"Kamu yang ngapain di sini, ayo kita pulang." Adiguna mencekal tangan putrinya lalu menyeretnya keluar gerbang rumah Zahira."Lepas!" Wirda mengibaskan cekalan papanya, lalu menatap dengan penuh emosi."Ada hubungan apa Papa sama wanita itu?! Apa dia selingkuhan Papa?""Papa ga ada hubungan apapun sama Zahira kami cuma ... rekan bisnis." Adiguna agak gelagapan.Wirda terkekeh merasa lucu dengan alasan konyol papanya. "Sejak kapan Papa punya bisnis, bukankah sudah beberapa bulan Papa nganggur?"Wirda menggelengkan kepala.Fix, Papa sudah selingkuh dengan wanita m*r4h4n itu, Wirda menduga-duga."Ya ... Papa ini mau mulai bisnis lagi, Wirda, sudahlah ayo kita pulang saja." Adiguna kembali menarik tangan putrinya agar cepat pergi dari tempat ini sebelum suasana menjadi ramai."Lepas! Aku bisa pulang sendiri." Wirda melotot lalu kembali menghampiri Zahira dengan tatapan penuh amarah."Dengar ya! Aku ga akan tinggal diam kalau kamu masih mendekati suamiku ataupun ayahku, dasar j4l4ng! Semua
Ardila masih menangis sesenggukan di hadapan pintu, sementara Wirda tercenung berusaha mencerna ucapan mamanya yang tidak jelas karena bercampur dengan suara isakan."Mama tenang dulu, kita masuk ke dalam." Wirda menuntun mama duduk di sofa, ia berlari kecil menuju dapur dan kembali dengan segelas air putih hangat."Minum, Ma." Mama meneguk air itu dengan tangan bergetar, setiap tegukannya menghasilkan bunyi saking hausnya."Kenapa Papa bisa ditangkap polisi, Ma?" Wirda memulai tanya usai Mama meneguk sampai tandas air itu.Mama perlahan mengatur napas dan berusaha meredam tangisan yang masih sesenggukan."Fa-fatan yang melaporkan Papamu, Nak." Mama terisak lagi."Atas kasus apa?" Wirda melongo hanya memandangi mama."Penggelapan uang, Papamu dituduh korupsi." Mama terisak lagi, sebelah tangan Wirda meraih tissue dan menyodorkan pada Mama agar menghapus air matanya"Mama tenang ya, kalau Papa ga bersalah kita akan suruh Mas Ahza sewa pengacara buat bebasin Papa." Wirda tersenyum untuk
"Fatan ga mungkin main laporin orang tanpa bukti, pasti ia melaporkan Papa karena memang ada bukti nyata, Dek," sanggah Ahza malas menolong.Bagaimanapun juga perkataan Adiguna tempo hari masih terngiang, dan ia yakin sampai sekarang jika Adiguna lah penyebab kematian ayahnya."Kok kamu malah belain orang itu sih, Mas!" Wirda mulai meradang."Ya emang aku salah? mana mungkin Fatan main lapor-lapor sembarangan tanpa ada bukti, kalau papamu terbukti bersalah ya terima saja hukumannya semoga saja dia mau bertaubat setelah ini."Tak ingin berdebat lagi, gegas Ahza naik ke lantai atas dengan setengah berlari, hatinya puas sekali saat mendengar Adiguna berada di dalam sel tahanan, tanpa harus repot-repot mencari bukti yang sejak dulu sudah dilenyapkan tanpa jejak.Orang licik itu sudah mendapatkan hukuman, semoga saja hukumannya setimpal dengan perbuatannya, Ahza merutuk dalam hati.Malam ini Ahza tidur sendiri dengan nyenyak, tak dipedulikan Wirda yang tak kunjung pulang dan datang ke pemb
"Fatan ga mungkin main laporin orang tanpa bukti, pasti ia melaporkan Papa karena memang ada bukti nyata, Dek," sanggah Ahza malas menolong.Bagaimanapun juga perkataan Adiguna tempo hari masih terngiang, dan ia yakin sampai sekarang jika Adiguna lah penyebab kematian ayahnya."Kok kamu malah belain orang itu sih, Mas!" Wirda mulai meradang."Ya emang aku salah? mana mungkin Fatan main lapor-lapor sembarangan tanpa ada bukti, kalau papamu terbukti bersalah ya terima saja hukumannya semoga saja dia mau bertaubat setelah ini."Tak ingin berdebat lagi, gegas Ahza naik ke lantai atas dengan setengah berlari, hatinya puas sekali saat mendengar Adiguna berada di dalam sel tahanan, tanpa harus repot-repot mencari bukti yang sejak dulu sudah dilenyapkan tanpa jejak.Orang licik itu sudah mendapatkan hukuman, semoga saja hukumannya setimpal dengan perbuatannya, Ahza merutuk dalam hati.Malam ini Ahza tidur sendiri dengan nyenyak, tak dipedulikan Wirda yang tak kunjung pulang dan datang ke pemb
18 TAHUN KEMUDIANUdara malam begitu dingin dan menusuk, belum lagi embusan angin yang lumayan kencang membuat siapapun yang sedang berada di luar rumah menggigil kedinginan.Sudah 18 tahun Ahza hidup dalam sepi, tak ada canda dan tawa riang anak-anak di rumahnya, hatinya tersiksa oleh lautan rindu yang semakin luas.Kini, usianya hampir kepala enam, tetapi hidupnya masih saja sepi, Wirda tak kunjung melahirkan seorang bayi, seberapa kekeuh ia memohon ingin mengadopsi seorang bayi dari panti asuhan, tetap Ahza tak mengizinkan.Wajah yang dulu nampak berseri kini, telah ada sedikit guratan-guratan pertanda masa tua akan segera hadir, badannya tak segagah dulu saat masih muda, karena otaknya terlalu banyak berfikir hingga stres maka, membuat berbagai macam penyakit datang bergantian.Dari mulai darah tinggi, asam urat, penyakit lambung yang semakin akut dan sekarang ada masalah di bagian pernapasannya, kerap kali lelaki itu terbatuk saat cuaca teramat dingin.Entah berapa kali Wirda me
Setelah beberapa jam melewati jalanan yang lumayan padat akhirnya Ahza tiba di tempat tujuan, ia segera membayar pada supir taxi tersebut lalu turun dengan mata yang tertuju ke depan sana, nampak rumah besar dan mewah dengan cat berwarna putih berdiri dengan kokoh dan gagah.Di halaman rumah ada beberapa anak kecil dan anak menginjak remaja bermain, mungkin itu anak-anaknya Fatan, Ahza menghela napas, dadanya mendadak sesak menyaksikan begitu bahagianya Fatan saat menginjak masa tua.Berbanding terbalik dengan dirinya yang hidup dalam sunyi dan sepi, harta tak punya anak pun tiada, betapa nelangsa masa tuanya, ia tak menyangka perbuatan bodohnya dahulu akan berimbas pada masa tuanya.Ada seorang penjaga rumah mengahampiri."Bapak cari siapa?" tanya lelaki tinggi besar itu."Cari Pak Fatan." "Sudah ada janji?" lelaki itu bertanya kembali tanpa membukakan pintu gerbang."Belum, tapi saya ini kerabat jauhnya, sudah lama tak bertemu." Ahza mencoba meyakinkan.Ternyata bertemu dengan soso
Kurang dari satu menit perempuan bercadar tadi keluar bersama seorang pemuda gagah dan tampan, Ahza melongo tak berkedip saat menatap wajah lelaki muda itu.Hidung, mata, dan bibir pemuda itu milik Uwais, Ahza yakin dialah putra sulungnya yang dahulu sering dibuat kecewa, manik matanya mulai berkaca-kaca saat pemuda itu melangkah mendekat diikuti oleh perempuan bercadar di belakangnya.Semakin dekat mereka melangkah maka, semakin bergetar pula seluruh tubuhnya, dipegangi pagar yang menjulang tinggi dengan erat, jangan sampai tubuhnya limbung saat ini."Cari siapa?" Pemuda itu bersuara sambil menatap lekat wajah Ahza.Uwais masih ingat dengan sosok ayah walau wajahnya banyak mengalami perubahan, ia terus menatap wajah sang ayah untuk meyakinkan keraguannya."I-ini Ayah, Nak." Suara Ahza terdengar bergetar.Sedangkan Uwais masih tercenung begitupula dengan Fatimah, perempuan itu maju satu langkah berdiri sejajar dengan kakaknya."Ini beneran Ayah? Ayah kami?" ungkapnya tak percaya.Sete
"Jadi sejak dulu Ayah selalu mencari kami?" tanya Fatimah menyela, ia mengira selama ini sang Ayah telah melupakan karena sibuk dengan dunia barunya."Iya, Nak, Ayah mencarimu ke seluruh kota Cianjur ini, karena paman kalian Fatan hanya memberitahu nama kotanya saja," Ahza mulai terisak mengenang perjuangannya dahulu yang begitu pelik."Astaghfirullah, kenapa paman tega memberitahu alamat rumah kami setengah-setengah?" tanya Fatimah lagi, masih belum mengerti."Karena Om Fatan mengetahui semua luka Bunda, bagaimana Bunda tertatih bangkit dari keterpurukannya saat Ayah mengkhianati dan lebih memilih wanita lain." Uwais menyela, sontak saja Fatimah dan Ahza menoleh bersamaan."Benarkah begitu, Ayah? jadi itu alasannya mengapa kalian bisa bercerai?" Sorot mata Fatimah menuntut penjelasan, sedangkan Ahza menunduk dalam tatapan itu seolah pedang yang hendak menusuk ulu hatinya.Selama ini baik Uwais ataupun sang Bunda tak pernah bercerita keadaan yang sebenarnya pada Fatimah, jika gadis it