Bisakah sekali saja menyelami hatiku? Lihat seberapa parah kau menyakiti.
Bisakah sebentar saja kau menjuntai iba atas perih yang kuelu ...?---------------------Tidak ada yang berubah dalam hidup Hanum. Adrian masih sering berkunjung. Kini laki-laki itu tidak perlu berbohong setiap kali bertanya mengapa dia lebih sering tidur di rumah orang tuanya. Dulu Adrian selalu memberi alasan jika jarak kantornya lebih dekat ke sana dari pada ke kontrakan mereka.Munafik jika wanita itu tidak sakit hati. Amelia bukan orang asing bagi mereka berdua. Wanita blasteran Inggris itu sahabat sejak dia duduk di bangku SMA. Amelialah tempatnya berbagi keluh-kesah tentang orang tua Adrian, tentang hubungan mereka. Hingga detik ini Hanum masih berharap semua hanya mimpi, tetapi takdir tak berpihak padanya. Dia tidak mengerti mengapa keduanya tega menikam dari belakang.Entah sejak kapan cinta mereka tidak lagi bertahta di hati laki-laki berkulit putih itu. Sekarang Hanum sadar, semua tegur sapa dan kepulangannya hanya formalitas. Wanita itu patah arang, mengingat ada putri kecil diantara keduanya, mungkin pengkhianatan itu terjadi di tahun kedua pernikahan mereka.Hanum mencoba mengorek ingatan masa lalu. Di mana dulu Adrian begitu gigih memperjuangkannya, meski kedua orang tua Adrian menentang, laki-laki itu tetap kukuh menikahinya. Setelah menikah, dia membawanya tinggal di sebuah kos-an sempit, tetapi Hanum tak mengeluh. Cinta serta pengorbanan laki-laki itu dengan meninggalkan semua kemewahan sudah membuktikan besarnya cinta Adrian.Hidup mereka begitu sulit. Begitu banyak lamaran pekerjaan yang dikirimnya, tetapi tak satu pun yang diterima. Hanum pun tidak tinggal diam, dia ikut membantu bekerja sebagai kuli gosok di sebuah laundry, hingga suatu hari wanita itu mengalami sebuah kecelakaan yang hampir membuat nyawanya melayang.Adrian panik, lalu menghilang selama dua hari. Saat kembali laki-laki itu membawa begitu banyak uang dan berkata Hanum tidak perlu bekerja lagi karena dia sudah mendapat pekerjaan dengan gaji besar. Sejak itulah Adrian berubah, jarang pulang dan sering melamun. Bukan tak menyadari perubahan suaminya. Setiap bertanya pria itu hanya tersenyum dan mengatakan semua baik-baik saja.*"Mas, apa kabar? Satu bulan ini kamu ngga pulang, semua baik-baik aja, kan?"Terlihat dua centang biru di pesan yang dikirim Hanum tiga hari yang lalu, tetapi tak satu pun balasan darinya. Wanita itu merasakan ngilu merayap perlahan dari jantung sampai seluruh ruas jarinya. Begitu tidak pentingkah dia, hingga laki-laki itu tak sempat membalas pesannya.Hanum merasa ironi. Cinta yang tertanam dalam untuk Adrian membuatnya rela mengabaikan prinsipnya. Percaya dengan sikap adil yang akan diberi laki-laki itu. Kenyataannya, Adrian lebih sering berada di sisi Amelia, bahkan hampir satu bulan laki-laki itu tidak menyentuhnya. Apa sekarang Adrian mulai jijik padanya. Perlahan bulir bening jatuh ke pipi tirus Hanum. Tubuhnya yang dulu berisi kini kurus kering. Wajahnya yang dulu bersinar cerah kini redup bak bulan mati.*"Kamu itu bebal ya, udah dibilang jangan ke kantorku masih saja ke sana. Bikin malu tau ngga?!" maki Adrian ketika Hanum nekat mendatangi kantor suaminya.Rindu yang menggununglah yang membuat wanita tersebut mendatangi Adrian. Membawakan bekal kesukaannya seperti ayam kecap, tumis kangkung, dan sambal terasi. Dia percaya Adrian akan sangat senang. Nyatanya, ĺaki-laki itu malah menyeretnya pulang, dan memakinya habis-habisan."Salah aku di mana, Mas? Satu bulan ini kamu mengabaikanku. Kamu yang berjanji akan adil, tapi ..." Hanum terisak, hatinya perih mengingat bekal yang dimasaknya dengan cinta dibuang ke tempat sampah.Adrian menyugar rambutnya. "Kamu harus ngerti posisi aku. Perusahaanku sedang berkembang, lagipula Amelia sedang hamil anak kedua, dia lebih butuh perhatian dibanding kamu," dengkusnya.Hanum tersenyum getir. Dengannya Adrian menolak memiliki anak. Dia selalu beralasan belum siap, tetapi dengan Amelia, wanita itu bahkan sedang mengandung."Perhatian? Apa kurang waktu yang kubagi padanya. Kamu lebih sering menghabiskan hari dengan Amelia. Lagipula di sana ada orang tuamu, sedangkan aku sebatang kara," lirihnya terbata."Aku suaminya, mengertilah Hanum,""Kau juga suamiku, Mas!" raung Hanum. "Aku juga istrimu ..." lirihnya lagi nyaris tak terdengar.Adrian mematung. Hatinya tercubit melihat Hanum menangis. Wanita itu terlihat rapuh dan sangat tertekan. Ingin rasanya memeluk tubuh kurus itu, tetapi tubuhnya seolah terpaku kuat ke bumi.Hanum adalah dunianya. Dia mampu mengorbankan apa pun untuk wanita itu, tetapi kehadiran Amelia sedikit demi sedikit mampu memalingkan hatinya. Amelia. Wanita yang dipilih orang tuanya sebagai menantu. Adrian tak bisa menolak syarat dari mereka ketika dia meminjam uang untuk biaya operasi Hanum ketika kecelakaan terjadi, meski berat dia menerima. Hidup miskin dan dipandang hina membuat Adrian menggadaikan cintanya."Kenapa Mas ...? Jika kau tak menginginkanku lagi mengapa tidak melepasku. Jangan tolak aku dengan sikapmu. Sakit ..." ucap Hanum diantara tangisnya."Aku sadar tidak sepadan denganmu, aku tahu Amelia memiliki segalanya. Tapi, kamulah yang meyakinkanku untuk bertahan. Apa yang harus kupertahankan jika kau sendiri tak peduli lagi," ratapnya, lagi.Adrian perlahan mendekat. Merengkuh tubuh Hanum yang bergetar karena tangis yang hebat. "Maaf, maaf ..." hanya itu yang mampu diucapkannya. Pria itu tahu Hanum terluka. Dialah laki-laki brengsek yang menorehkan luka itu. Namun, dia bisa apa. Adrian semakin mengetatkan pelukannya ketika Hanum meraung menumpahkan kesedihan di dadanya.*Hanum membuka perlahan kelopak matanya. Menatap nanar langit-langit kamar. Kemarin dia menangis hingga tertidur di pelukan Adrian. Laki-laki itu berjanji akan menemaninya hingga pagi, tapi saat malam Hanum mendengar ponsel Adrian berdering. Wanita itu tetap memejamkan matanya, memasang telinga ingin tahu siapa yang menelpon.Samar dia mendengar Adrian berbicara mesra. Hanum tahu pastilah telepon dari Amelia. Tak lama laki-laki itu masuk dan memeriksa keadaannya. Dia bergeming menutup matanya rapat. Mengira Hanum pulas, laki-laki itu mengecup keningnya, lalu bergegas pergi.Perlahan Hanum bangkit, lalu menyandarkan tubuhnya ke kepala ranjang. Dia termenung. Sadar bahwa Amelialah prioritas Adrian sekarang. Dia bahkan yakin tak ada lagi cinta untuknya selain rasa iba. Tiba-tiba dia merasa menjadi orang ketiga bagi keduanya. Tangannya menekan dada yang terasa nyeri. Ada yang patah di sana, jatuh berderak menjadi serpihan tak berharga. Menghantarkan perih ke seluruh aliran darah.Hanum ingin menangis sekadar mengurangi sesak di dada, tetapi air matanya seolah kering. Runtuh sudah benteng yang dibangunnya.Wanita itu tidak sanggup lagi. Apa lagi yang diharapkan dari sebuah bahtera jika sang Nakhoda saja enggan membawa berlayar. Tertatih wanita itu berdiri, mengambil sehelai kertas dan pena. Dia tidak ingin diam di rumah, menangis, dan meratapi nasib. Dia harus menyibukkan diri jika ingin tetap waras. Hanum akan membuktikan jika dia bukan wanita lemah yang hanya bisa menangis ketika terzalimi. Dia yakin mampu bertahan di atas kakinya sendiri.Bukankah cinta itu membahagiakan?Lalu mengapa hanya perih yang kurasa.--------------------Terik mentari membuat Hanum melindungi wajahnya dengan map yang berisi CV. dan copyan ijazahnya. Satu bulan sudah dia mencoba mencari pekerjaan. Bukan karena kesulitan financial. Adrian rutin mengirimkan sejumlah uang ke rekeningnya setiap bulan. Laki-laki itu tidak pernah bertanya apa yang dilakukannya. Setiap pulang Adrian selalu sibuk dengan laptop dan ponselnya. Hanum seperti pajangan yang hanya diam menunggui laki-laki itu bekerja. Semakin lama mereka semakin jauh. Setiap Hanum mencoba mendekat, Adrian selalu menghindar, seolah-olah membentangkan jarak tak kasat mata di antara mereka. Sakit ... tentu saja, tetapi dia bisa apa. Berkali Hanum mencoba bicara padanya. Namun, Adrian seakan menulikan telinga. Wanita itu ada, tetapi tak terlihat di mata laki-laki tersebut.*"Maaf, Mbak. Di sini yang ada cuma lowongan buat cleaning service.""Cleaning service?" Hanum membeo. Dia mengerutkan da
Kau datang diam-diam. Menyusup dan perlahan bertahta.Tapi sayang hatiku telah mati rasa.-----------------------"Pikirkan lagi. Sekali kau melangkah ke luar jangan harap bisa kembali.""Aku tidak tahu apa yang membuatku dulu jatuh cinta padamu, menyesal mencintaimu begitu dalam, tapi pergi dari hidupmu tidak akan pernah kusesali.".."Mulai bulan ini gajimu saya potong dua per tiga.""Dua per tiga? Memangnya kenapa, Buk?""Kamu ngga amnesia 'kan? Bulan lalu membuat kekacauan di pesta ultah perusahaan? Kamu pikir ganti gaunnya Nyonya Martha pakai duit siapa? Ya punya perusahaan. Jadi gaji kamu dipotong selama satu tahun."..Hanum termenung. Percakapan terakhirnya dengan Adrian menghancurkan semua rasa yang dia punya. Dia mati rasa. Begitu pun ancaman Buk Ratna terngiang di telinga. Dua per tiga dari gajinya sangat besar, apalagi selama setahun. Dia tidak bisa membayangkan bagaimana caranya bertahan sampai waktu setahun itu selesai. Hanum mendesah membayangkan hidupnya tidak akan m
'Bukan tak mengerti arti tatapanmu. Aku hanya berpura tidak tahu. Aku takut jatuh lagi ke dalam kubangan kecewa dan jurang sakit hati'-------------------------Hanum terus saja menunduk. Lantai granit lebih menarik perhatian daripada sosok gagah dan manis di depannya. Gerak tubuhnya gelisah, meski tak melihat dia bisa merasakan tubuhnya memanas karena tatapan intens keduanya."Mbaknya lucu, cantik juga," celutuk gadis kecil yang tadi dipeluk Hanum. "Pelukannya juga enak, hangat," imbuhnya.Hanum mengangkat kepalanya dan bersitatap dengan gadis itu yang sedang tersenyum manis padanya. Dia membalas senyuman itu dengan wajah merona malu.Alex mengulum senyum di bibirnya, senang dengan reaksi Neysa, putri kecilnya."Ney, suka Mbak Hanum?" tanyanya yang dibalas Neysa dengan anggukan."Baiklah, mulai hari ini Mbak Hanum kerja dan tinggal di sini. Ney, keluar sebentar, ya ... ada yang mau Papa omongin sama Mbaknya," ucap Alex.Neysa mengangguk, memeluk dan mengecup pipi Alex sekilas, lalu m
'Setelah kau hamburkan kepingan hatiku ke dalam tumpukan jerami dan membiarkan kutertatih memungutinya sendiri. Kini kau datang menadahkan tangan meminta kembali, maaf ... hatiku bukan batu.'------------------------------"Aku tahu ini terlalu cepat, tapi kurasa ... aku jatuh cinta padamu.""M-maksud Bapak?!""Aku ingin menjadi pelindungmu, sandaranmu. Hanum, jadilah milikku.""Maaf, saya tidak-""Jangan jawab sekarang, nanti kalau kau sudah siap."..Dari jendela kamar, Hanum menatap hujan menjatuhkan rintikannya ke bumi, terpukau melihat kabut yang membuat kaca jendelanya berembun. Lamunannya terberai ketika memori masa lalu menyapa benaknya. Hanum membenci hujan. Hujan mengingatkannya pada Adrian dan pengkhiatan. Perih itu masih terasa, luka itu masih berdarah. Rasa sakitnya seperti karang yang tetap bertahan meski tenggelam dihempas badai dan gelombang. Sekuat apa pun Hanum ingin menghapus, semakin kuat kenangan itu memeluk benaknya.Kadang terbersit tanya di hati. Pernahkah t
'Tatap mataku dan tanyakan hatimu. Apa ada cinta di sana?Karna diamku bukan segalanya.'---------------------Hanum mendongak ketika sehelai selimut dibentangkan menutupi tubuhnya. Tatapannya beradu dengan iris kelam Alex. Laki-laki itu mengukir senyum di wajah rupawannya yang menular kepada Hanum."Apa kau siap bercerita?" tanyanya duduk di sebelah Hanum menikmati udara malam dari balkon kamar wanita itu.Hanum terdiam. Tatapannya lurus ke depan seolah menimbang perlu tidaknya menyibak tirai masa lalu yang gelap. Semilir angin malam menerbangkan anak rambut yang keluar dari cepolannya, membuat Alex tidak tahan menyentuh surai hitam itu, dan menyelipkan ke belakang telinga Hanum.Dia beringsut lebih dekat, merengkuh bahu Hanum lebih rapat. "Aku tidak memaksa. Seburuk apa pun masa lalumu tidak akan mengubah perasaanku," ujarnya lembut, membuat haru menyelimuti dada Hanum.Hanum berdehem, melonggarkan tenggorakannya yang terasa mencekik. Butuh kekuatan lebih untuk menuturkan kisah hid
'Tak ada yang lebih sakit ketika mencinta dalam diam. Melihat dari kejauhan tanpa bisa mengungkapkan.'--------------------------Alex bangun dengan rasa sakit menyerang kepalanya. Meremas rambutnya sekadar menghilangkan pusing yang mendera. Aroma vanila membuat dahinya berkerut. Mengangkat kepala, lalu mengerang ketika menyadari ini bukan kamarnya.Dia mencoba mengumpulkan keping ingatan yang hilang semalam. Alicia ... wanita itu merengek ingin ditemani untuk mengenang masa lalu. Mereka menghabiskan malam di apartemen wanita itu, bercerita dan minum hingga mabuk. Alex refleks melihat tubuhnya sendiri, mengembuskan napas lega mendapati dia masih berpakaian lengkap. "Tidak terjadi apa-apa, meski aku mengharapkannya," suara Alicia membuat Alex mengangkat wajahnya. Wanita itu mendekat ke arahnya membawa nampan yang berisi secangkir kopi."Terima kasih," ucap Alex menerima cangkir yang disodorkan Alicia, lalu berdecak nikmat ketika cairan hitam itu membasahi kerongkongannya.Alicia men
'Aku mencintai senyum juga tangismu.Mencintai bahagia juga sedihmu, maka biarkan lukamu jadi sakitku.'------------------------Hanum merasakan tepukan lembut di pipinya. Perlahan membuka kelopak mata yang terasa berat. Samar siluet wajah Alex terlihat. Dia tersenyum. Wajah yang mengusik hatinya beberapa bulan ini, senyum yang meluruhkan semua sakitnya terlihat begitu dekat. Wanita itu merasa mimpinya sangat indah."Alex, tidak cukupkah kau mengusikku setiap hari hingga harus datang ke mimpiku?" ucap Hanum lirih, lalu kembali memejamkan matanya, tetapi beberapa detik kemudian melotot mendengar kata-kata Alex."Aku tidak keberatan bila bercinta denganmu sekarang kau anggap mimpi juga?"Hanum terlonjak, lalu meringis memegang keningnya yang beradu dengan Alex. "Ini bukan mimpi ...?" tanya Hanum dengan wajah bingung.Alex tersenyum simpul. Sakit di keningnya hilang melihat wajah polos Hanum."Tidak. Tidurmu nyenyak sekali. Aku tidak tega membangunkanmu jadi kugendong saja ke kamar."Ap
'Cinta itu dibangun di atas pondasi kepercayaan dan kejujuran.Bila nanti badai menerjang dia tetap kokoh tak tergoyahkan.'------------------------Alex tersenyum melihat foto yang dikirim Neysa ke ponselnya. Terlihat sosok Hanum mengenakan celemek dengan baju rumahan dan rambut dicepol asal sedang mengaduk sesuatu di atas kompor. Sepertinya Neysa mengambil foto itu diam-diam.Tangan Alex menelusuri wajah polos Hanum. Wanita itu semakin terlihat menarik dengan penampilan sesederhana itu.. Dia selalu tampak cantik mengenakan apa pun, apalagi ... Alex terkekeh menyadari betapa kotor pikirannya saat ini.'Dasar pria mesum,' umpatnya geli.Senyumnya memudar ketika melihat pintu terbuka menampilkan sosok Alicia masuk dengan senyum dibuat semanis mungkin membuat mood Alex turun drastis."Hei, Alex apa kabar?" tanya Alicia hendak memeluk Alex, tetapi urung karena laki-laki itu berdiri dan berjalan memutari meja kerjanya."Apa yang kau lakukan di sini?!" cetus Alex dingin.Alicia mendesah. "
"Aku benar-benar kecewa sama Alex. Pasti wanita itu yang menghasutnya." Nina masuk ke ruang kerja papanya sambil mengomel dan wajah kusut.Pak Burhan hanya diam, dia tetap melanjutkan pekerjaannya sambil menunggu putrinya itu melimpahkan amarah."Papa tahu, Alex mengusirku hanya karena wanita itu! Padahal dia tak punya kelebihan apa-apa dibanding aku. Aku bisa menyokong usahanya, aku mengerti bisnis, tapi dia lebih condong ke wanita itu.""Kamu selalu menyebut wanita itu wanita itu. Setidaknya kamu sebut namanya.""Papa tahu siapa yang aku maksud. Siapa lagi kalau bukan Hanum" balas Nina dengan nada keras."Papa rasa tidak ada yang salah dengan Alex. Kamu yang terlalu agresif dan memaksakan kehendakmu padanya. Kau tahu dengan jelas kalau laki-laki itu sangat mencintai Hanum dan kau seakan-akan meminta dia memilih, jelas Alex akan memilih istrinya.""Tapi dia janji mau nikahi aku, Pa!" Nina tak mau kalah. Sifat aslinya keluar. Wajah manis yang selama ini dia tampaknya berubah menjadi r
"Sialan!"Dengan raut kesal Nina melemparkan tasnya ke sembarang arah. Niat mendatangi rumah Hanum dan bersikap seolah-olah menguasai rumah itu untuk membuat mental si wanita jatuh, malah gagal total. Dia tidak memperhitungkan Neysa. Gadis remaja itu ternyata berpihak kepada Hanum. Tak mungkin dia lupa senyum puas di wajah Hamum melihat Alex membentaknya. Ternyata, wanita itu lebih pintar dari yang dia kira. Dia yakin Hanumlah yang menghasut Neysa untuk mengerjainya. Nina benar-benar dibuat seperti orang bodoh di depan lelaki pujaannya oleh kedua orang itu.'Dasar tidak tahu terima kasih! Sudah ditolong malah berniat mencelakakanku. Lihat saja, aku akan membalas perbuatanmu.' Nina mengumpat sambil mengepalkan kedua tangannya.Nina bukan tipe wanita yang tertarik dengan pernikahan. Dia lebih hubungan tanpa ikatan, gaya hidup yang dia jalani sejak remaja. Tinggal di Singapura serba bebas adalah surga baginya. Alex adalah teman lamanya dan mendiang suaminya. Sejak dulu dia menyukai l
Pagi itu, ketika Hanum bersiap ke rumah sakit untuk melakukan pemeriksaan bekas jahitan dan juga perkembangan bayinya, mobil milik Nina memasuki pekarangan rumahnya.. Wanita itu datang ke rumah Hanum sambil membawa beberapa kantong plastik berisi berbagai bahan makanan. Begitu melihat Hanum, Nina tersenyum ramah sambil melambaikan tangannya."Pagi, Num, aku mau bantu urus anak-anak dan memasak untuk keluarga," ucap Nina sembari memperlihatkan barang bawaannya, seolah-olah dia masuk ke rumah sendiri.Dahi Hanum berkerut saat mendengar ucapan Nina. Dia mengulas senyum untuk menyembunyikan amarahnya. "Makasih, Nin, kamu enggak perlu repot-repot," balasnya berusaha tetap ramah. Hanum tidak ingin paginya dirusak oleh Nina.Melihat sikap Hanum yang melunak, Nina merasa di atas angin. Dia tersenyum. "Ah, enggak apa-apa kok. Aku ingin membantu. Lagipula, aku ingin belajar memasak masakan rumahan yang enak seperti yang sering kamu buat," ujarnya lalu masuk begitu saja tanpa permisi, seakan
Setelah Hanum melahirkan. Alex menghabiskan waktu di rumah sakit untuk menemani bayi mereka yang sedang berjuang untuk hidup. Dia juga terus mendampingi sang istri, memberikan dukungan dan kasih sayang yang dibutuhkan wanita itu, walaupun sikap Hanum masih saja dingin, meskipun begitu dia tidak menyerah untuk mengambil hati sang istri. Sementara Hanum terus berusaha menggerakkan tubuhnya agar segera pulih. Dia tak ingin berlama-lama di rumah sakit. Beruntung, bayi mereka baik-baik saja sehingga bisa tidur kembali dengan Hanum."Num, apa kau butuh sesuatu?" Alex mencoba mencairkan suasa yang membeku."Aku enggak butuh apa-apa. Makasih."Alex menghela napas. Meski singkat setidaknya Hanum sudah mulai bicara padanya.Pada saat yang bersamaan, Nina yang merasa terabaikan oleh Alex, mencoba mencari cara agar bisa mendapatkan perhatian lelaki itu kembali. Setelah berpikir matang, dia memutuskan untuk mengunjungi rumah sakit dan membawa beberapa perlengkapan bayi sebagai hadiah untuk Hanum
Alex menginjak gas agar mobilnya semakin melaju ke rumah sakit. Di dalam hati rasa cemas mencengkeram jantungnya, doa-doa keselamatan tak berhenti dia gumamkan untuk sang istrinya, satu-satunya wanita yang dia cintai. Alex tidak bisa membayangkan hidupnya seperti apa jika sesuatu menimpa wanita yang dicintainya. Penyesalan bertalu talu menggedor ke dalam dada lelaki itu, andai Neysa tidak meneleponnya tadi, mungkin dia sudah larut ke dalam pesona Nina. Wanita itu tahu bagaimana menarik perhatiannya.'Sial! Bisa-bisanya aku terlena hanya karena masakan saja. Bagaimana perasaan Hanum kalau dia tahu aku selemah itu? Padahal hasil masakan istriku jauh lebih enak.'Alex memukul setir mobil saking kesal pada dirinya sambil mengumpat. Harusnya dia lebih memperhatikan kondisi Hanum yang sedang hamil, bukannya sibuk mencari cara bagaimana menjaga hati kedua wanita tersebut. Toh, Hanum lebih berhak atasnya secara hukum agama dan negara, sementara dengan Nina dan dia hanya terikat janji saja. Al
Alex merasakan benar ada yang berubah dalam diri Hanum sejak dua bulan terakhir. Tepatnya setelah Nina datang ke rumah. Istrinya itu tidak lagi banyak bicara, cenderung tertutup, dan menarik diri darinya. Meski Hanum tidak pernah melalaikan kewajibannya sebagai seorang istri. Dia tetap melayani kebutuhan Alex dengan khidmat dan baik, tetapi sikap si wanita yang lebih banyak diam menyiksa hati Alex. Rumahnya yang dulu riuh karena gelak tawa dan canda, kini mendadak sepi dan kehilangan cahaya juga gairahnya. Hanum hanya akan tersenyum ketika mereka berkumpul dengan anak-anak, tetapi ketika hanya berdua saja di dalam kamar sikapnya sedingin es. Wanita itu tidak pernah lagi mempertanyakan bagaimana kelanjutan hubungannya dengan Nina, Juga tak ada pertanyaan mengapa kini selalu pulang larut malam. Begitupun Neysa dan si kembar, anak-anaknya itu seakan tahu kalau hubungan kedua orang tuanya tidak sedang baik-baik saja. Meski diam dan terlihat tenang, Alex tahu semua itu hanya untuk menut
Suasana di dalam mobil yang dikemudikan oleh Alex terasa sangat sepi, hanya terdengar suara dari pemutar musik yang membuat suasana tidak terasa seperti di areal pemakaman. Hanum masih setia dengan diamnya. Dia enggan bicara setelah mendengarkan fakta menyakitkan yang keluar dari bibir Pak Burhan. Dia masih tidak percaya kalau selama ini Alex menyimpan kebohongan yang sangat besar di belakangnya. Mengapa laki-laki itu tidak jujur sejak awal? Mengapa dia tak dibiarkan memilih melanjutkan rencana pernikahan atau tidak sehingga tidak perlu menjadi orang kedua di dalam hubungan antara Nina dan lelaki itu.Sekarang dia tidak tahu apa yang harus dilakukan. Di satu sisi dia merasa berhak pada Alex, tetapi di sisi lain Nina juga tidak bersalah. Wajar wanita itu kesal padanya karena mengira dia telah merebut Alex. Kini, untuk mundur pun tak mungkin, sebab ada anak-anak yang akan menjadi korban dari sebuah perceraian. Akan tetapi, dia juga tak mungkin sanggup berbagi raga dan hati. Terpisah j
Hanum menatap rumah modern bergaya victoria di depannya. Bangunan megah berlantai dua dengan banyak ruangan di dalamnya. Dari luar saja orang yang bertamu tahu kalau si empunya rumah memiliki selera tinggi. Belum lagi furniture mewah dan klasik yang menghiasi setiap sudut rumah membuat yang datang akan betah berlama-lama di sana."Ayo turun." Hanum membuka pintu mobil lalu keluar dari mobil diikuti oleh Neysa dan Aruna yang sejak tadi tak berhenti mebgoceh, sementara Arjun tak jadi ikut, sebab sudah tertidur di depan televisi sembari menunggunya bersiap-siap. Neysa berjalan di samping Hanum yang membimbing Aruna. Gadis itu hanya diam seolah-olah tahu awan mendung yang sedang bergelayut di hati sang bunda. Neysa, dia sering melirik ibu sambungnya itu. Wajah datar Hanum membuatnya sedih. Sudah lama dia tidak melihat raut seperti itu dan berharap tidak akan pernah. Terakhir ketika si wanita meninggalkan rumahnya sekitar empat atau lima tahun yang lalu. Tak lama kemudian dia dan papanya
Seluruh tulang di tubuh Hanum seolah-olah dilolosi setelah membaca tulisan di kuitansi tadi. Berkali-kali dia menghela napas untuk menenangkan badai yang tiba-tiba saja berkecamuk di dalam dada. Sekeras apa pun dia berprasangka baik kepada Alex, bukti-bukti terus berdatangan menggoyahkan hatinya. Haruskah dia menanyakan masalah kuitansi pembelian kepada lelaki tersebut? Bagaimana kalau Alex tersinggung dan menghadirkan masalah yang tidak perlu di rumah tangga mereka? Hanum memejamkan mata sembari menekan dadanya yang nyeri, dia berharap air matanya keluar membawa perih yang menusuk tanpa iba, tetapi saking sakitnya tak setetes pun cairan bening itu tumpah.'Buket bunga itu dibelikan oleh sekretarisku. Aku bahkan tidak ingat kalau Nina ulang tahun.'Kata-kata Alex terngiang di benak Hanum. Entah mengapa sekarang dia meragukan perkataan suaminya itu. Tak ingin kepalanya dipenuhi prasangka, dia merogoh ponsel yang ada di dalam saku bajunya. Dia menatap layar benda itu yang masih menghit