Tidak terasa seminggu telah berlalu, Amara tinggal di kediaman sang majikan. Senyuman bahagia terus terukir di bibir. Sudah tujuh hari juga, ia tak melihat batang hidung cucu Ica, lelaki yang menurutnya tampan tapi menyebalkan. Padahal Kean telah berjanji pada Omanya.
"Dasar cucu durhaka," pikir Amara.Wanita itu kini tengah menyiram tanaman langka yang harganya sangat mahal. Suara deru mobil dan klason membuat pikiran yang berkelana buyar. Saat melihat gerbang, ia lekas mematikan keran dan berlari untuk membuka pagar besi tersebut. Setelah kendaraan mobil, dia segera menutup kembali lalu melanjutkan kegiatan yang tertunda."Oma di mana?" tanya Kean.Lelaki itu setelah memarkirkan kendaraan langsung berjalan ke tempat Amara berdiri. Ia bertanya dengan nada dingin."Di dalam Tuan, Oma sedang sarapan," sahut Amara.Amara hanya melirik sekilas lelaki tersebut. Saat mendapatkan jawaban dari wanita itu, Kean bergegas masuk tanpa mengucapkan sepatah katapun."Oma kira kamu lupa jalan pulang ke sini," sinis Ica.Perempuan itu berkata kala melihat Kean mendekat, ia menyudahi makannya dan lekas bangkit lalu menghampiri lelaki tersebut. Jeweran langsung di dapatkan oleh cucu semata wayang Ica."Oma ... jangan main jewer-jewer aja dong. Malu Kean, aku udah dewasa," tutur lelaki tersebut.Sang Oma hanya menanggapi dengan senyum sinis, ia melepaskan jeweran itu saat melihat Amara masuk."Dewasa kok belum nikah!" sindir Ica.Amara yang mendengar menutup mulut agar tak mengeluarkan suara tawa. Wanita itu berusaha bersikap biasa dan mendekati mereka."Oma udah selesai sarapan?"Ica mengangguk mendengar pertanyaan Amara. Ia memandang wanita itu dengan tatapan lembut."Udah, Sayang."Amara mengulum senyum apalagi saat wanita yang sudah berumur itu membelai rambutnya. Dia segera melirik lelaki yang menurutnya sangat menyebalkan."Tuan apa mau sarapan? Kalau enggak aku bakal beresin," tawar Amara.Tangan wanita itu kini sedang mengambil piring bersih, kala mendapatkan anggukan kepala Kean. Ia segera duduk di kursi lalu menunggu Amara menyendokan hidangan."Boleh, perut ini juga minta diisi," sahut Kean.lelaki itu merasa gengsi jika bilang kalau dirinya sedang kelaparan, lalu tak berselang lama bunyi perut Kean terdengar. Membuat dia segera membuang muka dan wajah memerah karena malu. Sedangkan Amara hanya mengulum senyum dan segera menyodorkan sepiring makanan yang sudah diisi berbagai hidangan di hadapan cucu Ica."Cobain masakan Amara cepet, enak semua lho. Pokoknya menggugah selera, pengennya nambah terus," seru sang Oma.Setelah berkata demikian, Ica segera mendaratkan bokong di kursi menatap cucunya. Mendengar dirinya dipuji, Amara mengulas senyum kecil malu-malu. Sedangkan Kean melirii wanita tersebut membuat ia tersenyum sinis."Oma jangan terlalu memujinya, nanti dia besar kepala," seru Kean.Amara memajukan bibir kala mendengar seruan Kean. Ia berdiri di samping Ica karena ingin mengetahui komentar lelaki tersebut karena melihat Kean mulai melahap makanan."Gila! Rasanya enak banget," batin lelaki itu berseru.Kean menanggapi wajah Amara yang mulai mengembangkan senyuman saat melihat ia memakan hidangan ini. Dia segera menjaga ekpresi wajau agar terlihat biasa saja."Biasa aja kok, Oma. Oma aja yang terlalu membesar-besarkan," celetuk lelaki tersebut.Wajah Amara langsung masam mendengar celetukan lelaki tersebut. Tetapi, ia masih menunggu Kean selesai melahap makanan, karena ia juga ingin mengisi perut. Saat sebentar lagi makanan yang di piring pria ini habis, ternyata Kean malah menyendok hidangan lagi."Cih! Tadi bilang biasa aja tapi sampe nambah gitu," cibir sang Oma.Wanita yang lebih berumur dari mereka hanya memutarkan bola mata dengan malas, sedangkan Amara sedikit mengulas senyuman."Kean lagi lapar Oma, makanan mau enak atau enggak kalau lagi laper ya dimakan aja. Wajar dong kalau nambah, lagian makanan ini yang penting masih bisa ditelen dan masuk ke perut," sahut pria tersebut.Dia tidak mau mengakui jika masakan Amara memang nikmat di lidah."Mara, kamu tunggu Kean sampai selesai sarapan. Habis itu cuci piring yang kotor. Kamu juga harus sarapan," perintah Ica.Amara mengangguk mendengar perintah Ica."Siap, Oma."Cucu sang majikan menyandarkan tubuh ke kursi saat selesai sarapan. Lelaki itu mengusap perut karena sangat kekenyangan, bahkan ia sampai bersendawa."Kenapa masakannya sangat lezat, sampe kembung ini perut," gerutunya pelan.Amara melihat tangan Kean yang mengusap perut menyeringai."Perutnya kenapa, Tuan?" tanya perempuan itu.Pria tersebut melirik geram pada Amara karena terus mengganggunya."Gak! kamu bikin mood ancur aja sih! saya pergi aja deh. Jangan lupa cuci piring setelah sarapan."Amara memajukan bibir mendengar omelan cucu majikannya."Iya-iya, aku cuci piring dulu, Tuan."Amara mengucapkan dengan nada ketus, ia melangkah pergi dengan piring kotor di tangannya."Dasar!" cibir Kean.Kean bangkit dan pergi menuju kamar. Kala ia mengemudi tadi, lelaki itu baru ingat bahwa ini hari minggu. Akhirnya memilih melajukan kendaraan roda empat ke kediaman sang Oma.Sesampai di kamar, ia langsung mengganti pakaian dan mencari di lemari baju. Setelah menemukan baju, ia lekas memakainya. Kaos lengan pendek dipadu jaket kulit dan celana lepis.Selesai berpakaian, ia melirik jam yang menunjuk pukul setengah sembilan. Dirinya menghela napas dan mengulas senyum tipis. Hari ini ia ingin menghabiskan waktu dengan bersantai, bukan bersama berkas apalagi laptop. Melangkah pelan sambil sesekali bersiul, pergi mencari keberadaan Amara."Mara," panggil Kean.Amara yang tengah melahap makanan di meja makan mendongak. Ia terpaku melihat penampilan lelaki itu."Iya, ada apa, Tuan."Amara berkata dengan pelan, mungkin tidak terdengar oleh Kean. Karena wanita itu seperti terhipnotis oleh cucu majikannya."Buatin secangkir kopi, gula sedikit aja."Kean yang tidak mendapatkan respon Amara, ia mendekat lalu menyentil kening wanita tersebut."Aduh! Sakit Tuan," pekik Amara.Wanita itu mengusap dahinya, menbuat nasi yang di tangan menempel di kening. Kean mengulum senyum melihat hal tersebut, sedangkan Amara kembali mematung melihat lengkungan terbentuk di bibir lelaki dihadapan ini."Hey! Buatin secangkir kopi, gula sedikit aja. Antar ke taman. Jangan melamun terus kerjaannya."Lelaki itu berkata dengan suara keras, membuat Amara terkejut. Ia langsung mengangguk secara spontan."Bagus, cepatlah! Tapi habiskan sarapanmu dulu," perintah Kean.Lelaki itu melangkah meninggalkan perempuan yang tengah makan itu. Sedangkan Amara memandang kepergiannya."Dia tampan tapi sayang, nyebelin banget," gumam Amara."Tapi baik sih, nyuruh aku ngabisin sarapan dulu. Eh, tapi ... pasti dia takut diomelin Oma," celetuk Amara.Wanita itu langsung memukul keningnya sendiri."Apa sih yang kamu pikirin, Mara!"wanita itu mengomeli pada dirinya sendiri.BAB 6Lelaki itu kini tengah menikmati angin pagi yang menyejukan. Ia menghirup dalam dan perlahan menikmati setiap embusan udara menerpa. Kean sangat menykai tempai ini, saat kanak-kanak dulu bermain dengan Ica. Kedua orang tua pria tersebut sibuk menggeluti pekerjaan sampai menitipkan cowok kecil yang membutuhkan kasih sayang mereka pada nenek Kean. Jadi saat lelaki itu kini hanya menyayangi Oma Ica bukan salahnya kan. Wanita berumur tersebut merawat dan menjaga dengan sepenuh hati sang cucu. Punggung Kean tengah bersandar pada kursi taman, matanya terpejam mengenal masa dulu, sampai diusia menginjak sembilan belas tahun diperintahkan belajar bisnis yang kini dia geluti. Suara langkah laki terdengar, tetapi tidak membuat Kean terusik sedikitpun. Lelaki itu terlalu larut dalam lamunan, bahkan terus memilih memejamkan saat sebuah suara memanggilnya. "Tuan ...." "Apa Tuan tidur?" tanya Amara kembali. Merasa kesal dengan suara Amara, lelaki itu membuka mata dan manik mereka langsung
BAB 7"Nanti masak buat masak siang! Orang tuaku bakal datang berkunjung ke sini," perintah Kean. Wanita itu mengangguk tanda paham akan perintah cucu majikannya ini. "Siap Tuan! apa ada lagi?" tanya perempuan tersebut. Kean mendelik melihat gaya wanita dihadapannya ini, Amara sok akrab banget. Bahkan tangan kala berucap seperti gaya hormat. "Gak ada! sana pergi, jangan sok akrab deh. Jijik tau," usir Kean. Amara memajukan bibir mendapatkan usiran dari Kean, dia segera berbalik pergi ke dapur. Wanita itu memilih melanjutkan pekerjaan yang tertunda. Saat melirik jam telah mendekati waktu makan siang, dengan cepat menyiapkan bahan dan lekas memasak. "Oma ...."Lelaki berperawakan tinggi dan sedikit kekar itu berteriak memanggil sang Nenek. Mendengar panggil cucu kesayangan tersebut, Ica segera menyahut. "Oma di sini, Kean," sahut wanita tersebut. Mendapatkan sahutan sang Nenek, Kean segera menuju ke tempat perempuan paruh baya itu berada. Terlihat Ica tengah memegang vas bunga."
BAB 8 Sang Ibu menepuk pundak anaknya lalu menggeleng, ia menggenggam jemari Selena dan mengajak masuk. Suami wanita itu segera mengikuti dibelakang. Terlihat di ruang makan sudah ada Kean dan Amara yang sedang menyendokan hidangan untuk pria tersebut. "Ayo makan," ajak Ica. Wanita yang paling berumur diantara dua perempuan itu segera mengajak Selena untuk duduk di kursi. Senyuman terus terukir di bibir Ica, ia segera mendaratkan bokong di samping sang anak. "Makanan ini ...." Perempuan yang biasanya makan hidangan mewah ini menatap ragu makanan yang berada di atas meja. Lalu Kean hanya tersenyum sinis, lelaki itu segera mengisi perutnya. "Udah, kalian makan aja! Pasti kalian bakal ketagihan," lontar wanita tersebut. Mendengar ucapan sang Ibu yang tak mau dibantah itu, Selena menghela napas. Ia menganggukan kepala lalu mengajak suaminya pula untuk mengambil makanan tetapi hanya sedikit. "Amara ...," panggil Ica. Wanita itu menghentikan langkah kaki kala mendengar panggilan Ica
BAB 9 "Bersin kamu ganggu momen aja," geram Selena. Lelaki yang ditatap sang istri hanya memamerkan seringai, ia menangkupkan tangan tanda minta maaf. "Maaf, udah gak bisa ditahan Sayang," balas lelaki tersebut. Melihat adu mulut sepasang suami istri itu, Ica hanya memutarkan bola mata malas. "Udah berantemnya? Mau lanjut gak," seru wanita tersebut. Seruan Ica membuat dua manusia itu langsung memandangnya lalu berucap sambil mengangguk."Iya, Oma. Ayo lanjutin, kami penasaran soalnya," balas keduanya.Wanita paruh baya itu sekilas melirik Amara lalu menatap dua manusia dihadapannya sekarang. "Ayo kita nikahin Amara sama Kean," seru Ica penuh semangat. Mendengar perkataan perempuan itu, Amara membulatkan mata bahkan langsung berdiri. Semua langsung memandang wanita tersebut, kedua orang tua Kean menganggukan kepala. Sedangkan lelaki yang namanya disebut segera mendekat dan mengambil handphonenya. "Apaan sih, Oma. Main nikah-nikahin aja! Emang zaman apa sekarang."Setelah berkat
BAB 10 "Ngapain Oma bawa pembantu ini," ucap Kean sinis. Lelaki itu menatap sinis lewat kaca, saat kendaraan tengah melaju. Amara langsung menunduk sambil meremas pakaian. Ia kesal bercampur tahu diri, akhirnya memilih untuk diam tak bersuara. "Husss ... jangan ngomong gitu, terserah Oma dong. Mau ngajakin siapa," tegur Oma Ica. Mendengar teguran wanita kesayangannya membuat lelaki itu langsung memutarkan bola mata malas. "Oh iya, pokoknya habis masa iddah, Amara. Kalian akan segera menikah," lontar wanita tersebut. Karena ucapan sang Oma yang mendadak dan membuat kaget, Kean sampai menghentikan kendaraan membuat terdengar decitan. "Kamu gimana sih bawa mobil! kaya lagi belajar aja," omel Ica. Kean tidak mengindahkan omelan sang Oma, ia langsung memandang wanita tersebut begitupun Amara. "Kenapa kalian ngeliatin Oma sampe segitunya, Oma tau kok kalau Oma cantik," ucapnya genit seraya menutup wajah dengan kedua telapak tangannya. Kean mendelik ia bahkan mengembuskan napas kasa
"Pasti nanti juga Tuan bertemu perempuan yang baik, Oma."Amara berkata demikian sambil mendekati Oma Ica yang duduk di kursi. Terlihat wanita paruh baya itu menunduk dan menghela napas. "Oma tak percaya pilihan dia, Amara. Banyak wanita yang mendekat karena menginginkan kekuasaan, pasti jika cucuku dalam masalah mereka langsung pergi," balas Ica. "Oma hanya ingin kamu yang jadi cucu menantu, Oma."Setelah berkata demikian, ia langsung mendongak menatap manik mata perempuan yang berada di hadapannya. Amara berjongkok agar wanita yang menolongnya tidak pegal melenggak."Aku cuma seorang janda, Oma. Wanita yang diceraikan suaminya. Sedangkan Tuan ... dia masih lajang. A-aku gak pantas berdampingan dengannya," tutur wanita tersebut. Ibu Selena, ia bangkit dari duduknya lalu memegang bahu Amara agar perempuan itu bangkit. "Kamu pantas, Mara. Oma yakin sama pilihan Oma, kamu memang yang terbaik untuk cucu es, Oma itu," lontar Ica.Mendengar lontaran sang majikan, Amara menghela napas le
"Akhhh ... sakit," ringis Amara. Suaranya tercekat oleh rasa sakit yang menyerang. Wanita itu segera membalikan badan untuk melihat siapa yang tiba-tiba mencengkram tangannya sangat kuat, lalu dia terdiam. Kala melihat tatapan Kean bagai sambaran petir yang dahsyat, penuh amarah dan kebencian. Mata lelaki tersebut menyala-nyala seakan ingin membakar Amara dengan pandangannya. "Kamu pasti bahagia bukan!" sentak pria tersebut.Amara mengerutkan kening, bingung dan terkejut oleh ledakan emosi pria tersebut. Sebelum ia sempat merespon, suara panggilan lembut Oma Ica pada sang cucu memecahkan ketegangan itu. Kean lekas berbalik tetapi tatapannya masih tertuju pada Amara, seperti elang yang mengawasi mangsa. Dia sama sekali tidak melepaskan pandangan dari wanita yang beberapa hari lalu menolong sang Oma. "Astagfirullah, Tuan Kean seperti mau melemparku dari jurang. Membuat tubuhku hancur, belum menikah saja udah seperti ini, apalagi kalau jadi istrinya," keluh Amara. ***Beberapa bulan
Amara memandang kediaman Kean tatapan tak percaya, netranya berkeliling melihat setiap detail bangunan yang sangat indah. Perlahan kaki wanita itu melangkah, ia mendekati pintu utama dan segera menekan bel. Tak lama, benda itu terbuka, memperlihatkan penghuni yang tampak berantakan. Tebakan perempuan tersebut Kean baru saja terbangun dari tidur. Tatapan awal terlihat sayu kini berubah tajam kala mata menangkap Amara berdiri di ambang pintu."Ngapain kamu ke sini, dan ... kenapa kamu tau rumahku! Jangan-jangan kamu sejak dulu memata-matai keluargaku kan," tuduh pria tersebut. Wanita itu memutarkan bola mata malas mendengar tuduhan Kean. Bahkan lelaki tersebut sama sekali tidak menyuruhnya masuk. "Apa Tuan, lupa? Anda yang meminta ke Oma untuk membantu membereskan rumah." Jawaban perempuan itu terdengar kesal karena selalu saja tuduhan yang dilayangkam pria tersebut. "Oh ... masuklah!" seru Kean. Dia menyingkir dari hadapan Amara menyuruh wanita itu untuk masuk. Karena telah dipersi
Arum mendorong Fadli ke kamar lelaki itu, sedangkan sang anak langsung tertawa. "Ibu, nanti jangan lupa kasih Fadli, adik ya," kelakar lelaki tersebut. Wanita itu langsung mendaratkan cubitan pada anaknya. "Kamu ...!" Setelah berkata demikian wanita itu memilih pergi meninggalkan putranya. Dari pada meladeni perkataan pria tersebut, malah semakin membuat pipi memerah karena malu. "Aku pengen kamu selalu bahagia." Fadli berkata demikian saat memandang punggung Ibunya yang mulai menghilang. ***Waktu terus berjalan, tidak terasa tiga bulan telah dilalui. Arfa telah pensiun dan digantikan oleh sang putra. Lelaki yang berstatus duda ini sangat cekatan dalam mengurus perusahaan milik Ayahnya. Fadli mengembuskan npas panjang saat merasakan penuh kepuasan laly mendudukan bokong ke kursi kebesaran. "Akhirnya semua udah beres, udah terkendal." Lelaki itu bermonolog, rasa syukur yang sangat dalam. Fadli memejamkan mata kala kepala bersandar. "Kangen iu sama Manda, udah seminggu sibuk d
Dia segera mendekati Arum lalu memegang kedua pipi wanita itu. Air mata berjatuhkan, lalu Ibu Fadli menundukan kepala. "Apa kamu beneran Mas Arfa? Aku gak lagi mimpi kan," lontar Arum pelan. Arfa segera membuat Arum menatapnya, dia menggelengkan kepala. "Iya, Rum. Ini Mas, ternyata ini beneran kamu, aku selalu cari kamu lho selama ini." Pria tersebut segera menarik Arum dalam dekapannya, suara sesegukan terdengar. Nesa paham situasi sekarang, ia segera mengajak Ayah mertua dan Ibu Fadli untuk mengikuti dia.Kedua makhluk yang baru saling bertemu itu saling bertautan tangan, Nesa mengajak mereka ke ruangan. Segera menyiapkan minuman untuk mereka."Di mana anakku, Mas?" tanya wanita itu. Arum bertanya setelah Nesa pergi dari ruangan ini. Arfa langsung diam, lalu menundukan kepala. "Dia udah berada di sisi Allah, Rum. Dia juga udh punya seorang putri yang cantik, Nesa, istri almarhum anaj kita," jelas Arfa. Arum menangis mendapati tidak akan pernah lagi bertemu anak pertamanya. Ar
Kean memandang wanita yang melahirkannya sebentar lalu memalingkan wajah. Sedangkan Oma Ica segera mendekati sang putri dan mendekap agar Selena tenang. "Maaf jadi buat kalian panik, kalian mau nginep di sini? Kami juga mau nginep soalnya. Enak kan kalau rame-rame gini, sambil jagain Amara, lontar Oma Ica. Mendengar tawaran Oma Ica, mereka saling menatap sedangkan Kean hanya fokus menatap istrinya. Tangan lelaki itu terus menggenggam jemari Amara, Amanda langsung menganggukan kepala membuat Ibu Selena hanya tersenyum melihat gadis kecil ini. "Kamu udah besar ya, Manda. Sini sama Oma gendong," seru wanita itu. Dia segera menganggukan kepala lalu meminta sang Bunda agar menurunkannya. Kini Amanda beralih ke gendongan wanita tersebut. "Manda mau nginep gak? Bantu nemenin Tante Ara." Amanda langsung menganggukan kepala dan mengiyakan ucapan Oma Ica. Gadis kecil itu segera menatap Nesa yang dibalas anggukan sang Ibu, lalu tatapan Amanda beralih ke Arum dan Fadli. "Ayah ... Manda pen
Mantan suami Amara ini telah ditangani oleh dokter pribadi keluarga Kean. Pria tersebut masih terbaring lemah di atas ranjang, netranya masih tertutup rapat. Padahal dua jam telah berlalu, Amanda memandang cemas lelaki yang dipanggil Ayah. Air mata bercucuran, karena tidak bisa melakukan apapun untuk Fadli, dia memegang lengan pria tersebut. "Ayah ... ayo dong bangun! Jangan buat Manda takut, Manda minta maaf gara-gara ninggalin Ayah." Isakan terdengar sangat memilukan, ia bahkan mendaratkan bibir berkali-kali ke punggung tangan lelaki itu. Nesa, melihat keadaan sang anak, ia segera merengkuh tubuh kecil putrinya. Menepuk-nepuk berusaha menenangkan, saat Amanda sudah tidak menangis, dia langsung membenamkan wajah di dada perempuan yang melahirkannya. Sementara itu, Fadli mulai menunjukkan tanda kesadaran. Dia menggerakan jari, tetapi mata masih tertutup rapat. "Aku kenapa," ucapnya lemah. Mendengar suara sang anak, Arum langsung mengusap kening Fadli dan mendorong rambut agar tida
Suami Amara ini segera menerima semua hadiah dari Nesa, lalu meminta sang pembantu untuk lekas menyimpan di setumpuk kado. Tatapan tak senang masih terpancar di manik mata pria tersebut. Dan ia mengerutkan kening kLa melihat Fadli yang di pegangi Arum, bahkan tangan satu memegang tongkat. "Kenapa lo bawa mereka sih," ketus lelaki itu. Nesa mengangkat sebelas alis dengan ucapan ketus sang teman. Ia memandang suami Amara dengan tatapan keheranan. "Emangnya ada masalah? Mereka cuma mau liat jenguk Ara sama anaknya lho ...." Jawaban Nesa mendapatkan dengkusan dari lelaki itu. "Bener ternyata, ternyata lo kenal sama mereka," ucap suami Amara. "Nih gue kasih tau, gue gak suka liat mereka tau gak!" Kean sama sekali tidak menyembunyikan rasa bencinya, membuat Arum meremas tangan anaknya. Sedangkan Fadli menelan ludah, ia memang tidak bisa melihat riak marah suami Amara ini. Tetapi mendengar suara dan hawa di ruangan tersebut membuat Fadli seperti kesulitan bernapas. "Maafin saya, Bos.
Beberapa bulan berlalu, Fadli telah terbiasa dengan keadaannya. Ia bahkan hafal setiap sudut kediaman Arum dan Nesa. Ia menjual rumah tempat dulu ia tinggali bersama Amara. Agar tidak terus larut dapat penyesalan, karena menelantarkan wanita sebaik Amara. "Yah ...." Amanda segera berlari saat melihat Fadli berada di dekat pintu masuk, gadis kecil itu langsung menggenggam jemari pria tersebut. "Apa, Sayang ...," sahut lelaki itu. Tangan pria itu beralih memegang puncuk kepala gadis kecil tersebut, Amanda tersenyum lebar walau lelaki di hadapannya ini tidak melihat senyuman yang begitu manis. "Ayah ... Manda seneng banget akhirnya ketemu Ayah," ungkap Amanda. Gadis kecil itu membawa Fadli agar dia duduk di kursi yang ada si depan pintu, lalu dia duduk dipangkuan lelaki tersebut. "Om juga seneng, Manda," sahut Fadli. Dia mendekap dengan penuh kasih sayang anak Nesa, ia sudah sangat menyayangi gadis kecil itu. "Ayah ... kenapa gak ikut ke rumah Grandma dan Granpa? Padahal di sana
Siska langsung terdiam saat mendengar perkataan Nesa. Ia memilih pergi tanpa mengeluarkan sepatah kata pun, menebalkan wajah saat meninggalkan tempat ini. "Untung aku tadi belum bawa ke kasir, kalau udah bisa malu banget," batin wanita tersebut. Dia hanya membawa uang senilai lima ratus ribu, ia kjra baju hanya seharga dua ratusan aja ternyata sebesar gaji sebulan. "Maaf, Nes. Buat keributan di butikmu," kata Arum. Nesa langsung memandang Arum saat wanita itu berkata demikian, memang ia yang menyuruh agar Ibu Fadli ini memanggil nama saja tanpa ada embel-embel. "Udahlah, Bu. Mendingan kita jenguk anakmu aja, soalnya Manda pengen ketemu." Arum langsung menganggukan kepala dan menceritakan jika putranya sudah dikasih tau siuman oleh pihak rumah sakit. Amanda segera meminta Bundanya lekas pergi sekarang. Kini mereka sampai di tempat dimana orang berobat, setelah membuka pintu anak Nesa ini mendaratkan pelukan di lengan Fadli membuat pria tersebut terkejut."Ayah ...." Suara Amanda
"Tuh udah dibolehin sama Grandma, sekarang ayo kita pergi ketemu Tante Ara dulu ya. Grandma juga di ajak kok, soalnya kita mau pergi ke butik dulu," jelas Nesa. Amanda mengangguk lalu tangannya terulur meminta digendong, Nesa segera menyambut hal tersebut. "Mereka sangat baik, padahal kami baru bertemu beberapa kali. Beda banget sama aku. Aku memandang orang dari statusnya, bahkan menghina Amara ...." ***Ibu Fadli menatap langit malam, karena sang putra masih berada di rumah sakit. Ia kini hanya sendiri di kediaman, biasanya dulu ia berbincang dengan lelaki yang dulu ia kandung selama sembilan bulan itu. Matanya terpejam mengingat kenangan peristiwa tadi, ternyata wanita yang menolong mereka, berjanjian bertemu dengan Amara.Dunia sangat sempit bukan? dia dipertemukan lagi dengan mantan istri anaknya, perempuan yang dulu ia hina kini malah hidup sangat enak. Kalau saja tau mungkin ia memilih tak ikut, karena diri sangat malu akibat Amara sangat beda memperlakukannya. Dikira akan me
Arum segera berlari mencari tempat untuk berteduh, mengingat di kantongnya ada uang. Wanita itu segera merogoh saku lalu memandangi benda yang lumayan basah. Isi dompet yang hanya ada tiga ratus lima puluh rupiah, hasil kerja keras di tempat yang tadi memecat. Ia memang selalu meminta digaji perhari, memandang guyuran hujan yang sekarang lumayan tidak derai segera menerobos karena ingin segera ke rumah sakit. "Aku harus buru-buru nyari kerjaan lagi, tapi di mana ya ...." Arum bergumam lalu segera memasuki uangnya lagi ke dompet dan segera ia taruh di kantong dan segera menerobos hujan. Seseorang mengeryitkan kening kala lalu segera memanggil wanita itu sangat mengenali wajah Ibu Fadli. "Bu ... sini! Cepat masuk mobil, diluar hujan lho," seru perempuan itu. Merasa familiar dengan suara wanita yang memanggilnya, Arum segera mendekat lalu mengeryitkan alis dan segera masuk setelah mengenali wajah Nesa. Lagian tubuhnya menggigil karena kedinginan. "Ini Grandma, pake handuk Manda aja,