Bukankah cinta itu membahagiakan?
Lalu mengapa hanya perih yang kurasa.--------------------Terik mentari membuat Hanum melindungi wajahnya dengan map yang berisi CV. dan copyan ijazahnya. Satu bulan sudah dia mencoba mencari pekerjaan. Bukan karena kesulitan financial. Adrian rutin mengirimkan sejumlah uang ke rekeningnya setiap bulan. Laki-laki itu tidak pernah bertanya apa yang dilakukannya. Setiap pulang Adrian selalu sibuk dengan laptop dan ponselnya. Hanum seperti pajangan yang hanya diam menunggui laki-laki itu bekerja.Semakin lama mereka semakin jauh. Setiap Hanum mencoba mendekat, Adrian selalu menghindar, seolah-olah membentangkan jarak tak kasat mata di antara mereka. Sakit ... tentu saja, tetapi dia bisa apa.Berkali Hanum mencoba bicara padanya. Namun, Adrian seakan menulikan telinga. Wanita itu ada, tetapi tak terlihat di mata laki-laki tersebut.*"Maaf, Mbak. Di sini yang ada cuma lowongan buat cleaning service.""Cleaning service?" Hanum membeo. Dia mengerutkan dahinya sejenak. "Nggak, papa deh, Pak. Saya mau," ujarnya."Ya udah. Saya antar ke HRD biar Mbak diwawacarai dulu."Hanum mengangguk, lalu mengikuti langkah sang Security ke dalam kantor HRD. Mungkin perusahaan itu memang membutuhkan tenaganya, tanpa halangan Hanum diterima dan langsung bisa bekerja. Memang tak sesuai dengan jenjang pendidikannya, tetapi cukup untuk menyibukkan diri.*Pagi-pagi sekali Hanum sudah bangun. Menatap ranjang di sebelahnya yang selalu rapi. Dua minggu, Adrian kembali mengabaikannya. Entah rumah tangga seperti apa yang dijalaninya sekarang. Sebagai seorang istri tentu dia rindu sentuhan suaminya. Sudah lama kehangatan itu tidak dirasakannya lagi. Pernah Hanum menekan harga diri begitu rendah, meminta terlebih dahulu haknya, tetapi sakit kembali menghujamnya ketika merasakan Adrian hanya menyentuh saja tanpa cinta.Hanum kaku, air matanya lolos tanpa lelaki itu tahu. Dia merasa Adrian menyentuhnya, tetapi membayangkan wanita lain. Begitu tidak berharganya dirinya. Sejak itu hatinya membeku. Cinta untuk laki-laki itu perlahan memudar. Bukan inginnya, tetapi sikap Adrian sendiri..."Malam ini aku nggak bisa nginap. Kamu nggak pa-pa sendiri?" tanya Adrian di ujung telpon.Hanum tersenyum kecut. "Iya, Mas. Aku nggak papa," jawabnya sendu. Tentu saja, wanita itu sudah terlatih menghabiskan malam sendiri. Akan terasa aneh jika dia merajuk. Lagipula percuma, Adrian tidak akan peka atau suka rela datang menemaninya."Ya sudah. Kamu jaga diri," pesan Adrian, lalu memutus sambungan telepon tanpa menunggu jawaban Hanum.Hanum hanya menatap ponselnya nanar. Cepat dia mengerjapkan mata hendak mengusir air mata yang mulai tergenang di kelopak mata. Kadang dia bertanya, menapa Adrian mempertahankannya? Jika alasannya cinta, Hanum tidak melihat binar itu lagi. Mereka seperti dua orang asing. Terikat tapi tak dianggap. Sering terlintas untuk pergi. Namun, Hanum tak tahu apa dia sanggup hidup tanpa Adrian. Dia hanya menyerahkan pada jalan takdir ke mana rumah tangga mereka akan bermuara.*"Hanum, kamu jangan pulang dulu. Malam ini ulang tahun perusahaan kita. Kamu sama yang lain ikut bantu, ya ...jangan sampai tamu kita kecewa," pinta Ratna kepala HRD.Hanum mengangguk, lagipula itu lebih baik dari pada hanya diam di rumah. Pukul tujuh malam Hanum dan kelima rekannya telah siap bertugas. Setelah diberi pengarahan oleh kepala HRD, mereka diantar ke tempat diadakannya acara. Pesta ulang tahun perusahaan tempatnya bekerja diselenggarakan di ballroom hotel ternama.Mengenakan seragam putih-hitam, Hanum dan rekan-rekannya sigap melayani para tamu. Dia takjub, baru pertama kali dia melihat pesta semewah ini. Ruangan dihias dengan aneka bunga warna-warni. Para tamu berlomba mengenakan pakaian terbaik. Mereka terlihat tampan dan cantik.Senyum Hanum memudar ketika matanya melihat sepasang laki-laki dan wanita tengah berbincang dengan tamu lain. Tangan sang lelaki terlihat erat menggamit pinggang wanitanya. Kadang mereka saling memandang mesra. Sesekali dia mengecup pelipis wanita itu.Pandangan Hanum berkabut, beberapa tetes air mata jatuh di pipinya. Tubuh wanita itu gemetar. Di sana, Adrian terlihat begitu bahagia bersama Amelia. Kedua sangat serasi. Tak sedikit pun resah di raut laki-laki itu memikirkannya. Hanum menekan dada yang terasa sesak. Tak ingin menarik perhatian dia menjauh dengan langkah gontai.Prang!Terdengar bunyi benda pecah. Hanum pias melihat baju wanita yang tak sengaja ditabraknya basah karena terlalu menunduk saat berjalan. Dia bermaksud membersihkan dengan serbet yang digenggamnya, tetapi wanita itu menepis kasar tangannya."Kamu jalan nggak pakai mata?! Lihat baju saya basah semua," bentaknya sambil mengibaskan gaunnya yang basah."M-aaf. Saya nggak sengaja," ucap Hanum gugup.''Wanita itu melotot. "Maaf! Kamu pikir gaji kamu setahun bisa ganti baju saya?!" umpatnya mengundang tamu lain mendekat ingin tahu.Hanum tercekat ketika pandangannya bertemu dengan Adrian dan Amelia. Kedua terkejut, apalagi Adrian. Rahangnya mengeras melihat seragam yang dipakai Hanum, tetapi laki-laki itu hanya diam melihat Hanum dipermalukan."Kamu tuli, ya! Ayo ganti!" bentak wanita itu menarik kesadaran Hanum."Maaf, Buk Martha. Maafkan karyawan saya. Nanti biar kami yang mengurusnya." Ratna, kepala HRD datang menengahi hingga wanita itu terlihat tenang. Dia memberi isyarat agar Hanum segera menyingkir.Hanum setengah berlari menuju taman belakang tempat dilangsungkannya pesta. Memilih duduk di tempat yang gelap. Kedua tangannya membekap mulut kuat, menahan agar tangisnya tak terdengar orang-orang yang mungkin lewat. Apa yang lebih sakit, dihina di depan orang banyak, bahkan laki-laki yang berstatus suaminya pun mendengar.Namun, Adrian seakan tak punya hati. Dia hanya diam melihat dirinya dicaci dan dimaki, meski Hanum menatapnya, memohon belas kasih laki-laki itu, nyatanya dia memilih semakin merengkuh erat Amelia. Seakan menyadarkan Hanum kalau dia bukan siapa-siapa.Lelah menangis, Hanum terdiam. Ia lelah. Bukan hanya raga, tetapi hatinya juga. Ingin rasanya menyerah pada kewarasannya. Adrian telah menghancurkannya seburuk itu. Dia tak punya harga diri dan tujuan hidup lagi. Berharap Tuhan mencabut nyawanya detik ini juga.*Baru saja Hanum keluar dari kamar mandi, gedoran pintu terdengar dari luar. Tanpa perlu melihat, dia tahu siapa yang datang. Suara itu semakin keras pertanda si pelaku dilanda amarah. Nyali Hanum menciut, meski Adrian bukan laki-laki ringan tangan, tetapi jika dia marah akan terlihat mengerikan.Hanum melangkah perlahan dengan kaki gemetar menuju ruang tamu, menghela napas, dan mengembuskannya sejenak sebelum membuka pintu. Hanum pasrah, apa pun yang terjadi malam ini, terjadilah. Dia sungguh sudah lelah dengan drama rumah tangganya.Belum sepenuhnya daun pintu terbuka, Adrian menerobos masuk, nyaris saja Hanum terjengkang jika tak ada sofa yang menahan pinggangnya. Adrian menyorot wanita yang dicintainya itu tajam, seolah tatapannya itu bisa menghancurkan Hanum."Maksud kamu apa kerja jadi cleaning service?! Apa uang yang kuberi kurang? Kalau iya minta lagi!" maki Adrian dengan mata nyalang menatap Hanum yang menunduk."Jawab! Kamu nggak bisu, kan?" imbuh Adrian tak sabar. "Kamu mau bikin malu aku?!"Hanum mengangkat wajahnya. "Mas malu? Apa orang-orang di sana mengenaliku sebagai istrimu?! Nggak, kan? Kamu bahkan nggak sedikit pun membela aku. Kamu biarkan aku dihina dan direndahkan," lirihnya.Hanum mulai terisak. "Apa aku nggak berarti sama sekali buat kamu? Bahkan setitik simpati pun tak ada untukku. Kenapa kamu minta aku bertahan kalau hanya untuk disakiti. Salah aku apa, Mas?!" raungnya lagi.Adrian terdiam. Hati kecilnya tahu kalau dia bersalah. Dia tidak suka melihat Hanum dihina, dia marah ketika wanita itu direndahkan, tetapi Adrian tidak bisa berbuat apa-apa. Terlalu banyak relasi bisnisnya di sana membuat laki-laki itu sekuat hati menahan diri. Egonya berkata Hanumlah yang bersalah. Harusnya dia tidak perlu bekerja. Mestinya wanita itu tetap jadi istri penurut hingga dia tidak perlu sekeras ini."Besok kamu berhenti saja," titah Adrian dingin."Nggak, aku bisa gila di rumah terus. Aku butuh kesibukan, Mas. Aku bukan boneka yang bisa kamu perlakukan sesuka hati. Kamu mainkan bila suka, bosan dibuang begitu saja," tolak Hanum tegas.Adrian meradang. "Jangan keras kepala! Kamu mau jadi istri durhaka?" geramnya."Durhaka?" Hanum tersenyum sinis. "Lalu ungkapan apa yang pantas kusemat padamu? Suami yang mengabaikan istrinya, seorang pendusta dan tidak bisa menepati janji!" seru Hanum.Adrian mendelik mendengar kalimat tajam dari wanita lembut itu. Tanpa sadar ia mengangkat tangannya, tetapi air mata Hanum segera menyadarkannya."Kenapa? Kau ingin memukulku, 'kan? Lakukan jika itu bisa memuaskan hatimu. Kalau perlu kau bunuh saja aku, itu lebih baik daripada kau menyiksaku seperti ini," lirih Hanum, tubuhnya luruh ke atas sofa.Adrian meremas rambutnya. Otaknya buntu, tangis Hanum menyakiti hatinya, tapi ego masih saja bertahta.'"Patuhi semua ucapanku. Semua kata yang keluar dari mulut suamimu adalah titah, tak peduli kau suka atau tidak!" Ujar Adrian tanpa perasaan.Hanum bergeming. Wanita itu diambang batas kesabarannya. Baru enam bulan Adrian berjanji untuk adil, tetapi rumah tangga mereka seperti neraka. Tidak ada lagi gelak tawa, sapa manja dan kehangatan.Hampa.Hanum sudah berjuang sekuat tenaga. Merelakan hatinya tersayat. Menambal luka seorang diri, dihina, dan diabaikan. Dia lelah ... inilah akhirnya. Hanum tahu diri jika dia tak diinginkan lagi.Hanum berdiri menantang mata Adrian. Mata yang dulu memandang lelaki itu penuh cinta kini menyorot tajam menikam hati. "Ceraikan aku, Mas," ucap Hanum tegas.Adrian membelalak. "Apa?! Cerai? Kamu yakin?!" tanyanya sinis, kemudian terdiam melihat tidak ada ragu di sorot mata wanita itu.Adrian mengusap wajahnya kasar. Dia tidak mengira Hanum kembali meminta berpisah dan kali ini wanita itu tidak main-main.Dia berjalan mondar-mandir di depan Hanum."Apa yang kamu tunggu? Bukankah aku hanya beban. Aku adalah benalu di keluarga terhormat kalian!" ucap Hanum sarkas. "Lepaskan ... maka kau tidak perlu merasa takut dipermalukan olehku," imbuhnya dingin, membuat Adrian membeku.Laki-laki itu gusar. Dia mencintai Hanum. Adrian tidak bisa membayangkan wanita itu dimiliki laki-laki lain, tetapi dia menantangnya, jika Adrian bersikukuh tidak menceraikan Hanum, dia takut wanita bermata teduh itu besar kepala dan akan semakin memberontak."Baiklah jika itu maumu. Kau kutalak! Keluar dari rumah ini dan jangan coba membawa apa pun pemberianku. Kita lihat bagaimana kau akan bertahan di luar sana tanpa sokonganku. Tapi ... jangan harap kau bisa mendapat surat cerai. Bawa satu milyar ke hadapanku jika kau ingin bebas," ucapnya dengan senyum licik terpeta di wajahnya.Hanum terperangah. "Kau kejam, Mas!" lirihnya dengan mata berkaca-kaca.Adrian menggeleng. "Tidak. Ini cinta ... kau kulepas, tapi terikat padaku selamanya. Kembalilah jika kau menyerah."Dan kaca-kaca itu jatuh berderai di pipi tirus Hanum.TbcKau datang diam-diam. Menyusup dan perlahan bertahta.Tapi sayang hatiku telah mati rasa.-----------------------"Pikirkan lagi. Sekali kau melangkah ke luar jangan harap bisa kembali.""Aku tidak tahu apa yang membuatku dulu jatuh cinta padamu, menyesal mencintaimu begitu dalam, tapi pergi dari hidupmu tidak akan pernah kusesali.".."Mulai bulan ini gajimu saya potong dua per tiga.""Dua per tiga? Memangnya kenapa, Buk?""Kamu ngga amnesia 'kan? Bulan lalu membuat kekacauan di pesta ultah perusahaan? Kamu pikir ganti gaunnya Nyonya Martha pakai duit siapa? Ya punya perusahaan. Jadi gaji kamu dipotong selama satu tahun."..Hanum termenung. Percakapan terakhirnya dengan Adrian menghancurkan semua rasa yang dia punya. Dia mati rasa. Begitu pun ancaman Buk Ratna terngiang di telinga. Dua per tiga dari gajinya sangat besar, apalagi selama setahun. Dia tidak bisa membayangkan bagaimana caranya bertahan sampai waktu setahun itu selesai. Hanum mendesah membayangkan hidupnya tidak akan m
'Bukan tak mengerti arti tatapanmu. Aku hanya berpura tidak tahu. Aku takut jatuh lagi ke dalam kubangan kecewa dan jurang sakit hati'-------------------------Hanum terus saja menunduk. Lantai granit lebih menarik perhatian daripada sosok gagah dan manis di depannya. Gerak tubuhnya gelisah, meski tak melihat dia bisa merasakan tubuhnya memanas karena tatapan intens keduanya."Mbaknya lucu, cantik juga," celutuk gadis kecil yang tadi dipeluk Hanum. "Pelukannya juga enak, hangat," imbuhnya.Hanum mengangkat kepalanya dan bersitatap dengan gadis itu yang sedang tersenyum manis padanya. Dia membalas senyuman itu dengan wajah merona malu.Alex mengulum senyum di bibirnya, senang dengan reaksi Neysa, putri kecilnya."Ney, suka Mbak Hanum?" tanyanya yang dibalas Neysa dengan anggukan."Baiklah, mulai hari ini Mbak Hanum kerja dan tinggal di sini. Ney, keluar sebentar, ya ... ada yang mau Papa omongin sama Mbaknya," ucap Alex.Neysa mengangguk, memeluk dan mengecup pipi Alex sekilas, lalu m
'Setelah kau hamburkan kepingan hatiku ke dalam tumpukan jerami dan membiarkan kutertatih memungutinya sendiri. Kini kau datang menadahkan tangan meminta kembali, maaf ... hatiku bukan batu.'------------------------------"Aku tahu ini terlalu cepat, tapi kurasa ... aku jatuh cinta padamu.""M-maksud Bapak?!""Aku ingin menjadi pelindungmu, sandaranmu. Hanum, jadilah milikku.""Maaf, saya tidak-""Jangan jawab sekarang, nanti kalau kau sudah siap."..Dari jendela kamar, Hanum menatap hujan menjatuhkan rintikannya ke bumi, terpukau melihat kabut yang membuat kaca jendelanya berembun. Lamunannya terberai ketika memori masa lalu menyapa benaknya. Hanum membenci hujan. Hujan mengingatkannya pada Adrian dan pengkhiatan. Perih itu masih terasa, luka itu masih berdarah. Rasa sakitnya seperti karang yang tetap bertahan meski tenggelam dihempas badai dan gelombang. Sekuat apa pun Hanum ingin menghapus, semakin kuat kenangan itu memeluk benaknya.Kadang terbersit tanya di hati. Pernahkah t
'Tatap mataku dan tanyakan hatimu. Apa ada cinta di sana?Karna diamku bukan segalanya.'---------------------Hanum mendongak ketika sehelai selimut dibentangkan menutupi tubuhnya. Tatapannya beradu dengan iris kelam Alex. Laki-laki itu mengukir senyum di wajah rupawannya yang menular kepada Hanum."Apa kau siap bercerita?" tanyanya duduk di sebelah Hanum menikmati udara malam dari balkon kamar wanita itu.Hanum terdiam. Tatapannya lurus ke depan seolah menimbang perlu tidaknya menyibak tirai masa lalu yang gelap. Semilir angin malam menerbangkan anak rambut yang keluar dari cepolannya, membuat Alex tidak tahan menyentuh surai hitam itu, dan menyelipkan ke belakang telinga Hanum.Dia beringsut lebih dekat, merengkuh bahu Hanum lebih rapat. "Aku tidak memaksa. Seburuk apa pun masa lalumu tidak akan mengubah perasaanku," ujarnya lembut, membuat haru menyelimuti dada Hanum.Hanum berdehem, melonggarkan tenggorakannya yang terasa mencekik. Butuh kekuatan lebih untuk menuturkan kisah hid
'Tak ada yang lebih sakit ketika mencinta dalam diam. Melihat dari kejauhan tanpa bisa mengungkapkan.'--------------------------Alex bangun dengan rasa sakit menyerang kepalanya. Meremas rambutnya sekadar menghilangkan pusing yang mendera. Aroma vanila membuat dahinya berkerut. Mengangkat kepala, lalu mengerang ketika menyadari ini bukan kamarnya.Dia mencoba mengumpulkan keping ingatan yang hilang semalam. Alicia ... wanita itu merengek ingin ditemani untuk mengenang masa lalu. Mereka menghabiskan malam di apartemen wanita itu, bercerita dan minum hingga mabuk. Alex refleks melihat tubuhnya sendiri, mengembuskan napas lega mendapati dia masih berpakaian lengkap. "Tidak terjadi apa-apa, meski aku mengharapkannya," suara Alicia membuat Alex mengangkat wajahnya. Wanita itu mendekat ke arahnya membawa nampan yang berisi secangkir kopi."Terima kasih," ucap Alex menerima cangkir yang disodorkan Alicia, lalu berdecak nikmat ketika cairan hitam itu membasahi kerongkongannya.Alicia men
'Aku mencintai senyum juga tangismu.Mencintai bahagia juga sedihmu, maka biarkan lukamu jadi sakitku.'------------------------Hanum merasakan tepukan lembut di pipinya. Perlahan membuka kelopak mata yang terasa berat. Samar siluet wajah Alex terlihat. Dia tersenyum. Wajah yang mengusik hatinya beberapa bulan ini, senyum yang meluruhkan semua sakitnya terlihat begitu dekat. Wanita itu merasa mimpinya sangat indah."Alex, tidak cukupkah kau mengusikku setiap hari hingga harus datang ke mimpiku?" ucap Hanum lirih, lalu kembali memejamkan matanya, tetapi beberapa detik kemudian melotot mendengar kata-kata Alex."Aku tidak keberatan bila bercinta denganmu sekarang kau anggap mimpi juga?"Hanum terlonjak, lalu meringis memegang keningnya yang beradu dengan Alex. "Ini bukan mimpi ...?" tanya Hanum dengan wajah bingung.Alex tersenyum simpul. Sakit di keningnya hilang melihat wajah polos Hanum."Tidak. Tidurmu nyenyak sekali. Aku tidak tega membangunkanmu jadi kugendong saja ke kamar."Ap
'Cinta itu dibangun di atas pondasi kepercayaan dan kejujuran.Bila nanti badai menerjang dia tetap kokoh tak tergoyahkan.'------------------------Alex tersenyum melihat foto yang dikirim Neysa ke ponselnya. Terlihat sosok Hanum mengenakan celemek dengan baju rumahan dan rambut dicepol asal sedang mengaduk sesuatu di atas kompor. Sepertinya Neysa mengambil foto itu diam-diam.Tangan Alex menelusuri wajah polos Hanum. Wanita itu semakin terlihat menarik dengan penampilan sesederhana itu.. Dia selalu tampak cantik mengenakan apa pun, apalagi ... Alex terkekeh menyadari betapa kotor pikirannya saat ini.'Dasar pria mesum,' umpatnya geli.Senyumnya memudar ketika melihat pintu terbuka menampilkan sosok Alicia masuk dengan senyum dibuat semanis mungkin membuat mood Alex turun drastis."Hei, Alex apa kabar?" tanya Alicia hendak memeluk Alex, tetapi urung karena laki-laki itu berdiri dan berjalan memutari meja kerjanya."Apa yang kau lakukan di sini?!" cetus Alex dingin.Alicia mendesah. "
'Dulu kau abai dan menghinakanku. Menutup mata atas semua luka dan perihku. Menampik keberadaanku. Lalu mengapa kini kau datang menyatakan aku milikmu. Maaf, kau telah lama mati untukku.---------------------------Mata Hanum terpaku pada ruangan di depannya. Tak dipedulikan bajunya yang dipenuhi bekas darah Amelia. Tubuhnya bergetar, wajahnya basah oleh air mata. Bayang tubuh Amelia yang tergeletak di jalan kembali menghantuinya. "Aku sudah menghubungi keluarganya. Sebentar lagi mereka datang," ucap Alex, memeluk tubuh Hanum yang gemetar, membawanya duduk di kursi yang ada di depan ruang operasi."Aku yang salah ... dia hanya ingin bicara. Harusnya aku berhenti. Aku ..."Alex mengetatkan pelukannya, mengecup lama pucuk kepala Hanum. "Sstt, ini bukan salahmu. Ini musibah," ucapnya menenangkan.Hanum menggeleng, dia mulai menangis. "Alex, bagaimana jika-""Sudah, tenangkan dirimu. Dia pasti baik-baik saja," Alex mengusap lembut punggung Hanum. Memberi ketenangan semampunya karena wani
"Aku benar-benar kecewa sama Alex. Pasti wanita itu yang menghasutnya." Nina masuk ke ruang kerja papanya sambil mengomel dan wajah kusut.Pak Burhan hanya diam, dia tetap melanjutkan pekerjaannya sambil menunggu putrinya itu melimpahkan amarah."Papa tahu, Alex mengusirku hanya karena wanita itu! Padahal dia tak punya kelebihan apa-apa dibanding aku. Aku bisa menyokong usahanya, aku mengerti bisnis, tapi dia lebih condong ke wanita itu.""Kamu selalu menyebut wanita itu wanita itu. Setidaknya kamu sebut namanya.""Papa tahu siapa yang aku maksud. Siapa lagi kalau bukan Hanum" balas Nina dengan nada keras."Papa rasa tidak ada yang salah dengan Alex. Kamu yang terlalu agresif dan memaksakan kehendakmu padanya. Kau tahu dengan jelas kalau laki-laki itu sangat mencintai Hanum dan kau seakan-akan meminta dia memilih, jelas Alex akan memilih istrinya.""Tapi dia janji mau nikahi aku, Pa!" Nina tak mau kalah. Sifat aslinya keluar. Wajah manis yang selama ini dia tampaknya berubah menjadi r
"Sialan!"Dengan raut kesal Nina melemparkan tasnya ke sembarang arah. Niat mendatangi rumah Hanum dan bersikap seolah-olah menguasai rumah itu untuk membuat mental si wanita jatuh, malah gagal total. Dia tidak memperhitungkan Neysa. Gadis remaja itu ternyata berpihak kepada Hanum. Tak mungkin dia lupa senyum puas di wajah Hamum melihat Alex membentaknya. Ternyata, wanita itu lebih pintar dari yang dia kira. Dia yakin Hanumlah yang menghasut Neysa untuk mengerjainya. Nina benar-benar dibuat seperti orang bodoh di depan lelaki pujaannya oleh kedua orang itu.'Dasar tidak tahu terima kasih! Sudah ditolong malah berniat mencelakakanku. Lihat saja, aku akan membalas perbuatanmu.' Nina mengumpat sambil mengepalkan kedua tangannya.Nina bukan tipe wanita yang tertarik dengan pernikahan. Dia lebih hubungan tanpa ikatan, gaya hidup yang dia jalani sejak remaja. Tinggal di Singapura serba bebas adalah surga baginya. Alex adalah teman lamanya dan mendiang suaminya. Sejak dulu dia menyukai l
Pagi itu, ketika Hanum bersiap ke rumah sakit untuk melakukan pemeriksaan bekas jahitan dan juga perkembangan bayinya, mobil milik Nina memasuki pekarangan rumahnya.. Wanita itu datang ke rumah Hanum sambil membawa beberapa kantong plastik berisi berbagai bahan makanan. Begitu melihat Hanum, Nina tersenyum ramah sambil melambaikan tangannya."Pagi, Num, aku mau bantu urus anak-anak dan memasak untuk keluarga," ucap Nina sembari memperlihatkan barang bawaannya, seolah-olah dia masuk ke rumah sendiri.Dahi Hanum berkerut saat mendengar ucapan Nina. Dia mengulas senyum untuk menyembunyikan amarahnya. "Makasih, Nin, kamu enggak perlu repot-repot," balasnya berusaha tetap ramah. Hanum tidak ingin paginya dirusak oleh Nina.Melihat sikap Hanum yang melunak, Nina merasa di atas angin. Dia tersenyum. "Ah, enggak apa-apa kok. Aku ingin membantu. Lagipula, aku ingin belajar memasak masakan rumahan yang enak seperti yang sering kamu buat," ujarnya lalu masuk begitu saja tanpa permisi, seakan
Setelah Hanum melahirkan. Alex menghabiskan waktu di rumah sakit untuk menemani bayi mereka yang sedang berjuang untuk hidup. Dia juga terus mendampingi sang istri, memberikan dukungan dan kasih sayang yang dibutuhkan wanita itu, walaupun sikap Hanum masih saja dingin, meskipun begitu dia tidak menyerah untuk mengambil hati sang istri. Sementara Hanum terus berusaha menggerakkan tubuhnya agar segera pulih. Dia tak ingin berlama-lama di rumah sakit. Beruntung, bayi mereka baik-baik saja sehingga bisa tidur kembali dengan Hanum."Num, apa kau butuh sesuatu?" Alex mencoba mencairkan suasa yang membeku."Aku enggak butuh apa-apa. Makasih."Alex menghela napas. Meski singkat setidaknya Hanum sudah mulai bicara padanya.Pada saat yang bersamaan, Nina yang merasa terabaikan oleh Alex, mencoba mencari cara agar bisa mendapatkan perhatian lelaki itu kembali. Setelah berpikir matang, dia memutuskan untuk mengunjungi rumah sakit dan membawa beberapa perlengkapan bayi sebagai hadiah untuk Hanum
Alex menginjak gas agar mobilnya semakin melaju ke rumah sakit. Di dalam hati rasa cemas mencengkeram jantungnya, doa-doa keselamatan tak berhenti dia gumamkan untuk sang istrinya, satu-satunya wanita yang dia cintai. Alex tidak bisa membayangkan hidupnya seperti apa jika sesuatu menimpa wanita yang dicintainya. Penyesalan bertalu talu menggedor ke dalam dada lelaki itu, andai Neysa tidak meneleponnya tadi, mungkin dia sudah larut ke dalam pesona Nina. Wanita itu tahu bagaimana menarik perhatiannya.'Sial! Bisa-bisanya aku terlena hanya karena masakan saja. Bagaimana perasaan Hanum kalau dia tahu aku selemah itu? Padahal hasil masakan istriku jauh lebih enak.'Alex memukul setir mobil saking kesal pada dirinya sambil mengumpat. Harusnya dia lebih memperhatikan kondisi Hanum yang sedang hamil, bukannya sibuk mencari cara bagaimana menjaga hati kedua wanita tersebut. Toh, Hanum lebih berhak atasnya secara hukum agama dan negara, sementara dengan Nina dan dia hanya terikat janji saja. Al
Alex merasakan benar ada yang berubah dalam diri Hanum sejak dua bulan terakhir. Tepatnya setelah Nina datang ke rumah. Istrinya itu tidak lagi banyak bicara, cenderung tertutup, dan menarik diri darinya. Meski Hanum tidak pernah melalaikan kewajibannya sebagai seorang istri. Dia tetap melayani kebutuhan Alex dengan khidmat dan baik, tetapi sikap si wanita yang lebih banyak diam menyiksa hati Alex. Rumahnya yang dulu riuh karena gelak tawa dan canda, kini mendadak sepi dan kehilangan cahaya juga gairahnya. Hanum hanya akan tersenyum ketika mereka berkumpul dengan anak-anak, tetapi ketika hanya berdua saja di dalam kamar sikapnya sedingin es. Wanita itu tidak pernah lagi mempertanyakan bagaimana kelanjutan hubungannya dengan Nina, Juga tak ada pertanyaan mengapa kini selalu pulang larut malam. Begitupun Neysa dan si kembar, anak-anaknya itu seakan tahu kalau hubungan kedua orang tuanya tidak sedang baik-baik saja. Meski diam dan terlihat tenang, Alex tahu semua itu hanya untuk menut
Suasana di dalam mobil yang dikemudikan oleh Alex terasa sangat sepi, hanya terdengar suara dari pemutar musik yang membuat suasana tidak terasa seperti di areal pemakaman. Hanum masih setia dengan diamnya. Dia enggan bicara setelah mendengarkan fakta menyakitkan yang keluar dari bibir Pak Burhan. Dia masih tidak percaya kalau selama ini Alex menyimpan kebohongan yang sangat besar di belakangnya. Mengapa laki-laki itu tidak jujur sejak awal? Mengapa dia tak dibiarkan memilih melanjutkan rencana pernikahan atau tidak sehingga tidak perlu menjadi orang kedua di dalam hubungan antara Nina dan lelaki itu.Sekarang dia tidak tahu apa yang harus dilakukan. Di satu sisi dia merasa berhak pada Alex, tetapi di sisi lain Nina juga tidak bersalah. Wajar wanita itu kesal padanya karena mengira dia telah merebut Alex. Kini, untuk mundur pun tak mungkin, sebab ada anak-anak yang akan menjadi korban dari sebuah perceraian. Akan tetapi, dia juga tak mungkin sanggup berbagi raga dan hati. Terpisah j
Hanum menatap rumah modern bergaya victoria di depannya. Bangunan megah berlantai dua dengan banyak ruangan di dalamnya. Dari luar saja orang yang bertamu tahu kalau si empunya rumah memiliki selera tinggi. Belum lagi furniture mewah dan klasik yang menghiasi setiap sudut rumah membuat yang datang akan betah berlama-lama di sana."Ayo turun." Hanum membuka pintu mobil lalu keluar dari mobil diikuti oleh Neysa dan Aruna yang sejak tadi tak berhenti mebgoceh, sementara Arjun tak jadi ikut, sebab sudah tertidur di depan televisi sembari menunggunya bersiap-siap. Neysa berjalan di samping Hanum yang membimbing Aruna. Gadis itu hanya diam seolah-olah tahu awan mendung yang sedang bergelayut di hati sang bunda. Neysa, dia sering melirik ibu sambungnya itu. Wajah datar Hanum membuatnya sedih. Sudah lama dia tidak melihat raut seperti itu dan berharap tidak akan pernah. Terakhir ketika si wanita meninggalkan rumahnya sekitar empat atau lima tahun yang lalu. Tak lama kemudian dia dan papanya
Seluruh tulang di tubuh Hanum seolah-olah dilolosi setelah membaca tulisan di kuitansi tadi. Berkali-kali dia menghela napas untuk menenangkan badai yang tiba-tiba saja berkecamuk di dalam dada. Sekeras apa pun dia berprasangka baik kepada Alex, bukti-bukti terus berdatangan menggoyahkan hatinya. Haruskah dia menanyakan masalah kuitansi pembelian kepada lelaki tersebut? Bagaimana kalau Alex tersinggung dan menghadirkan masalah yang tidak perlu di rumah tangga mereka? Hanum memejamkan mata sembari menekan dadanya yang nyeri, dia berharap air matanya keluar membawa perih yang menusuk tanpa iba, tetapi saking sakitnya tak setetes pun cairan bening itu tumpah.'Buket bunga itu dibelikan oleh sekretarisku. Aku bahkan tidak ingat kalau Nina ulang tahun.'Kata-kata Alex terngiang di benak Hanum. Entah mengapa sekarang dia meragukan perkataan suaminya itu. Tak ingin kepalanya dipenuhi prasangka, dia merogoh ponsel yang ada di dalam saku bajunya. Dia menatap layar benda itu yang masih menghit