"Kamu gak bisa bikin sarapan lain selain nasi goreng? Perasaan, anakku setiap sarapan menunya nasi goreng terus. Dia baru pulang loh," ucap ibu seolah aku ini hanya bisanya memasak nasi goreng saja.Mas Rahman itu tipe orang yang mau makannya jadul saja. Walaupun kami jalan keluar pasti yang dicari nasi goreng. Begitupun sarapan di rumah. Dia pernah bilang daripada makan roti atau gorengan pagi hari, mending makan nasi goreng kenyang sampai siang jadi kalau lagi ngajar gak lapar. Tapi di mata ibu lain lagi. Padahal suamiku itu anaknya, masa iya lupa sama kesukaan anak sendiri. "Masak yang lain!" titahnya tak terbantah. "Iya, Bu!" sahutku dengan lelah, hari ini rencananya akan membuka toko untuk pertama kalinya. Tapi sudah di recokin ibu sepagi ini, ku kira setelah pindah aku akan terbebas dari bayang-bayang omelan ibu, tapi ternyata tidak! Bestie. Sepertinya ibu lebih suka ngurusin rumah tanggaku daripada rumahnya sendiri. Padahal bapak sedang tidak bekerja. Tapi ibu sempat-sempatn
Galau.Pembeli silih berganti meski masih jarang tapi uang di laci sampai saat ini sudah beberapa ratus ribu, banyak yang mampir belanja untuk dijual lagi, awalnya mereka akan ke pasar tapi karena melihat tokoku mereka pun akhirnya membeli di tokoku dengan dalih lebih hemat waktu juga BBM. Karena kalian tahu sendiri BBM sekarang mahal. Jelas saja aku sangat senang karena tidak usah mencari pelanggan tapi mereka yang datang sendiri.Tak terasa kumandang adzan ashar sudah terdengar aku berniat untuk pergi shalat terlebih dulu, mungpung lagi tak ada pembeli. Saat aku memundurkan kursi terdengar suara seorang wanita."Kapan pulang, Man?" ———RatuNna Kania———Kulihat Helen tengah berdiri dan menyodorkan tangannya pada suamiku. Aku dengan segera maju ke depan dan memanggilnya namanya."MAS!" teriakku. Dengan gegas mengahampirinya. Kulihat tangan Helen masih menggantung, mas Rahman seketika berbalik dan menoleh padaku. "Kenapa?" tanyanya denga suara yang lembut. "Ini sudah adzan, sa
"Dan asal kamu tahu! Kemanapun mas Rahman melangkah, maka, aku akan terus ada bersamanya, catat ingat itu!" "Hahaha! Rahman udah kayak peliharaan saja, ya ke mana-mana dikintilin Mulu. Ya … Allah, kasihan sekali nasibnya mantan pacarku itu. Malang benar takdir hidupnya," ledek Helen dengan tertawa terbahak-bahak membuatku ingin menyumpalkan sandal yang sedang aku pakai ke mulut besarnya.Sudah jelas-jelas aku overprotektif pada suamiku itu, karena akibat keagresifan dia yang tidak tahu malu. Dia tidak bisa mengambil hati suamiku, tapi dia telah mengambil hati mertua dan kakak iparku. Dan jika dia terus agresif seperti itu tidak menutup kemungkinan besok-besok suami hatiku pun ikut dicuri olehnya, ya kan?Sungguh keberadaan Mas Rahman di rumah saat ini, tidak membuatku tenang sama sekali. Karena aku tidak boleh lengah mengawasinya, andaikan aku lengah sudah ada rubah yang akan memangsanya. Ya … Tuhan apakah ini normal atau tidak? Ketakutanku akan kehilangan Mas Rahman begitu tidak ma
Me time. "Sana sholat!" titah mas Rahman dengan nada suara yang naik satu oktav. Huh alah sungguh aku tak rela jika aku pergi, lalu mas Rahman mengobrol dengan mantannya. Setelah kupandang wajah suamiku, aku pun meyakinkan diri ini untuk pergi meninggalkan toko. Ya, aku pergi untuk menunaikan shalat. Walaupun hatiku sangat gamang, baru juga dua langkah tiba-tiba ada suara yang memanggil suamiku"Man, Apakabar?" ——RatuNna kania——Aku langsung menengok ke belakang, ternyata suaminya Tika, sepertinya baru pulang pagi ini. Karena kemarin dia tidak ada di rumah. "Eh, Ris. Alhamdulillah Sehat. Baru keliatan nih," ucap mas Rahman dengan ramah."Baru pulang tadi pagi!" sahut Aris."Ayah, ia au shushu!" ucap Alia. Akh aku jadi tenang untuk meninggalkan toko, aku pun meneruskan langkahku dengan mantap. Aku pasrahkan semua pada Allah. Karena mau aku genggam seperti apapun, kalau memang ditakdirkan bukan milikku selamanya, aku bisa apa? Aku terkikik geli dengan mengingat kejadian tadi. Konyol
"Memangnya kamu nggak capek, Man? Seharian kamu jaga toko, sekarang kamu mau pergi. Apa jangan-jangan istrimu, ya yang minta jalan-jalan?" ucap ibu sambil melihatku dengan sinis dan aku hanya diam saja."Nggak! Bu. Rahman kan udah lama nggak pernah jalan sama Mala. Jadi malam ini Rahman ingin menyenangkan hati istri sendiri, begitu. Kamu senang kan kalau aku ajak jalan, La?" tanya Mas Rahman dengan tersenyum manis padaku. Hatiku tiba-tiba saja berdebar. Entahlah, meskipun telah menikah dengannya setahun yang lalu tapi jika diperlakukan seperti ini aku masih sering malu."Jangan terlalu memanjakan istri, Man. Nantinya ngelunjak!" ucap Ibu lagi dengan mendelik ke arahku. Ya … Tuhan ini mertuaku kapan akan baiknya padaku. Selalu saja bak bara api yang siap melahap ku kapan saja. Kurang apa aku selama ini. Bahkan ibuku pun selalu berbuat baik padanya tapi ibu selalu saja tak bisa bicara baik, padahal kalau diam sekalian itu lebih bagus.Aku tak habis pikir, kesalahan apa yang telah aku pe
Dipatok Ular.Sesampai di depan rumah ibu, terlihat banyak orang. Aku langsung loncat dari motor saat mas Rahman baru saja berhenti. Aku berlari kedalam untuk melihat ada apa di rumah mertuaku. Saat aku telah mencapai pintu, aku tak kuasa saat melihat apa yang ada di hadapanku. "Bapaaaaaak!" ——RatuNna Kania ——Aku menerobos masuk saat melihat bapak tengah dikipasi oleh Bu RT. Sedangkan ibu terlihat sangat khawatir. "ADA APA INI?" tanyaku dengan menjerit, wajah bapak terlihat tenang tapi dadanya masih naik turun, itu tandanya beliau masih hidup. "ADA APA INI?" Mas Rahman masuk tak kalah panik denganku. "Bapakmu dipatuk ular, Man!" ucap Bu RT. "Kenapa gak dibawa ke rumah sakit? Ayo kita ke rumah sakit!" ucap mas Rahman dengan panik. Urat-Urat di wajahnya tercetak jelas. "Lagi nunggu pak RT datang, kebetulan lagi keluar," sahutnya lagi."Pake motor saja, ayo bantu angkat, ucap mas Rahman. Kebetulan ada Aris suami Tika juga disana. Akhirnya bapak dibawa dengan menaiki motor
Dipatuk Ular. Heningnya malam menambah kecemasan. Kami semakin kalut, setiap derit pintu IGD terbuka, maka mata kami pun mengarah kesana. Ini sudah hampir jam dua malam, tapi belum ada kabar apapun dari dalam sana. Krieeet ….Derit pintu kembali terdengar, kali ini benar tebakanku mas Rahman yang keluar, aku langsung berlari ke arahnya, begitu pun kak Eni dan bang Rahmat. "Man!" "Mas!" Kami seolah kompak menyebut nama suamiku. "Aku mau jemput, Ibu," ucapnya dengan lemas. "Aku juga mau lihat, Bapak!" ucap kak Eni dan bang Rahmat serempak. "Sabar! Biarkan aku membawa ibu dulu!" Aku sedikit terperanjat saat mendengar kata-kata yang terucap dari bibir suamiku itu. Mas Rahman tak pernah bersuara tinggi terhadap kakak-kakaknya. Tapi kali ini dia seolah menyembunyikan sesuatu dari kami. Pikiranku tentang bapak sudah makin macam-macam saja. Teringat bu Hanum tetangga emak dulu, ia dipatuk ular tanah saat sedang membersihkan kebun di belakang rumahnya, dan nyawanya tidak bertahan dua p
Sepeninggal Bapak.Sirine mobil jenazah begitu meraung-raung di waktu menjelang subuh, sama kerasnya dengan raungan dalam hatiku yang kehilangan sosok mertua yang baik. ——RatuNna——Sepanjang perjalanan tak henti-hentinya aku bertanya dalam hatiku sendiri, kenapa bapak harus pergi secepat itu. Akh, Bukankah jodoh, kematian dan rezeki adalah rahasia Allah? Lantas kenapa aku harus meratap seperti ini. Kuusap kain penutup tubuh bapak yang telah kaku. Begitu berat rasanya menerima dengan lapang kenyataan ini."Mala ikhlas, Pak! Bapak yang tenang. Semoga amal ibadah dan kebaikan, Bapak selama ini jadi penerang di alam kubur. Doakan juga Mala agar selalu sabar menghadapi ujian rumah tangga kami!" Aku menarik nafas dalam dan mengusap-ngusap dadaku yang masih terasa sakit, sakit karena kehilangan sosok bapak mertua yang begitu baik.Aku coba untuk tegar karena siapa lagi yang akan mengurus pemakamannya bapak hingga selesai kalau bukan aku dan Mas Rahman. Jika aku saja sesesak ini, ap
Bab 223. Suka sama Abang, nggak?"Man, ayo pulang. Aku harus ke Jakarta hari ini," ucap Arif memotong omongan Rahman dengan segera. Karena setelah dipikir-pikir olehnya, ini memang terlalu cepat. "Tadi katanya—""Sekarang nggak! Ayo pulang," ucap Arif dengan gusar karena Rahman malah terlihat seperti orang bodoh."Akh, ok!" Hanya itu ucapan yang keluar dari bibir Rahman lalu ia bangkit dan berpamitan pada mertua serta adik iparnya. Bu Sarah menyuruh mereka untuk makan dulu, tapi Rahman menolak dengan alasan Mala susah memasak. Bu Sarah tak bisa memaksa karena dia pikir juga anaknya pasti sudah menyediakan makanan yang enak. Satu persatu mereka saling berjabat tangan tak lupa Arif juga meminta maaf telah merepotkan semuanya. Namun hanya disambut tawa oleh keluarga pak Ahmad dan mereka bilang tak merasa direpotkan."Jangan pacaran, ya!" bisik Arif saat dia bersalaman dengan Aisyah. Gadis itu mengerutkan dahinya dan menatap pria dewasa yang berbadan tegap itu."Ingat pesan, Abang, ya!"
Bab 222. Maaf.Sementara di rumah Mala, wanita itu kini tengah bercerita kepada mertuanya yang sedang duduk dan melihat wajah menantunya dengan seksama. "Bu, alhamdulillah Arif sudah ditemukan, jadi tidak lama lagi mas Rahman akan pulang," ucap Mala sambil menutupi kaki Bu Samirah oleh selimut yang baru saja selesai dipijit olehnya.Bu Samira menarik sedikit ujung bibirnya, dia tersenyum lega saat mengetahui bahwa teman anaknya itu kini sudah ditemukan.Ibu mau tidur sekarang atau mau menunggu mas Rahman dulu?" tanya Mala dengan lembut."Ibu nunggu Rahman aja!" sahut Bu samirah dengan pelan membuat mata Mala sedikit terbuka karena ternyata mertuanya menyahuti pertanyaanya setelah lama terdiam."Alhamdulillah, Ibu sudah bisa menyahuti saya," ucap Mala sambil terduduk lagi dan memegang bahu mertuanya dengan tatapan yang tidak bisa diucapkan oleh kata-kata. betapa bahagianya dia saat ini mengetahui sang mertua sudah bisa kembali berkomunikasi. "Memangnya kamu pikir, Ibu ini bisu?" tany
Bab 221. Kesasar Bagian 2. "Ais kamu kok bisa ke sini?" Arif malah bertanya seperti itu."Aku mencari Abang! Bang Rahman tadi ke rumah, katanya Abang belum pulang. Akhirnya kami mencari Abang, takutnya Abang kesasar dan benar saja Abang ada di sini. Abang kenapa ngambil jalan sini sih?" ucap Aisyah dengan sedikit kesal."Maafkan Abang ya, is jadi merepotkan semuanya. Abang tadi lupa beloknya harus kemana, ini kan jalan cabang empat jadi Abang bingung mau lurus, belok kanan atau belok kiri. Eh, Abang malah ke sini dan ternyata ini nggak ada kampung malah kebun semua," ucap Arif dengan jujur dan tak enak hati."Lah iyalah, ini kan jalan untuk ke hutan, Bang. Disebelah sana ada kebun-kebun para warga dan memang ada pemukiman juga, tapi itu khusus untuk mereka yang rumahnya jauh dan memiliki ladang disini. Dan tentu saja tidak setiap hari mereka menginap maka tidak akan ada orang. Jadi sangat sepi, terus mobil Abang mana?" tanya Aisyah."Mobil Abang di sebelah sana, Is. Bannya nyelip jad
Bab 220. Kesasar.Rahman mengendarai motornya dengan pelan. Karena ternyata pas keluar dari kampungnya harus melalui jalanan yang becek akibat hujan. Padahal di rumahnya seharian tadi, panas sekali. Jangankan hujan, mendung pun tidak. Bangunan rumah sang mertua sudah terlihat, namun mobil Arif tak ada disana. Rahman langsung turun dan mengetuk pintu. "Assalamualaikum!" "Loh, Bang Rahman?" pekik Aisyah saat pintu sudah terbuka lebar. Negatif thinking langsung menerpa pikirannya."Arif mana?" tanya Rahman pada Aisyah."Udah pulang dari tadi.""Mala gak menelpon kamu?" tanya Rahman lagi."Nggak, eh tapi sebentar. Aisyah lihat dulu ponselnya." Gadis itu seketika berbalik menuju kamarnya dan mencari ponselnya. Ternyata ada banyak panggilan dari WhatsApp dari sang kakak. Namun sayang sebelum sholat dia telah memasang silent mode on di ponselnya. Aisyah membaca pesan yang dikirim Mala satu persatu. Dia baru paham apa sebabnya yang membuat Rahman datang ke rumahnya. Di ruang tamu, Bu Sar
Bab 219. Kesasar atau hilang.Aisyah langsung masuk ke kamarnya meletakkan seluruh barang bawaannya. Kemudian gadis itu menuju ke dapur, berniat membuatkan minuman untuk Arif dan juga kedua orang tuanya. Tiba-Tiba Bu Sarah pun muncul di dapur."Kamu bikin apa, Is?" tanya Bu Sarah. "Ini aku bikin kopi buat Bapak sama Bang Arif, ada cemilan apa, Mak di rumah?" tanya Aisyah"Tuh ada rengginang sama goreng opak aja, baru digoreng tadi pagi sama Emak!" ucap Bu Sarah dengan menunjukkan letak toples rengginang dengan dagunya. Aisyah pun menata nampan dengan dua buah toples berukuran sedang, serta dua buah cangkir kopi. Lalu mengantarkannya ke hadapan Pak Ahmad dan Arif di ruang tamu.Pak Ahmad terlihat asik mengobrol dengan Arif, hingga sesekali tawa dari keduanya terdengar. Aisyah masuk kembali dan duduk di ruang tengah karena melihat bapaknya dan Arif sedang asik berbincang. Gadis itu gak berani ikut duduk disana."Hmz, Pak boleh saya bertanya?" ucap Arif dengan ragu-ragu. Dia menautkan
art 112. Hilang atau kesasar? Aisyah mengangguk tanda membenarkan pertanyaan Arif. Gadis berlesung pipit itu begitu sangat terlihat manis dipandang dari samping. "Hmz … bagus, Is. Abang salut sama kamu!" Hanya itu ucapan Arif. Sungguh bertentangan dengan isi hatinya. "Tapi, kalau seandainya ada laki-laki yang tiba-tiba melamar kamu, apa kamu mau terima, Is?" tanya Arif dengan perasaan yang roller coaster. Keringat sudah membasahi tubuhnya. Meski ia telah bersiap dengan penolakan, tapi sisi egoisnya mengatakan bagaimanapun harus bisa memiliki Aisyah. Gadis tujuh belas tahun itu telah memporak porandakan hatinya, membuatnya gila dengan pikiran-pikiran masa depan yang indah jika dirinya beristrikan Aisyah."Gimana, ya! Lagian belum pernah ada yang melamar aku," sahut Aisyah dengan terkekeh geli. Mengingat banyak orang bilang dirinya cantik, pintar dan sebagainya. Tapi belum pernah ada yang melamarnya. "Hah … serius? Tapi pacar punya dong?" Arif mencoba mengorek hal yang paling rahasi
"Arif bukan anak kecil. Dia sudah dua puluh tujuh tahun. udah biarin aja! Kamu sekarang kalau mau pulang, ayo cepetan. Arif udah manasin mobil tuh," ucap Mala dengan langsung berbalik pergi. Dia tidak mau lagi mendengar penolakan Aisyah atau apapun. Sedangkan sang adik hanya mengerang pelan, dia tak habis pikir dengan jalan pikiran kakaknya bagaimana mungkin seorang tamu yang tidak tahu wilayah tempat tinggal mereka disuruh mengantarkan dirinya, lelaki yang baru dikenalnya dalam hitungan jam.Meskipun bagi kakaknya, Arif pada sosok yang baik tapi belum tentu dengan dirinya. Tapi apa boleh buat, dia tidak mau menyinggung perasaan siapapun. Akhirnya suka tidak suka, Aisyah menyetujuinya dengan berusaha meyakini bahwa Arif itu orang baik.Aisyah menenteng ranselnya setelah berpamitan terlebih dahulu pada bu Samirah yang sedang duduk diatas kasur. Dia menuju ke teras depan, dimana Kakak dan Kakak iparnya beserta Arif berada."Tuh, Ais sudah siap," ucap Rahman saat matanya menangkap sosok
"Aisyah itu agamanya kuat. Mungkin saja dia itu tidak akan nyaman dengan keberadaan aku, orang yang dianggapnya memang bukan muhrim. Walaupun sama aku yang sudah jadi keluarganya. Memang dari dulu anak itu seperti itu, kalau aku nggak ada pasti dia akan disini bersama kakaknya. Tapi kalau aku pulang, dia akan gegas pulang juga ke rumahnya. Cuma pernah waktu Mala lahiran, dia disini agak lama," tutur Rahman. "Tapi bukan karena aku kan, Man?" Arif menatap cemas. Arif sangat takut kepulangan Aisyah karena ada dirinya di rumah Rahman. "Bukan! Bukan lah. Dari dulu semenjak aku pulang-pergi ke Lampung Aisyah hanya akan disini kalau aku tidak ada, kalau aku pulang, maka dalam hitungan jam dia akan langsung pulang," tegasnya dan diangguki oleh Mala.Arif tersenyum simpul mendengar apa yang dikatakan Rahman. Dia tidak salah menjatuhkan hati. Dia tidak salah menganggumi. Tatap matanya begitu penuh harap saat kata demi kata diucapkan oleh pasangan suami-isteri itu."Ya … udah, Mas ambil moto
Bersamaan dengan itu, Aisyah berbalik badan hendak masuk karena memang kegiatan menyapunya telah selesai. "Bang Arif, ngapain di sini?" tanya Aisyah, matanya beradu pandang dengan lelaki bertubuh tegap itu. Arif memejamkan matanya seketika. Setelah Rahman dan Mala kini targetnya sendiri tengah menanyainya. "E—anu, Sah. Abang mau ke kamar mandi," sahut Arif sambil menggaruk tengkuknya yang tak gatal, matanya tak berani menatap kearah Aisyah, namun berulang kali membuang pandangannya tapi kembali menatap gadis tujuh belas tahun itu."Ais, Bang. Aku nggak mau dipanggil Sah!" ucap Aisyah dengan cemberut. Dia memang tidak suka dipanggil ujung namanya, dia lebih suka dipanggil awal namanya saja. "Ow … Maaf, ya! Abang nggak tau," ucap Arif lagi sambil tersenyum canggung. Dadanya begitu bergemuruh bak pasukan akan perang, tubuhnya terasa panas dingin dan gemetaran."Iya, tapi jangan di ulangi panggil itu lagi, nanti aku ngambek!" ucap Aisyah sambil berlalu ke dapur guna menyimpan sapu seda