"Akhirnya, selesai juga ujian terakhir ini," ucap Argo menghempaskan bokongnya di kursi panjang kantin. "Tinggal nunggu nilai, banyak-banyak berdoa, Go," ujar Bayu menepuk pundak sahabatnya yang memang sangat tengil itu. "Dia nggak doa aja pasti lulus kok, Bay ... jalur orang dalam lebih valid," kekeh Satrio. "Sembarangan, ini hasil usahaku sendiri," gerutu Argo lalu memanggil pelayan kantin untuk mendengarkan makanan apa yang akan dia pesan. "Vibes nya memang beda yo nek anake Sultan ki," kekeh Bayu. "Lambe mu Bay, tak cocok saos mau," geram Argo. "Rencana kalian setelah lulus gimana?" tanya Tama yang sedari tadi hanya memainkan pipet di botol minumannya. "Aku ya pasti nyoba negeri dulu, Tam ... nggak lolos ya pake jalur mandiri nggak lolos lagi ya swasta," jelas Satrio. "Aku idem ... kurang lebih sama, nggak tau kalo Argo," ujar Bayu menunjuk Argo dengan dagunya. "Go, kamu gimana?" "Enggak tau, Tam ... aku kok nggak ada minatau nerus kuliah. Nerus nggak nerus ya pasti nurut
"Kita tunggu Regantara, mungkin sebentar lagi sampai," ucap Rubi sore itu ketika Dimas dan Ayu datang ke restonya."Besok kalian berangkat?" tanya Rubi menatap Dimas dan Ayu bergantian"Iya, Bi ... pesawat pagi," ucap Ayu."Regantara mungkin sibuk, ya ... kalo gitu aku sampaikan—" "Maaf lama menunggu," ucap Regantara yang datang dengan mengecup pucuk kepala Rubi lalu bergantian menjabat tangan Dimas dan Ayu. "Jalanan padat, mungkin karena musim liburan," katanya lagi."Enggak apa-apa, Re ...." Dinas pun tersenyum."Jadi, kita membahas apa kali ini?" tanya Regantara masih dengan candaannya."Sebelumnya aku minta maaf kalo ini akan terdengar tidak mengenakan, tapi apapun itu kita butuh jalan keluar untuk membicarakannya," kata Dimas sedikit serius."Ya, silahkan teruskan." Regantara memberikan ruang untuk dimasa mengutarakan maksud dan tujuan pertemuan ini."Mengenai Tama dan Kayma," ucap Dimas."Ada apa dengan anak-anakku?" Nada bicara Rubi sedikit meninggi karena rasa penasaran."Rub
Langkah Tama terhenti kala suara Regantara terdengar begitu dekat saar dia akan menaiki anak tangga menuju kamarnya. "Darimana, Tama?" tanya Regantara yang ternyata duduk di ruang keluarga. "Papa ... Tama dari mm ... pergi makan sama Kayma," ucapnya gugup tidak seperti biasa. "Papa mau bicara sama Tama, kita ke ruang kerja Papa." Regantara melangkah lebih dulu di susul oleh Tama di belakangnya. Raut wajah Regantara kali ini lebih serius dari biasanya. Sementara Tama seperti sudah mengetahui apa yang akan dikatakan oleh Regantara. "Duduk," titah Regantara. Regantara menatap dalam lelaki yang sedang beranjak dewasa itu. Kepala yang menunduk seakan enggan membalas tatapan lelaki yang selama ini menganggapnya seperti anak sendiri. "Tama ingat pertama kali Tama masuk ruangan ini kita membicarakan sesuatu yang serius?" "Ingat, Pa." Ingatan Tama kembali saat dia duduk di kelas tiga SMP, kala itu Tama melakukan kesalahan karena sudah membuat seorang siswa babak belur. Bukan karena kes
"Aku minta maaf karena tidak bisa mendidik Tama dengan baik," ujar Rubi malam itu saat dirinya dan Regantara berbaring di tempat tidur. "Jangan menyalahkan diri sendiri, kita nggak pernah tau apa yang terjadi. Semua diluar kuasa kita, Sayang." Regantara memeluk erat tubuh istrinya. Helaan napas Rubi begitu berat, rasa bercampur aduk di dalam hatinya, termasuk malu kepada Regantara. "Jangan khawatirkan mereka, aku yakin mereka bisa memutuskan yang terbaik buat keluarga ini. Kamu tau Sayang, saat ini mereka masih merasakan cinta itu tumbuh begitu manis. Umur mereka seiringnya waktu akan bertambah, maka pikiran mereka pun akan terbuka. Masa depan mereka masih sangat panjang, di depan sana banyak sekali kemungkinan yang terjadi, termasuk bertemu dengan orang yang tepat." "Jadi menurut kamu, mereka sekarang masih labil?" Rubi mengangkat kepalanya menatap Regantara. "Iya, aku yakin mereka akan menemukan orang yang tepat. Sekarang mungkin kesedihan itu akan selalu ada, namun seiring wak
"Opo?" Hesti terkejut mendengar cerita Kayma siang itu. "Jadi selama ini kalian diam-diam menjalin hubungan, astaga." Kayma hanya mengangguk lesu, dia harus bercerita dengan seseorang tentang apa yang hatinya rasakan sekarang. Kalau dulu mungkin Tama orang yang selalu mendengarkan keluh kesahnya, namun sekarang orang yang dia sayang pun memutuskan untuk pergi dari dirinya. "Ya ampun, Kay. Sing sabar ya ...." Hesti berulang kali mengelus punggung sahabatnya. "Seandainya aku tau akhirnya bakal begini, Hes ...." Kayma menutup wajah dengan kedua tangannya dan mulai terisak. Tubuhnya bergetar, sesak di dadanya sekarang membuncah tak lagi tertahan. "Ya ampun, Kay ...." Hesti ikut menangis memeluk sahabatnya itu. "Sakit, Hes," ucap Kayma tertatih. "Dia beri aku cinta lalu dia pergi seakan cinta itu nggak pernah ada." "Kay, please udah," bisik Hesti berusaha menenangkan Kayma. "Jodoh kalian hanya sampai di sini." Isak tangis Kayma meluapkan emosi dan kesedihan mewarnai sore itu. Semakin
"Kay berangkat ya, Bun," ucap Kayma lalu mencium pipi Rubi kemudian beralih pada Regantara. "Bekalnya jangan lupa di makan, pulang jangan terlalu sore. Hari ini nggak ada ekstra kan?" tanya Rubi memastikan. "Siap, Bunda. Hari ini ada pelajaran tambahan, di kelas dua ini Kay sepertinya bakal banyak kegiatan, Bun." "Ya sudah, enggak apa-apa. Asal positif, ya." Regantara mengeluarkan dompetnya lalu memberikan beberapa lembar uang seratus ribu pada Kayma. "Buat apa, Pa?" "Reward karena anak Papa jadi wakil dari sekolah memenangkan olimpiade Matematika minggu kemarin," ujar Regantara. "Asik ... makasih, Pa. Kay, jalan ya." Kayma berjalan melenggang meninggalkan kedua orangtuanya. Lima bulan sudah berlalu semenjak kepergian Tama ke Belanda. Kayma kembali menjadi gadis yang periang, teman-temannya pun bertambah banyak. Kayma menyibukkan diri dengan mengikuti banyak aktivitas. "Makasih, Pak Soleh," ucap Kayma sebelum turun dari mobilnya. "Hai, Kay," panggil Hesti. "Tugas kemarin u
Rubi masih asyik mengerjakan pekerjaannya di laptop sore itu, dan tanpa dia sadar seorang sahabat lama mendatangi ruang kerjanya. "Sudah sore, masih sibuk aja," ucap Inggit yabg berdiri di ambang pintu dengan membawakan dua bungkus paper bag berisi roti dengan aroma kopi. "Inggit ... ya ampun, apa kabar?" Rubi beranjak dari tempat duduknya lalu bergegas mendatangi Inggit dan memeluk wanita itu erat. "Aku baik, semua baik. Kamu baru sampai Indonesia kemarin, aku sudah nggak sabar mau ketemu kamu." "Ya ampun, kita udah nggak ketemu berapa lama ya?" "Ojo mendramatisir baru 10 bulan, bahasa Jawa ku yo masih medog," kekeh Inggit. "Aku bawa ini, bikin kopi dong enak buat di cocolin ke kopi panas," ujarnya lagi lalu meletakkan roti itu ke atas meja. "10 bulan ya? Kok terasa seperti lama ya, Nggit." Rubi memanggil salah satu karyawannya meminta untuk dibuatkan kopi lalu menutup kembali ruangannya. "Iya, kabar terakhir yang aku dengar kan masalah Yanti dan Bono. Jadi gimana mereka?" "A
Bel sekolah berbunyi, tepat pukul dua siang. Kayma membereskan buku-bukunya, di ambang pintu sudah berdiri Hesti yang menunggunya untuk bersama pulang. "Ayo," ujar Kayma sambil membenarkan tas punggungnya. "Naik motorku nggak apa-apa kan, Kay?" "Kamu kayak apa aja, Hes ... aku udah terlanjur bilang Bunda pulang sama kamu jadi Pak Soleh ngga aku suruh jemput. Memangnya kenapa naik motor, aku dulu sama—" Kayma terdiam, lagi-lagi ingatannya kembali pada Tama. "Ah lupain aja ... naik motor malah enak banyak angin," ujar Kayma sambil berjalan membuang pandangannya ke depan. "Inget Mas Tama ya? Sudah satu tahun, nggak kerasa ya, Kay." "Hhmm." "Dia benar-benar nggak pernah telpon?" Kayma menggeleng. "Sama sekali?" Kayma mengangguk. "Hhmm ... tapi menghubungi Bunda atau Om Regan? Arsa dan Qiara?" "Iya, kecuali aku ... mungkin memang caranya dia seperti itu. Sudahlah biarkan saja ... lagi pula orangnya udah move on kali, masa mau di paksa inget aku terus," kata Kayma mengambil helm
Sudah hampir setahun keluarga Regantara tak datang kembali ke Jakarta, dan khusus tahun ini bertepatan dengan hari ulang tahun almarhum Debby mereka kembali datang. Sebelum sampai di rumah mantan mertuanya, Regantara menyempatkan diri berkunjung ke makam istri pertamanya. Regantara dan Rubi beserta ke empat anak mereka duduk bersimpuh bersisian dengan gundukan tanah berbalut rumput yang di rawat dengan baik. "Apa kabar, Ma?" Suara lirih Kayma membuka keheningan diantara mereka. Sambil mengusap nisan sang Ibu, mata gadis itu pun berkaca-kaca. Ingin rasanya dia bercerita tentang kegundahan hatinya selama ini. Terlebih tentang cerita antara dia dan Tama, jika pun waktu bisa kembali dan berjalan tidak seperti saat ini, bisa jadi jodohnya adalah Tama. "Arsa, pimpin doa," ujar Regantara. Beberapa saat Arsa memimpin doa, Rubi ikut menaburkan bunga di atas gundukan tanah itu lalu dia merangkul pundak Kayma mengusapnya lembut. "Papa tinggal sebentar ya, Bunda dan anak-anak jika ingin men
"Sudah berapa lama kenal Kayma?" tanya Tama dengan napas memburu sambil men-dribel bolanya."Setengah tahun," jawab Saka berusaha meraih bola yang berada di dalam kekuasaan Tama."Sejauh apa?" tanya nya lagi memutar tubuhnya menghindari gerakan Saka."Sampai saat ini masih berteman dan mungkin sebentar lagi akan lebih dari sekedar teman."Tama menghentikan gerakannya, matanya menatap tajam ke arah Saka. Denga satu kali gerakan dia melambungkan bola basket dan tepat masuk ke dalam ring."Benar kata Arsa, permainan Mas Tama keren juga," ujar Saka bergantian memainkan bola yang sudah berada di tangannya.Tama mengindahkan perkataan Saka, masih terngiang di telinganya ucapan Saka yang baru saja terlontar."Lalu menurut kamu, Kayma suka sama kamu?" Tama sekarang bergantian memperebutkan bola di tangan Saka."Ibarat kata orang tua dulu, alon alon waton kelakon. Semua melalui proses Mas, dan kami sedang dalam proses itu," jawab Saka memutar tubuhnya dan memasukkan bola ke dalam ring."Keren
Pukul sembilan lebih lima belas menit Tama berdiri di ambang pintu rumah besar milik Regantara. Kehadiran dirinya membuat kaget seisi rumah. Rubi berlari memeluk anak pertamanya itu, tangis rindunya tak dapat lagi di bendung."Kenapa nggak bilang kalo pulang, Nak?" Rubi masih memeluk tubuh tegap itu."Surprise, Bunda." Rubi melepaskan pelukannya, memberi ruang pada Tama untuk melepas rindu juga pada Regantara. "Sebenarnya Papa sudah tau dari Ayah kamu," ujar Regantara memeluk erat tubuh putra tirinya. "Tapi Papa nggak tau kamu sampainya hari ini." Regantara menepuk pundak Tama. "Sudah besar kamu, Nak." Mata binar memancarkan kebanggaan dari mata Regantara."Mas Tama," ucap Qiara yang juga menangis karena haru."Adik Mas Tama sudah besar, peluk dong.""Mas Tama ...." Qiara menangis karena rindu, saat di tinggal oleh Tama umurnya masih 6 tahun masih terlalu muda melepas kepergian kakak kandungnya itu."Kangen, ya?" Qiara pun menjawab dengan anggukan. Mata Tama mengarah pada sosok tubu
Ghea duduk menunggu di taman kota tak jauh dari apartemen mereka, tadi sepulang dari kampus dia mengabari Tama untuk menemuinya di sana. Alasannya, agar bisa langsung makan untuk malam ini di luar. Karena minggu ini dia berjanji akan mentraktir Tama."Hai." Suara Tama mengagetkan Ghea. Gadis berambut sebahu itu menoleh. Hari itu, entah mengapa dia melihat Tama lebih tampan dari biasanya."Kok ganteng ...." Kali ini Ghea memutar tubuhnya memastikan Tama memang benar-benar beda hari itu."Kan mau di traktir, emang nggak boleh ganteng?""Jangan ganteng-ganteng, kalo aku naksir gimana?" candanya."Haha ... jadi ada kabar apa?" tanya Tama sambil menyodorkan minuman kaleng oeghangat tubuh."Duduk sini." Ghea menepuk sisi sebelah kirinya lalu mengeluarkan amplop dari tas punggungnya. "Ini.""Apa?""Masih ingat kan kalo aku pernah cerita aku mengajukan beasiswa lagi untuk melanjutkan belajar di negara ini?""Iya," jawab Tama sambil membuka amplop itu dan perlahan membacanya. "Ghe, ini serius?
"Jadi?" tanya Hesti sambil menunggu Kayma membereskan buku-bukunya."Jadi sih, tapi kamu temenin ya. Enggak enak kalo sendirian, nanti kesannya aku ada apa-apa.""Ya ampun, Kay. Ada apa-apa juga enggak apa-apa, selagi dia masih single bukan milik siapa-siapa. Ya lanjut aja," kata Hesti ikut meraih tas punggungnya."Emang enggak ada apa-apa, Hes. Kamu jangan mulai deh.""Kamu mau sampe kapan sih mikirin Mas Tama?"Kayma masih terus berjalan di koridor sekolah, kakinya selalu berat melangkah jika nama Tama di sebut."Enggak ada hubungannya sama Mas Tama, Hes.""Ya jelas ono, wong kamunya aja gagal move on. Pangeran di depan mata aja ketutup," sungut Hesti. "Sing tak pikirke ki Bunda, pasti sedih lihat kalian seperti ini. Saudara bukan, kekasih juga bukan tapi masih memendam cinta. Ayolah, Kay ... Saka juga nggak jauh lebih baik dari Mas Tama. Mas Tama boleh saja jadi cinta pertama kamu tapi, mungkin Saka atau lelaki-lelaki di luar sana yang akan menjadi masa depan kamu."Kayma menghenti
Ghea beranjak dari tempat tidurnya, sudah dua hari ini dia merasakan tubuhnya sedang tidak baik-baik saja, apalagi di tambah dengan halangan yang biasa setiap bulan kaum wanita dapatkan. "Just a minute," ujarnya dengan suara yang sedikit berat. Ghea membukakan pintu apartemennya. Tama sudah berdiri membawa beberapa paper bag makanan. "Masih pagi, Tam ... masuk," ucapnya mempersilahkan Tama untuk masuk. "Aku bawain sarapan pagi," kata Tama yang langsung menuju dapur. "Setelah makan minum obatnya." Tama menyalakan kompor untuk memasak air. Sejak dua hari lalu saat Ghea mengatakan dia sakit, Tama lah yang mondar-mandir memastikan keadaan gadis itu. Maklum saja Ghea adalah perantau luar negara yang tidak mempunyai siapa-siapa. Dan Tama merasa mempunyai kewajiban karena mereka hidup sendiri di negara orang. Ghea menguncir rambutnya hingga tinggi menampakkan leher jenjangnya, dia masih terduduk lemas di sofa. "Di minum teh nya, makan ini." Tama memberikan sebungkus sandwich pada Ghea
Kayma masih mengenakan piyamanya pagi itu, dia berdiri di sandaran pintu kaca besar yang menghubungkan ruang makan pada taman samping rumah. Suara riuh Qiara yang bersorak tadi membangunkannya. Pandangannya jatuh pada tubuh atletis Saka yang tak mengenakan kaos, hanya dengan celana pendek Tama yang dia berikan semalam. Saka sedang asyik men-dribel bola basket dan mengecoh gerakan Arsa. "Yeay ... Qia tim Abang Saka. Semangat Abang," sorak Qiara. "Abang?" Kayma bergumam. "Eh Kak Kay udah bangun." Qiara menghampiri Kayma lalu menggandeng tangan sang Kakak dan duduk di kursi panjang. "Iya, soalnya kamu berisik," kekeh Kayma sambil mengusak rambut Qiara. Saka menghentikan permainannya, matanya menatap Kayma lalu tersenyum. Tubuh berpenuh peluh itu begitu terlihat silau terkena pantulan matahari. "Qiara kalo udah gede pengen punya pacar kayak Abang, ganteng baik lagi." "Anak kecil, mikirnya." Kayma meraup wajah Qiara. "Emang Kakak nggak suka ya? Kalo Kakak nggak suka nanti Qia bilang
"Apa kabar, Kay?" Saka mengulurkan tangannya pada Kayma."Baik," jawab Kayma masih tak percaya lelaki berseragam itu ada di supermarket. "Kok ada di sini?" tanya Kayma sambil mengerutkan keningnya."Mm ... belanja," jawab Saka bohong."Hah?""Aku ... itu, belanja ... iya belanja.""Oh ....""Kamu, sendirian?""Sama Bunda di sana ... oh iya aku butuh butter dan mayonaise." Cepat-cepat Kayma meraih barang yang di minta oleh Rubi. "Saka, maaf ya aku harus pu—""Saka? Wah kebetulan sekali ketemu di sini. Sedang libur tugas?" Rubi berjalan menghampiri mereka."I-iya Tante, libur.""Kapan masuk?""Besok, Tante ....""Kalo gitu ikut Tante, makan malam di rumah, ya.""Tapi—""Tante nggak terima penolakan loh, kamu pulang sekarang juga ngapain, kan libur?""Iya, tapi—"Mata Saka sekilas menatap Kayma, rasanya kemarin saat Rubi menelponnya skenarionya hanya makan malam tidak ada menginap di rumah keluarga mereka."Kay, ayo kita antri di kasir. Saka, bisa minta tolong di dorongan troli nya ya,"
"Hah? Cowok berseragam ... si Mas-mas Taruna? Serius?" Hesti terkejut saat Kayam menceritakan bahwa dia dan pemuda berseragam bernama Saka saling kenal. "Oh, bapaknya siap namanya?" "Saka." "Nah iya si Saka itu ternyata bapaknya satu komunitas dengan Papa Regan?" "Iya, kemarin sebelum mereka pulang, Papa mengundang keluarga Saja untuk makan siang di resto Bunda." "Ya ampun, Kay. Jodoh emang nggak kemana ya." "Jodoh apaan?" "Jodoh Mas Taruna lah .... Terus ada kelanjutannya?" tanya Hesti penasaran. "Kemarin minta nomer hp." "Aduh duuuh, Kay. Mbok kamu kasih?" "Enggak." "Laaah ... yo ngopi, Kay. Di kasih to yah, emang kenapa sih? Buka hati Kay, anggaplah berteman dulu kan nggak harus pacaran. Emang kamu bisa pastiin Mas Tama di sana nggak punya pacar?" Kayma terdiam, apa pula haknya memikirkan Tama. Bahkan lelaki yang pernah mengisi hatinya itu pun tak pernah sedikitpun menanyakan kabarnya atau sekali saja menelpon untuk mendengar suaranya. "Tapi dia kasih nomer hp nya?" H