"Papa ...." Tama mendapati Regantara berada di dapur sedang memakan kudapan di tengah malam."Tama? Belum tidur?" "Besok libur, Pa ... kan tanggal merah, Tama mau ambil susu," ujar Tama membuka lemari pendingin. "Papa baru pulang?""Setengah jam lalu, Bunda udah tidur tapi Papa kelaparan." Begitulah Regantara, dia tak akan tega membangunkan istrinya hanya untuk sekedar menyiapkan makanan untuknya. " Duduk sini, temani Papa.""Pa, besok Tama ajak Kayma ke apartemen Ayah, boleh?""Boleh dong ... oh ya, sudah di pikirkan tawaran ayah Dimas?""Sudah, Pa ....""Semoga keputusannya tepat, ya. Papa hanya bisa mensupport Tama, memberikan kepercayaan untuk Tama. Masa depan itu Tama yang menentukan.""Iya, Pa ... untuk saat ini Tama memilih tetap tinggal di Indonesia, sama Papa sama bunda dan adik-adik.""Oh, jadi Tama memutuskan untuk meneruskan sekolah di sini?""Iya, Pa."Regantara mengangguk-angguk, tak di sangkanya Tama akan memilih meneruskan kuliah di Indonesia dan menolak tawaran Dimas
Riuh tawa renyah suara anak-anak kecil membangunkan Kayma dari tidurnya, hawa dingin pagi itu membuatnya enggan beranjak dari tempat tidur. Namun tawa lepas itu menggelitiknya untuk melihat ke arah luar. Tama sedang bermain dengan kedua adiknya di kolam renang. Hawa dingin begini bagi Amara dan Arman sudah sangat terbiasa untuk mereka yang tinggal di luar negeri. "Mas Tama, Amara mau makan dulu ya. Mas Tama jangan kemana-mana, ya." "Arman juga ah mau makan dulu, nanti berenang lagi," ujar bocah berusia tiga tahun dengan bahasa cedalnya. "Ya, Mas tunggu di sini ya ...." Tatapan mata Tama mengarah pada Kayma yang sudah berdiri di ambang pintu kaca tak jauh dari kolam dimana dia berada. Gadis itu membungkus dirinya dengan selimut putih tipis. "Sini." Tama melambaikan tangannya, meminta Kayma untuk mendekat. "Berenang?" "Enggak ah, dingin. Pasti airnya kayak es ...." "Enggak ... coba deh, airnya hangat." Kayma menyentuhkan kakinya sedikit masuk ke kolam renang, dan benar saja
"Bunda perhatikan akhir-akhir ini Tama dan Kayma sudah semakin akur, udah jarang berdebat, pergi sekolah sekarang juga sama-sama terus. Bunda senang liatnya," ujar Rubi pada Tama sore itu saat menjemputnya di resto."Masa mau ribut terus sih, Bun," ujar Tama menyalakan mesin mobilnya. "Kita langsung pulang?""Mampir beli mie ayam dulu deh, tadi Uti pesan itu katanya kangen makan mie ayam legend di Semarang."Mobil melaju dengan kecepatan sedang menuju salah satu tempat kuliner yang ramai di kunjungi. "Teman Tama yang waktu itu kenapa nggak pernah datang lagi ke rumah?""Casey? Sudah nggak, Bun.""Putus? Baru juga sekali ke rumah kok tiba-tiba putus.""Justru karena baru sekali Bun, biar nggak terlalu sering dan akrab nanti malah susah."Rubi tersenyum, "ada-ada aja, terus sekarang Tama fokus belajar dong. Kan sebentar lagi ujian, Bunda sih nggak muluk-muluk minta ke Tama. Cuma berbuatlah sesuatu yang membanggakan orang tua. Bunda, Papa dan Ayah selalu mendukung apapun yang menjadi ke
"Malam ini kita ke bioskop yuk, Yang," ujar Bono. "Sebelum kita di sibukkan dengan pergantian shift jaga malam." "Haha ... Mas Mas, kamu tuh kayak kerja shifting aja. Tapi boleh juga sih, kita sudah lama nggak nonton. Dua hari lagi Sekar bareng kita jadi pasti waktu kita akan terbagi buat Sekar." "Midnight, ya. Biar romantis kayak pacaran," ujar Bono. Malam itu memang malam spesial untuk Bono dan Menik, sudah bertahun-tahun menikah dan belum mempunyai momongan dan dua hari akan mulai merawat anak dari sahabatnya, maka Bono mengidekan untuk menghabiskan waktu bersama sang istri. "Eh Mas, itu Tama dan Kayma kan?" Menik tanpa sengaja melihat Kayma dan Tama masuk ke bioskop yang berbeda dari mereka. "Iya, hanya berdua atau sama teman-temannya?" "Sepertinya berdua ah tapi nggak tau juga, mungkin sama-sama temannya," ujar Menik. "Ya sudah nanti kalo ketemu setelah nonton kita sapa," ujar Bono. Setelah dua jam menikmati film, Bono dan Menik berjalan menuju basemen. Karena malam, Bono
"Tama ... Tama ...." Banyak siswi meneriakkan nama Tama saat pertandingan basket antar sekolah pagi itu. Termasuk Kayma yang berdiri di ujung lapangan bersama Hesti. "Ya ampun, aku bersedia jadi kakak iparmu, Kay. Mas Tama ganteng banget," ujar Hesti mengamati setiap gerak gerik Tama. "Katanya putus ya sama Casey, bagus deh ... mereka nggak cocok, tetep cocoknya sama aku," kata Hesti lagi sambil bersorak dan meloncat-loncat ketika Tama bisa memasukkan bola dengan three points. "Yes," ucap Kayma saat Tama memasukkan bola, Tama melihat ke arah Kayma dan tersenyum. "Mas Tama senyum ke aku, Kay," sorak Hesti. "Hooh iya in aja," kekeh Kayma. "Itu Casey ngapain ngeliatin kita." "Biarin aja, mungkin iri sama kamu yang di senyumin Mas Tama," goda Kayma. "Kalo nggak jodoh yo mau apa, kok yo maksa si Casey, dasar bule ...," gerutu Hesti. "Hush ... biarin aja," kata Kayma. "Go ... Mas Tama Go ...," teriak Hesti begitupun dengan Kayma. Riuh tepuk tangan kembali terdengar ketika tim Tam
Tama menunggu Rubi di meja bar resto sore itu, sementara Kayma menghampiri Rubi yang berada di dalam ruangan kerjanya. Arsa dan Qiara seperti biasa menikmati honey cake yang menjadi cake legend yang ada di resto ini setelah risoles pastinya yang menjadi kesukaan Regantara. "Hai, Tam ...." Bono menepuk pundak Tama. "Kalo udah gede itu sekarang minumnya kekinian ya," uajr Bono, melihat minuman yang tersaji di hadapan Tama. "Pakde tau aja, masa Tama minumnya es teh terus," kekeh remaja satu ini. "Aaku juga mau dong, Yang ... buatin sama kayak Tama," pinta Bono pada Menik yang menatapnya tajam berharap apa yang Bono ceritakan beberapa hari lalu jangan dulu suaminya itu katakan secara langsung pada Tama. "Gimana basket?" "Lancar Pakde, kemarin baru menang lagi." "Keren ... Pakde jadi inget dulu waktu kamu kecil suka nganterin Tama latihan basket. Sekarang mungkin Tama udah sering nganterin pacarnya kemana-mana," sindir Bono. "Pakde bisa aja," ucap Tama malu-malu. "Pasti udah punya
"Akhirnya, selesai juga ujian terakhir ini," ucap Argo menghempaskan bokongnya di kursi panjang kantin. "Tinggal nunggu nilai, banyak-banyak berdoa, Go," ujar Bayu menepuk pundak sahabatnya yang memang sangat tengil itu. "Dia nggak doa aja pasti lulus kok, Bay ... jalur orang dalam lebih valid," kekeh Satrio. "Sembarangan, ini hasil usahaku sendiri," gerutu Argo lalu memanggil pelayan kantin untuk mendengarkan makanan apa yang akan dia pesan. "Vibes nya memang beda yo nek anake Sultan ki," kekeh Bayu. "Lambe mu Bay, tak cocok saos mau," geram Argo. "Rencana kalian setelah lulus gimana?" tanya Tama yang sedari tadi hanya memainkan pipet di botol minumannya. "Aku ya pasti nyoba negeri dulu, Tam ... nggak lolos ya pake jalur mandiri nggak lolos lagi ya swasta," jelas Satrio. "Aku idem ... kurang lebih sama, nggak tau kalo Argo," ujar Bayu menunjuk Argo dengan dagunya. "Go, kamu gimana?" "Enggak tau, Tam ... aku kok nggak ada minatau nerus kuliah. Nerus nggak nerus ya pasti nurut
"Kita tunggu Regantara, mungkin sebentar lagi sampai," ucap Rubi sore itu ketika Dimas dan Ayu datang ke restonya."Besok kalian berangkat?" tanya Rubi menatap Dimas dan Ayu bergantian"Iya, Bi ... pesawat pagi," ucap Ayu."Regantara mungkin sibuk, ya ... kalo gitu aku sampaikan—" "Maaf lama menunggu," ucap Regantara yang datang dengan mengecup pucuk kepala Rubi lalu bergantian menjabat tangan Dimas dan Ayu. "Jalanan padat, mungkin karena musim liburan," katanya lagi."Enggak apa-apa, Re ...." Dinas pun tersenyum."Jadi, kita membahas apa kali ini?" tanya Regantara masih dengan candaannya."Sebelumnya aku minta maaf kalo ini akan terdengar tidak mengenakan, tapi apapun itu kita butuh jalan keluar untuk membicarakannya," kata Dimas sedikit serius."Ya, silahkan teruskan." Regantara memberikan ruang untuk dimasa mengutarakan maksud dan tujuan pertemuan ini."Mengenai Tama dan Kayma," ucap Dimas."Ada apa dengan anak-anakku?" Nada bicara Rubi sedikit meninggi karena rasa penasaran."Rub
Sudah hampir setahun keluarga Regantara tak datang kembali ke Jakarta, dan khusus tahun ini bertepatan dengan hari ulang tahun almarhum Debby mereka kembali datang. Sebelum sampai di rumah mantan mertuanya, Regantara menyempatkan diri berkunjung ke makam istri pertamanya. Regantara dan Rubi beserta ke empat anak mereka duduk bersimpuh bersisian dengan gundukan tanah berbalut rumput yang di rawat dengan baik. "Apa kabar, Ma?" Suara lirih Kayma membuka keheningan diantara mereka. Sambil mengusap nisan sang Ibu, mata gadis itu pun berkaca-kaca. Ingin rasanya dia bercerita tentang kegundahan hatinya selama ini. Terlebih tentang cerita antara dia dan Tama, jika pun waktu bisa kembali dan berjalan tidak seperti saat ini, bisa jadi jodohnya adalah Tama. "Arsa, pimpin doa," ujar Regantara. Beberapa saat Arsa memimpin doa, Rubi ikut menaburkan bunga di atas gundukan tanah itu lalu dia merangkul pundak Kayma mengusapnya lembut. "Papa tinggal sebentar ya, Bunda dan anak-anak jika ingin men
"Sudah berapa lama kenal Kayma?" tanya Tama dengan napas memburu sambil men-dribel bolanya."Setengah tahun," jawab Saka berusaha meraih bola yang berada di dalam kekuasaan Tama."Sejauh apa?" tanya nya lagi memutar tubuhnya menghindari gerakan Saka."Sampai saat ini masih berteman dan mungkin sebentar lagi akan lebih dari sekedar teman."Tama menghentikan gerakannya, matanya menatap tajam ke arah Saka. Denga satu kali gerakan dia melambungkan bola basket dan tepat masuk ke dalam ring."Benar kata Arsa, permainan Mas Tama keren juga," ujar Saka bergantian memainkan bola yang sudah berada di tangannya.Tama mengindahkan perkataan Saka, masih terngiang di telinganya ucapan Saka yang baru saja terlontar."Lalu menurut kamu, Kayma suka sama kamu?" Tama sekarang bergantian memperebutkan bola di tangan Saka."Ibarat kata orang tua dulu, alon alon waton kelakon. Semua melalui proses Mas, dan kami sedang dalam proses itu," jawab Saka memutar tubuhnya dan memasukkan bola ke dalam ring."Keren
Pukul sembilan lebih lima belas menit Tama berdiri di ambang pintu rumah besar milik Regantara. Kehadiran dirinya membuat kaget seisi rumah. Rubi berlari memeluk anak pertamanya itu, tangis rindunya tak dapat lagi di bendung."Kenapa nggak bilang kalo pulang, Nak?" Rubi masih memeluk tubuh tegap itu."Surprise, Bunda." Rubi melepaskan pelukannya, memberi ruang pada Tama untuk melepas rindu juga pada Regantara. "Sebenarnya Papa sudah tau dari Ayah kamu," ujar Regantara memeluk erat tubuh putra tirinya. "Tapi Papa nggak tau kamu sampainya hari ini." Regantara menepuk pundak Tama. "Sudah besar kamu, Nak." Mata binar memancarkan kebanggaan dari mata Regantara."Mas Tama," ucap Qiara yang juga menangis karena haru."Adik Mas Tama sudah besar, peluk dong.""Mas Tama ...." Qiara menangis karena rindu, saat di tinggal oleh Tama umurnya masih 6 tahun masih terlalu muda melepas kepergian kakak kandungnya itu."Kangen, ya?" Qiara pun menjawab dengan anggukan. Mata Tama mengarah pada sosok tubu
Ghea duduk menunggu di taman kota tak jauh dari apartemen mereka, tadi sepulang dari kampus dia mengabari Tama untuk menemuinya di sana. Alasannya, agar bisa langsung makan untuk malam ini di luar. Karena minggu ini dia berjanji akan mentraktir Tama."Hai." Suara Tama mengagetkan Ghea. Gadis berambut sebahu itu menoleh. Hari itu, entah mengapa dia melihat Tama lebih tampan dari biasanya."Kok ganteng ...." Kali ini Ghea memutar tubuhnya memastikan Tama memang benar-benar beda hari itu."Kan mau di traktir, emang nggak boleh ganteng?""Jangan ganteng-ganteng, kalo aku naksir gimana?" candanya."Haha ... jadi ada kabar apa?" tanya Tama sambil menyodorkan minuman kaleng oeghangat tubuh."Duduk sini." Ghea menepuk sisi sebelah kirinya lalu mengeluarkan amplop dari tas punggungnya. "Ini.""Apa?""Masih ingat kan kalo aku pernah cerita aku mengajukan beasiswa lagi untuk melanjutkan belajar di negara ini?""Iya," jawab Tama sambil membuka amplop itu dan perlahan membacanya. "Ghe, ini serius?
"Jadi?" tanya Hesti sambil menunggu Kayma membereskan buku-bukunya."Jadi sih, tapi kamu temenin ya. Enggak enak kalo sendirian, nanti kesannya aku ada apa-apa.""Ya ampun, Kay. Ada apa-apa juga enggak apa-apa, selagi dia masih single bukan milik siapa-siapa. Ya lanjut aja," kata Hesti ikut meraih tas punggungnya."Emang enggak ada apa-apa, Hes. Kamu jangan mulai deh.""Kamu mau sampe kapan sih mikirin Mas Tama?"Kayma masih terus berjalan di koridor sekolah, kakinya selalu berat melangkah jika nama Tama di sebut."Enggak ada hubungannya sama Mas Tama, Hes.""Ya jelas ono, wong kamunya aja gagal move on. Pangeran di depan mata aja ketutup," sungut Hesti. "Sing tak pikirke ki Bunda, pasti sedih lihat kalian seperti ini. Saudara bukan, kekasih juga bukan tapi masih memendam cinta. Ayolah, Kay ... Saka juga nggak jauh lebih baik dari Mas Tama. Mas Tama boleh saja jadi cinta pertama kamu tapi, mungkin Saka atau lelaki-lelaki di luar sana yang akan menjadi masa depan kamu."Kayma menghenti
Ghea beranjak dari tempat tidurnya, sudah dua hari ini dia merasakan tubuhnya sedang tidak baik-baik saja, apalagi di tambah dengan halangan yang biasa setiap bulan kaum wanita dapatkan. "Just a minute," ujarnya dengan suara yang sedikit berat. Ghea membukakan pintu apartemennya. Tama sudah berdiri membawa beberapa paper bag makanan. "Masih pagi, Tam ... masuk," ucapnya mempersilahkan Tama untuk masuk. "Aku bawain sarapan pagi," kata Tama yang langsung menuju dapur. "Setelah makan minum obatnya." Tama menyalakan kompor untuk memasak air. Sejak dua hari lalu saat Ghea mengatakan dia sakit, Tama lah yang mondar-mandir memastikan keadaan gadis itu. Maklum saja Ghea adalah perantau luar negara yang tidak mempunyai siapa-siapa. Dan Tama merasa mempunyai kewajiban karena mereka hidup sendiri di negara orang. Ghea menguncir rambutnya hingga tinggi menampakkan leher jenjangnya, dia masih terduduk lemas di sofa. "Di minum teh nya, makan ini." Tama memberikan sebungkus sandwich pada Ghea
Kayma masih mengenakan piyamanya pagi itu, dia berdiri di sandaran pintu kaca besar yang menghubungkan ruang makan pada taman samping rumah. Suara riuh Qiara yang bersorak tadi membangunkannya. Pandangannya jatuh pada tubuh atletis Saka yang tak mengenakan kaos, hanya dengan celana pendek Tama yang dia berikan semalam. Saka sedang asyik men-dribel bola basket dan mengecoh gerakan Arsa. "Yeay ... Qia tim Abang Saka. Semangat Abang," sorak Qiara. "Abang?" Kayma bergumam. "Eh Kak Kay udah bangun." Qiara menghampiri Kayma lalu menggandeng tangan sang Kakak dan duduk di kursi panjang. "Iya, soalnya kamu berisik," kekeh Kayma sambil mengusak rambut Qiara. Saka menghentikan permainannya, matanya menatap Kayma lalu tersenyum. Tubuh berpenuh peluh itu begitu terlihat silau terkena pantulan matahari. "Qiara kalo udah gede pengen punya pacar kayak Abang, ganteng baik lagi." "Anak kecil, mikirnya." Kayma meraup wajah Qiara. "Emang Kakak nggak suka ya? Kalo Kakak nggak suka nanti Qia bilang
"Apa kabar, Kay?" Saka mengulurkan tangannya pada Kayma."Baik," jawab Kayma masih tak percaya lelaki berseragam itu ada di supermarket. "Kok ada di sini?" tanya Kayma sambil mengerutkan keningnya."Mm ... belanja," jawab Saka bohong."Hah?""Aku ... itu, belanja ... iya belanja.""Oh ....""Kamu, sendirian?""Sama Bunda di sana ... oh iya aku butuh butter dan mayonaise." Cepat-cepat Kayma meraih barang yang di minta oleh Rubi. "Saka, maaf ya aku harus pu—""Saka? Wah kebetulan sekali ketemu di sini. Sedang libur tugas?" Rubi berjalan menghampiri mereka."I-iya Tante, libur.""Kapan masuk?""Besok, Tante ....""Kalo gitu ikut Tante, makan malam di rumah, ya.""Tapi—""Tante nggak terima penolakan loh, kamu pulang sekarang juga ngapain, kan libur?""Iya, tapi—"Mata Saka sekilas menatap Kayma, rasanya kemarin saat Rubi menelponnya skenarionya hanya makan malam tidak ada menginap di rumah keluarga mereka."Kay, ayo kita antri di kasir. Saka, bisa minta tolong di dorongan troli nya ya,"
"Hah? Cowok berseragam ... si Mas-mas Taruna? Serius?" Hesti terkejut saat Kayam menceritakan bahwa dia dan pemuda berseragam bernama Saka saling kenal. "Oh, bapaknya siap namanya?" "Saka." "Nah iya si Saka itu ternyata bapaknya satu komunitas dengan Papa Regan?" "Iya, kemarin sebelum mereka pulang, Papa mengundang keluarga Saja untuk makan siang di resto Bunda." "Ya ampun, Kay. Jodoh emang nggak kemana ya." "Jodoh apaan?" "Jodoh Mas Taruna lah .... Terus ada kelanjutannya?" tanya Hesti penasaran. "Kemarin minta nomer hp." "Aduh duuuh, Kay. Mbok kamu kasih?" "Enggak." "Laaah ... yo ngopi, Kay. Di kasih to yah, emang kenapa sih? Buka hati Kay, anggaplah berteman dulu kan nggak harus pacaran. Emang kamu bisa pastiin Mas Tama di sana nggak punya pacar?" Kayma terdiam, apa pula haknya memikirkan Tama. Bahkan lelaki yang pernah mengisi hatinya itu pun tak pernah sedikitpun menanyakan kabarnya atau sekali saja menelpon untuk mendengar suaranya. "Tapi dia kasih nomer hp nya?" H