"Astaghfirullah, mengerikan sekali," ungkap Zhafran tak kalah panik."Bunda, jangan-jangan itu ...." ucapan Fatimah terhenti"Ayaah!" tariak Fatan, ia yakin jika mayat yang sudah membusuk itu merupakan ayah yang selama ini dibencinya."Ayaaaah! Astaghfirullah, Astaghfirullah, Bunda itu mayat Ayah, dia meninggal seorang diri tanpa diketahui siapapun, astaghfirullah," teriak Fatimah sambil terisak-isak.Mereka semua menangis, bau amis yang tercium begitu menyengat seolah tak terhirup lagi."Bunda gimana ini? itu pasti Ayah, kalau bukan Ayah siapa lagi coba." Fatimah terisak di pelukan sang Bunda."Gimana ini, Mas?" tanya Fatma kebingungan."Mas akan lapor polisi, kalian di sini beritahu para tetangga," usul Zhafran.Setelah sepakat, Zhafran pergi ke kantor polisi terdekat sementara Fatimah dan putra-putrinya segera berlari keluar berteriak minta tolong, tak menunggu waktu lama para tetangga muncul berdatangan hingga halaman rumah itu penuh oleh orang-orang yang berkumpul."Ada apa ini,
Sejak dua Minggu Ahza di kebumikan, rumah dua lantai yang dahulu merupakan simbol cinta, kasih sayang, dan harapan itu dikosongkan, baik Wirda ataupun Fatma tak ada yang mau menempati.Fatma berencana akan merenovasi rumah itu kemudian mengontrakannya pada orang lain. Namun, rencana itu belum terealisasi hingga saat ini, karena dirinya disibukkan dengan urusan yang lain.Sementara Wirda memilih pergi dan tinggal di rumah kecil di sebuah desa bersama sang Mama yang mana kondisinya semakin memburuk.Di sana Wirda membuka usaha warung kecil-kecilan sebagai penunjang hidupnya, selepas lelaki yang bernama Deri beringkar janji, Wirda lebih memilih pergi sejauh mungkin melupakan semuanya.Wanita yang berumur hampir kepala lima itu terdiam di teras rumahnya sambil menunggu warung yang tak juga dikunjungi pembeli, teringat ucapan Deri dua hari yang lalu."Maafkan aku, Wirda, ga bisa tepati janjiku waktu itu," ucap seorang Deri, lelaki yang berumur tak jauh dengan Ahza . Namun, ia masih terliha
"Ma! Bangun!" Wirda menggoyangkan tubuh kaku Mama, jantungnya sudah berdegup tak menentu.Wirda segera mengecek denyut nadi mama yang sudah tiada lagi, tak menyerah ia juga menempelkan telinganya ke dada Mama untuk mengecek degup jantungnya."Astaghfirullah, Mama!" teriak Wirda saat menyadari jika jantung sang Mama tercinta tak lagi berdetak, kini sempurna sudah penderitaan hidupnya.Wirda nelangsa, air matanya menganak sungai sambil terus mengguncangkan tubuh mama yang sudah kaku, untuk kedua kalinya Wirda merasa menyesal karena telah mengabaikan orang tercintanya saat meregang nyawa.Wirda bergegas ke rumah pak RT untuk memberi kabar jika mamanya telah tiada, sekaligus meminta bantuan terhadap warga sekitar untuk mengkremasikan jenazah Mama.Beruntung warga sekitar mau membantu proses pemakaman mama dengan sukarela, mereka juga banyak bersimpati, ada yang memberi Wirda uang dan juga makanan, semua tetangga bergotong royong membantu yang sedang berduka.Wirda diam termenung dengan ai
Seorang perempuan yang berusia 35 tahun terlihat duduk di sebuah bangku kayu dekat taman, wajah perempuan itu terlihat lebih tua dari umurnya, masih mengenakan seragam kerja hitam putihnya perempuan itu menyeruput es teh manis 5000-an yang ia beli di pedagang kaki lima.Cuaca yang terik membuat pelipisnya terus-menerus mengeluarkan keringat, dahinya mengkerut ketika ia mendongklak ke atas langit yang masih terik walaupun jam sudah menunjukkan pukul 04.00 sore."Wirda."Perempuan itu menoleh ketika ada seorang laki-laki yang memanggilnya dari belakang.Mereka saling bersitatap sejenak, lama terpisahkan oleh jarak dan waktu membuat dia lupa siapa lelaki yang menegurnya itu."Aku Faisal teman SMA kamu."Bibir Wirda mendadak tersenyum lebar, akhirnya ia mengingat siapa pria itu, pria yang ketika SMA menjadi cinta pertamanya, sedikit ada rasa malu yang ia rasakan mengingat hubungan mereka kala itu berakhir dengan tidak baik-baik."Oh iya aku baru ingat, kamu apa kabar?" Tanya Wirda, sement
"Ma, kamu di sini ternyata." Pintu kamar Bella dibuka oleh Faisal."Lagi ngapain?" Faisal merangkul putri satu-satunya itu."Ini Mama lagi nawarin puding, tapi aku kenyang mau istirahat aja, Pa." Bella tersenyum manis menatap wajah sang ayah, dalam sekejap mata dia berhasil mengubah wajah sinisnya itu, Winda pun terkejut melihat tingkah anak tirinya."Oh gitu, ya sudah biarin Bela istirahat dulu, Ma." "Ya udah." Sambil termenung Wirda keluar dari kamar gadis itu, dia tidak habis pikir gadis yang baru duduk di bangku SMA memiliki dua wajah yang mengerikan, aktingnya sudah menandingi artis-artis papan atas.Lalu Wirda teringat perlakuannya dulu ketika berumah tangga dengan Ahza, dia pun kerap bersikap seperti Bella baik kepada Fatma dan anak-anaknya ketika di hadapan Ahza saja tetapi lain lagi di belakang bahkan dia pernah mencubit lengan Fatimah hingga menangis hanya karena kesal diganggu olehnya, tetapi saat Ahza datang dan menanyakan kenapa Fatimah menangis maka Wirda pun langsung
"Sumpah, Mas, aku nggak nyuri kalung Bella," ujar Wirda sambil merintih kepanasan.Faisal yang bijak menahan segala rasa kecurigaannya terhadap Wirda, karena dia tahu saat ini istrinya itu sedang membutuhkan pertolongan secepatnya."Ayo kita ke klinik.""Pa! Perempuan ini udah nyuri kalungku! Kalau Papa memaklumi gitu aja nanti dia mau nyuri apa lagi dari kita?! Bisa-bisa semua yang kita punya dia curi!" Teriak Bella.Gadis itu tidak puas karena Wirda tidak diberi hukuman malah dibawa ke klinik untuk diobati padahal dia berharap sang ayah mengusir Wirda dan menceraikannya, sungguh pemikiran yang sangat labil"Pa!" Anak itu terus berteriak karena Faisal tidak menghiraukannya."Papa! Dengerin aku dong!""Oh jadi sekarang Papa lebih ngebelain perempuan ini daripada anak sendiri! Papa ingat ya di dunia ini nggak ada mantan anak!""Cukup Bella! Kendalikan emosimu ini bukan saatnya berdebat!" Tegas Faisal, kepalanya pusing mendengar Bela terus nyerocos.Di satu sisi dia kasihan pada Wirda t
Faisal menepati janjinya, setelah beberapa jam Selly rapat dengan klien perusahaan di gedung tersebut, dia menjemput perempuan itu walau harus menunggu beberapa menit.Begitu keluar, Selly tersenyum tipis, ternyata usaha yang dia lakukan tidak sia-sia, teringat beberapa hari ke belakang, dia rela menembus hujan dan jalan yang jelek serta licik demi mendatangi sebuah rumah lelaki tua di sebuah desa yang dekat dengan sebuah pantai berdasarkan rekomendasi dari temannya.***"Aku ingin lelaki ini menjadi milikku, Bah, tapi dia sudah punya istri, aku juga ingin pria bernama Faisal ini melupakan istrinya dan hanya mencintaiku." Selly menyerahkan Poto dan beberapa persyaratan lain yang diminta, tentu saja persyaratan itu dengan bantuan Bella, dengan imbalan perhiasan emas biasa yang bagi Selly harganya terbilang tidak mahal."Pria ini ya, kamu tahu hari kelahirannya? Nama ibunya?" Dukun itu menatap wajah Selly dengan serius."Tahu, Bah, semua tertulis di sini.""Baik, tapi ada beberapa syara
"Si4l! Dasar Du kun si4lan!" Benda apa saja yang ada di hadapan Selly dibuat melayang oleh perbuatan tangannya, dada perempuan itu naik turun merasakan sesak dan amarah."Aki aki itu bilang kalau pelet darinya akan berhasil tapi buktinya?! Coba aja dia punya hape pasti sudah kumaki maki! Euhhh!"Dia pun duduk di sofa dengan membantingkan tubuhnya, lalu mengutak-atik ponsel, dan nampaklah nama Faisal yang sudah mengirim pesan.[Good night, Sell]Perempuan itu berdecak lalu membantingkan ponsel ke sisi kirinya."Ngapain juga terus-terusan dideketin dan dikirimin kata-kata romantis kalau nggak dinikahi, percuma tahu!" Dia meremas rambutnya dengan kasar.Sementara di sana Faisal keheranan karena Selly tidak biasanya tidak membalas pesan, hatinya mendadak merasa galau dan kehilangan, dia pun segera masuk ke dalam, melihat Wirda yang sedang makan sendirian."Ayo makan, Mas." Diliriknya isi meja, entah kenapa Faisal merasa bosan melihat makanan-makanan yang berderet di depannya, setiap har
"Oke kalau gitu, saya nggak akan ambil uangnya lagi, Bapak ambil aja.""Baiklah, Pak."Saat itu juga Uwais langsung pergi ke kos-kosan tempat Anisa, dia menemui pemilik rumah kos kosan untuk bertanya perihal gadis yang membuat perasaannya tidak tenang "Saya nggak tahu soal itu, lagi pula Anisa juga nggak ada bilang apa apa sama saya, kirain dia masih di dalam kamarnya.""Ya ampun." Uwais mengusap wajahnya, dia benar benar merasa khawatir."Memangnya ada apa gitu?""Saya curiga Anisa diculik seseorang, Bu.""Hah, masa sih?""Saya pergi dulu, Bu.""Nak, kau telpon saja polisi."Uwais hanya menoleh sekilas.Ribet banget harus telepon polisi segala, belum harus nunggu 24 jam Setelah Anisa pergi lalu harus ada bukti kuat, lebih baik kucari sendiri.Naik ojek online, Uwais pergi ke rumah salah satu temannya yang paham IT, dia memberikan nomor ponsel Anisa untuk melacak keberadaan saat ini, tentunya sebelum itu Uwais melakukan basa basi."Di sini nih tempatnya."Akhirnya nomor ponsel gadis
Ayah dan anak yang selama ini nampak akrab itu kini mulai saling memandang dengan tajam, Uwais kecewa karena ternyata semua ayah di dunia ini sama, baik itu ayah kandung yang dulu sudah menelantarkannya, juga ayah tiri yang kini boleh mengungkit ngungkit pemberiannya.Kalau tahu akan begini lebih baik dahulu Aku tidak pernah mengizinkan ibuku menikah dengan siapapun, lagi pula kau sanggup menghidupinya sebagai balas jasa karena ia sudah membesarkan seorang diri, begitu pikir Uwais."Nak, tenangkan dirimu ya." Fatma berdiri lalu mengelus bahu Uwais.Amarah yang akan meledak itu seketika pudar mendengar suara lembut yang keluar dari bibir Fatma, sejak dulu Jika ada masalah apapun dia memang tidak pernah mengeluarkan suara tinggi ataupun bicara kasar."Baiklah, Bi, aku akan pergi nggak bawa apa-apa, termasuk supermarket yang selama ini disokong oleh Abi, ambil aja, aku masih bisa cari uang dengan cara lain yang penting itu halal dan tidak menzalimi orang lain." Uwais tersenyum tipis.Sej
"Gimana Zhafran? Apa penyesalanmu itu ada gunanya?"Lelaki itu mengalihkan pandangannya, dia juga seorang lelaki normal, satu tahun yang lalu ketika bisnis mereka untung besar, kantor mengadakan pesta yang dihadiri oleh karyawan penting saja, Zhafran sempat mabuk berat dan dibawa ke sebuah kamar hotel lalu dengan lancangnya Selly masuk ke kamar pria itu, menggodanya mati Matian hingga dia mau mengga gahi Selly untuk pertama kali.Perempuan itu tidak bo doh, dia mengabadikan momen itu dengan ponselnya lalu menyimpan rapi dalam sebuah folder untuk dijadikan senjata, Selly yang ambisius sangat ingin menjadi Nyonya Zhafran yang kaya raya, tidak peduli walaupun dia sudah beristri, toh dia tidak pernah melihat wajah istrinya seperti apa karena selalu tertutup cadar, Selly berpikir jika Fatma adalah perempuan tua seperti kebanyakan ibu ibu lainnya karena sudah memiliki anak gadis dan bujang yang beranjak dewasa.Namun, ternyata Zhafran tidak sebodoh itu, sedikit pun dia tidak tertarik menjad
27Hiruk pikuk orang orang di pelabuhan ini membuat Uwais bisa melangkah perlahan tanpa takut dilihat oleh Zhafran dan yang lainnya, bagaimana pun juga Uwais ingin tahu sebenarnya untuk apa Anisa berada di tempat ini? Dirangkul lelaki pula? Apakah memang wanita itu tidak baik seperti kata ayahnya?Dia terus mengendap ngendap bahkan sekarang sudah mulai memakai masker walau wajahnya berkeringat banyak karena terkena teriknya sinar matahari di siang hari.Setelah hampir mendekat Uwais hampir mendengar jelas percakapan mereka, diabtidka terima seorang pria yang berada di hadapan Anisa menyentuh pipi gadis itu, entah kenapa ada rasa cemburu menyelusup ke dalam hatinya, dia pun melangkah lebih dekat lagi "Beneran dia masih pe ra wan ini?""Masih lah segelan, kalau ternyata udah jebol nanti duit kembali lima puluh persen.""Beneran nih ya duit kembali.""Kapan sih gua bohong."Uwais tercekat saat mendengar percakapan Zhafran dan lelaki itu, ternyata Anisa memang benar akan dijual dan mungk
"Tunggu!" Orang orang yang menyeret Anisa langsung menoleh, sementara gadis itu masih meronta ronta sambil menatap Uwais, untuk beberap detik mereka saling berpandangan."Ngapain kalian kasar sama perempuan? Dia itu temanku!"Lalu salah satu lelaki menyorotkan senter ke wajah Uwais hingga lelaki itu merasa silau."Kau kan anaknya Tuan, ngapain di sini?""Mau nyusul temenku, lepaskan dia."Beberapa orang lelaki itu saling berpandangan nampak bingung karena bagaimanapun juga perintah Zhafran pantang dilanggar."Bicarakan saja sama Tuan, urusanku cuma menangkap perempuan ini, dia masuk ke dalam ingin mencuri.""Hah?"Uwais langsung menatap Anisa, rasanya tidak mungkin gadis selembut dia harus mencuri, begitu pikir Uwais."Aku nggak mencuri! Aku mau menyelamatkan ….""Diam! Masuk ke dalam sekarang juga! Silakan Anda bicara dengan Tuan Zhafran, saya nggak mau disalahkan."Melihat Anisa kembali diseret Uwais langsung masuk ke dalam berlarian entah ke mana, beberapa kali dia menghadang para
Pagi itu Wirda sudah tak sabar menanti kedatangan Uwais, pasalnya malam tadi dia langsung pulang ke rumah karena sudah kemalaman dan kelelahan."Mbak, aku sudah agak enakan kalau mau pulang silakan, aku bisa sendiri kok."Fatma menatap Wirda dengan getir, pagi ini Wirda memang terlihat lebih bugar, baru satu malam saja sudah ada perubahan pada tubuhnya lain lagi ketika dirawat di rumah sakit kemarin Wirda lebih banyak tidur dan susah bergerak."Besok deh aku pulang ya, biar yang jaga gantian sama Uwais, hari ini dia ngajar dulu nanti siang baru kemari katanya.""Ngajar di mana, Mbak?" "DI sebuah universitas, Wir, ini hari pertamanya setelah kembali dari Madina, kamu sabar ya.""Oh hebat banget ya anak Mbak, punya bisnis jadi dosen lagi, iya deh aku sabar, tapi gimana suami Mbak?""Tidak hebat tapi Allah yang karuniakan kelebihan itu padanya." Dia tersenyum.Sejak dulu Fatma memang tidak pernah membanggakan dirinya ataupun prestasi anak anaknya pada orang lain, itu semua untuk menjaga
Uwais yang baru datang ke rumahnya mendadak merasa lemas, Serapi itu sang ayah tiri menyembunyikan kebusukannya hingga dia dan ibunya tidak tahu apa apa, dia benci dibohongi sekaligus bingung harus bagaimana karena Uwais bukan tipe pemarah yang meledak ledak, dia cenderung seperti Fatma yang menghadapi segala masalah dengan kepala dingin, begitulah didikan ibunya.Tidak ada suara lagi di dalam sana entah sedang apa Zhafran di dalam, Uwais pun memilih masuk ke kamar, dia membuka laptop dan mulai melakukan pencarian tentang bisnis sang ayah.Malam harinya dia mendatangi Fatma di rumah sakit, untuk saat ini Uwais hanya bisa menghindar dari pada bertatap muka."Mau ke mana, Nak?""Nyusul Umi, aku mau nyuruh dia pulang dulu.""Nggak makan malam dulu?" "Aku makan di luar aja, pergi dulu ya, Bi." Seperti biasanya Uwais selalu mencium tangan orang tua jika hendak bepergian, Zhafran pun tidak curiga jika anaknya itu telah mengetahui kebusukannya"Iya hati hati, pakai mobil Abi aja ya.""Aku n
Mobil Uwais masuk ke jurang tetapi beruntung sekali mobil itu tersangkut di sebuah batu besar, para warga yang sedang di kebun dan pengendara mobil lain berbondong-bondong turun ke bawah "Sepertinya kita harus lapor polisi.""Iya lapor saja."Sementara yang lain berusaha menyelamatkan Faisal yang terjepit di dalam mobil, lelaki itu tidak sadarkan diri, beberapa orang membuka paksa pintu mobil mulai dari memecahkan kacanya, tetapi setelah pintu terbuka Faisal masih belum bisa dievakuasi karena tubuhnya terjepit body mobil."Susah ini, tunggu polisi saja."Orang orang saling bertanya bagaimana kejadian kecelakaan itu bisa terjadi pada saksi mata."Mobil itu bunyiin klakson keras banget, entah dia lagi mabok atau mengalami rem blong saya nggak tahu, yang jelas dia menghindar," ujar sopir mobil pick up yang tadi hampir saja bertabrakan dengan Faisal.Tidak lama kemudian polisi datang bersama tim evakuasi, mereka menyuruh warga untuk naik ke atas jurang agar tim evakuasi bisa menyelamatka
Gadis muda itu membawa nampan berisi air putih dingin, dia tidak tersenyum hanya menganggukan kepalanya sedikit sebagai tanda hormat."Silakan diminum.""Terima kasih, Teh.""Iya.""Kalian ini abis ngapain di atas bukit sana?" Tanya perempuan itu."Oh itu, kita tersesat, oh ya apa kamu tahu tentang bangunan besar di atas bukit itu?' Uwias balik nanya "Bangunan?" Gadis itu nampak tak mengerti "Iya bangunan gede.""Aku nggak tahu, soalnya bukan asli orang sini, aku dan beberapa teman lagi melakukan penelitian buat skripsi.""Oh kirain kamu ustazah di sini." "Bukan lah, saya masuk dulu, nggak enak berduaan.""Eh tunggu." Gadis itu kembali menoleh, hingga mereka saling berpandangan beberapa detik"Iya?""Kita mau pergi sekarang, terima kasih ya.""Oh mau pergi lagi? Sama sama, kalau gitu hati hati.""Iya." Uwais tersenyum sungkan, dia menatap wanita itu, hatinya berontak ingin kenalan."Om, tanya dong nama dia siapa ya?" "Ah tanya aja sendiri, masa gitu aja nggak berani," ledek Faisal