"Ayo, Ma, kita pergi!" ajakku pada Mama. "Eh, kamu mau ke mana, Dek?" tanya Mas Arga seraya memegangi tanganku."Ke mana lagi? Ya pulang ke rumahku, lah. Di sini kan aku nggak dibutuhin lagi. Sudah ada Shelina. Benar kan, Lin?" Shelina menatapku gugup. Ia sedari tadi memang lebih banyak diam. "Eh, kenapa?" "Selama aku menjadi menantu di rumah ini, semua pekerjaan rumah aku yang handle. Begitu juga kamu harus siap tak diberi nafkah." Lina tersenyum sinis padaku. "Itu tidak mungkin terjadi. Mas Arga sangat mencintaiku, begitupun dengan Ibu yang menyayangiku. Jangan samakan nasibmu denganku, karena kita tak sepadan. Uang gaji Mas Arga, akan tetap aku yang pegang."Aku tertawa keras. Siapa yang bisa menjamin? Bahkan kini kulihat wajah Ibu berubah menjadi khawatir ketika mendengar ucapan Shelina. "Dek, coba pikirkan lagi.""Untuk? Oh iya, jangan lupa untuk mendaftarkan gugatan cerai kita ke pengadilan. Kalau kamu tak mau, biar aku yang mengajukannya.""Dasar wanita sombong! Lihat sa
Aku terdiam saat dia mengatakan hal demikian. Tapi, itu tak berlang lama. Karena setelahnya..."Hahahaha!" "Kok ketawa?""Aduh, udah deh, Mas. Nggak usah sok akting gitu. Pake segala bilang cinta. Kamu pikir aku bahkan luluh dan dengan mudahnya kamu membawaku kembali ke rumah ... Maksudku, rumah yang mirip neraka itu?" "Untuk apa aku bercanda?" "Ya siapa tau, kan.""Aku serius, Dek.""Pulanglah, Mas. Aku sedang tak ingin bertemu denganmu. Lagian ini sudah malam. Tak baik." "Orang masih berpikiran bahwa aku ini suamimu. Jadi, apanya yang tak baik?" "Tak baik untuk kita, Mas. Semakin lama kamu di sini, semakin aku ingin segera bercerai denganmu!" Raut wajah Mas Arga terlihat terkejut. Biarlah. Toh aku memang ingin berpisah dengannya. "Dek, coba pikirkan lagi. Semua ini masih bisa diperbaiki.""Apanya yang diperbaiki? Bukankah kamu sudah mendapatkan apa yang kamu mau? Shelina sudah menjadi istrimu." "Mungkin awalnya aku memang menginginkan dia. Tapi, makin ke sini, entah kenapa h
Pov Arga "Kamu bener mencintai Mbak Rain, Mas?" tanya Shelina, seusai kepergian Rain dari rumah. "Emm ... Itu ..." Aku bingung harus menjawab apa? Karena sejujurnya, jauh di dalam hatiku memang tersemat namanya. Meskipun belum bisa menggantikan Shelina. Entah itu bermula sejak kapan? Yang pasti, saat aku mulai memperhatikan ia yang tengah menyiapkan makanan untukku, juga ketika ia menyambutku dengan pakaian rapi, sore itu. Ada yang berbeda. Jelas. Biasanya ia akan mengenakan daster berbau bawang ketika menyambutku pulang kerja. Sejak saat itu, bayang-bayang Raina mulai menghantuiku. Hingga akhirnya, aku menikah dengan Shelina. Entah, ada yang terasa kosong. Aku, tak sebahagia yang kubayangkan. Tadinya kupikir, menikahi Shelina merupakan keinginan terkuatku. Namun sepertinya, sosok Raina telah berhasil merebut perhatianku. "Mas? Ditanya kok malah diem?" Suara Lina membuatku tersadar dari bayang masa lalu. "Mas nggak tahu. Spontan aja tadi jawabnya," ucapku sambil masuk ke dala
Kukejar perempuan yang sudah menemaniku selama dua tahun itu. Entah kenapa, rasa takut mulai menyergap. Kuambil kunci mobil, lalu mengikuti taksi yang telah distop oleh Raina. "Jangan. Jangan begini, aku takut kehilanganmu." Dengan kecepatan penuh, kulajukan mobil hingga akhirnya... Brak! Kurasakan hantaman pada mobil bagian depan dan belakang. Masih dapat kudengar riuh suara orang-orang menghampiri, hingga akhirnya aku mulai kehilangan kesadaranku. --Pov Raina Aku begitu kagum pada Mas Arga. Mau sampai kapan dia akan membuktikan yang katanya mencintaiku itu? Bukankah semua itu palsu? Kita lihat, apakah dia benar-benar mau menceraikan Shelina? Aku dan Mama pergi bersama ke rumah Mas Arga, lalu mendapati hal yang kuinginkan. Mas Arga, mentalak langsung Shelina. Hatiku langsung berbunga-bunga. Apakah kalian pikir aku memintanya untuk menceraikan Shelina agar kami dapat bersama? No-no! Kalian salah besar. Setelah mendengar ucapan talak Mas Arga pada wanita tak tahu diri itu,
"Halo. Assalamu-""Mbak ... Tolong aku, hiks." Dahiku berkerut mendengar suara Megan di seberang sana. Kenapa dengannya?"Ada apa?" "Mbak, sepertinya, aku hamil." Deg! Dia hamil? "Lalu?""Bantu aku, Mbak.""Bagaimana caranya?" "Aku mau menggugurkannya." "Astaghfirullah. Sadar, Megan!" "Aku bingung, Mbak. Hiks." Aku pun semakin bingung. Sebenarnya, apa yang terjadi dengan adik iparku itu? "Kamu di mana sekarang?" Setelah mendengar nama tempat yang diucapkan oleh Megan, aku segera meluncur ke sana. "Ke mana?" tanya Mama saat aku menyambar kunci mobil yang tepat berada di sampingnya. "Rain ada perlu, Ma. Assalamu'alaikum.""Wa'alaikum salam." Kupacu mobil dengan kecepatan penuh. Tak kupedulikan umpatan bahkan cacian pengguna lain. Yang ada di pikiranku sekarang adalah, bagaimana untuk cepat sampai di sana. Kuparkirkan mobil di depan sebuah hotel bintang tiga tersebut. "Mau cari siapa?" tanya satpam. "Mau cari adik saya." "Kamar nomor?" Duh, aku lupa menanyakannya. Lagi
Sampai di rumah sakit, segera kucari suster dan menanyakan ruang Mas Arga dirawat. "Keluarganya?" Aku mengangguk. Lalu beranjak pergi setelah menemukan nomor kamarnya. "Pasien mengalami pendarahan hebat. Untungnya, dokter yang berjaga sangat siaga. Pendarahan dapat diberhentikan, sekarang pasien sudah di ruang rawat inap," kata suster tadi. Sampai di ruangannya, sepi. Tak kutemukan Ibu di sana. Apakah pihak rumah sakit hanya menghubungiku saja? "Sepertinya, dia belum sadar," ucap Mama sambil meletakan tasnya di sofa. Aku duduk di sebelahnya, tanpa sadar, hatiku sakit melihatnya seperti ini. "Aku telpon Ibu dulu, Mbak." Aku mengangguk mendengar penuturan Megan. Tapi, bukankah ia sedang tak ingin bertemu dengan Ibu? Ah, sudahlah. Tak berapa lama, seorang dokter datang bersama suster. "Keluarga pasien Arga?" Aku mengangguk, lalu berdiri menghampiri dokter muda itu. "Bisa ikut ke ruangan saya?" "Kenapa nggak dijelaskan di sini saja, Dok?" "Ini penting, Bu," kata Dokter itu d
Aku dan Mama berpandangan, sementara Megan segera keluar dari dalam kamar. "Mas Arga sudah tidur, Gan?" "Sudah, Mbak. Sepertinya, itu suara Ibu, ya?" Aku mengangguk. Kenapa Ibu berteriak begitu? Segera kubuka pintu yang memang sengaja kukunci. "Rain! Di mana Arga? Mana anakku?" "Bu, tenang. Kita bicarakan di dalam." Ibu masuk dengan wajah merah padam. Ada apa sebenarnya? "Mana Arga?" "Bu, Mas Arga baru pulang dari rumah sakit. Jika Ibu datang hanya membawa masalah, sebaiknya Ibu simpan dulu," ucapku. "Heh, perempuan mandul! Arga itu anakku. Kenapa dia tak mengirimkan uang begitu kupinta? Biasanya dia akan langsung mengirimkannya. Kamu pastii menghasutnya, kan?" Deg! Perempuan mandul? "Astaghfirullah, Bu! Anak saya tidak mandul, ya!" Papa datang dari kamarnya. Lalu berdiri, berhadapan dengan Ibu mertuaku."Alah, kalau tidak mandul, kenapa tak hamil juga? Sedangkan Shelina saja sudah hamil, kok!" Apa? "Shelina hamil?" tanyaku."Ya, dia sudah hamil empat minggu. Sedangkan
Dahi Ibu mengernyit, menandakan ia tengah dilanda kebingungan. "Maksud Besan, apa?" "Tidak. Saran saya, jaga anak anda. Apalagi dia adalah perempuan. Jangan sampai tersesat di tengah jalan. Dulu, waktu Raina masih muda, saya menjaganya dengan ketat. Supaya dia tetap aman dan tak mempermalukan keluarga. Silakan, bawa anak anda pulang!" Bapak berbicara. "Mbak, aku gak mau," bisik Megan. "Kenapa?" "Aku takut, Ibu akan menghajarku, Mbak.""Bukankah itu konsekuensimu?" "Mbak," pintanya memelas. "Nanti, Rain antarkan Megan pulang. Sekarang, Ibu pulang saja. Takut menantu kesayangan Ibu itu kenapa-napa. Apalagi, dia sedang hamil, bukan?" ucapku. Padahal, aku ingat betul apa yang terakhir Mas Arga ucapkan padaku waktu itu. "Mas belum pernah menyentuh Shelina, Dek. Percayalah, semakin ke sini, perasaanku padamu semakin tumbuh. Entah kenapa, posisi Shelina geser begitu saja." Aku tersenyum saat teringat ucapannya. Entah mana yang benar? Jika apa yang Ibu katakan itu benar, maka Mas Ar
BAB 58 Aku tak bisa tinggal diam saja ketika melihat suamiku diharapkan oleh perempuan lain. Terlebih ini adalah oleh wanita di masa lalu Mas Uji. "Ayo, Na, kita teruskan jalan-jalan. Misi ya, Nak Riris." Seperti ada kekecewaan di kedua manik hitam perempuan manis itu. Seolah-olah mengharapkan sesuatu yang memang sangat ia inginkan. "Umi duluan, Nana mau ngobrol dulu sama Mbak Riris." Riris membeliakkan matanua seakan bingung dengan keinginanku. Aku meminta Umi untuk menunggu di warung dekat lapangan. "Ada apa, Mbak?" tanya Riris. "Begini ya, Mbak Riris. Aku tak ingin menggunakan cara kasar. Singkatnya saja, tolong jauhi suami saya. Mbak Riris sudah tahu Mas Uji memiliki seodang istri, kenapa masih mengharapkannya?" tanyaku pada Riris yang langsung menunduk. Kupikir, wanita itu mengerti, namun ternyata tidak. Ia justru terkekeh mendengar ucapanku. "Lantas, kalau dia sudah menikah memang kenapa? Banyak kok, pernikahan yang hancur karena orang ketiga." Dadaku berdebar kencang
"Eh, Nak Raina. Nggak papa, tadi Bibi salah ngomong. Kalau begitu, aku pulang dulu ya mbak, soalnya bentar lagi mau ada tamu. Maaf gak bisa ngebantu dulu," ucap Bi Waroh. Umi menggelengkan kepalanya, Aku hanya bisa beristighfar dan mencoba sabar untuk menghadapi bibinya Suamiku itu. Aku sadar, jumlah manusia itu banyak dan tak mungkin semuanya itu menyukai kita. Ada saja permasalahan yang terjadi, meski kita hanya diam saja. "Mau masak apa, Mi? Biar Nana bantu." "Nggak usah, Na. Umi bisa melakukannya sendiri, lagi pula kamu di rumah Mama kan nggak pernah ngapa-ngapain, Masa Iya Umi mau menyuruh-nyuruh kamu." Aku terkekeh, memang banyak orang yang mengira jika Mama terlalu memanjakan aku. Padahal sebenarnya tidak, karena aku pun mengerjakan pekerjaan rumah selayaknya anak pada umumnya ketika di rumah. "Nggak, Mi, Nana juga sering masak di rumah. Enak masakannya, Mi," ucap Mas Uji sambil keluar dari kamar. "Iyakah? Wah Umi nggak tahu, Ayo kalau gitu sini, Na, bantu kupaskan kentan
BAB 56 "Maafkan Riris, ya, dia memang terkenal pendiam. Jadinya begitu," ucap Bu Ina. Pendiam? Dari mananya? Terlihat sekali jika anaknya itu memendam perasaan pada suamiku. "Iya, Bu, nggak papa," jawabku. Mas Uji mengajakku keliling kampung lagi. Kampung suamiku memang sangat asri lingkungannya. Banyak pepohonan yang masih rindang. "Mas, Riris beneran pendiam?" tanyaku. "Iya, memang begitu. Kenapa?" "Nggak papa." Kami melanjutkan perjalanan hingga akhirnya sampai di rumah. Rupanya, Umi sudah membuatkan kudapan. Aku jadi tak enak, karena tak membantunya. "Maaf ya, Umi, Raina nggak bantuin." "Nggak papa, Nak Rain. Ayo, dimakan." Aku mengangguk, kami lalu lanjut mengobrol tentang masa-masa Mas Uji setelah pindah dulu. Ternyata, Umi tak jauh berbeda. "Sudah, Mi. Uji malu, ah." Umi terkekeh, lalu mengajakku untuk ikut pengajian nanti malam. Sementara Mas Uji berlalu untuk mandi sore. "Di mana, Mi?" tanyaku. "Ada di mushola, tadi Uji ngajak ke sana, nggak? Ke guru ngajinya U
BAB 55Aku kembali ke kamar. Perasaan senang yang tercipta dari rumah tadi mendadak menguap begitu saja. Hatiku sakit saat lagi-lagi mendapat hinaan semacam itu. Meski tak diucapkan secara langsung, tapi itu bisa membuatnya lebih sakit hati. "Kenapa balik lagi?" tanya Mas Uji. "Oh, nggak papa. Ada Bik Waroh di belakang," jawabku. "Apa Bik Waroh ngomong yang nyakitin hati?" tanya Mas Uji sambil memegang pundakku. "Nggak, Mas. Cuma aku memang agak capek aja." "Oh, ya sudah, istirahat. Kamu kan akhir-akhir ini sering bolak-balik ke toko. Belum ke toko cabang. Jadi, selama di sini, kamu bisa istirahat." Aku mengangguk. Kantor Mas Uji dengan rumah Umi jauh lebih dekat daripada dari rumahku. Itu sebabnya, aku menyetujui ketika kami akan tinggal di sini selama seminggu. Aku keluar kamar, lalu melihat foto keluarga yang sepertinya sudah lama diambilnya. Di sana ada almarhum bapak mertua. "Sayang sekali, Raina nggak bisa bertemu dengan Bapak," ucapku sambil mengelus bingkai fotonya. "
Aku menghela napas, ragu akan menjelaskan semuanya. Bukan tidak mungkin, Mas Uji malah akan menuduhku melakukan alibi untuk menutupi semua kesalahanku. "Laki-laki emang begitu kalau sudah cemburu, Na. Dulu saja Papamu begitu." "Iyakah? Mama kan nggak punya mantan suami," ucapku sambil cemberut. "Kata siapa? Mama punya." "Hah? Serius? Lalu, apa Raina bukan anak Papa?" tanyaku dengan sendu. "Hust! Ngawur. Kamu ya anak Mama dan Papa. Dulu, Mama dijodohkan. Nggak lama pernikahan, cuma bertahan satu bulan aja. Mama kabur dan nggak mau kembali ke rumah itu. "Wah, Rain baru tahu soal ini, Ma." "Memang sengaja dirahasiakan. Buat apa? Mama jadi kepikiran sama kamu. Kenapa nasib kita sama? Apa ini karma dari perbuatan kami di masa lalu?" "Tidak, Ma. Ini sudah takdirnya. Dulu, pas Raina menikah dengan Mas Arga, itu sebuah kesalahan sehingga pernikahan pun gagal. Semoga dengan Mas Uji ini, kami bisa akur." "Aamiin. Ya sudah, Mama masuk dulu. Sudah adzan magrib." Aku mengangguk, lalu ik
"Mas?'" ulangku. Aneh, Mas Uji bahkan tak melirik sekalipun. Aku menghela napas, lalu segera mandi. Sebaiknya aku memang membersihkan diri terlebih dahulu, sebelum aku bertanya padanya. Usai mandi, masih kulihat Mas Uji di depan layar laptopnya. Ia bahkan tak bersuara sama sekali. "Mas, kamu kenapa sih?" tanyaku. "Kamu nanya aku kenapa? Harusnya aku yang nanya, kamu kenapa? Apa kamu mau kembali ke mantan suamimu?" Aku mengerutkan kening saat mendengar ucapan Mas Uji. Apa maksudnya? Kapan aku bilang akan kembali ke mantan suamiku? Jika pun iya, aku pasti sudah gila. Atau jangan-jangan.... "Mas apa kamu tadi-" "Ya, aku melihatmu masuk ke rumahnya Arga, mantan suamimu." Aku tersentak mendengar teriakan Mas Uji. Apakah ia cemburu? Seandainya iya, bukankah harusnya bicara pelan-pelan?"Dari mana kamu tahu, Mas?" "Jelas aku tahu, karena aku mengikutimu dari belakang," jawab Mas Uji. "Apa?" "Kenapa? Aku mau turun di toko, tapi ngeliat mobilmu pergi. Kupikir kamu mau pulang, terny
, “Lho, Raina. Ayo masuk dulu,” ajak mantan mertuaku.“Nggak usah, Bu. Raina ada janji dengan suami. Jadi langsung saja,” ucapku.“Apa karena kesalahan di masa lalu, makanya kamu nggak mau lagi silaturahmi dengan kami, Rain? Apa suami barumu itu melarangmu bergaul dengan orang lain, sehingga kamu begini?”“Bukan begitu…”“Kalau begitu, ayo masuk.”Megan menatapku dengan tidak enak, melihat itu aku jadi tak tega dengannya dan akhirnya masuk ke dalam rumah yang penuh dengan kenangan pahit itu. setelah mengembuskan napas, aku akhirnya duduk. Teringat beberapa bulan yang lalu aku bahkan sempat dijadikan babu gratisan di sini.“Kakak ambilkan minum dulu ya, Rain.”Aku hanya mengangguk saja. Bukan hanya Kak Diana, tapi Ibu pun ikut pergi ke belakang. Megan segera mendekatiku dan meminta maaf karena telah menuimbulkan rasa tak nyaman ini.“Iya, nggak papa. Tapi habis ini pulang, ya?” pintaku.“Iya, Kak. Megan juga sudah kangen sama Mama,” jawabnya dengan tersenyum lebar.
, BALASAN UNTUK SUAMI PELIT—Aku masih berpikir keras, haruskah kukirim pesan pada Arlan? Tapi, apa yang akan aku ucapkan? Ah, sudah lah. Yang terpenting sekarang, aku sudah memiliki nomor lelaki itu. Kulihat kembali nomor lelaki yang sanggup membuat jantungku berdebar itu. Ya Allah, sesungguhnya aku tak boleh begini, tapi hamba tak bisa mengendalikan perasaan ini.Pagi hari.Kak Raina melihatku dengan senyum merekah, membuatku menjadi salah tingkah. Apakah Mas Uji memberitau semuanya padanya? Jika iya, maka aku bisa-bisa abis diledeki olehnya.“Kenapa, Kak?” tanyaku, sambil bergeser karena terus dilihat dari tadi.“Nggak papa, kok. Megan nggak jadi nginap semalam.”“Iya, Kak, hujan lebat juga, kan?”Kak Raina mengangguk, kukira ia akasegera berlalu dan menyusul suamiya di depan karena sudah agak siang. Namun ternyata aku salah, ia malah semakin mendekatiku, dan sudah dipastikan hal apa yang akan ia lakukan.“Cie, nemu tambatan hati baru nih, ye!”Aku hanya mendeli
Ia tengah chattingan dengan Nur. Adikku itu ternyata curhat dan nanya-nanya soal lelaki yang kemarin datang ketika lamaran.Namun, kenapa Mas Uji sampe tersenyum seperti itu?"Rain, ngapain?"Aku panik, segera kubuka aplikasi facebook. Berpura-pura tengah melihat akun sosial media miliknya."Nggak papa. Pengen liat sosial media suamiku aja. Ga boleh emang?"Mas Uji tersenyum, lalu berjalan menuju lemari. Bukannya dia tadi mau mandi?"Mas nggak jadi mandi?" tanyaku."Handuknya ketinggalan, Adek Sayang," ucapnya sambil mencubit pipiku.Ish, lelaki ini! Mau sampai kapan gombalin dan bikin jantungku berdetak tak karuan?"Sudah ah, mandi sana!"Mas Uji tergelak melihat tingkahku yang menjauhkannya dariku. Kemudian ia pergi setelah sebelumnya mengacak rambutku.Aku merebahkan diri di atas kasur. Setelah bercerai dengan Mas Arga, aku lebih posesif pada Ma