Sinar mentari pagi mulai memancarkan sinarnya, udara Puncak Bogor yang dingin pun menyelimuti dinginnya hati Ahza dan Wirda yang mulai membeku.Sejak hilangnya kabar tentang Fatma dan kedua anaknya lelaki berparas tinggi itu memang lebih banyak diam, rasa sesal telah menghantui hari-harinya.Meski begitu, Wirda selalu berusaha mengubah suasana diantara mereka, walau Ahza sangat jarang sekali merespon.Dalam hatinya Wirda merintih merasa kesepian dan terbelenggu dalam ikatan pernikahan, cinta Ahza yang dulu begitu menggebu kini, seolah terkikis dimakan waktu.Khayalan indah yang selama ini didamba seolah hanya angan-angan semata, impiannya bisa merajut kasih hanya berdua bersama Ahza ternyata tak seindah yang dibayangkan.Fatma telah pergi begitu pula dengan cinta Ahza seolah ikut pergi bersama bayangan masa lalunya, terlebih sekarang hadirnya Zahira yang cukup mengusik ketenangan hati, wanita yang kerap berhijab modis itu hampir selalu menghubungi Ahza.Wirda tidak suka itu. Namun, ap
Matahari sudah hampir tenggelam, tetapi Ahza masih berada di perjalanan, suasana akhir pekan memang kerap kali membuat jalanan jalur puncak Bogor menjadi macet.Pandangannya lurus ke depan, alunan musik pop menghiasi Indra pendengarannya, rasa lelah dan kepala terasa pening bercampur menjadi satu.Tak terasa mobilnya sudah terparkir di carport, deru mesin mobil membuat Wirda dan mamanya celingukan ke arah luar, gegas Wirda menghampiri untuk membukakan pintu."Mas duduk dulu ya." Wirda menuntun Ahza untuk duduk bersamanya."Ini loh aku sudah punya kontak yang bisa membantu kita mengadopsi seorang bayi, mereka juga kirim photonya, lucu-lucu lho." Wirda memamerkan beberapa lembar photo bayi.Ahza terdiam, badan capek dan pegal ditambah mendengar ide konyol Wirda membuat emosinya melonjak naik, bukannya menyambut suami dengan secangkir teh hangat atau kopi, ini malah meracau tidak karuan.Ahza memijat pelipisnya yang terasa pusing, semenjak Fatma pergi tidak ada lagi orang yang menyambut
Ahza kembali melanjutkan langkahnya, dan mereka melanjutkan tengkarnya di dalam kamar."Aku tuh ga suka kalau kamu berhubungan dengan cewe gatel itu, coba jauhi dia demi aku dan demi kerukunan rumah tangga kita," ucap Wirda dengan nada jengkel."Emang siapa yang deketin sih, baik aku ataupun Zahira ga ada hubungan spesial, dia nelpon aku karena urusan bisnis udah gitu aja." Ahza membuka dasinya lalu melemparkannya ke atas pembaringan.Biasanya ia tak pernah repot sperti ini saat pulang kerja, dengan telaten Fatma akan membuka sepatu dan dasinya, bahkan kemeja pun selalu Fatma yang bukakan, Ahza benar-benar kehilangan sosok itu."Tapi naluri seorang istri itu ga pernah meleset.""Halah sudahlah! Aku capek mau mandi, terserah kamu mau ngomong apa!" Cepat-cepat Ahza ke kamar mandi meninggalkan Wirda yang sedang bergelut dengan amarahnya.Wanita itu hanya memandangi punggung suaminya yang perlahan hilang di balik pintu kamar mandi.Sejuknya AC tak membuat hatinya mendingin malah semakin p
"Kamu yang ngapain di sini, ayo kita pulang." Adiguna mencekal tangan putrinya lalu menyeretnya keluar gerbang rumah Zahira."Lepas!" Wirda mengibaskan cekalan papanya, lalu menatap dengan penuh emosi."Ada hubungan apa Papa sama wanita itu?! Apa dia selingkuhan Papa?""Papa ga ada hubungan apapun sama Zahira kami cuma ... rekan bisnis." Adiguna agak gelagapan.Wirda terkekeh merasa lucu dengan alasan konyol papanya. "Sejak kapan Papa punya bisnis, bukankah sudah beberapa bulan Papa nganggur?"Wirda menggelengkan kepala.Fix, Papa sudah selingkuh dengan wanita m*r4h4n itu, Wirda menduga-duga."Ya ... Papa ini mau mulai bisnis lagi, Wirda, sudahlah ayo kita pulang saja." Adiguna kembali menarik tangan putrinya agar cepat pergi dari tempat ini sebelum suasana menjadi ramai."Lepas! Aku bisa pulang sendiri." Wirda melotot lalu kembali menghampiri Zahira dengan tatapan penuh amarah."Dengar ya! Aku ga akan tinggal diam kalau kamu masih mendekati suamiku ataupun ayahku, dasar j4l4ng! Semua
Ardila masih menangis sesenggukan di hadapan pintu, sementara Wirda tercenung berusaha mencerna ucapan mamanya yang tidak jelas karena bercampur dengan suara isakan."Mama tenang dulu, kita masuk ke dalam." Wirda menuntun mama duduk di sofa, ia berlari kecil menuju dapur dan kembali dengan segelas air putih hangat."Minum, Ma." Mama meneguk air itu dengan tangan bergetar, setiap tegukannya menghasilkan bunyi saking hausnya."Kenapa Papa bisa ditangkap polisi, Ma?" Wirda memulai tanya usai Mama meneguk sampai tandas air itu.Mama perlahan mengatur napas dan berusaha meredam tangisan yang masih sesenggukan."Fa-fatan yang melaporkan Papamu, Nak." Mama terisak lagi."Atas kasus apa?" Wirda melongo hanya memandangi mama."Penggelapan uang, Papamu dituduh korupsi." Mama terisak lagi, sebelah tangan Wirda meraih tissue dan menyodorkan pada Mama agar menghapus air matanya"Mama tenang ya, kalau Papa ga bersalah kita akan suruh Mas Ahza sewa pengacara buat bebasin Papa." Wirda tersenyum untuk
"Fatan ga mungkin main laporin orang tanpa bukti, pasti ia melaporkan Papa karena memang ada bukti nyata, Dek," sanggah Ahza malas menolong.Bagaimanapun juga perkataan Adiguna tempo hari masih terngiang, dan ia yakin sampai sekarang jika Adiguna lah penyebab kematian ayahnya."Kok kamu malah belain orang itu sih, Mas!" Wirda mulai meradang."Ya emang aku salah? mana mungkin Fatan main lapor-lapor sembarangan tanpa ada bukti, kalau papamu terbukti bersalah ya terima saja hukumannya semoga saja dia mau bertaubat setelah ini."Tak ingin berdebat lagi, gegas Ahza naik ke lantai atas dengan setengah berlari, hatinya puas sekali saat mendengar Adiguna berada di dalam sel tahanan, tanpa harus repot-repot mencari bukti yang sejak dulu sudah dilenyapkan tanpa jejak.Orang licik itu sudah mendapatkan hukuman, semoga saja hukumannya setimpal dengan perbuatannya, Ahza merutuk dalam hati.Malam ini Ahza tidur sendiri dengan nyenyak, tak dipedulikan Wirda yang tak kunjung pulang dan datang ke pemb
"Fatan ga mungkin main laporin orang tanpa bukti, pasti ia melaporkan Papa karena memang ada bukti nyata, Dek," sanggah Ahza malas menolong.Bagaimanapun juga perkataan Adiguna tempo hari masih terngiang, dan ia yakin sampai sekarang jika Adiguna lah penyebab kematian ayahnya."Kok kamu malah belain orang itu sih, Mas!" Wirda mulai meradang."Ya emang aku salah? mana mungkin Fatan main lapor-lapor sembarangan tanpa ada bukti, kalau papamu terbukti bersalah ya terima saja hukumannya semoga saja dia mau bertaubat setelah ini."Tak ingin berdebat lagi, gegas Ahza naik ke lantai atas dengan setengah berlari, hatinya puas sekali saat mendengar Adiguna berada di dalam sel tahanan, tanpa harus repot-repot mencari bukti yang sejak dulu sudah dilenyapkan tanpa jejak.Orang licik itu sudah mendapatkan hukuman, semoga saja hukumannya setimpal dengan perbuatannya, Ahza merutuk dalam hati.Malam ini Ahza tidur sendiri dengan nyenyak, tak dipedulikan Wirda yang tak kunjung pulang dan datang ke pemb
18 TAHUN KEMUDIANUdara malam begitu dingin dan menusuk, belum lagi embusan angin yang lumayan kencang membuat siapapun yang sedang berada di luar rumah menggigil kedinginan.Sudah 18 tahun Ahza hidup dalam sepi, tak ada canda dan tawa riang anak-anak di rumahnya, hatinya tersiksa oleh lautan rindu yang semakin luas.Kini, usianya hampir kepala enam, tetapi hidupnya masih saja sepi, Wirda tak kunjung melahirkan seorang bayi, seberapa kekeuh ia memohon ingin mengadopsi seorang bayi dari panti asuhan, tetap Ahza tak mengizinkan.Wajah yang dulu nampak berseri kini, telah ada sedikit guratan-guratan pertanda masa tua akan segera hadir, badannya tak segagah dulu saat masih muda, karena otaknya terlalu banyak berfikir hingga stres maka, membuat berbagai macam penyakit datang bergantian.Dari mulai darah tinggi, asam urat, penyakit lambung yang semakin akut dan sekarang ada masalah di bagian pernapasannya, kerap kali lelaki itu terbatuk saat cuaca teramat dingin.Entah berapa kali Wirda me
"Oke kalau gitu, saya nggak akan ambil uangnya lagi, Bapak ambil aja.""Baiklah, Pak."Saat itu juga Uwais langsung pergi ke kos-kosan tempat Anisa, dia menemui pemilik rumah kos kosan untuk bertanya perihal gadis yang membuat perasaannya tidak tenang "Saya nggak tahu soal itu, lagi pula Anisa juga nggak ada bilang apa apa sama saya, kirain dia masih di dalam kamarnya.""Ya ampun." Uwais mengusap wajahnya, dia benar benar merasa khawatir."Memangnya ada apa gitu?""Saya curiga Anisa diculik seseorang, Bu.""Hah, masa sih?""Saya pergi dulu, Bu.""Nak, kau telpon saja polisi."Uwais hanya menoleh sekilas.Ribet banget harus telepon polisi segala, belum harus nunggu 24 jam Setelah Anisa pergi lalu harus ada bukti kuat, lebih baik kucari sendiri.Naik ojek online, Uwais pergi ke rumah salah satu temannya yang paham IT, dia memberikan nomor ponsel Anisa untuk melacak keberadaan saat ini, tentunya sebelum itu Uwais melakukan basa basi."Di sini nih tempatnya."Akhirnya nomor ponsel gadis
Ayah dan anak yang selama ini nampak akrab itu kini mulai saling memandang dengan tajam, Uwais kecewa karena ternyata semua ayah di dunia ini sama, baik itu ayah kandung yang dulu sudah menelantarkannya, juga ayah tiri yang kini boleh mengungkit ngungkit pemberiannya.Kalau tahu akan begini lebih baik dahulu Aku tidak pernah mengizinkan ibuku menikah dengan siapapun, lagi pula kau sanggup menghidupinya sebagai balas jasa karena ia sudah membesarkan seorang diri, begitu pikir Uwais."Nak, tenangkan dirimu ya." Fatma berdiri lalu mengelus bahu Uwais.Amarah yang akan meledak itu seketika pudar mendengar suara lembut yang keluar dari bibir Fatma, sejak dulu Jika ada masalah apapun dia memang tidak pernah mengeluarkan suara tinggi ataupun bicara kasar."Baiklah, Bi, aku akan pergi nggak bawa apa-apa, termasuk supermarket yang selama ini disokong oleh Abi, ambil aja, aku masih bisa cari uang dengan cara lain yang penting itu halal dan tidak menzalimi orang lain." Uwais tersenyum tipis.Sej
"Gimana Zhafran? Apa penyesalanmu itu ada gunanya?"Lelaki itu mengalihkan pandangannya, dia juga seorang lelaki normal, satu tahun yang lalu ketika bisnis mereka untung besar, kantor mengadakan pesta yang dihadiri oleh karyawan penting saja, Zhafran sempat mabuk berat dan dibawa ke sebuah kamar hotel lalu dengan lancangnya Selly masuk ke kamar pria itu, menggodanya mati Matian hingga dia mau mengga gahi Selly untuk pertama kali.Perempuan itu tidak bo doh, dia mengabadikan momen itu dengan ponselnya lalu menyimpan rapi dalam sebuah folder untuk dijadikan senjata, Selly yang ambisius sangat ingin menjadi Nyonya Zhafran yang kaya raya, tidak peduli walaupun dia sudah beristri, toh dia tidak pernah melihat wajah istrinya seperti apa karena selalu tertutup cadar, Selly berpikir jika Fatma adalah perempuan tua seperti kebanyakan ibu ibu lainnya karena sudah memiliki anak gadis dan bujang yang beranjak dewasa.Namun, ternyata Zhafran tidak sebodoh itu, sedikit pun dia tidak tertarik menjad
27Hiruk pikuk orang orang di pelabuhan ini membuat Uwais bisa melangkah perlahan tanpa takut dilihat oleh Zhafran dan yang lainnya, bagaimana pun juga Uwais ingin tahu sebenarnya untuk apa Anisa berada di tempat ini? Dirangkul lelaki pula? Apakah memang wanita itu tidak baik seperti kata ayahnya?Dia terus mengendap ngendap bahkan sekarang sudah mulai memakai masker walau wajahnya berkeringat banyak karena terkena teriknya sinar matahari di siang hari.Setelah hampir mendekat Uwais hampir mendengar jelas percakapan mereka, diabtidka terima seorang pria yang berada di hadapan Anisa menyentuh pipi gadis itu, entah kenapa ada rasa cemburu menyelusup ke dalam hatinya, dia pun melangkah lebih dekat lagi "Beneran dia masih pe ra wan ini?""Masih lah segelan, kalau ternyata udah jebol nanti duit kembali lima puluh persen.""Beneran nih ya duit kembali.""Kapan sih gua bohong."Uwais tercekat saat mendengar percakapan Zhafran dan lelaki itu, ternyata Anisa memang benar akan dijual dan mungk
"Tunggu!" Orang orang yang menyeret Anisa langsung menoleh, sementara gadis itu masih meronta ronta sambil menatap Uwais, untuk beberap detik mereka saling berpandangan."Ngapain kalian kasar sama perempuan? Dia itu temanku!"Lalu salah satu lelaki menyorotkan senter ke wajah Uwais hingga lelaki itu merasa silau."Kau kan anaknya Tuan, ngapain di sini?""Mau nyusul temenku, lepaskan dia."Beberapa orang lelaki itu saling berpandangan nampak bingung karena bagaimanapun juga perintah Zhafran pantang dilanggar."Bicarakan saja sama Tuan, urusanku cuma menangkap perempuan ini, dia masuk ke dalam ingin mencuri.""Hah?"Uwais langsung menatap Anisa, rasanya tidak mungkin gadis selembut dia harus mencuri, begitu pikir Uwais."Aku nggak mencuri! Aku mau menyelamatkan ….""Diam! Masuk ke dalam sekarang juga! Silakan Anda bicara dengan Tuan Zhafran, saya nggak mau disalahkan."Melihat Anisa kembali diseret Uwais langsung masuk ke dalam berlarian entah ke mana, beberapa kali dia menghadang para
Pagi itu Wirda sudah tak sabar menanti kedatangan Uwais, pasalnya malam tadi dia langsung pulang ke rumah karena sudah kemalaman dan kelelahan."Mbak, aku sudah agak enakan kalau mau pulang silakan, aku bisa sendiri kok."Fatma menatap Wirda dengan getir, pagi ini Wirda memang terlihat lebih bugar, baru satu malam saja sudah ada perubahan pada tubuhnya lain lagi ketika dirawat di rumah sakit kemarin Wirda lebih banyak tidur dan susah bergerak."Besok deh aku pulang ya, biar yang jaga gantian sama Uwais, hari ini dia ngajar dulu nanti siang baru kemari katanya.""Ngajar di mana, Mbak?" "DI sebuah universitas, Wir, ini hari pertamanya setelah kembali dari Madina, kamu sabar ya.""Oh hebat banget ya anak Mbak, punya bisnis jadi dosen lagi, iya deh aku sabar, tapi gimana suami Mbak?""Tidak hebat tapi Allah yang karuniakan kelebihan itu padanya." Dia tersenyum.Sejak dulu Fatma memang tidak pernah membanggakan dirinya ataupun prestasi anak anaknya pada orang lain, itu semua untuk menjaga
Uwais yang baru datang ke rumahnya mendadak merasa lemas, Serapi itu sang ayah tiri menyembunyikan kebusukannya hingga dia dan ibunya tidak tahu apa apa, dia benci dibohongi sekaligus bingung harus bagaimana karena Uwais bukan tipe pemarah yang meledak ledak, dia cenderung seperti Fatma yang menghadapi segala masalah dengan kepala dingin, begitulah didikan ibunya.Tidak ada suara lagi di dalam sana entah sedang apa Zhafran di dalam, Uwais pun memilih masuk ke kamar, dia membuka laptop dan mulai melakukan pencarian tentang bisnis sang ayah.Malam harinya dia mendatangi Fatma di rumah sakit, untuk saat ini Uwais hanya bisa menghindar dari pada bertatap muka."Mau ke mana, Nak?""Nyusul Umi, aku mau nyuruh dia pulang dulu.""Nggak makan malam dulu?" "Aku makan di luar aja, pergi dulu ya, Bi." Seperti biasanya Uwais selalu mencium tangan orang tua jika hendak bepergian, Zhafran pun tidak curiga jika anaknya itu telah mengetahui kebusukannya"Iya hati hati, pakai mobil Abi aja ya.""Aku n
Mobil Uwais masuk ke jurang tetapi beruntung sekali mobil itu tersangkut di sebuah batu besar, para warga yang sedang di kebun dan pengendara mobil lain berbondong-bondong turun ke bawah "Sepertinya kita harus lapor polisi.""Iya lapor saja."Sementara yang lain berusaha menyelamatkan Faisal yang terjepit di dalam mobil, lelaki itu tidak sadarkan diri, beberapa orang membuka paksa pintu mobil mulai dari memecahkan kacanya, tetapi setelah pintu terbuka Faisal masih belum bisa dievakuasi karena tubuhnya terjepit body mobil."Susah ini, tunggu polisi saja."Orang orang saling bertanya bagaimana kejadian kecelakaan itu bisa terjadi pada saksi mata."Mobil itu bunyiin klakson keras banget, entah dia lagi mabok atau mengalami rem blong saya nggak tahu, yang jelas dia menghindar," ujar sopir mobil pick up yang tadi hampir saja bertabrakan dengan Faisal.Tidak lama kemudian polisi datang bersama tim evakuasi, mereka menyuruh warga untuk naik ke atas jurang agar tim evakuasi bisa menyelamatka
Gadis muda itu membawa nampan berisi air putih dingin, dia tidak tersenyum hanya menganggukan kepalanya sedikit sebagai tanda hormat."Silakan diminum.""Terima kasih, Teh.""Iya.""Kalian ini abis ngapain di atas bukit sana?" Tanya perempuan itu."Oh itu, kita tersesat, oh ya apa kamu tahu tentang bangunan besar di atas bukit itu?' Uwias balik nanya "Bangunan?" Gadis itu nampak tak mengerti "Iya bangunan gede.""Aku nggak tahu, soalnya bukan asli orang sini, aku dan beberapa teman lagi melakukan penelitian buat skripsi.""Oh kirain kamu ustazah di sini." "Bukan lah, saya masuk dulu, nggak enak berduaan.""Eh tunggu." Gadis itu kembali menoleh, hingga mereka saling berpandangan beberapa detik"Iya?""Kita mau pergi sekarang, terima kasih ya.""Oh mau pergi lagi? Sama sama, kalau gitu hati hati.""Iya." Uwais tersenyum sungkan, dia menatap wanita itu, hatinya berontak ingin kenalan."Om, tanya dong nama dia siapa ya?" "Ah tanya aja sendiri, masa gitu aja nggak berani," ledek Faisal