Sudah beberapa hari chatku pada Rahman tak dibalasnya, bahkan yang tadi malam, belum dibuka, masih ceklis satu. Tidak! aku tidak di blokir, karena aku masih bisa melihat foto profilnya. Punggung Rahman saat mendaki gunung. Yah, laki-laki itu sangat suka dengan alam. Salah satu hobinya adalah mendaki beberapa gunung tinggi di indonesia. Man, tak ada sedikit kah sisa cintamu dulu untukku? Aku masih sangat mencintaimu. Apalagi sekarang suamiku sudah meninggal dan keadaan ekonomi ku pun sekarang jauh lebih baik, aku punya segalanya. Aku menatap foto Rahman yang aku save dari Facebooknya Mala. Aku menelusuri tentang kehidupan Rahman dari sejak kudengar dia akan menikah setahun yang lalu. Aku hancur, sehancur-hancurnya saat itu. Aku tidak bisa berbuat apa-apa guna mencegah Rahman menikahi wanita lain, karena statusku masih bersuami. tapi aku juga sangat mencintai Rahman. Aku tak rela Rahman menikah. Tapi apalah dayaku. Pernikahan Rahman dan Mala terjadi tanpa bisa ku cegah. Sejak saat it
"Nggak apa-apa, Bu, belanjaan kalian juga nanti saya bayarin," ucapku dengan senyuman manis seorang Puteri kampung yang kini menjelma jadi janda cantik yang tajir. "Serius?" tanya Bu Hana dengan mimik muka tak percaya. Aku mengangguk yakin dan menyuruh mereka, membeli apapun. Tanpa waktu lama, setelah dihitung semua, delapan ratus sembilan puluh ribu yang harus ku bayar, aku mengeluarkan uang sembilan lembar dan memberikannya pada Mamang sayur."Alhamdulillah, hari ini gak cape keliling, ucapnya dengan binar bahagia."Terima kasih, ya, Len," ucap ibu-ibu lainnya dengan malu-malu."Kalau sudah selesai, ayo kita memasak liwet," ucapku, pegal juga berdiri sejak tadi. Akhirnya kami semua menuju ke rumah Bu Samirah, untuk memasak liwetan. Di tengah jalan kulihat Mala istrinya Rahman, sedang menuju ke arahku dan mertuanya, pasti dia akan belanja sayur. "Maaf Mala, hari ini aku akan menyabotase mertuamu," ucapku dalam hati sambil tersenyum menyeringai ke arah wanita pendek itu. Ya...tubuhn
Aku menghentakan kaki saat mendengar ucapan Ibu mertuaku. Dan langsung meninggalkan dapur. Memang gak beradab mulutnya, tega sekali Ibu berkata demikian padaku. Padahal aku sedang mengandung cucunya. Tak kuhiraukan lagi keberadaan para tetangga, aku masuk ke kamar lalu menguncinya. Aku tak bisa lagi menangis, dengan semua perlakuan keluarga ini. Hatiku telah mati rasa mungkin. Cuma kalau diperlakukan seperti tadi, aku malu saja sama tetangga. Apalagi si pirang itu, seolah-olah dia telah menang menyaingiku, ada senyum kepuasan di wajah liciknya. Jangan pikir aku tidak tahu tipu muslihatnya. Wanita itu secara terang-terangan ingin menyisihkan aku dari keluarga ini. Padahal tanpa ia geser pun posisiku bak debu yang tak pernah terlihat. Ingin rasanya ku jawab apa yang dikatakan oleh Ibu tadi. Namun nanti apa kata orang. Sudah jelas aku yang akan salah bila aku melawan Ibu. Ku raih ponselku, kulihat ada panggilan tak terjawab, Mas Rahman menelponku hingga tiga kali. Aku langsung menekan
"Mas, kita video call, ya?" kataku. {Lah, aku lupa, Sayang} dengan segera kami mengganti tampilan dari telepon ke video call. Kini wajah tampan suamiku terpampang jelas, sepertinya dia habis sholat, karena masih memakai baju Koko lengkap dengan kopiah hitamnya. {Cantik sekali istriku} pujinya. Aku langsung tersipu. Terasa panas mukaku, sepertinya merona deh. "Ish, gombal!" {Sini Cium dulu} Mas Rahman memonyongkan bibirnya. Aku semakin malu dan tergelak bahagia. Ya…Allah, biarkan terus kebahagiaan ini menyelimuti kami yang sedang LDR ini. {Waalaikumsalam, Eh Alif, masuk} Sepertinya, suamiku kedatangan tamu, karena layar ponsel kini hanya memperlihatkan plafon kamar suamiku. {Sayang, ada Alif, sebentar, ya} Aku mengangguk dan tersenyum manis. "Rindu ini belum selesai Mas," jerit batinku. Kemudian layar ponsel dimatikan olehnya. Aku merebahkan tubuhku dan menatap plafon kamar yang warna sudah agak kecoklatan. Ini dulu adalah kamar suamiku. Dia sangat suka warna monokrom, tapi set
"Mala, kamu beneran gak mau makan?" Aku tersentak saat tiba-tiba Helen ada di depan kamarku dengan pintu kamar yang dibuka terbukanya. "Gak sopan, buka kamar orang tanpa ketok pintu," sungutku kesal. "Lah, apa yang mau ku ketok, pintunya aja udah kebuka hanya kudorong sedikit. Lagian aku kesini mau ngajak kamu makan. Nanti dikira gak diajakin, ngadu sama suamimu lalu aku dan mertuamu yang salah," katanya tanpa dosa. Membuat aku langsung emosi. Entahlah melihat wajah si pirang ini, bawaannya pengen aku garuk aja sekalian. "Aku gak suka makan, sukanya kamu enyah dari sini, dari kehidupan keluarga suamiku! SELAMANYA" "Lah, kenapa kamu Ngamuk? Aku datang baik-baik, ngajak kamu makan, dibalas ke gini. NGGAK SOPAN!" ucapannya dengan delikan mata yang tajam."Halah, gak usah MUNAFIK! situ datang membawa bencana, dasar LICIK! Apa nggak ada lelaki lain yang bisa kamu kejar lagi, selain suamiku?" Aku mencebik dengan meremehkan."Hahahahaha. Baiklah, karena kamu sudah tahu tujuanku sebenarn
Halah ni manusia lama-lama beneran harus ku jambak rupanya, dia yang nantangin, aku pula yang disalahkan. Sudah cocok si pirang ini jadi pemain sinetron Ind*siar yang setiap harinya menangis terus. Meski aku disini belum disayangi sama Ibu, serta masih mendapat kata-kata pedas, mendapat hinaan dari keluarga suamiku. Setidaknya aku tidak cengeng dan tidak menangis. Aku mampu melawan siapapun! Aku berani melawan siapapun! Kecuali Ibu. Kenapa? karena Ibu adalah yang melahirkan Mas Rahman suamiku. Beliau surganya suamiku. Dan orang tuaku pun berpesan, tidak boleh membalas kejahatan orang sama kita kalau itu masih batas wajar, biarkan saja. Selama perkataan dan perlakuan Ibu tidak membahayakan diriku dan kehamilanku, aku pasti akan tetap menghormati dan menghargai Ibu. Tapi lain hal jika ketidaksukaannya padaku telah melewati batas dan membahayakan keselamatan ku, maka aku pun tidak akan diam saja, meskipun Ibu adalah wanita yang melahirkan Mas Rahman tapi jika mengancam keselamatanku, ak
"Gimana rencanamu selanjutnya, Man? Apa kamu akan mengajak Mala kesini?" tanya Arif yang siang itu sedang berkunjung ke kosan Rahman, guna bertanya dimana Rahman akan mengajar nantinya. "Belum tahu. Aku bingung, Rif, karena ternyata aku dapatnya juga tempat di pinggir kota, yang memang akses untuk kondisi Mala saat ini agak repot. Ya, karena kan Mala lagi hamil dan perjalanan pun cukup jauh. mungkin nanti setelah melahirkan akan ku rencanakan lagi," jawab Rahman, pandangannya jauh ke luar sana, antara rindu dan was-was dengan keadaan Mala yang sedang hamil dan mereka berjauhan."Tapi, meski Mala disana pun, Man. kamu kan masih bisa pulang kalau libur sekolah. Apalagi jarak dari sini ke kampung halamanmu tidak begitu jauh, bisa ditempuh dengan jarak 5-6 jam perjalanan, hanya nyebrang saja. jadi kamu bisa pulang kapanpun kamu mau, lagian sekolah kan hanya dari senin sampai hari Jumat, kamu masih bisa kok 1 bulan atau 2 bulan sekali pulang," ucap Arif."Iya sih, tapi aku khawatir dengan
"Cariin, Man, yang kayak istrimu itu. biar tidak banyak menuntut. Aku sungguh trauma melihat kehidupan rumah tangga kakakku, gaji berapa puluh juta pun selalu saja kurang," ucapnya. Akhirnya mereka tertawa bersama. Mereka menghabiskan waktu hingga sore hari, dengan hanya mengobrol seputar kuliah mereka dulu, pekerjaan yang akan Rahman hadapi, pekerjaan Arif yang sedang dilakoninya. Dua sahabat itu nampak dekat sekali. Hingga akhirnya Arif pamit karena hari berangsur senja. Sepeninggal Arif, Rahman bergegas mandi dan bersiap untuk ke masjid melaksanakan sholat berjamaah. Dari dulu, Rahman tidak suka sholat di rumah, karena kebetulan rumah orang tuanya pun tidak jauh dengan masjid, maka sekarang pun jadi kebiasaan meski jarak kosan dan masjid lumayan jauh. Ia selalu berusaha berangkat lebih awal agar tak ketinggalan berjamaah.Rahman sangat bersyukur memiliki teman sebaik Arif dan istri seperti Mala. Setidaknya hidupnya sekarang ada andil kedua orang terdekatnya itu, tentunya selain d
Bab 223. Suka sama Abang, nggak?"Man, ayo pulang. Aku harus ke Jakarta hari ini," ucap Arif memotong omongan Rahman dengan segera. Karena setelah dipikir-pikir olehnya, ini memang terlalu cepat. "Tadi katanya—""Sekarang nggak! Ayo pulang," ucap Arif dengan gusar karena Rahman malah terlihat seperti orang bodoh."Akh, ok!" Hanya itu ucapan yang keluar dari bibir Rahman lalu ia bangkit dan berpamitan pada mertua serta adik iparnya. Bu Sarah menyuruh mereka untuk makan dulu, tapi Rahman menolak dengan alasan Mala susah memasak. Bu Sarah tak bisa memaksa karena dia pikir juga anaknya pasti sudah menyediakan makanan yang enak. Satu persatu mereka saling berjabat tangan tak lupa Arif juga meminta maaf telah merepotkan semuanya. Namun hanya disambut tawa oleh keluarga pak Ahmad dan mereka bilang tak merasa direpotkan."Jangan pacaran, ya!" bisik Arif saat dia bersalaman dengan Aisyah. Gadis itu mengerutkan dahinya dan menatap pria dewasa yang berbadan tegap itu."Ingat pesan, Abang, ya!"
Bab 222. Maaf.Sementara di rumah Mala, wanita itu kini tengah bercerita kepada mertuanya yang sedang duduk dan melihat wajah menantunya dengan seksama. "Bu, alhamdulillah Arif sudah ditemukan, jadi tidak lama lagi mas Rahman akan pulang," ucap Mala sambil menutupi kaki Bu Samirah oleh selimut yang baru saja selesai dipijit olehnya.Bu Samira menarik sedikit ujung bibirnya, dia tersenyum lega saat mengetahui bahwa teman anaknya itu kini sudah ditemukan.Ibu mau tidur sekarang atau mau menunggu mas Rahman dulu?" tanya Mala dengan lembut."Ibu nunggu Rahman aja!" sahut Bu samirah dengan pelan membuat mata Mala sedikit terbuka karena ternyata mertuanya menyahuti pertanyaanya setelah lama terdiam."Alhamdulillah, Ibu sudah bisa menyahuti saya," ucap Mala sambil terduduk lagi dan memegang bahu mertuanya dengan tatapan yang tidak bisa diucapkan oleh kata-kata. betapa bahagianya dia saat ini mengetahui sang mertua sudah bisa kembali berkomunikasi. "Memangnya kamu pikir, Ibu ini bisu?" tany
Bab 221. Kesasar Bagian 2. "Ais kamu kok bisa ke sini?" Arif malah bertanya seperti itu."Aku mencari Abang! Bang Rahman tadi ke rumah, katanya Abang belum pulang. Akhirnya kami mencari Abang, takutnya Abang kesasar dan benar saja Abang ada di sini. Abang kenapa ngambil jalan sini sih?" ucap Aisyah dengan sedikit kesal."Maafkan Abang ya, is jadi merepotkan semuanya. Abang tadi lupa beloknya harus kemana, ini kan jalan cabang empat jadi Abang bingung mau lurus, belok kanan atau belok kiri. Eh, Abang malah ke sini dan ternyata ini nggak ada kampung malah kebun semua," ucap Arif dengan jujur dan tak enak hati."Lah iyalah, ini kan jalan untuk ke hutan, Bang. Disebelah sana ada kebun-kebun para warga dan memang ada pemukiman juga, tapi itu khusus untuk mereka yang rumahnya jauh dan memiliki ladang disini. Dan tentu saja tidak setiap hari mereka menginap maka tidak akan ada orang. Jadi sangat sepi, terus mobil Abang mana?" tanya Aisyah."Mobil Abang di sebelah sana, Is. Bannya nyelip jad
Bab 220. Kesasar.Rahman mengendarai motornya dengan pelan. Karena ternyata pas keluar dari kampungnya harus melalui jalanan yang becek akibat hujan. Padahal di rumahnya seharian tadi, panas sekali. Jangankan hujan, mendung pun tidak. Bangunan rumah sang mertua sudah terlihat, namun mobil Arif tak ada disana. Rahman langsung turun dan mengetuk pintu. "Assalamualaikum!" "Loh, Bang Rahman?" pekik Aisyah saat pintu sudah terbuka lebar. Negatif thinking langsung menerpa pikirannya."Arif mana?" tanya Rahman pada Aisyah."Udah pulang dari tadi.""Mala gak menelpon kamu?" tanya Rahman lagi."Nggak, eh tapi sebentar. Aisyah lihat dulu ponselnya." Gadis itu seketika berbalik menuju kamarnya dan mencari ponselnya. Ternyata ada banyak panggilan dari WhatsApp dari sang kakak. Namun sayang sebelum sholat dia telah memasang silent mode on di ponselnya. Aisyah membaca pesan yang dikirim Mala satu persatu. Dia baru paham apa sebabnya yang membuat Rahman datang ke rumahnya. Di ruang tamu, Bu Sar
Bab 219. Kesasar atau hilang.Aisyah langsung masuk ke kamarnya meletakkan seluruh barang bawaannya. Kemudian gadis itu menuju ke dapur, berniat membuatkan minuman untuk Arif dan juga kedua orang tuanya. Tiba-Tiba Bu Sarah pun muncul di dapur."Kamu bikin apa, Is?" tanya Bu Sarah. "Ini aku bikin kopi buat Bapak sama Bang Arif, ada cemilan apa, Mak di rumah?" tanya Aisyah"Tuh ada rengginang sama goreng opak aja, baru digoreng tadi pagi sama Emak!" ucap Bu Sarah dengan menunjukkan letak toples rengginang dengan dagunya. Aisyah pun menata nampan dengan dua buah toples berukuran sedang, serta dua buah cangkir kopi. Lalu mengantarkannya ke hadapan Pak Ahmad dan Arif di ruang tamu.Pak Ahmad terlihat asik mengobrol dengan Arif, hingga sesekali tawa dari keduanya terdengar. Aisyah masuk kembali dan duduk di ruang tengah karena melihat bapaknya dan Arif sedang asik berbincang. Gadis itu gak berani ikut duduk disana."Hmz, Pak boleh saya bertanya?" ucap Arif dengan ragu-ragu. Dia menautkan
art 112. Hilang atau kesasar? Aisyah mengangguk tanda membenarkan pertanyaan Arif. Gadis berlesung pipit itu begitu sangat terlihat manis dipandang dari samping. "Hmz … bagus, Is. Abang salut sama kamu!" Hanya itu ucapan Arif. Sungguh bertentangan dengan isi hatinya. "Tapi, kalau seandainya ada laki-laki yang tiba-tiba melamar kamu, apa kamu mau terima, Is?" tanya Arif dengan perasaan yang roller coaster. Keringat sudah membasahi tubuhnya. Meski ia telah bersiap dengan penolakan, tapi sisi egoisnya mengatakan bagaimanapun harus bisa memiliki Aisyah. Gadis tujuh belas tahun itu telah memporak porandakan hatinya, membuatnya gila dengan pikiran-pikiran masa depan yang indah jika dirinya beristrikan Aisyah."Gimana, ya! Lagian belum pernah ada yang melamar aku," sahut Aisyah dengan terkekeh geli. Mengingat banyak orang bilang dirinya cantik, pintar dan sebagainya. Tapi belum pernah ada yang melamarnya. "Hah … serius? Tapi pacar punya dong?" Arif mencoba mengorek hal yang paling rahasi
"Arif bukan anak kecil. Dia sudah dua puluh tujuh tahun. udah biarin aja! Kamu sekarang kalau mau pulang, ayo cepetan. Arif udah manasin mobil tuh," ucap Mala dengan langsung berbalik pergi. Dia tidak mau lagi mendengar penolakan Aisyah atau apapun. Sedangkan sang adik hanya mengerang pelan, dia tak habis pikir dengan jalan pikiran kakaknya bagaimana mungkin seorang tamu yang tidak tahu wilayah tempat tinggal mereka disuruh mengantarkan dirinya, lelaki yang baru dikenalnya dalam hitungan jam.Meskipun bagi kakaknya, Arif pada sosok yang baik tapi belum tentu dengan dirinya. Tapi apa boleh buat, dia tidak mau menyinggung perasaan siapapun. Akhirnya suka tidak suka, Aisyah menyetujuinya dengan berusaha meyakini bahwa Arif itu orang baik.Aisyah menenteng ranselnya setelah berpamitan terlebih dahulu pada bu Samirah yang sedang duduk diatas kasur. Dia menuju ke teras depan, dimana Kakak dan Kakak iparnya beserta Arif berada."Tuh, Ais sudah siap," ucap Rahman saat matanya menangkap sosok
"Aisyah itu agamanya kuat. Mungkin saja dia itu tidak akan nyaman dengan keberadaan aku, orang yang dianggapnya memang bukan muhrim. Walaupun sama aku yang sudah jadi keluarganya. Memang dari dulu anak itu seperti itu, kalau aku nggak ada pasti dia akan disini bersama kakaknya. Tapi kalau aku pulang, dia akan gegas pulang juga ke rumahnya. Cuma pernah waktu Mala lahiran, dia disini agak lama," tutur Rahman. "Tapi bukan karena aku kan, Man?" Arif menatap cemas. Arif sangat takut kepulangan Aisyah karena ada dirinya di rumah Rahman. "Bukan! Bukan lah. Dari dulu semenjak aku pulang-pergi ke Lampung Aisyah hanya akan disini kalau aku tidak ada, kalau aku pulang, maka dalam hitungan jam dia akan langsung pulang," tegasnya dan diangguki oleh Mala.Arif tersenyum simpul mendengar apa yang dikatakan Rahman. Dia tidak salah menjatuhkan hati. Dia tidak salah menganggumi. Tatap matanya begitu penuh harap saat kata demi kata diucapkan oleh pasangan suami-isteri itu."Ya … udah, Mas ambil moto
Bersamaan dengan itu, Aisyah berbalik badan hendak masuk karena memang kegiatan menyapunya telah selesai. "Bang Arif, ngapain di sini?" tanya Aisyah, matanya beradu pandang dengan lelaki bertubuh tegap itu. Arif memejamkan matanya seketika. Setelah Rahman dan Mala kini targetnya sendiri tengah menanyainya. "E—anu, Sah. Abang mau ke kamar mandi," sahut Arif sambil menggaruk tengkuknya yang tak gatal, matanya tak berani menatap kearah Aisyah, namun berulang kali membuang pandangannya tapi kembali menatap gadis tujuh belas tahun itu."Ais, Bang. Aku nggak mau dipanggil Sah!" ucap Aisyah dengan cemberut. Dia memang tidak suka dipanggil ujung namanya, dia lebih suka dipanggil awal namanya saja. "Ow … Maaf, ya! Abang nggak tau," ucap Arif lagi sambil tersenyum canggung. Dadanya begitu bergemuruh bak pasukan akan perang, tubuhnya terasa panas dingin dan gemetaran."Iya, tapi jangan di ulangi panggil itu lagi, nanti aku ngambek!" ucap Aisyah sambil berlalu ke dapur guna menyimpan sapu seda