Matahari sudah hampir tenggelam, tetapi Ahza masih berada di perjalanan, suasana akhir pekan memang kerap kali membuat jalanan jalur puncak Bogor menjadi macet.Pandangannya lurus ke depan, alunan musik pop menghiasi Indra pendengarannya, rasa lelah dan kepala terasa pening bercampur menjadi satu.Tak terasa mobilnya sudah terparkir di carport, deru mesin mobil membuat Wirda dan mamanya celingukan ke arah luar, gegas Wirda menghampiri untuk membukakan pintu."Mas duduk dulu ya." Wirda menuntun Ahza untuk duduk bersamanya."Ini loh aku sudah punya kontak yang bisa membantu kita mengadopsi seorang bayi, mereka juga kirim photonya, lucu-lucu lho." Wirda memamerkan beberapa lembar photo bayi.Ahza terdiam, badan capek dan pegal ditambah mendengar ide konyol Wirda membuat emosinya melonjak naik, bukannya menyambut suami dengan secangkir teh hangat atau kopi, ini malah meracau tidak karuan.Ahza memijat pelipisnya yang terasa pusing, semenjak Fatma pergi tidak ada lagi orang yang menyambut
Ahza kembali melanjutkan langkahnya, dan mereka melanjutkan tengkarnya di dalam kamar."Aku tuh ga suka kalau kamu berhubungan dengan cewe gatel itu, coba jauhi dia demi aku dan demi kerukunan rumah tangga kita," ucap Wirda dengan nada jengkel."Emang siapa yang deketin sih, baik aku ataupun Zahira ga ada hubungan spesial, dia nelpon aku karena urusan bisnis udah gitu aja." Ahza membuka dasinya lalu melemparkannya ke atas pembaringan.Biasanya ia tak pernah repot sperti ini saat pulang kerja, dengan telaten Fatma akan membuka sepatu dan dasinya, bahkan kemeja pun selalu Fatma yang bukakan, Ahza benar-benar kehilangan sosok itu."Tapi naluri seorang istri itu ga pernah meleset.""Halah sudahlah! Aku capek mau mandi, terserah kamu mau ngomong apa!" Cepat-cepat Ahza ke kamar mandi meninggalkan Wirda yang sedang bergelut dengan amarahnya.Wanita itu hanya memandangi punggung suaminya yang perlahan hilang di balik pintu kamar mandi.Sejuknya AC tak membuat hatinya mendingin malah semakin p
"Kamu yang ngapain di sini, ayo kita pulang." Adiguna mencekal tangan putrinya lalu menyeretnya keluar gerbang rumah Zahira."Lepas!" Wirda mengibaskan cekalan papanya, lalu menatap dengan penuh emosi."Ada hubungan apa Papa sama wanita itu?! Apa dia selingkuhan Papa?""Papa ga ada hubungan apapun sama Zahira kami cuma ... rekan bisnis." Adiguna agak gelagapan.Wirda terkekeh merasa lucu dengan alasan konyol papanya. "Sejak kapan Papa punya bisnis, bukankah sudah beberapa bulan Papa nganggur?"Wirda menggelengkan kepala.Fix, Papa sudah selingkuh dengan wanita m*r4h4n itu, Wirda menduga-duga."Ya ... Papa ini mau mulai bisnis lagi, Wirda, sudahlah ayo kita pulang saja." Adiguna kembali menarik tangan putrinya agar cepat pergi dari tempat ini sebelum suasana menjadi ramai."Lepas! Aku bisa pulang sendiri." Wirda melotot lalu kembali menghampiri Zahira dengan tatapan penuh amarah."Dengar ya! Aku ga akan tinggal diam kalau kamu masih mendekati suamiku ataupun ayahku, dasar j4l4ng! Semua
Ardila masih menangis sesenggukan di hadapan pintu, sementara Wirda tercenung berusaha mencerna ucapan mamanya yang tidak jelas karena bercampur dengan suara isakan."Mama tenang dulu, kita masuk ke dalam." Wirda menuntun mama duduk di sofa, ia berlari kecil menuju dapur dan kembali dengan segelas air putih hangat."Minum, Ma." Mama meneguk air itu dengan tangan bergetar, setiap tegukannya menghasilkan bunyi saking hausnya."Kenapa Papa bisa ditangkap polisi, Ma?" Wirda memulai tanya usai Mama meneguk sampai tandas air itu.Mama perlahan mengatur napas dan berusaha meredam tangisan yang masih sesenggukan."Fa-fatan yang melaporkan Papamu, Nak." Mama terisak lagi."Atas kasus apa?" Wirda melongo hanya memandangi mama."Penggelapan uang, Papamu dituduh korupsi." Mama terisak lagi, sebelah tangan Wirda meraih tissue dan menyodorkan pada Mama agar menghapus air matanya"Mama tenang ya, kalau Papa ga bersalah kita akan suruh Mas Ahza sewa pengacara buat bebasin Papa." Wirda tersenyum untuk
"Fatan ga mungkin main laporin orang tanpa bukti, pasti ia melaporkan Papa karena memang ada bukti nyata, Dek," sanggah Ahza malas menolong.Bagaimanapun juga perkataan Adiguna tempo hari masih terngiang, dan ia yakin sampai sekarang jika Adiguna lah penyebab kematian ayahnya."Kok kamu malah belain orang itu sih, Mas!" Wirda mulai meradang."Ya emang aku salah? mana mungkin Fatan main lapor-lapor sembarangan tanpa ada bukti, kalau papamu terbukti bersalah ya terima saja hukumannya semoga saja dia mau bertaubat setelah ini."Tak ingin berdebat lagi, gegas Ahza naik ke lantai atas dengan setengah berlari, hatinya puas sekali saat mendengar Adiguna berada di dalam sel tahanan, tanpa harus repot-repot mencari bukti yang sejak dulu sudah dilenyapkan tanpa jejak.Orang licik itu sudah mendapatkan hukuman, semoga saja hukumannya setimpal dengan perbuatannya, Ahza merutuk dalam hati.Malam ini Ahza tidur sendiri dengan nyenyak, tak dipedulikan Wirda yang tak kunjung pulang dan datang ke pemb
"Fatan ga mungkin main laporin orang tanpa bukti, pasti ia melaporkan Papa karena memang ada bukti nyata, Dek," sanggah Ahza malas menolong.Bagaimanapun juga perkataan Adiguna tempo hari masih terngiang, dan ia yakin sampai sekarang jika Adiguna lah penyebab kematian ayahnya."Kok kamu malah belain orang itu sih, Mas!" Wirda mulai meradang."Ya emang aku salah? mana mungkin Fatan main lapor-lapor sembarangan tanpa ada bukti, kalau papamu terbukti bersalah ya terima saja hukumannya semoga saja dia mau bertaubat setelah ini."Tak ingin berdebat lagi, gegas Ahza naik ke lantai atas dengan setengah berlari, hatinya puas sekali saat mendengar Adiguna berada di dalam sel tahanan, tanpa harus repot-repot mencari bukti yang sejak dulu sudah dilenyapkan tanpa jejak.Orang licik itu sudah mendapatkan hukuman, semoga saja hukumannya setimpal dengan perbuatannya, Ahza merutuk dalam hati.Malam ini Ahza tidur sendiri dengan nyenyak, tak dipedulikan Wirda yang tak kunjung pulang dan datang ke pemb
18 TAHUN KEMUDIANUdara malam begitu dingin dan menusuk, belum lagi embusan angin yang lumayan kencang membuat siapapun yang sedang berada di luar rumah menggigil kedinginan.Sudah 18 tahun Ahza hidup dalam sepi, tak ada canda dan tawa riang anak-anak di rumahnya, hatinya tersiksa oleh lautan rindu yang semakin luas.Kini, usianya hampir kepala enam, tetapi hidupnya masih saja sepi, Wirda tak kunjung melahirkan seorang bayi, seberapa kekeuh ia memohon ingin mengadopsi seorang bayi dari panti asuhan, tetap Ahza tak mengizinkan.Wajah yang dulu nampak berseri kini, telah ada sedikit guratan-guratan pertanda masa tua akan segera hadir, badannya tak segagah dulu saat masih muda, karena otaknya terlalu banyak berfikir hingga stres maka, membuat berbagai macam penyakit datang bergantian.Dari mulai darah tinggi, asam urat, penyakit lambung yang semakin akut dan sekarang ada masalah di bagian pernapasannya, kerap kali lelaki itu terbatuk saat cuaca teramat dingin.Entah berapa kali Wirda me
Setelah beberapa jam melewati jalanan yang lumayan padat akhirnya Ahza tiba di tempat tujuan, ia segera membayar pada supir taxi tersebut lalu turun dengan mata yang tertuju ke depan sana, nampak rumah besar dan mewah dengan cat berwarna putih berdiri dengan kokoh dan gagah.Di halaman rumah ada beberapa anak kecil dan anak menginjak remaja bermain, mungkin itu anak-anaknya Fatan, Ahza menghela napas, dadanya mendadak sesak menyaksikan begitu bahagianya Fatan saat menginjak masa tua.Berbanding terbalik dengan dirinya yang hidup dalam sunyi dan sepi, harta tak punya anak pun tiada, betapa nelangsa masa tuanya, ia tak menyangka perbuatan bodohnya dahulu akan berimbas pada masa tuanya.Ada seorang penjaga rumah mengahampiri."Bapak cari siapa?" tanya lelaki tinggi besar itu."Cari Pak Fatan." "Sudah ada janji?" lelaki itu bertanya kembali tanpa membukakan pintu gerbang."Belum, tapi saya ini kerabat jauhnya, sudah lama tak bertemu." Ahza mencoba meyakinkan.Ternyata bertemu dengan soso