"Aku udah milih!" kataku, dikuat-kuatin. Padahal mata udah mau nangis.
Ngapain juga Dirga dateng lagi ke sini? Kenapa dia jadi kaya gitu? Dateng-dateng main pukul?
"Ayo, shalat," ajak Akbar datar, trus pergi aja, ngga pake nunggu.
Aku lagi ngantre toilet. Jadi orang terakhir di antrean itu ngga enak. Terpaksa harus ngantre sendiri.
Naila keluar toilet dan langsung pamit ke pintu belakang yang ada di ujung koridor. Aku iyain aja, lagian masih harus ke toilet, kan?
Baru aja mau masuk toilet, kedengeran langkah kaki buru-buru. Aku balik dan auto-terpaku. Dirga berhenti selangkah di depanku.
Dia juga kayanya terpaku, cuma ngeliatin ngga pake ngomong sedikit pun. Akhirnya kuputus
Tak ada jawaban dari dalam. Tak ada suara juga. Duduk bersandar di pintu toilet, aku memikirkan diriku sendiri. Mengapa harus terlibat di antara mereka?Kuketukkan kepala ke pintu. Terdengar ketukan yang sama dari balik sana. Sepertinya dia juga duduk bersandar di balik punggungku. "Alisha?"Tak ada jawaban. Hanya suara kucuran air tak lama kemudian. Buatku, itu sudah cukup melegakan. Setidaknya, aku bisa yakin bahwa dia masih bisa berjalan ke wastafel.Pak Ali datang menghampiri ketika aku hendak keluar ke musholla. "Pak Dirga masih di luar, Pak," katanya setengah berbisik, "kayanya dia nunggu Mbak Alisha. Apa perlu saya usir?"Kulirik pintu toilet yang masih tertutup rapat. Dia memilih bertahan di dalam. "Biar saja," kataku, "apa yang dia lakukan, bukan urusan kita."
Uhuk!Asem! Udah minta maaf juga, masih diomongin. Kayanya Akbar tipe pendendam, deh. Salah dikit, diinget selamanya, huh!Enakan sama Dirga kalo soal ini. Seandainya aku nangis di lengan Dirga tadi, dia pasti bakal meluk aku dan ngga akan peduli soal baju yang basah.Ah, andai mereka tukeran tempat. Akbar yang ada di mobil merah itu, Dirga duduk di sini makan siang bareng sama aku."Aku tidak akan menghalangi kalau kamu mau ke sana." Kalimat Akbar ngalihin perhatian dari mobil Dirga.Kusendok kuah ramen yang udah dingin. Rasa kaldunya kentel banget, bikin ini jadi ramen terenak sepanjang masa. Akbar emang cowok paling jago masak yang pernah kutemui. Sekaligus cowok paling ngeselin sedunia. "Kenapa kamu aneh banget?"
"Penghasilan segitu, tongkronganmu waktu itu cuma motor sport?" tanyanya dengan nada tak percaya."Kok, kamu tahu? Seingatku tidak ada foto dengan motor di album. Kita pernah ketemu sebelum ini?" Jalanan cukup ramai hari Ahad begini. Mobil yang ditumpangi Naila dan kawan-kawan sudah tak terlihat lagi di depan, malah mobil merah Dirga terlihat menjaga jarak dengan jeda satu mobil sejak keluar dari La Luna tadi. Mau apa dia?"Zara itu, yang tinggal depan rumahku, kan?" Dia malah balik bertanya."Oh, ya. Kamu sudah lihat fotonya, ya. Kamu kenal Zara?" Kulirik kaca spion tengah. Mobil Dirga tertinggal dua mobil di belakang. Jika dia menyalip satu mobil di depannya, berarti fixed
Setelah memberi jeda lima belas menit, mobil kujalankan lagi. Namun, tak sampai lima menit, antrean panjang memaksaku menginjak rem."Ok, Google, rute pulang," perintahku pada aplikasi assistant di ponsel.AI pun mengalkulasi dan memutuskan rute pulang yang sudah pasti hanya tinggal satu pilihan, mengikuti jalan tol. "Terjadi kecelakaan di kilometer empat puluh," suara mesin melaporkan dengan datar."Cari berita kecelakaan di kilometer empat puluh," titahku lagi."Ini beri
Astaga! Aku ketiduran!Di mana ini? Mobilnya udah diparkir. Ya ampun!Eh, Akbar juga tidur! Manis banget, sih, jadi pengen nowel.Ups! Fokus, Alisha! Nowel-nowel anak alim, bisa dislepet cambuk neraka.Kulihat sekeliling. Taman luas, pintu besar, tiga anak tangga, teras marmer putih. Apa ini rumah Akbar? Gila, gede banget!Aduh, kebelet pipis. Gimana, nih? Masuk aja?Kubuka pintu mobil. Seorang lelaki muda menghampiri. "Udah bangun, Mbak?" sapanya agak sok akrab."Eh, iya," jawabku sesantai mungkin, "boleh numpang pipis?""Oh, boleh, Mbak. Mari saya antar," jawabnya ramah.
Keluar dari area penuh rak buku, masuk ke area luas berlapis karpet ijo. Di kiri kanannya ada jendela berbentuk lingkaran dari kaca mozaik bergradasi biru. Yang sebelah kanan berbentuk tulisan Allah, yang di sebelah kiri kaligrafi Muhammad. Cahaya matahari yang nembus jendela sebelah kanan, bikin suasana ruangan jadi syahdu dan tenang.Aku takjub. Gila, musholla di rumah, loh, ini. Keren banget. Jadi inget, belom shalat ashar.Baru aja selesai wudhu, tau-tau ada suara anak-anak yang baru keluar dari bioskop. Mereka masih ketawa-ketawa ngomongin film Cewek Sebelah Rumah yang barusan ditonton."Eh, Kak Alisha, mau shalat? Bareng, yuk!" ajak Naila semringah. Wajahnya keliatan jauh lebih cerah daripada waktu keluar dari La Luna
Dasar patung es ngga jelas!Hape di tasku tiba-tiba bergetar. Panggilan telepon, dari Dirga.Hmmpft! Aku udah mutusin. Ngga boleh oleng lagi. Kutelungkupin hape di paha. Getarnya ngeselin.Berhenti. Akhirnya getar itu brenti juga. Bisa napas lega dikit.Eh, getar lagi. Sekarang pendek aja. Pesan, dari Dirga. Kebaca dari preview, "Kamu ngga beneran mutusin ...." Buka, ngga? Ugh! Ngeselin.Kubanting hape ke paha. Kapan ini akan berhenti? Pesan dari Dirga lagi. "Aku ngga bisa hidup ....
Sudah hampir pukul satu pagi ketika aku tiba di rumah. Untung pintu gerbang sudah diatur terbuka otomatis dengan sensor yang ditanam di mobil.Kutempelkan kartu untuk membuka kunci rumah. Ruangan besar ini terasa sepi sekali. Tak ada lampu yang menyala. Hanya ada cahaya dari lampu hias di taman dan teras.Teringat kata-kata Alisha, rumah ini memang terlalu besar, bahkan untukku. Tak ada yang tahu apa yang terjadi di tiap kamarnya. Banyak juga kamar kosong tak berpenghuni yang sekarang jadi terasa mubazir.Rumah sebesar ini, ternyata sangat menggoda untuk berbuat maksiat. Apa gunanya rumah, jika tak dapat membantu melindungi penghuninya dari api neraka?Aku harus bicara dengan Naila. Gadis itu sudah dewasa, harusnya dapat memilih dan memilah mana yang benar. Namun, sebaik
Akhirnya, kutelepon nomor Alisha. Pada usaha pertama, teleponnya hanya berdering, tetapi tidak diangkat. Panggilan video kedua, juga diabaikan. Pada panggilan ketiga, baru diangkat oleh orang lain.“Halo.” Wajah Alex memenuhi layar. Ternyata dia benar-benar menunggui Alisha.“Halo,” jawabku tak bersemangat, “apa Alisha ada di sana?”Dia menoleh ke samping lalu berkata, “Dia lagi tidur.“Saya mau lihat bagaimana keadaannya,” kataku, memberi kode baginya untuk memasukkan Alisha ke dalam layar.Namun, dia tak menangkap kodeku, atau memang pura-pura tak paham. Aku memilih opsi kedua. “Semua sudah diurus dokter. Luka bakar sedang, derajat dua, di punggung dan kaki.
Aku minta ijin buat jalan-jalan sendiri di area proyek. “Hati-hati, ya, Bu,” kata Hanif, “tetap dipakai sepatu safety dan helmnya.”Jadi, begitu masuk area proyek, aku sama Sari langsung dipinjemin peralatan-peralatan penunjang. “Sebenarnya pakai gamis kurang cocok untuk di sini, tapi hati-hati aja, ya, Bu,” gitu katanya.Aku manggut-manggut aja, sih. Manutlah, sama manajer proyek. Apalagi manajernya seganteng Hanif, uhuk.Astaghfirullah, tobat, Sha.Tapi beneran, deh, feeling-ku bilang kalo dia udah ada yang punya. Soalnya, dia seksi banget, astaghfirullah.
Pagi-pagi, Sari udah buru-buru ngedatengin aku pas lagi sarapan. “Mobil hotel sedang dipakai mengantar tamu, Bu. Saya sedang berusaha menghubungi travel untuk meminjam salah satu mobil mereka,” katanya dengan wajah agak cemas. Kayanya takut dimarahin karena ngga bisa ngurus soal mobil doang.Dalam hati, ketaw. Kebayang, dong, gimana kalo yang lagi dilaporin kaya ginian Akbar. Kalo aku, sih, cuma manggut-manggut trus kasih senyum semanis mungkin. Dia pasti udah berusaha keras buat dapetin mobil buat PJS Presdir. “Kalo pake taksol aja, gimana?” usulku.Sari keliatan lega dan ngangguk seneng. “Baik, Bu. Nanti kalo ngga dapat jawaban dari travel, saya akan langsung
Naila terbahak. "Gayamu, Bang, kaya yang sanggup aja matiin orang." Kubiarkan dia menyelesaikan tawanya. Rasanya sudah lama sekali tak melihatnya tertawa selepas itu, tetapi pelayan malah menginterupsi dengan meletakkan lemon tea di hadapannya. "Biasanya kamu pesan cappucinno," kataku. "Kopi ngga bagus buat ibu hamil." Aku terdiam. Dia terdiam. Kami bertatapan. "Jadi udah fixed?"
Pikiranku kacau, hilang fokus. Aku harus segera menata ulang lagi isi otak kalau mau tetap on track.Setelah mempelajari gmaps, kuputuskan untuk berjalan-jalan di sekitar rumah. Ada sebuah taman yang terlihat cukup menarik untuk dijelajahi.Setelah pamit kepada Ibu Topan, aku keluar dengan menautkan ritsleting jaket. Layar ponsel memang menunjukkan bahwa suhu di luar cuma dua belas derajat, tetapi dengan angin yang lumayan kencang, rasanya jadi lebih rendah dari itu, mungkin sepuluh derajat.Alisha pasti sudah menggigil di cuaca sedingin ini. Kulirik ponsel, tak ada notifikasi apa pun. Masih pukul delapan pagi di Yogya, mungkin dia m
Aku terbangun di atas sajadah dengan selimut menutupi badan. Sepertinya aku tertidur setelah salat subuh dan entah siapa menyelimutiku. Cahaya matahari pagi masuk melalui kaca jendela, menyilaukan mata. Kualihkan pandang ke kolong meja yang gelap. Sinar matahari menghangatkan kuping yang terasa beku.Aku malas bangun. Andai boleh memilih, aku tidak ingin menjalani hari ini.Ayah pasti akan memarahiku kalau bermalas-malasan seperti ini, tetapi dia sendiri ....Argh! Kenapa sulit sekali menerimanya? Baiklah, dia pernah bersalah, tetapi selama dia menjadi ayah, dia telah melakukan segala yang terbaik. Apa itu tidak cukup untuk menerimanya?Kenapa meributkan satu orang pacar Ayah, tetapi memaklumi sepuluh mantan Alisha?Ya,
Siang itu, mulai, deh, mempelajari segala hal tentang proyek resort di Magelang. Capek juga baca tumpukan dokumen satu-satu. Apalagi ini bukan dokumen yang aku ngerti sepenuhnya. Gambar-gambar rancangan, model 3D, anggaran, ya, ampun, kenapa Akbar nyuruh aku ngerjain yang kaya ginian, sih?Akhirnya aku cuma nyuruh mereka presentasiin progress proyek sampe hari ini, dan semua baik-baik aja. Jadi investigasi apa yang musti aku lakuin? Sama sekali ngga ngerti, deh, proyek ginian. Dia mau aku nyari kesalahan di mana?Akhirnya nanya-nanya Sari, si sekretaris magang yang dapat tugas buat jadi semacam pendampingku selama di Yogya. Dia cerita semua yang dia tahu soal proyek
Masih pagi waktu pesawat mendarat mulus di Adi Sutjipto. "Hoaaa!" Aku bener-bener bahagia jadi orang Indonesia. Matahari sepanjang tahun, ngga ada angin dingin yang bikin tulang jadi beku, daun-daun selalu ijo. Biar pun daun merah oranye cakep juga, sih, tapi daun ijo selalu nyegerin.Saking hepinya, aku diem dulu bentar di landasan, rentangin tangan sambil merem, menikmati hangatnya cahaya matahari pagi. Duh, tanahku emang tanah surga. Mungkin karena dulu ke New York pas lagi summer, jadi ngga berasa banget bedanya. Sekarang nyobain musim gugur di Baltimore, plis, deh, paling nikmat Indonesia ke mana-mana.Masuk ke gedung bandara, angin sejuk dari AC langsung menghambur. Tanpa sadar aku jadi senyam-senyum sendiri. Udara AC ini jadi kerasa ngga ada apa-apanya dibanding
Selagi menunggu mobil yang akan mengantar ke Kedutaan Korea, aku bertemu lagi dengannya. Dia menghampiriku dengan langkah tegap dan pandangan lurus tanpa ragu. "Saya sudah membicarakannya dengan calon istri. Kami sepakat menjadikan ini urusan keluarga."Aku berdiri, menantang matanya lurus-lurus. "Apa yang akan kalian lakukan?""Kami akan menggelar forum keluarga, keputusannya tergantung hasil pembicaraan di forum itu nanti."Kuanggukkan kepala. "Satu minggu," kataku, "jika dalam seminggu saya tidak mendengar tentang kelanjutan proses hukum kasus ini, saya sendiri yang akan minta dukungan Presiden untuk menuntaskannya."Sinar matanya yang mantap menatap, seketika berubah. Hanya sesaat, kemudian sebuah seringai tergambar di wajahnya. "Anda cukup pandai menggertak."