solusi.

“Tuhan, tolong bantu aku,” ucapku sambil mengetuk-ngetuk kepalaku pelan. “Ayolah otak, berpikir, dong!”

Akan tetapi, kebuntuan tetap kuperoleh. Secara, Tia dan gadgetnya pasti melekat, kan? Hanya malam, saat dia tidur, aku baru bisa mengambil gadgetnya.

Ya, tengah malam nanti, aku akan mengambil benda itu di kamar Tia. Atau .... aku mencoba berpikir sesaat. Bagaimana kalau aku tanya g****e saja?

Secepat mungkin aku langsung membuka g****e. Aku abaikan rasa lapar yang sejak tadi menggelayuti perutku.

“Cara menghapus file di gadget orang lain,” ucapku sambil menulis kalimat itu di kolom pencarian g****e.

Dalam sekejap, puluhan video muncul di sana. Namun, saat kubuka satu per satu, tidak ada satu pun video yang membuatku yakin, sebab semuanya harus terkoneksi dengan akun g****e.

Selain aku tidak tahu password dan nama akun g****e Tia, aku juga tidak yakin kalau foto-foto itu disimpan di sana. Aku yakin Tia hanya menyimpan benda itu di galeri gadgetnya.

“Kamu jatuh ya kemarin, Lan?” tiba-tiba Kak Dina muncul di depan pintu kamarku.

“Eh, Kak Dina,” ucapku agak sedikit gemetaran. Entah mengapa, saat bertemu Kak Dina, aku merasa kasihan pula padanya.

“Kata Tia kemarin kamu jatuh dari motor. Bagaimana keadaanmu?”

Eh, sebentar, kenapa Kak Dina jadi perhatian begini?

“Tidak apa-apa, Kak,” jawabku akhirnya.

“Lan, Kakak mau ngomong, nih. Sebenarnya sudah lama, tapi kamu sibuk terus.”

Iya, karena badanku rasanya sakit semua. Jadi, hari aku memutuskan untuk meliburkan kegiatan ekskul anak-anak di sekolah.

“Ngomong apa, Kak?” Jujur, sebenarnya, aku juga mau ngomong.

“Belakangan ini, Kakak merasa hidup Kakak semakin hampa. Bang Udin pun sepertinya semakin menjauh. Dari itu, Kakak ingin belajar agama lebih baik lagi. Kata ustaz yang di masjid itu, waktu Kakak pergi maulid, salat itu bikin hati seseorang damai dan tenang. Sedangkan belajar agama akan bikin hidup lebih bermakna.”

"Wajar kalau Bang Udin menjauh, Kak. Sebab, dia punya daun muda yang lebih ranum dan itu adik Kakak sendiri." Ingin sekali aku menjawab seperti itu. Namun, aku tidak tega melihat wajah sedih Kak Dina.

Diam-diam, Kuperhatikan wajah Kak Dina dengan teliti. Ada raut lelah di sana. Matanya yang bulat terlihat sayu, seperti menyimpan beribu masalah.

Ya Rabb, maafkan aku. Selama ini, aku terlalu egois. Aku hanya peduli dengan karier dan kepentinganku sendiri. Aku lupa dengan keluarga yang sesungguhnya sangat butuh perhatianku.

“Alhamdulillah, aku sangat bersyukur mendengarnya, Kak. Wulan juga terus belajar. Bagaimana kalau setiap sore Sabtu, Kakak ikut Wulan belajar agama dengan ustazah di kecamatan?”

“Boleh. Nanti anak-anak suruh ibu yang menjaganya. Terus, Kakak juga mau belajar mengaji. Bisa kan, kamu mengajari Kakak?”

“Siap, Kak.”

Melihat Kak Dina ingin berubah seperti ini, rasanya tidak tega untuk tidak mengatakan apa yang sebenarnya terjadi pada Tia dan Bang Udin.

Kelakuan mereka itu sudah benar-benar kelewatan. Tuhan tolong berikan petunjukMu.

“Kenapa, Lan? Kamu mau ngomong apa?”

Ya Allah, kenapa Kak Dina tiba-tiba bertanya seperti ini? Apa ini pertanda kalau aku harus mengatakan semuanya?

Namun, tiba-tiba aku dikagetkan dengan suara dari gadgetku sendiri.

“Awas! Kalau sampai kau berani bicara, kau akan menyesal selamanya!”

Bab terkait

  • Balasan untuk Adik Tak Tahu Diri   Fitnah

    Setelah membaca pesan dari Tia, aku meminta Kak Dina untuk langsung keluar dari kamarku. Sungguh, aku takut tidak tahan untuk tidak mengatakan yang sebenarnya.Namun, aku rasa lebih baik tidak mengambil risiko, kan, dari pada terjadi apa-apa. Melihat ulah Tia kemarin, aku jadi yakin kalau dia akan tega melakukan apa saja untuk menutupi kejahatannya.Jadi, seharian ini, aku memutuskan untuk diam dan menutup mulut dulu. Setelah ini, aku akan berpikir lagi. Intinya, aku harus menyadarkan Tia dan Bang Udin untuk kembali ke jalan yang benar.Malam ini pun, aku memutuskan untuk tidur lebih awal. Pagi-pagi sekali, aku langsung pergi ke sekolah. Aku memutuskan untuk sarapan di kantin saja.“Benar kan, apa yang aku katakan.” Seorang guru langsung berbisik pada teman di sebelahnya begitu aku memasuki kantor. Ibu-ibu di sebelahnya pun tampak mengangguk-angguk.Si guru kepo yang sering mengomentariku pun berkata dengan lantang, “Tampangnya aja yang MasyaaaaAllah. Tapi, ternyata ...” Namun, lagi

    Terakhir Diperbarui : 2023-09-28
  • Balasan untuk Adik Tak Tahu Diri   Balas Dendam Berakhir Maut

    Pikiranku bertambah kalut. Dadaku semakin sesak. Air mataku semakin deras. Setelah berteriak menumpahkan segala emosi, bukannya tenang, aku malah tambah uring-uringan.Dengan segera, kulajukan motor metikku.Setibanya di rumah, aku sudah tidak tahan lagi. Aku menangis, membentak, dan marah. “Kemana Tia? Kenapa dia sejahat itu. Bukankah dia yang telah selingkuh dengan Bang Udin. Lalu, kenapa aku yang malah difitnah.”“Apa yang kamu katakan, Lan? Kamu kenapa? Kenapa pula kamu pulang sepagi ini?” Kak Dina menghampiriku.Aku duduk dan mengatur napas. “Kakak—ta—hu, Bang—Udin dan Tia—sudah—selingkuh,” ucapku terbata-bata.“Ngomong yang jelas, Lan! Apa maksudmu?”Kak Dina juga terlihat tidak sabaran. Dia sampai berdiri mendekatiku.Aku menarik napas kembali, mencoba untuk tenang, agar bisa menjelaskan dengan benar.“Kak Dina tahu, selama ini, Bang Udin dan Tia sudah selingkuh. Mereka bahkan sudah tidur bersama.”Wajah Kak Dina seketika memerah. Ibu yang tampak hendak pergi ke depan untuk

    Terakhir Diperbarui : 2023-09-29
  • Balasan untuk Adik Tak Tahu Diri   Surgakah ini?

    “Tik ... Tik ... Tik ....” Sebuah suara memaksaku untuk sadar. Perlahan, aku mencoba membuka kelopak mata yang terasa begitu berat.Saat mata ini mulai terbuka, ada sebuah cahaya yang begitu terang dan bikin silau.“Dimana aku sekarang?” Aku berusaha untuk bicara. Namun, semua tetap senyap. Hanya ada suara udara yang berhembus.Kembali, aku berusaha untuk membuka mata. Saat cahaya itu berhasil beradaptasi, kudapati semua serba putih-putih.Di surgakah aku saat ini? Apa sekarang aku sedang di alam kubur? Namun, kenapa terang sekali. Bukankah kuburan itu tempat yang sangat gelap? Kita hanya ditemani oleh cacing, ular, dan bintang yang hidup di tanah lainnya?Aku berusaha untuk menoleh ke kanan atau ke kiri, tetapi leherku rasanya sakit sekali. Seperti sulit untuk digerakkan.“Selamat pagi, Mbak, sudah sadar, ya?” Seorang wanita masuk dengan menggunakan seragam putih-putih.Berarti aku masih hidup sekarang. Tabrakan kemarin itu tidak membuat nyawaku melayang. Maka, aku kembali mencoba

    Terakhir Diperbarui : 2023-10-02
  • Balasan untuk Adik Tak Tahu Diri   Pucuk Dicinta Ulam pun Tiba

    “Mbak Wulan tadi mau ngomong apa?” Bu Mila meraba lenganku sambil tersenyum.Astagfirullah, Bu Mila pasti menangkap gelagatku. Aku merasa sangat malu. Seharusnya aku bisa menjaga diri dan pandangan.“Mbak Wulan sudah sadar?” Mas Lukman meletakkan buah yang dibawanya ke meja di samping kepalaku.Aku tidak menjawab. Entah mengapa hatiku rasanya berbunga-bunga dan perasaan itu tidak bisa kusembunyikan. Bahkan rasa sedih tadi seolah-olah sirna begitu saja. Apakah ini yang dinamakan cinta?Tidak boleh. Aku tidak boleh seperti ini. Bagaimana kalau ternyata Mas Lukman tidak punya perasaan padaku? Aku bisa kecewa, kan?“Hm, hm, hm.” Bu Mila berdehem beberapa kali. “Sepertinya saya tidak diperlukan lagi di sini?”“Hm, itu, hm.” Aku jadi benar-benar gugup.“Kapan Mbak Mila boleh kembali?” Mas Lukman langsung mengambil alih, membuatku terasa lebih baik dan terlindungi.“Nanti Mas Lukman tanya sendiri pada Susternya saja,” jawab Bu Mila.“Kata susternya, keadaan saya sudah lebih baik. Kalau tidak

    Terakhir Diperbarui : 2023-10-02
  • Balasan untuk Adik Tak Tahu Diri   Drama Baru

    Mas Lukman benar-benar memberiku pekerjaan. Dia memintaku menjadi administrasi di kantornya. Apalagi aku jurusan Akuntansi. Jadi, aku juga diminta untuk merekap data keuangan dari setiap sekolah yang masuk.“Selama ini, memang saya yang meng-handle semuanya. Namun, sekarang saya rasa, saya harus lebih banyak waktu untuk keluarga,” ucapnya.Eh, sebentar, keluarga? Apa mas Lukman sudah menikah? Kalau dilihat dari segi ekonomi, memang sepantasnya Mas Lukman sudah mempunyai istri. Dia sudah terlihat begitu mapan dan dewasa. Perempuan mana sih, yang tidak mau dengan laki-laki seperti Mas Lukman. Jadi, dia tinggal tunjuk perempuan mana yang mau dia jadikan istri.Namun, kenapa Bu Mila tetap menjodohkanku? Apa yang dimaksud Mas Lukman keluarga itu ayah dan ibunya?Astagfirullah, kenapa aku malah mencoba mencari pembenaran seperti ini? Memangnya apa urusanku dengan status Mas Lukman. Aku kan hanya mencari pekerjaan untuk menyambung hidupku, kan, seharusnya?“Bagaimana kamu mau bekerja dengan

    Terakhir Diperbarui : 2023-10-03
  • Balasan untuk Adik Tak Tahu Diri   Sepotong Hari Yang Kelabu

    Setelah membaca pesan Tia, aku memilih untuk tidak membalasnya. Biarkan saja dengan permainannya sendiri. Meskipun, sebenarnya aku juga penasaran. Apa penyebab anak itu bisa berubah seperti itu? Namun, dia kembali mengirim pesan. “Benar kan, kalian tidak peduli.”“Bagaimana Kakak mau peduli kalau kamu tidak cerita?” Akhirnya aku terpancing untuk membalasnya kembali.“Sudahlah. Aku sudah hidup bahagia dengan Bang Udin,” balasnya lagi.Ya sudah, hiduplah kamu dengan kemaksiatan Tia. Tunggulah Tuhan membalas perbuatanmu. Selain itu, aku akan berusaha juga menghentikan maksiat yang kamu lakukan. Lihat saja suatu hari nanti.Tiba-tiba seseorang mengetuk pintu kamar. “Assalamualikum. Mbak Wulan sudah siap?” Mas Lukman mengintip di depan pintu.“Motornya sudah selesai diperbaiki, Pak?”“Sudahlah pakai Mas saja,” ucapnya sambil tersenyum. “Alhamdulillah sudah. Jadi, kita mau langsung berangkat atau mau ke rumah Bu Mila dulu?”Eh, aku sampai lupa mau minta tolong sama Mas Lukman untuk diambil

    Terakhir Diperbarui : 2023-10-04
  • Balasan untuk Adik Tak Tahu Diri   Ada apa dengan hidupku?

    “Assalamualaikum anak papa. Apa kabar semuanya? Bagaimana dengan sekolahnya hari ini?” Mas Lukman langsung menghampiri anak-anaknya sambil menciumnya secara bergiliran.Aku merasa cemburu. Aku merasa iri. Kenapa bukan anak-anak yang lahir dari rahimku yang mendapatkan perlakuan seperti itu?Lukman memang laki-laki yang baik dan sempurna. Pasti dia mendapatkan wanita yang baik juga. Apa mungkin Tuhan memintaku untuk memperbaiki diri agar bisa mendapatkan laki-laki sehebat Mas Lukman?“Papa kemana saja? Kenapa sudah beberapa hari ini tidak pulang?” protes anak perempuan yang paling besar.“Papa masih ada urusan di sekolah dan diluar, Nak. Kalian sudah makan?” Mas Lukman menjelaskan pada anaknya tanpa berbohong.Dia benar-benar meladeni anaknya. Padahal, kebanyakan orang tua saat ini malas melayani anak mereka, kan? Saat anak-anak mereka bertanya, mereka akan menjawab asal-asalan. Yang lebih parahnya lagi, ada orang tua yang malah mengusir anaknya, menyuruh mereka pergi karena dianggap m

    Terakhir Diperbarui : 2023-10-06
  • Balasan untuk Adik Tak Tahu Diri   Hidup Yang Nelangsa

    Setelah Mas Lukman pergi, aku bergegas menuju kamar mandi. Aku harus sudah pergi sebelum kantor ini dipenuhi para karyawan. Tidak enak juga rasanya jika aku berada di sini, takut jadi fitnah bagi Mas Lukman.Namun, belum selesai aku mengganti pakaian setelah mandi, pintu kamarku sudah diketok seseorang.Eh, apakah itu Mas Lukman? Tapi, kenapa dia tidak mengucapkan salam.Karena pintu terus diketok dan makin hari makin keras, aku bergegas menggunakan baju dan mengambil jilbab langsung yang memang kuletakkan di tempat yang mudah kuraih.“Sebentar,” ucapku sambil tergopoh-gopoh membuka pintu.Namun, saat sekat itu terbuka, aku terkejut bukan main. Di hadapanku ada seorang ibu paruh baya yang rambutnya sudah tampak memutih.Dia memandangku dengan teliti dari atas sampai ke bawah.“Kamu yang bernama Wulan?” tanyanya dengan nada yang menurutku tidak terlalu bersahabat. Sebab, tidak ada senyum yang tersungging di wajahnya.Aku mengangguk sambil mencoba tersenyum. Dengan sedikit gugup, aku b

    Terakhir Diperbarui : 2023-10-10

Bab terbaru

  • Balasan untuk Adik Tak Tahu Diri   Hidup Yang Nelangsa

    Setelah Mas Lukman pergi, aku bergegas menuju kamar mandi. Aku harus sudah pergi sebelum kantor ini dipenuhi para karyawan. Tidak enak juga rasanya jika aku berada di sini, takut jadi fitnah bagi Mas Lukman.Namun, belum selesai aku mengganti pakaian setelah mandi, pintu kamarku sudah diketok seseorang.Eh, apakah itu Mas Lukman? Tapi, kenapa dia tidak mengucapkan salam.Karena pintu terus diketok dan makin hari makin keras, aku bergegas menggunakan baju dan mengambil jilbab langsung yang memang kuletakkan di tempat yang mudah kuraih.“Sebentar,” ucapku sambil tergopoh-gopoh membuka pintu.Namun, saat sekat itu terbuka, aku terkejut bukan main. Di hadapanku ada seorang ibu paruh baya yang rambutnya sudah tampak memutih.Dia memandangku dengan teliti dari atas sampai ke bawah.“Kamu yang bernama Wulan?” tanyanya dengan nada yang menurutku tidak terlalu bersahabat. Sebab, tidak ada senyum yang tersungging di wajahnya.Aku mengangguk sambil mencoba tersenyum. Dengan sedikit gugup, aku b

  • Balasan untuk Adik Tak Tahu Diri   Ada apa dengan hidupku?

    “Assalamualaikum anak papa. Apa kabar semuanya? Bagaimana dengan sekolahnya hari ini?” Mas Lukman langsung menghampiri anak-anaknya sambil menciumnya secara bergiliran.Aku merasa cemburu. Aku merasa iri. Kenapa bukan anak-anak yang lahir dari rahimku yang mendapatkan perlakuan seperti itu?Lukman memang laki-laki yang baik dan sempurna. Pasti dia mendapatkan wanita yang baik juga. Apa mungkin Tuhan memintaku untuk memperbaiki diri agar bisa mendapatkan laki-laki sehebat Mas Lukman?“Papa kemana saja? Kenapa sudah beberapa hari ini tidak pulang?” protes anak perempuan yang paling besar.“Papa masih ada urusan di sekolah dan diluar, Nak. Kalian sudah makan?” Mas Lukman menjelaskan pada anaknya tanpa berbohong.Dia benar-benar meladeni anaknya. Padahal, kebanyakan orang tua saat ini malas melayani anak mereka, kan? Saat anak-anak mereka bertanya, mereka akan menjawab asal-asalan. Yang lebih parahnya lagi, ada orang tua yang malah mengusir anaknya, menyuruh mereka pergi karena dianggap m

  • Balasan untuk Adik Tak Tahu Diri   Sepotong Hari Yang Kelabu

    Setelah membaca pesan Tia, aku memilih untuk tidak membalasnya. Biarkan saja dengan permainannya sendiri. Meskipun, sebenarnya aku juga penasaran. Apa penyebab anak itu bisa berubah seperti itu? Namun, dia kembali mengirim pesan. “Benar kan, kalian tidak peduli.”“Bagaimana Kakak mau peduli kalau kamu tidak cerita?” Akhirnya aku terpancing untuk membalasnya kembali.“Sudahlah. Aku sudah hidup bahagia dengan Bang Udin,” balasnya lagi.Ya sudah, hiduplah kamu dengan kemaksiatan Tia. Tunggulah Tuhan membalas perbuatanmu. Selain itu, aku akan berusaha juga menghentikan maksiat yang kamu lakukan. Lihat saja suatu hari nanti.Tiba-tiba seseorang mengetuk pintu kamar. “Assalamualikum. Mbak Wulan sudah siap?” Mas Lukman mengintip di depan pintu.“Motornya sudah selesai diperbaiki, Pak?”“Sudahlah pakai Mas saja,” ucapnya sambil tersenyum. “Alhamdulillah sudah. Jadi, kita mau langsung berangkat atau mau ke rumah Bu Mila dulu?”Eh, aku sampai lupa mau minta tolong sama Mas Lukman untuk diambil

  • Balasan untuk Adik Tak Tahu Diri   Drama Baru

    Mas Lukman benar-benar memberiku pekerjaan. Dia memintaku menjadi administrasi di kantornya. Apalagi aku jurusan Akuntansi. Jadi, aku juga diminta untuk merekap data keuangan dari setiap sekolah yang masuk.“Selama ini, memang saya yang meng-handle semuanya. Namun, sekarang saya rasa, saya harus lebih banyak waktu untuk keluarga,” ucapnya.Eh, sebentar, keluarga? Apa mas Lukman sudah menikah? Kalau dilihat dari segi ekonomi, memang sepantasnya Mas Lukman sudah mempunyai istri. Dia sudah terlihat begitu mapan dan dewasa. Perempuan mana sih, yang tidak mau dengan laki-laki seperti Mas Lukman. Jadi, dia tinggal tunjuk perempuan mana yang mau dia jadikan istri.Namun, kenapa Bu Mila tetap menjodohkanku? Apa yang dimaksud Mas Lukman keluarga itu ayah dan ibunya?Astagfirullah, kenapa aku malah mencoba mencari pembenaran seperti ini? Memangnya apa urusanku dengan status Mas Lukman. Aku kan hanya mencari pekerjaan untuk menyambung hidupku, kan, seharusnya?“Bagaimana kamu mau bekerja dengan

  • Balasan untuk Adik Tak Tahu Diri   Pucuk Dicinta Ulam pun Tiba

    “Mbak Wulan tadi mau ngomong apa?” Bu Mila meraba lenganku sambil tersenyum.Astagfirullah, Bu Mila pasti menangkap gelagatku. Aku merasa sangat malu. Seharusnya aku bisa menjaga diri dan pandangan.“Mbak Wulan sudah sadar?” Mas Lukman meletakkan buah yang dibawanya ke meja di samping kepalaku.Aku tidak menjawab. Entah mengapa hatiku rasanya berbunga-bunga dan perasaan itu tidak bisa kusembunyikan. Bahkan rasa sedih tadi seolah-olah sirna begitu saja. Apakah ini yang dinamakan cinta?Tidak boleh. Aku tidak boleh seperti ini. Bagaimana kalau ternyata Mas Lukman tidak punya perasaan padaku? Aku bisa kecewa, kan?“Hm, hm, hm.” Bu Mila berdehem beberapa kali. “Sepertinya saya tidak diperlukan lagi di sini?”“Hm, itu, hm.” Aku jadi benar-benar gugup.“Kapan Mbak Mila boleh kembali?” Mas Lukman langsung mengambil alih, membuatku terasa lebih baik dan terlindungi.“Nanti Mas Lukman tanya sendiri pada Susternya saja,” jawab Bu Mila.“Kata susternya, keadaan saya sudah lebih baik. Kalau tidak

  • Balasan untuk Adik Tak Tahu Diri   Surgakah ini?

    “Tik ... Tik ... Tik ....” Sebuah suara memaksaku untuk sadar. Perlahan, aku mencoba membuka kelopak mata yang terasa begitu berat.Saat mata ini mulai terbuka, ada sebuah cahaya yang begitu terang dan bikin silau.“Dimana aku sekarang?” Aku berusaha untuk bicara. Namun, semua tetap senyap. Hanya ada suara udara yang berhembus.Kembali, aku berusaha untuk membuka mata. Saat cahaya itu berhasil beradaptasi, kudapati semua serba putih-putih.Di surgakah aku saat ini? Apa sekarang aku sedang di alam kubur? Namun, kenapa terang sekali. Bukankah kuburan itu tempat yang sangat gelap? Kita hanya ditemani oleh cacing, ular, dan bintang yang hidup di tanah lainnya?Aku berusaha untuk menoleh ke kanan atau ke kiri, tetapi leherku rasanya sakit sekali. Seperti sulit untuk digerakkan.“Selamat pagi, Mbak, sudah sadar, ya?” Seorang wanita masuk dengan menggunakan seragam putih-putih.Berarti aku masih hidup sekarang. Tabrakan kemarin itu tidak membuat nyawaku melayang. Maka, aku kembali mencoba

  • Balasan untuk Adik Tak Tahu Diri   Balas Dendam Berakhir Maut

    Pikiranku bertambah kalut. Dadaku semakin sesak. Air mataku semakin deras. Setelah berteriak menumpahkan segala emosi, bukannya tenang, aku malah tambah uring-uringan.Dengan segera, kulajukan motor metikku.Setibanya di rumah, aku sudah tidak tahan lagi. Aku menangis, membentak, dan marah. “Kemana Tia? Kenapa dia sejahat itu. Bukankah dia yang telah selingkuh dengan Bang Udin. Lalu, kenapa aku yang malah difitnah.”“Apa yang kamu katakan, Lan? Kamu kenapa? Kenapa pula kamu pulang sepagi ini?” Kak Dina menghampiriku.Aku duduk dan mengatur napas. “Kakak—ta—hu, Bang—Udin dan Tia—sudah—selingkuh,” ucapku terbata-bata.“Ngomong yang jelas, Lan! Apa maksudmu?”Kak Dina juga terlihat tidak sabaran. Dia sampai berdiri mendekatiku.Aku menarik napas kembali, mencoba untuk tenang, agar bisa menjelaskan dengan benar.“Kak Dina tahu, selama ini, Bang Udin dan Tia sudah selingkuh. Mereka bahkan sudah tidur bersama.”Wajah Kak Dina seketika memerah. Ibu yang tampak hendak pergi ke depan untuk

  • Balasan untuk Adik Tak Tahu Diri   Fitnah

    Setelah membaca pesan dari Tia, aku meminta Kak Dina untuk langsung keluar dari kamarku. Sungguh, aku takut tidak tahan untuk tidak mengatakan yang sebenarnya.Namun, aku rasa lebih baik tidak mengambil risiko, kan, dari pada terjadi apa-apa. Melihat ulah Tia kemarin, aku jadi yakin kalau dia akan tega melakukan apa saja untuk menutupi kejahatannya.Jadi, seharian ini, aku memutuskan untuk diam dan menutup mulut dulu. Setelah ini, aku akan berpikir lagi. Intinya, aku harus menyadarkan Tia dan Bang Udin untuk kembali ke jalan yang benar.Malam ini pun, aku memutuskan untuk tidur lebih awal. Pagi-pagi sekali, aku langsung pergi ke sekolah. Aku memutuskan untuk sarapan di kantin saja.“Benar kan, apa yang aku katakan.” Seorang guru langsung berbisik pada teman di sebelahnya begitu aku memasuki kantor. Ibu-ibu di sebelahnya pun tampak mengangguk-angguk.Si guru kepo yang sering mengomentariku pun berkata dengan lantang, “Tampangnya aja yang MasyaaaaAllah. Tapi, ternyata ...” Namun, lagi

  • Balasan untuk Adik Tak Tahu Diri   Katakan atau Tidak

    Aku terbangun dalam keadaan badanku sakit semua. Ini pasti akibat ulah Bang Udin dan Tia dan perlawananku kemarin.Namun, anehnya, sekarang aku tidak lagi terikat pada tempat tidur. Hanya, kedua pergelangan tangan dan kakiku yang memerah.Saat kesadaranku benar-benar pulih pun, aku melihat diriku sudah menggunakan baju piama tidur yang lengkap. Tubuhku juga ditutupi dengan selimut tidur yang biasa kugunakan.Aku beranjak turun dari atas ranjang.“Astagfirullah, badanku rasanya sakit semua,” keluhku sambil berjalan menuju ke dapur. Aku mau minum. Tenggorokanku terasa benar-benar kering.“Baru bangun kau, Wulan?” tanya ibu, orang pertama kali kutemui pagi ini.“Iya, Bu,” jawabku lemas.“Tumben kau tidur nyenyak sekali, sampai-sampai ibu bangunkan berkali-kali, tapi kau tidak bangun.”Aku melihat sekeliling. Apa aku katakan saja apa yang terjadi kemarin malam? Tapi, dari mana aku harus memulainya.“Hei, ditanya kok, malah termenung.” Senggolan ibu menyadarkanku kembali.“Eh, itu, Bu. Ti

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status