Suara cicit burung menyentak kesadaran Lady Neenash. Dia cepat-cepat membuka mata. Ladang dengan tanaman-tanaman yang baru bertunas terpampang di depan mata. Cukup lama hingga Lady Neenash menyadari dirinya sudah berada di masa yang berbeda.Tawa familiar terdengar dari tengah-tengah ladang. Lady Neenash pun memutuskan untuk mencari sumber suara. Dia bisa berjalan lurus saja tanpa perlu menghindari tanaman karena bisa menembus.Pada bagian tengah ladang, terlihat Lady Cherrie tengah tertawa sambil mencabuti rumput liar. Sementara itu, Sasha membantu dengan mengumpulkan rumput-rumput liar yang sudah dicabut ke suatu keranjang. Keduanya tampak asyik mengobrol dan sesekali melempar canda. Jika tidak melihat seringai licik Sasha yang sebelumnya, Lady Neenash pasti juga akan tertipu."Terima kasih, Sasha. Sejak kamu tinggal di sini, aku jadi tidak kesepian lagi. Pekerjaan di ladang juga menjadi lebih cepat selesai," ungkap Lady Cherrie tulus setelah mereka menyelesaikan pekerjaan.Keduanya
Jeritan Lady Neenash berakhir sia-sia. Lady Cherrie telah meneguk tehnya. Sasha menyeringai, membuat Lady Cherrie mengerutkan kening. "Ada apa, Sasha? Kenapa kau tersenyum aneh–"Lady Cherrie tak bisa melanjutkan ucapannya. Dia terbelalak sambil memegangi dada. Eranganya terdengar menyayat. Lady Neenash refleks mendekat hendak menopang tubuh Lady Cherrie yang mendadak oleng. Tentu saja, usaha itu juga berakhir dengan kesia-siaan. Lady Cherrie tetap ambruk dan menghempas lantai. Kening gadis itu sampai mengucurkan darah segar karena benturan yang cukup kuat. Namun, rasa sakit di kening rupanya masih kalah jauh dengan racun mematikan Sasha. Dibandingkan memegangi kening, Lady Cherrie tetap mencengkeram dada sambil berguling-guling. Matanya melotot seperti seseorang yang tengah tercekik. "Arghhh! Aduh! Sakit sekali! Panas! Panas!" jerit Lady Cherrie dengan air mata bercucuran. Sasha terbahak-bahak. Setelah puas tertawa, dia berjongkok. "Bagaimana rasanya, Cherrie? Menyenangkan sekal
Lady Neenash perlahan membuka mata. langit-langit berwarna putih polos tertangkap pandangan. Dia baru saja hendak mencerna keadaan ketika tarikan kuat membuat wajahnya terbenam di dada bidang yang berdebar kencang. "Neenash, syukurlah kau sadar. Aku takut sekali kehilanganmu. Kalung sial*n itu selalu menjadi masalah," cerocos Pangeran Sallac.Dia memeluk sang kekasih dengan sangat erat. Akibatnya, Lady Neenash malah menjadi susah bernapas. Gadis itu pun memberontak berusaha melepaskan diri."Tolong lepas dulu, Sallac! Aku tidak bisa bernapas," keluhnya sembari berusaha menyingkirkan lengan kokoh Pangeran Sallac.Namun, Pangeran Sallac terlalu haru sehingga tidak mendengar. Untunglah, Grand Duke Erbish menyadari kesulitan adik angkatnya itu. Dia memukul Pangeran Sallac tanpa aba-aba. Pelukan yang erat pun terlepas. Lady Neenash cepat-cepat menjauhkan diri. Sementara Pangeran Sallac memelototi Grand Duke Erbish. Namun, sang paman malah menggetok kepalanya."Kau ingin membunuh, Neenash
Tak hanya sekali tendang, Lady Hazel terus melakukannya secara beruntun. Rasa kaget bercampur luapan amarah setelah mendengar kondisi sebenarnya sang adik membuatnya kehilangan akal sehat. Dia bahkan tak lagi memeriksa siapa yang sedang ditendang.Sementara itu, Grand Duke Erbish yang menjadi korban hanya bisa melindungi wajahnya dengan tangan. Sebenarnya, dia tentu bisa membalikkan keadaan dengan mudah. Namun, Grand Duke Erbish tidak ingin menyerang balik Lady Hazel yang tengah terguncang."Lady, hentikan! Tolong hentikan! Ini aku!" seru Grand Duke Erbish setelah intensitas tendangan Lady Hazel sedikit berkurang.Awalnya, Lady Hazel tidak bisa mendengarkan teriakan Grand Duke Erbish. Namun, lama-kelamaan dia kelelahan sehingga tak lagi fokus menendang. Suara erangan sang grand duke pun bisa terdengar. Lady Hazel seketika memucat."Ah, maafkan saya, Yang Mulia Grand Duke! Saya kaget dan refleks menyerang Anda!" serunya panik.Grand Duke Erbish berdiri sambil mengusap bahunya yang tera
"Tuan Pendeta Anda salah paham!" seru Lady Hazel dan Grand Duke Erbish kompak. Louvi membungkukkan badan sedikit. Wajahnya memerah malu. Dalam hati, dia meminta ampun kepada sang dewi karena telah menyaksikan sesuatu yang dianggapnya vulgar. Ada sedikit rasa kecewa karena selama ini mengira Grand Duke Erbish adalah pemuda suci yang tidak akan sembarang menyentuh wanita sebelum pernikahan."Saya ke sini karena khawatir Anda berdua tidak kembali. Saya benar-benar minta maaf telah menganggu–""Tunggu, Tuan Pendeta!" seru Lady Hazel."Kami bisa menjelaskannya!" timpal Grand Duke Erbish.Louvi tersenyum canggung. Dia terpaksa mengalihkan pandangan ke hamparan taman bunga di bawah balkon. Meskipun Lady Hazel dan Grand Duke Erbish berkali-kali menyebut salah paham, tetapi mereka malah tak sadar masih berpelukan. Tentu saja, Louvi berpikiran keduanya hanya malu karena terpergok. "Tuan Louvi, tolong jangan salah paham dulu. Saya akan menjelaskan apa yang terjadi," cerocos Lady Hazel. "Tidak
"Apa tadi katamu, Dulcais? Tamu?" cecar Grand Duke Erbish dengan mata melotot. "Iya, Yang Mulia. Ada tamu bangsawan dari ibukota yang tengah menunggu Anda," sahut Sir Dulcais takut-takut. Grand Duke Erbish tersenyum sinis. Sir Dulcais semakin mengkerut. Dia berdoa sungguh-sungguh dalam hati agar amarah Grand Duke Erbish tidak meledak. Sir Dulcais tahu seberapa benci tuannya kepada sebagian besar bangsawan ibukota, terutama pendukung Ratu Olive. Namun, dia juga tahu bangsawan yang datang kali ini bukanlah manusia picik. Keluarga Blossom justru telah banyak memberikan bantuan kepada wilayah utara bersama Keluarga Esbuach, "Bangsawan ibukota mana yang tertarik pada daerah utara yang malang ini?" tanya Grand Duke Erbish sarkastik. Sir Dulcais mengepalkan tangan. Sudah menjadi rahasia umum bahwa para bangsawan angkuh itu selalu memandang rendah wilayah utara. Mereka tentu enggan menjejakkan kaki ke wilayah Grand Duchy meskipun hal itu juga memberi keuntungan tersendiri. Wilayah utara
Count Calliant masih ternganga. Sementara itu, dua kesatrianya bersama dengan Sir Datte sampai terlonjak dari kursi. Mereka bertiga jatuh dari kursi dengan estetik secara kompak.Grand Duke Erbish mengerutkan kening. "Kenapa kalian kelihatan kaget sekali? Memangnya kenapa kalau aku menyembunyikan mereka?" ketusnya. "Kalau seperti itu, Anda akan benar-benar ditangkap, Yang Mulia. Bagaimana nasib wilayah utara kalau hal itu terjadi?" cecar Sir Datte."Bukan hanya wilayah utara. Seluruh kerajaan mungkin akan hancur jika kehilangan satu lagi pahlawan perang. Kerajaan Varyans akan menjadi sasaran empuk musuh yang sudah lama mengincar," timpal Count Calliant."Jadi, Anda bermaksud menyuruh saya menyerahkan Neenash dan Sallac begitu?" Grand Duke Erbish memukul meja hingga terbelah dua. "Hal itu tidak akan pernah terjadi! Neenash dan Sallac tidak bersalah! Gadis yang mengaku Saintess itu pasti sudah melakukan sesuatu!" geramnya.Dia langsung berdiri dan hampir menghunus pedang. Kesatria Coun
Hawa dingin terasa membekukan sekeliling. Lady Neenash berhasil membekukan panah api yang dilepaskan Pangeran Sallac sebelum menyentuh rambut Lady Lily dan Lady Rosie. Ya, kedua gadis itulah yang tadi tiba-tiba merangsek masuk dan langsung menubruk Lady Neenash. Mereka masih memeluk Lady Neenash sembari menangis hari mengungkapkan rasa rindu. Sementara itu, Lady Neenash menatap tajam Pangeran Sallac. "Kau ingin membakar kami beserta kastil ini, Sallac?" sindir Lady Neenash.Pangeran Sallac mendecakkan lidah. "Kau tahu apiku hanya akan menyerang target yang sudah dipilih oleh tuannya, Neenash," sahutnya ringan tanpa beban. Dia mendekat. Tanpa perasaan, lengan Lady Lily dan Rosie ditarik dengan kasar. Kedua gadis itu melotot, tetapi tak lama. Demi melihat wajah suram sang pangeran, mereka langsung gemetaran."Ja-jangan kutuk kami, Pangeran!" seru Lady Rosie gelagapan. Sementara Lady Lily bahkan tidak bisa bersuara. Gadis itu hanya terus menunduk sambil memegangi erat lengan Lady Rosi