"Ayo Sayang, duduk dekat Oma. Kita makan bareng," ajak perempuan tersebut.
Oma Kean itu kini tengah duduk di kursi lalu bangkit sambil berkata kala melihat kedatangan Amara. Ia segera menarik lengan perempuan tersebut untuk duduk di kursi sampingnya.Amara segera berdiri kembali saat Ica mendudukannya di kursi."Oma, aku gak pantes makan di sini," tolak Amara pelan.Wanita paruh baya itu mendelik kesal lalu memilih menyendokan makanan dan di taruh ke hadapan Amara."Cepat duduk! Kamu cuma disuruh makan bareng aja suka banget ngebantah. Oma majikan kamu lho, nurut aja napa," geram Omanya Kean.Kean terus menatap intraksi para perempuan itu, lalu menatap Amara yang langsung duduk pasrah saat ditatap tajam oleh Ica."Ayo makan."Manusia yang paling berumur diantara mereka berkata demikian. Lalu segera mengambil makanan untuknya sendiri dan tidak lupa membaca doa lalu melahap hidangan tersebut."Oma, kenapa punyaku gak disendokin," lontar lelaki itu.Mendengar lontaran sang cucu, perempuan itu hanya melirik sekilas lalu kembali melahap hidangan yang sudah diatas piringnya."Punya tangan, kan. Nyendok aja sendiri! Ini hukuman buat kamu," ketus sang Oma.Wanita itu tidak menghiraukan tatapn kesal sang cucu, bahkan dengkusan lelaki tersebut sangat terdengar."Oma, pilih kasih!"Kean menggerutu seraya menyendok makanan sendiri ke piring lalu melahap dengan kasar. Ica hanya tersenyum kecil melihat hal tersebut."Mara, nanti malam pijat Oma, ya. Pegel banget nih badan," seru Oma Kean.Wanita itu memijat bahunya sendiri kala berkata demikian. Mendengar seruan Ica, Amara mengangguk sebagai jawaban. Ia sangat senang karena perempuan tersebut mau menampung, jadi memiliki tempat berteduh."Mendingan jadi pembantu aja, dari pada aku jadi gelandangan di jalan," batinnya berseru."Siap Oma."Dia memperlihatkan wajah ceria, sedangkan Kean hanya menatap sinis pada wanita itu. Amara juga berpikir tidak perlu berlarut dalam kesedihan bukan? lelaki tersebut tak pantas ditangisi."Bahan buat makan mau habis. Kalian pergi belanja bareng ya! Oma mau istirahat," ucap perempuan itu.Kean yang baru aja hendak protes, lelaki itu langsung ditatap tajam oleh sang Oma. Membuat ia urusan mengeluarkan kata-kata."Mara bisa sendiri kok, Oma," tolak Amara.Paham akan Kean yang terlihat hendak menolak dari tatapannya, lagian dia juga tidak akur dengan lelaki itu. Mendengar ucapan Amara, perempuan tersebut menggelengkan kepala tanda tidak setuju."Jangan dong, kamu itu baru di sini, kalau ke sasar gimana! Udah. Pokoknya kalian nurut apa kata Oma, lagian apa susahnya sih nurut aja gitu," tutur perempuan itu.Dari nada suara perempuan itu lumayan tinggi yang menandakan jika ia tengah kesal."Iya-iya, Oma.nanti Kean anterin dia deh," balas lelaki itu.Kean berkata dengan nada malas bahkan datar, lelaki itu memilih melanjutkan mengisi perut saat selesai membalas ucapan Omanya."Kamu memang yang terbaik, gitu ke dari tadi," kata perempuan itu.Ia menepuk bahu Kean yang memang berada di sampingnya, membuat lelaki tersebut hanya melirik sebentar lalu menggelengkan kepala melihat Ica yang tadi sedikit marah kini kembali senang.***Kean menatap Amara terus yang tengah mencuci piring, ia melipat tangan di depan dada lalu menatap nyalang wanita tersebut. Rasa tidak percaya pada perempuan itu masih melekat, memikirkan jika dia ikhlas menolong Omanya. Cucu Ica ini hanya waspada, takut Amara menyakiti atau mencelakai sang Oma."Awas matamu loncat nanti!" seru Ica.Ica langsung mendekati cucunya lalu mencubit pinggang Kean. Membuat lelaki tersebut meringis karena merasa sakit."Mendingan kamu duduk, gih! Si ruang tamu sambil nonton, dari pada melototin Amara terus. Tenang aja kamu kedip beberapa kali juga dia gak bakal kabur kok," lanjut wanita itu.Sedangkan Amara, wanita itu agak geram dengan tingkah lelaki yang berstatus cucunya sang majikan. Seperti ia seorang buronan saja, diperhatikan sampai begitu. Dia sangat bernapas lega kala Ica menegur pria tersebut."Tapi Oma ...."Belum selesai Kean mengeluarkan protesan, Ica langsung menempelkan jari ke bibir sang cucu. Lalu dengan cepat menarik lengan Kean dan melangkah menuju ruang tamu."Kalau dia macem-macem gimana, Oma. Dia orang asing lho."Lelaki itu mengutarakan kecurigaan yang mengganjal, membuat Ica menghela napas dan berhenti kala sampai di ruang tamu."Oma yakin, Mara orang baik. Kamu nonton sana, atau ngapain ke. Oma mau bantu Mara," ucap Ica.Setelah berkata begitu, perempuan tersebut langsung melangkah ke dapur membuat Kean merasa geram."Huh ... Oma, Oma. Selalu aja cepat percaya sama orang lain," keluh lelaki itu.Kean mengembuskan napas kasar lalu mendaratkan bokong ke sofa. Lalu bersandar dan memilih memainkan handphone.Oma lelaki itu baru saja hendak membantu Amara, tetapi ternyata perempuan tersebut telah menyelesaikan pekerjaan dengan sangat cepat dan rapi. Senyuman terukir lalu memilih berdiri si samping Amara yang kini tengah mengeringkan tangan."Cepet banget kamu kerjannya, Oma baru aja mau bantuin," ujar wanita itu.Amara yang mendengar ujaran Omanya Kean menoleh, ia langsung memamerkan senyuman."Gak usah Oma, ini udah beres kok. Tinggal pergi ke pasar aja buat beli stok bahan-bahan," sahut Amara.Wanita paruh baya itu mengerutkan kening kala mendengar sahutan perempuan tersebut. Ia memandang Amara dengan tatapan heran."Kok ke pasar? Minimarket aja, Mara ...," seru Ica.Perempun tersebut mengulum senyum mendengar seruan sang majikan, ia menggelengkan kepala lalu menarik pelan lengan Ica agar duduk di kursi."Oma duduk, biar gak pegel," tutur Amara.Ica mengulum senyum karena mendapatkan perhatian oleh perempuan yang baru ditemuinya. Bahkan cucunya saja sangat jarak melakukan hal tersebut. Amara sangat memperhatikan semua hal kecil, yang membikin nenek Kean terharu."Pokoknya Amara pengen ke pasar aja, Oma ... di sanakan nanti aku bisa nawar. Lumayan sisa uangnya buat aku," kelakarnya.Wanita itu berkata diakhiri suara tawa dan ia segera menempelkan telapak tangan di bibir. Lalu perempuan yang di dekatnya langsung tertawa lepas."Hehehe ... enggak, Oma. Mara cuma bercanda kok. Nanti sisa uangnya aku kasih ke Oma lagi," lontar Amara.Nenek Kean itu hanya mengulum senyum melihat tingkah perempuan tersebut lalu menggelengkan kepala. Ia sudah sangat lama tak tertawa sampai segitunya."Kamu ini!"Ica memegang bahu Amara membuat wanita itu sedikit menunduk sambil tersenyum kecil."Ya udah kamu pergi gih, ini list belanjaan sama uangnya."Perempuan paruh baya itu menyodorkan kertas dan uang pada Amara. Sedangkan sang empu langsung mengambil dan memasukan ke saku. Wanita yang kini berstatus menyandang status janda muda segera menyalimi Ica."Siap! Oma. Mara pergi dulu ya," ucapnya.Sebelum wanita itu beranjak pergi, Ica segera menggandeng lengan Amara. Lalu menarik agar mengikuti langkahnya."Pergi dianter Kean, sekarang kita pergi temuin Cucu Oma dulu."Amara memajukan bibirnya lalu menghela napas, penuturan wanita itu hanya ditanggapi anggukan Ica."Padahal aku bisa pergi sendiri lho, Oma ...."Wanita itu melepaskan cekalan di lengan perempuan tersebut, dan memijat pundak membuat Amara menatapnya."Nanti juga kamu bisa berangkat sendiri kok, setiap ada cucu Oma, kamu harus selalu bareng ama dia kalau pergi," balas perempuan tersebut.Kini mereka sampai di tempat Kean berada, lelaki yang tengah duduk dikursu menoleh kala mendengar suara neneknya."Ayo Kean, anter Mara belanja!"Karena tau sang nenek tidak menerima bantahan, lelaki itu hanya menghela napas lalu segera bangkit."Iya Oma."Kean menjawab dengan nada malas, lalu ia melirik tajam Amara membuat wanita itu menundukan kepala."Jangan natap begitu, Oma yang pengen kamu nganterin dia," omel Ica.Wanita itu memukul bahu cucunya membuat Kean kembali mengeluarkan helaan napas. Ia langsung meraih lengan sang nenek dan mencium punggung tangan."Kalau gitu kami berangkat dulu, Oma. Assalamualaikum," kata Amara.Amara ikut mencium punggung tangan sang majikan setelah Kean selesai. Ia bergegas mengikuti cucu wanita itu yang telah berlalu."Ayo Tuan! Kita harus cepet biar gak kehabisan bahan yang seger," perintah Amara.Kean melirik sinis Amara berdiri di dekat mobil."Bawel," gerutu lelaki itu.Cucu Ica mendorong Amara agar minggir ia langsung duduk di kursi kemudi. Diikuti Amara yang mendaratkan bokong di samping Kean membuat pria tersebut menatap tajam."Ada apa Tuan? Saya harus duduk di belakang, kan, apa Tuan mau disebut supir oleh orang lain," lontar Amara.Kean menatap marah pada Amara lalu melajukan kendaraan roda empat tersebut."Sialan! Kamu duduk di situ saja."Amara hanya mengangguk sebagai jawaban. Sedangkan Kean menyeringai kala memiliki ide. Ia akan membawa Amara ke pasar dan melihat reaksi wanita itu. Di bawa ke tempat becek dan bau.BAB 4"Udah sampe, cepat turun!" perintah Kean. Lelaki itu selesai memarkirkan kendaraan roda empat miliknya. Amara melihat keluar jendela lalu mengulas senyum. Ia lekas membuka sabuk pengaman dan turun dari mobil. "Kamu gak kebauan, kah? Atau kamu lagi pilek." Kean melontarkan pertanyaan pada Amara dan dibalas gelengan wanita tersebut. "Enggak dong, udah biasa. Tuan kaya cenayang aja, bahkan aku belum minta diantar ke pasar," celetuk Amara. Wanita itu sangat antusias, ia mulai melangkah masuk dan melihat-lihat diikuti Kean dibelakangnya. "Bu, mau ayam dong dua kilo," pinta Amara.Penjual ayam itu mengangguk sebagai jawaban lalu mulai memotong hewan tersebut. "Yang banyak dagingnya ya Bu," kata Amara lagi."Siap Neng," sahut penjual."Jadi berapa Bu?" tanya Amara.Wanita itu memperhatikan sang pejual yang sibuk memotong dan menimbang daging ayam."Seratus ribu Neng," balas penjual ayam."Mahal amat, Bu. Kurangin dong," tutur Amara.Kean membulatkan matanya kala mendengar permint
Tidak terasa seminggu telah berlalu, Amara tinggal di kediaman sang majikan. Senyuman bahagia terus terukir di bibir. Sudah tujuh hari juga, ia tak melihat batang hidung cucu Ica, lelaki yang menurutnya tampan tapi menyebalkan. Padahal Kean telah berjanji pada Omanya."Dasar cucu durhaka," pikir Amara. Wanita itu kini tengah menyiram tanaman langka yang harganya sangat mahal. Suara deru mobil dan klason membuat pikiran yang berkelana buyar. Saat melihat gerbang, ia lekas mematikan keran dan berlari untuk membuka pagar besi tersebut. Setelah kendaraan mobil, dia segera menutup kembali lalu melanjutkan kegiatan yang tertunda. "Oma di mana?" tanya Kean. Lelaki itu setelah memarkirkan kendaraan langsung berjalan ke tempat Amara berdiri. Ia bertanya dengan nada dingin."Di dalam Tuan, Oma sedang sarapan," sahut Amara. Amara hanya melirik sekilas lelaki tersebut. Saat mendapatkan jawaban dari wanita itu, Kean bergegas masuk tanpa mengucapkan sepatah katapun. "Oma kira kamu lupa jalan pu
BAB 6Lelaki itu kini tengah menikmati angin pagi yang menyejukan. Ia menghirup dalam dan perlahan menikmati setiap embusan udara menerpa. Kean sangat menykai tempai ini, saat kanak-kanak dulu bermain dengan Ica. Kedua orang tua pria tersebut sibuk menggeluti pekerjaan sampai menitipkan cowok kecil yang membutuhkan kasih sayang mereka pada nenek Kean. Jadi saat lelaki itu kini hanya menyayangi Oma Ica bukan salahnya kan. Wanita berumur tersebut merawat dan menjaga dengan sepenuh hati sang cucu. Punggung Kean tengah bersandar pada kursi taman, matanya terpejam mengenal masa dulu, sampai diusia menginjak sembilan belas tahun diperintahkan belajar bisnis yang kini dia geluti. Suara langkah laki terdengar, tetapi tidak membuat Kean terusik sedikitpun. Lelaki itu terlalu larut dalam lamunan, bahkan terus memilih memejamkan saat sebuah suara memanggilnya. "Tuan ...." "Apa Tuan tidur?" tanya Amara kembali. Merasa kesal dengan suara Amara, lelaki itu membuka mata dan manik mereka langsung
BAB 7"Nanti masak buat masak siang! Orang tuaku bakal datang berkunjung ke sini," perintah Kean. Wanita itu mengangguk tanda paham akan perintah cucu majikannya ini. "Siap Tuan! apa ada lagi?" tanya perempuan tersebut. Kean mendelik melihat gaya wanita dihadapannya ini, Amara sok akrab banget. Bahkan tangan kala berucap seperti gaya hormat. "Gak ada! sana pergi, jangan sok akrab deh. Jijik tau," usir Kean. Amara memajukan bibir mendapatkan usiran dari Kean, dia segera berbalik pergi ke dapur. Wanita itu memilih melanjutkan pekerjaan yang tertunda. Saat melirik jam telah mendekati waktu makan siang, dengan cepat menyiapkan bahan dan lekas memasak. "Oma ...."Lelaki berperawakan tinggi dan sedikit kekar itu berteriak memanggil sang Nenek. Mendengar panggil cucu kesayangan tersebut, Ica segera menyahut. "Oma di sini, Kean," sahut wanita tersebut. Mendapatkan sahutan sang Nenek, Kean segera menuju ke tempat perempuan paruh baya itu berada. Terlihat Ica tengah memegang vas bunga."
BAB 8 Sang Ibu menepuk pundak anaknya lalu menggeleng, ia menggenggam jemari Selena dan mengajak masuk. Suami wanita itu segera mengikuti dibelakang. Terlihat di ruang makan sudah ada Kean dan Amara yang sedang menyendokan hidangan untuk pria tersebut. "Ayo makan," ajak Ica. Wanita yang paling berumur diantara dua perempuan itu segera mengajak Selena untuk duduk di kursi. Senyuman terus terukir di bibir Ica, ia segera mendaratkan bokong di samping sang anak. "Makanan ini ...." Perempuan yang biasanya makan hidangan mewah ini menatap ragu makanan yang berada di atas meja. Lalu Kean hanya tersenyum sinis, lelaki itu segera mengisi perutnya. "Udah, kalian makan aja! Pasti kalian bakal ketagihan," lontar wanita tersebut. Mendengar ucapan sang Ibu yang tak mau dibantah itu, Selena menghela napas. Ia menganggukan kepala lalu mengajak suaminya pula untuk mengambil makanan tetapi hanya sedikit. "Amara ...," panggil Ica. Wanita itu menghentikan langkah kaki kala mendengar panggilan Ica
BAB 9 "Bersin kamu ganggu momen aja," geram Selena. Lelaki yang ditatap sang istri hanya memamerkan seringai, ia menangkupkan tangan tanda minta maaf. "Maaf, udah gak bisa ditahan Sayang," balas lelaki tersebut. Melihat adu mulut sepasang suami istri itu, Ica hanya memutarkan bola mata malas. "Udah berantemnya? Mau lanjut gak," seru wanita tersebut. Seruan Ica membuat dua manusia itu langsung memandangnya lalu berucap sambil mengangguk."Iya, Oma. Ayo lanjutin, kami penasaran soalnya," balas keduanya.Wanita paruh baya itu sekilas melirik Amara lalu menatap dua manusia dihadapannya sekarang. "Ayo kita nikahin Amara sama Kean," seru Ica penuh semangat. Mendengar perkataan perempuan itu, Amara membulatkan mata bahkan langsung berdiri. Semua langsung memandang wanita tersebut, kedua orang tua Kean menganggukan kepala. Sedangkan lelaki yang namanya disebut segera mendekat dan mengambil handphonenya. "Apaan sih, Oma. Main nikah-nikahin aja! Emang zaman apa sekarang."Setelah berkat
BAB 10 "Ngapain Oma bawa pembantu ini," ucap Kean sinis. Lelaki itu menatap sinis lewat kaca, saat kendaraan tengah melaju. Amara langsung menunduk sambil meremas pakaian. Ia kesal bercampur tahu diri, akhirnya memilih untuk diam tak bersuara. "Husss ... jangan ngomong gitu, terserah Oma dong. Mau ngajakin siapa," tegur Oma Ica. Mendengar teguran wanita kesayangannya membuat lelaki itu langsung memutarkan bola mata malas. "Oh iya, pokoknya habis masa iddah, Amara. Kalian akan segera menikah," lontar wanita tersebut. Karena ucapan sang Oma yang mendadak dan membuat kaget, Kean sampai menghentikan kendaraan membuat terdengar decitan. "Kamu gimana sih bawa mobil! kaya lagi belajar aja," omel Ica. Kean tidak mengindahkan omelan sang Oma, ia langsung memandang wanita tersebut begitupun Amara. "Kenapa kalian ngeliatin Oma sampe segitunya, Oma tau kok kalau Oma cantik," ucapnya genit seraya menutup wajah dengan kedua telapak tangannya. Kean mendelik ia bahkan mengembuskan napas kasa
"Pasti nanti juga Tuan bertemu perempuan yang baik, Oma."Amara berkata demikian sambil mendekati Oma Ica yang duduk di kursi. Terlihat wanita paruh baya itu menunduk dan menghela napas. "Oma tak percaya pilihan dia, Amara. Banyak wanita yang mendekat karena menginginkan kekuasaan, pasti jika cucuku dalam masalah mereka langsung pergi," balas Ica. "Oma hanya ingin kamu yang jadi cucu menantu, Oma."Setelah berkata demikian, ia langsung mendongak menatap manik mata perempuan yang berada di hadapannya. Amara berjongkok agar wanita yang menolongnya tidak pegal melenggak."Aku cuma seorang janda, Oma. Wanita yang diceraikan suaminya. Sedangkan Tuan ... dia masih lajang. A-aku gak pantas berdampingan dengannya," tutur wanita tersebut. Ibu Selena, ia bangkit dari duduknya lalu memegang bahu Amara agar perempuan itu bangkit. "Kamu pantas, Mara. Oma yakin sama pilihan Oma, kamu memang yang terbaik untuk cucu es, Oma itu," lontar Ica.Mendengar lontaran sang majikan, Amara menghela napas le
Arum mendorong Fadli ke kamar lelaki itu, sedangkan sang anak langsung tertawa. "Ibu, nanti jangan lupa kasih Fadli, adik ya," kelakar lelaki tersebut. Wanita itu langsung mendaratkan cubitan pada anaknya. "Kamu ...!" Setelah berkata demikian wanita itu memilih pergi meninggalkan putranya. Dari pada meladeni perkataan pria tersebut, malah semakin membuat pipi memerah karena malu. "Aku pengen kamu selalu bahagia." Fadli berkata demikian saat memandang punggung Ibunya yang mulai menghilang. ***Waktu terus berjalan, tidak terasa tiga bulan telah dilalui. Arfa telah pensiun dan digantikan oleh sang putra. Lelaki yang berstatus duda ini sangat cekatan dalam mengurus perusahaan milik Ayahnya. Fadli mengembuskan npas panjang saat merasakan penuh kepuasan laly mendudukan bokong ke kursi kebesaran. "Akhirnya semua udah beres, udah terkendal." Lelaki itu bermonolog, rasa syukur yang sangat dalam. Fadli memejamkan mata kala kepala bersandar. "Kangen iu sama Manda, udah seminggu sibuk d
Dia segera mendekati Arum lalu memegang kedua pipi wanita itu. Air mata berjatuhkan, lalu Ibu Fadli menundukan kepala. "Apa kamu beneran Mas Arfa? Aku gak lagi mimpi kan," lontar Arum pelan. Arfa segera membuat Arum menatapnya, dia menggelengkan kepala. "Iya, Rum. Ini Mas, ternyata ini beneran kamu, aku selalu cari kamu lho selama ini." Pria tersebut segera menarik Arum dalam dekapannya, suara sesegukan terdengar. Nesa paham situasi sekarang, ia segera mengajak Ayah mertua dan Ibu Fadli untuk mengikuti dia.Kedua makhluk yang baru saling bertemu itu saling bertautan tangan, Nesa mengajak mereka ke ruangan. Segera menyiapkan minuman untuk mereka."Di mana anakku, Mas?" tanya wanita itu. Arum bertanya setelah Nesa pergi dari ruangan ini. Arfa langsung diam, lalu menundukan kepala. "Dia udah berada di sisi Allah, Rum. Dia juga udh punya seorang putri yang cantik, Nesa, istri almarhum anaj kita," jelas Arfa. Arum menangis mendapati tidak akan pernah lagi bertemu anak pertamanya. Ar
Kean memandang wanita yang melahirkannya sebentar lalu memalingkan wajah. Sedangkan Oma Ica segera mendekati sang putri dan mendekap agar Selena tenang. "Maaf jadi buat kalian panik, kalian mau nginep di sini? Kami juga mau nginep soalnya. Enak kan kalau rame-rame gini, sambil jagain Amara, lontar Oma Ica. Mendengar tawaran Oma Ica, mereka saling menatap sedangkan Kean hanya fokus menatap istrinya. Tangan lelaki itu terus menggenggam jemari Amara, Amanda langsung menganggukan kepala membuat Ibu Selena hanya tersenyum melihat gadis kecil ini. "Kamu udah besar ya, Manda. Sini sama Oma gendong," seru wanita itu. Dia segera menganggukan kepala lalu meminta sang Bunda agar menurunkannya. Kini Amanda beralih ke gendongan wanita tersebut. "Manda mau nginep gak? Bantu nemenin Tante Ara." Amanda langsung menganggukan kepala dan mengiyakan ucapan Oma Ica. Gadis kecil itu segera menatap Nesa yang dibalas anggukan sang Ibu, lalu tatapan Amanda beralih ke Arum dan Fadli. "Ayah ... Manda pen
Mantan suami Amara ini telah ditangani oleh dokter pribadi keluarga Kean. Pria tersebut masih terbaring lemah di atas ranjang, netranya masih tertutup rapat. Padahal dua jam telah berlalu, Amanda memandang cemas lelaki yang dipanggil Ayah. Air mata bercucuran, karena tidak bisa melakukan apapun untuk Fadli, dia memegang lengan pria tersebut. "Ayah ... ayo dong bangun! Jangan buat Manda takut, Manda minta maaf gara-gara ninggalin Ayah." Isakan terdengar sangat memilukan, ia bahkan mendaratkan bibir berkali-kali ke punggung tangan lelaki itu. Nesa, melihat keadaan sang anak, ia segera merengkuh tubuh kecil putrinya. Menepuk-nepuk berusaha menenangkan, saat Amanda sudah tidak menangis, dia langsung membenamkan wajah di dada perempuan yang melahirkannya. Sementara itu, Fadli mulai menunjukkan tanda kesadaran. Dia menggerakan jari, tetapi mata masih tertutup rapat. "Aku kenapa," ucapnya lemah. Mendengar suara sang anak, Arum langsung mengusap kening Fadli dan mendorong rambut agar tida
Suami Amara ini segera menerima semua hadiah dari Nesa, lalu meminta sang pembantu untuk lekas menyimpan di setumpuk kado. Tatapan tak senang masih terpancar di manik mata pria tersebut. Dan ia mengerutkan kening kLa melihat Fadli yang di pegangi Arum, bahkan tangan satu memegang tongkat. "Kenapa lo bawa mereka sih," ketus lelaki itu. Nesa mengangkat sebelas alis dengan ucapan ketus sang teman. Ia memandang suami Amara dengan tatapan keheranan. "Emangnya ada masalah? Mereka cuma mau liat jenguk Ara sama anaknya lho ...." Jawaban Nesa mendapatkan dengkusan dari lelaki itu. "Bener ternyata, ternyata lo kenal sama mereka," ucap suami Amara. "Nih gue kasih tau, gue gak suka liat mereka tau gak!" Kean sama sekali tidak menyembunyikan rasa bencinya, membuat Arum meremas tangan anaknya. Sedangkan Fadli menelan ludah, ia memang tidak bisa melihat riak marah suami Amara ini. Tetapi mendengar suara dan hawa di ruangan tersebut membuat Fadli seperti kesulitan bernapas. "Maafin saya, Bos.
Beberapa bulan berlalu, Fadli telah terbiasa dengan keadaannya. Ia bahkan hafal setiap sudut kediaman Arum dan Nesa. Ia menjual rumah tempat dulu ia tinggali bersama Amara. Agar tidak terus larut dapat penyesalan, karena menelantarkan wanita sebaik Amara. "Yah ...." Amanda segera berlari saat melihat Fadli berada di dekat pintu masuk, gadis kecil itu langsung menggenggam jemari pria tersebut. "Apa, Sayang ...," sahut lelaki itu. Tangan pria itu beralih memegang puncuk kepala gadis kecil tersebut, Amanda tersenyum lebar walau lelaki di hadapannya ini tidak melihat senyuman yang begitu manis. "Ayah ... Manda seneng banget akhirnya ketemu Ayah," ungkap Amanda. Gadis kecil itu membawa Fadli agar dia duduk di kursi yang ada si depan pintu, lalu dia duduk dipangkuan lelaki tersebut. "Om juga seneng, Manda," sahut Fadli. Dia mendekap dengan penuh kasih sayang anak Nesa, ia sudah sangat menyayangi gadis kecil itu. "Ayah ... kenapa gak ikut ke rumah Grandma dan Granpa? Padahal di sana
Siska langsung terdiam saat mendengar perkataan Nesa. Ia memilih pergi tanpa mengeluarkan sepatah kata pun, menebalkan wajah saat meninggalkan tempat ini. "Untung aku tadi belum bawa ke kasir, kalau udah bisa malu banget," batin wanita tersebut. Dia hanya membawa uang senilai lima ratus ribu, ia kjra baju hanya seharga dua ratusan aja ternyata sebesar gaji sebulan. "Maaf, Nes. Buat keributan di butikmu," kata Arum. Nesa langsung memandang Arum saat wanita itu berkata demikian, memang ia yang menyuruh agar Ibu Fadli ini memanggil nama saja tanpa ada embel-embel. "Udahlah, Bu. Mendingan kita jenguk anakmu aja, soalnya Manda pengen ketemu." Arum langsung menganggukan kepala dan menceritakan jika putranya sudah dikasih tau siuman oleh pihak rumah sakit. Amanda segera meminta Bundanya lekas pergi sekarang. Kini mereka sampai di tempat dimana orang berobat, setelah membuka pintu anak Nesa ini mendaratkan pelukan di lengan Fadli membuat pria tersebut terkejut."Ayah ...." Suara Amanda
"Tuh udah dibolehin sama Grandma, sekarang ayo kita pergi ketemu Tante Ara dulu ya. Grandma juga di ajak kok, soalnya kita mau pergi ke butik dulu," jelas Nesa. Amanda mengangguk lalu tangannya terulur meminta digendong, Nesa segera menyambut hal tersebut. "Mereka sangat baik, padahal kami baru bertemu beberapa kali. Beda banget sama aku. Aku memandang orang dari statusnya, bahkan menghina Amara ...." ***Ibu Fadli menatap langit malam, karena sang putra masih berada di rumah sakit. Ia kini hanya sendiri di kediaman, biasanya dulu ia berbincang dengan lelaki yang dulu ia kandung selama sembilan bulan itu. Matanya terpejam mengingat kenangan peristiwa tadi, ternyata wanita yang menolong mereka, berjanjian bertemu dengan Amara.Dunia sangat sempit bukan? dia dipertemukan lagi dengan mantan istri anaknya, perempuan yang dulu ia hina kini malah hidup sangat enak. Kalau saja tau mungkin ia memilih tak ikut, karena diri sangat malu akibat Amara sangat beda memperlakukannya. Dikira akan me
Arum segera berlari mencari tempat untuk berteduh, mengingat di kantongnya ada uang. Wanita itu segera merogoh saku lalu memandangi benda yang lumayan basah. Isi dompet yang hanya ada tiga ratus lima puluh rupiah, hasil kerja keras di tempat yang tadi memecat. Ia memang selalu meminta digaji perhari, memandang guyuran hujan yang sekarang lumayan tidak derai segera menerobos karena ingin segera ke rumah sakit. "Aku harus buru-buru nyari kerjaan lagi, tapi di mana ya ...." Arum bergumam lalu segera memasuki uangnya lagi ke dompet dan segera ia taruh di kantong dan segera menerobos hujan. Seseorang mengeryitkan kening kala lalu segera memanggil wanita itu sangat mengenali wajah Ibu Fadli. "Bu ... sini! Cepat masuk mobil, diluar hujan lho," seru perempuan itu. Merasa familiar dengan suara wanita yang memanggilnya, Arum segera mendekat lalu mengeryitkan alis dan segera masuk setelah mengenali wajah Nesa. Lagian tubuhnya menggigil karena kedinginan. "Ini Grandma, pake handuk Manda aja,