Sudah hampir pukul satu pagi ketika aku tiba di rumah. Untung pintu gerbang sudah diatur terbuka otomatis dengan sensor yang ditanam di mobil.
Kutempelkan kartu untuk membuka kunci rumah. Ruangan besar ini terasa sepi sekali. Tak ada lampu yang menyala. Hanya ada cahaya dari lampu hias di taman dan teras.
Teringat kata-kata Alisha, rumah ini memang terlalu besar, bahkan untukku. Tak ada yang tahu apa yang terjadi di tiap kamarnya. Banyak juga kamar kosong tak berpenghuni yang sekarang jadi terasa mubazir.
Rumah sebesar ini, ternyata sangat menggoda untuk berbuat maksiat. Apa gunanya rumah, jika tak dapat membantu melindungi penghuninya dari api neraka?
Aku harus bicara dengan Naila. Gadis itu sudah dewasa, harusnya dapat memilih dan memilah mana yang benar. Namun, sebaik
Begitu nyampe, nemu kasur langsung tidur. Haduh, bisa jerawatan, nih, ngga bersih-bersih dulu. Bangun-bangun, baru nyadar kalo hape mati kehabisan batre. Nasib, ya, nasib. Semoga bisa penuh sebelum berangkat sekolah."Kamu beli cookies?" tanya Mama, ngeliat toples di meja makan."Dikasih Akbar, katanya buat Mama," jawabku ngasal. Biar Mama tahu, calon mantu idamannya ternyata seenak udel ngasih hadiah.Eh, Mama malah ngakak, dong. "Alesan banget Akbar. Bilang aja mau ngasih kamu, pake bilang ngasih Mama, hahaha!"Eh? Masa? Serah, dah. Lanjut ke dapur masak sarapan. Ada roti tawar sama keju, bikin roti bakar aja, deh."Eh, ternyata Akbar tip
Sudah banyak orang di rumah sakit. Memusingkan. "Kamu turun, Pan, tanyakan di mana kantor pimpinan rumah sakit.""Baik, Pak." Topan langsung membuka kunci pintu mobil tanpa mematikan mesin."Kalau ada yang tanya, katakan saja, Presiden Direktur Purwaka Grup minta bertemu.""Baik, Pak" katanya lagi dan keluar.Naila menyandarkan kepala ke jendela. Jari tengah dan telunjuknya mengetuk-ngetuk kaca pelan.Tak berapa lama, Topan datang dengan berita, "Pimpinan rumah sakit sedang konferensi ke Sydney. Tapi wakilnya ada, saya sudah minta waktu untuk bertemu.""Bagus. Good job. Sudah tahu lokasi kantorn
Haduh! Horang kaya, mau dikubur aja jauh banget ke Karawang. Aku, kan, jadi ngga bisa ikut ngelayat. Mana kata berita gosip di TV, dari Ciawi langsung dibawa ke Karawang."Ya ampun, emang gitu, kali, ya, orang kaya," kata Bu Farah sambil nyiapin worksheet buat sentra seni, "bapak ibunya meninggal, sekarang Tante sama omnya. Dia sendiri, ga jelas siapa ceweknya, jangan-jangan gay.""Hah?" Jelas aku kuaget! Tuduhannya itu, loh. "Gay?" Ngga tahu mereka betapa bucinnya Si Akbar. Pen ngakak, takut dosa."Wah, jangan-jangan, ya.
Kututup telepon. Alisha ada di rumah. Bagus sekali. "Topan, kamu bisa ngebut?" "Wah, saya belum punya SIM, Pak. Tadinya mau nyari SIM hari ini, kan, ngga jadi," jawabnya bernada kecewa. "Pinggirkan mobilnya, kita tukar tempat." "Eh, gimana, Pak?" suara Topan terdengar bingung. "Pinggirkan mobilnya, saya ajari caranya ngebut." Tanpa bertanya lagi, Topan menepikan mobil dan memberikan kemudi kepadaku. "Perhatikan, Pan," kataku sambil menginjak gas dalam-dalam, "kalo mau ngebut, pastikan di jalan tol yang tidak begitu ramai, minimal kamu harus punya spare
Kututup pintu kamar, kusandarkan kening ke daun pintu. Lebih baik begini. Tentu, lebih baik begini.Mataku menghangat. Aku tak menangis. Ini yang terbaik untuknya. Bersama seseorang yang dicintai sepenuh hati, apalagi yang lebih baik dari ini?Jantungku seperti diremas. "Jantung ini hadiah dari Allah. Kamu harus jaga baik-baik," kata Ayah.Dua tetes air jatuh dari mata saat aku memejam. Yeah, but my heart's been broken over and over again.Di antara semua, ini adalah yang paling konyol. Kehilangan sesuatu yang bahkan belum dimiliki. Seperti mengacungkan jari pada kupu-kupu yang terbang berharap dia akan hinggap. Namun, dia lebih memilih b
"Itu yang harusnya aku lakukan juga, ya?" Malah jadi ngeliat diri sendiri.Kalo ngomong gitu sama cowok-cowok itu, mungkin mereka ngga jadi selingkuh. Trus aku ngga jadi selingkuhan, trus aku bakal jadi cewek polos yang ngga ngerti apa-apa soal cowok, hahaha.Tau-tau udah nyampe aja depan rumah. Akbar narik rem tangan dan matiin mesin. Sementara aku deg-degan. Ya ampun. Gimana ini? Mama pasti marah besar, nih."Lupa cara buka pintu mobil?" Hiya! Tiba-tiba Akbar udah bukain pintu dengan muka lempeng tanpa ekspresi. Ih, ada, ya, orang mukanya lebih kaku dari kanebo kering. Perlu dicelupin ke comberan, kali, biar lemes dikit.Aku keluar, nahan kesel.Langkahku ketahan karena dia ngambil sesuatu di kursi belakang. "Bu
Kalo Akbar ngomong lembut gini, aku jadi ngga tahu gimana mau ngerespon. Nasib, kebiasaan dipedesin. Untung Mama dateng, nyuruh masuk buat makan malam.Di meja makan, Akbar ngga banyak ngomong. Dia cuma ngedengerin Mama cerita panjang lebar. Mulai dari ayam cabe ijo sampe curhat soal ngga bisa ketemu pas di pemakaman. Jelas, Akbar spontan minta maaf, dia emang ngasih perintah buat ngalangin siapa aja yang pengen ketemu karena nerima ucapan belasungkawa itu bikin kesedihan jadi lebih nusuk, katanya.Jadi inget Naila. Dia bilang, dia harus tegar di depan Akbar karena sadar, kakak sepupunya itu mungkin jauh lebih terluka daripada dia sendiri.Akbar harusnya udah jadi sebatang kara di dunia ini kalo ngga ada Ammah Hana. Sekarang dua orang yang bikin dia jadi punya keluarga kedua tiba-tiba pergi gitu aja. Ugh! Aku bisa n
"Maksudnya? Naila lebih membutuhkan aku daripada kamu membutuhkanku atau Naila lebih membutuhkan aku daripada membutuhkan kamu?"Aha! Akhirnya, dia cukup encer hari ini. "Interpretation belongs to the reader," kataku.Aku pergi dengan perasaan lega yang aneh. Aku telah melepaskannya, memberikannya kesempatan terluas untuk memilih.Alisha tak boleh menjadikanku bemper jika gagal dengan Dirga. Dia harus menghadapi konsekuensi dari pilihan berisiko yang telah diambilnya.Kuhentikan mobil di ujung jalan sebelum jalan raya. Jalanan ramai di depan hanya diterangi lampu jalan. Masih segar di ingatan, pikiran mengabut saat melihat genangan darah di sana. Aku mengiringi mobil jenazah dari
Akhirnya, kutelepon nomor Alisha. Pada usaha pertama, teleponnya hanya berdering, tetapi tidak diangkat. Panggilan video kedua, juga diabaikan. Pada panggilan ketiga, baru diangkat oleh orang lain.“Halo.” Wajah Alex memenuhi layar. Ternyata dia benar-benar menunggui Alisha.“Halo,” jawabku tak bersemangat, “apa Alisha ada di sana?”Dia menoleh ke samping lalu berkata, “Dia lagi tidur.“Saya mau lihat bagaimana keadaannya,” kataku, memberi kode baginya untuk memasukkan Alisha ke dalam layar.Namun, dia tak menangkap kodeku, atau memang pura-pura tak paham. Aku memilih opsi kedua. “Semua sudah diurus dokter. Luka bakar sedang, derajat dua, di punggung dan kaki.
Aku minta ijin buat jalan-jalan sendiri di area proyek. “Hati-hati, ya, Bu,” kata Hanif, “tetap dipakai sepatu safety dan helmnya.”Jadi, begitu masuk area proyek, aku sama Sari langsung dipinjemin peralatan-peralatan penunjang. “Sebenarnya pakai gamis kurang cocok untuk di sini, tapi hati-hati aja, ya, Bu,” gitu katanya.Aku manggut-manggut aja, sih. Manutlah, sama manajer proyek. Apalagi manajernya seganteng Hanif, uhuk.Astaghfirullah, tobat, Sha.Tapi beneran, deh, feeling-ku bilang kalo dia udah ada yang punya. Soalnya, dia seksi banget, astaghfirullah.
Pagi-pagi, Sari udah buru-buru ngedatengin aku pas lagi sarapan. “Mobil hotel sedang dipakai mengantar tamu, Bu. Saya sedang berusaha menghubungi travel untuk meminjam salah satu mobil mereka,” katanya dengan wajah agak cemas. Kayanya takut dimarahin karena ngga bisa ngurus soal mobil doang.Dalam hati, ketaw. Kebayang, dong, gimana kalo yang lagi dilaporin kaya ginian Akbar. Kalo aku, sih, cuma manggut-manggut trus kasih senyum semanis mungkin. Dia pasti udah berusaha keras buat dapetin mobil buat PJS Presdir. “Kalo pake taksol aja, gimana?” usulku.Sari keliatan lega dan ngangguk seneng. “Baik, Bu. Nanti kalo ngga dapat jawaban dari travel, saya akan langsung
Naila terbahak. "Gayamu, Bang, kaya yang sanggup aja matiin orang." Kubiarkan dia menyelesaikan tawanya. Rasanya sudah lama sekali tak melihatnya tertawa selepas itu, tetapi pelayan malah menginterupsi dengan meletakkan lemon tea di hadapannya. "Biasanya kamu pesan cappucinno," kataku. "Kopi ngga bagus buat ibu hamil." Aku terdiam. Dia terdiam. Kami bertatapan. "Jadi udah fixed?"
Pikiranku kacau, hilang fokus. Aku harus segera menata ulang lagi isi otak kalau mau tetap on track.Setelah mempelajari gmaps, kuputuskan untuk berjalan-jalan di sekitar rumah. Ada sebuah taman yang terlihat cukup menarik untuk dijelajahi.Setelah pamit kepada Ibu Topan, aku keluar dengan menautkan ritsleting jaket. Layar ponsel memang menunjukkan bahwa suhu di luar cuma dua belas derajat, tetapi dengan angin yang lumayan kencang, rasanya jadi lebih rendah dari itu, mungkin sepuluh derajat.Alisha pasti sudah menggigil di cuaca sedingin ini. Kulirik ponsel, tak ada notifikasi apa pun. Masih pukul delapan pagi di Yogya, mungkin dia m
Aku terbangun di atas sajadah dengan selimut menutupi badan. Sepertinya aku tertidur setelah salat subuh dan entah siapa menyelimutiku. Cahaya matahari pagi masuk melalui kaca jendela, menyilaukan mata. Kualihkan pandang ke kolong meja yang gelap. Sinar matahari menghangatkan kuping yang terasa beku.Aku malas bangun. Andai boleh memilih, aku tidak ingin menjalani hari ini.Ayah pasti akan memarahiku kalau bermalas-malasan seperti ini, tetapi dia sendiri ....Argh! Kenapa sulit sekali menerimanya? Baiklah, dia pernah bersalah, tetapi selama dia menjadi ayah, dia telah melakukan segala yang terbaik. Apa itu tidak cukup untuk menerimanya?Kenapa meributkan satu orang pacar Ayah, tetapi memaklumi sepuluh mantan Alisha?Ya,
Siang itu, mulai, deh, mempelajari segala hal tentang proyek resort di Magelang. Capek juga baca tumpukan dokumen satu-satu. Apalagi ini bukan dokumen yang aku ngerti sepenuhnya. Gambar-gambar rancangan, model 3D, anggaran, ya, ampun, kenapa Akbar nyuruh aku ngerjain yang kaya ginian, sih?Akhirnya aku cuma nyuruh mereka presentasiin progress proyek sampe hari ini, dan semua baik-baik aja. Jadi investigasi apa yang musti aku lakuin? Sama sekali ngga ngerti, deh, proyek ginian. Dia mau aku nyari kesalahan di mana?Akhirnya nanya-nanya Sari, si sekretaris magang yang dapat tugas buat jadi semacam pendampingku selama di Yogya. Dia cerita semua yang dia tahu soal proyek
Masih pagi waktu pesawat mendarat mulus di Adi Sutjipto. "Hoaaa!" Aku bener-bener bahagia jadi orang Indonesia. Matahari sepanjang tahun, ngga ada angin dingin yang bikin tulang jadi beku, daun-daun selalu ijo. Biar pun daun merah oranye cakep juga, sih, tapi daun ijo selalu nyegerin.Saking hepinya, aku diem dulu bentar di landasan, rentangin tangan sambil merem, menikmati hangatnya cahaya matahari pagi. Duh, tanahku emang tanah surga. Mungkin karena dulu ke New York pas lagi summer, jadi ngga berasa banget bedanya. Sekarang nyobain musim gugur di Baltimore, plis, deh, paling nikmat Indonesia ke mana-mana.Masuk ke gedung bandara, angin sejuk dari AC langsung menghambur. Tanpa sadar aku jadi senyam-senyum sendiri. Udara AC ini jadi kerasa ngga ada apa-apanya dibanding
Selagi menunggu mobil yang akan mengantar ke Kedutaan Korea, aku bertemu lagi dengannya. Dia menghampiriku dengan langkah tegap dan pandangan lurus tanpa ragu. "Saya sudah membicarakannya dengan calon istri. Kami sepakat menjadikan ini urusan keluarga."Aku berdiri, menantang matanya lurus-lurus. "Apa yang akan kalian lakukan?""Kami akan menggelar forum keluarga, keputusannya tergantung hasil pembicaraan di forum itu nanti."Kuanggukkan kepala. "Satu minggu," kataku, "jika dalam seminggu saya tidak mendengar tentang kelanjutan proses hukum kasus ini, saya sendiri yang akan minta dukungan Presiden untuk menuntaskannya."Sinar matanya yang mantap menatap, seketika berubah. Hanya sesaat, kemudian sebuah seringai tergambar di wajahnya. "Anda cukup pandai menggertak."