'Bukan tak mengerti arti tatapanmu. Aku hanya berpura tidak tahu. Aku takut jatuh lagi ke dalam kubangan kecewa dan jurang sakit hati'
-------------------------Hanum terus saja menunduk. Lantai granit lebih menarik perhatian daripada sosok gagah dan manis di depannya. Gerak tubuhnya gelisah, meski tak melihat dia bisa merasakan tubuhnya memanas karena tatapan intens keduanya."Mbaknya lucu, cantik juga," celutuk gadis kecil yang tadi dipeluk Hanum. "Pelukannya juga enak, hangat," imbuhnya.Hanum mengangkat kepalanya dan bersitatap dengan gadis itu yang sedang tersenyum manis padanya. Dia membalas senyuman itu dengan wajah merona malu.Alex mengulum senyum di bibirnya, senang dengan reaksi Neysa, putri kecilnya."Ney, suka Mbak Hanum?" tanyanya yang dibalas Neysa dengan anggukan."Baiklah, mulai hari ini Mbak Hanum kerja dan tinggal di sini. Ney, keluar sebentar, ya ... ada yang mau Papa omongin sama Mbaknya," ucap Alex.Neysa mengangguk, memeluk dan mengecup pipi Alex sekilas, lalu melangkah keluar setelah sebelumnya melempar senyum ke arah Hanum.Saat ini hanya mereka berdua di ruang kerja Alex. Laki-laki itu hanya memakai kimono saja. Tentunya tak bisa menutupi dada bidang dan tubuh berotot yang tadi mencemari mata Hanum.'Dasar mesum! Lupakan,' umpat Hanum memukul dahinya."Apa yang kau pikirkan," tanya Alex dengan dahi berkerut melihat tingkah Hanum."Hah!" Hanum tergagap. Sesaat dia lupa ada di mana. "Oh, ini, ada nyamuk. Iya, nyamuk," jawabnya asal sambil menggaruk dahinya yang tidak gatal.Alex menggelengkan kepalanya. 'Pembohong yang buruk,' gumamnya.Dia bersandar di pinggir meja kerjanya, bersedekap dan menatap lurus ke arah Hanum. "Neysa putriku. Usianya sembilan tahun. Sejak lahir menderita kelainan jantung. Tugasmu menjaganya dan mengatur semua kebutuhannya. Perhatikan jadwal kapan dia harus meminum obatnya. Aku tidak mau ada kesalahan. Neysa satu-satunya hartaku," jelasnya membuat Hanum menggangguk.Satu-satunya yang mengganggu pikirannya adalah ibu gadis itu. Apa dia tidak bisa merawat Neysa hingga harus menggunakan pengasuh."Istri anda di mana?" tanya hanum tanpa berpikir dulu. Detik kemudian merutuki lidahnya yang lancang, "maaf ..." tambahnya kemudian.Wajah Alex berubah murung. "Dia meninggal saat melahirkan Neysa," jawabnya.Hanum menggigit bibir mendengar jawaban Alex. "Saya tidak bermaksud-"Alex mengibaskan tangannya, lalu tersenyum tipis. "Sudahlah itu takdir. Seperti kamu yang ditakdirkan tinggal di rumah ini bersamaku dan Neysa," ucap Alex tersenyum penuh arti.*Tiga bulan sudah Hanum bekerja di rumah Alex Bagaspati. Sang Presdir Bagaspati Grup. Perusahaannya bergerak di bidang telekomunikasi dan perangkat lunak. Selain itu dia juga memiliki investasi di bidang properti dan migas. Perusahaannya sangat dikenal dikalangan pengusaha Asia Tenggara. Nama Bagaspati lambang kemajuan teknologi perangkat lunak dan memiliki merek dagang yang sudah dikenal di seluruh kawasan Asia. Selama itu pula Hanum selalu menghindari interaksi langsung dengan laki-laki itu. Dia belum bisa melupakan kejadian saat pertama kali datang ke sana.Alex dan putrinya yang berusia sembilan tahun tidak berhenti tertawa membuatnya malu setengah mati. Andai saja dia tidak sok tahu menganggap Alex OB dan membentaknya, mungkin dia tidak akan serba salah seperti saat ini.*Hanum baru saja selesai membersihkan tempat tidur Neysa. Mengalasi ranjang Queen size itu dengan seprai bergambar Snow White.Meletakkan segelas air putih dan kotak berisi obat Neysa. Gadis kecil itu bergidik melihat Hanum mulai mengambil obat sesuai dengan dosis yang sudah diberikan dokter. Sebenarnya, Neysa lelah dan muak dengan semua obat yang dikomsumsi sejak dulu, meski umurnya baru sembilan tahun, dia sudah mengerti jika penyakitnya sulit sembuh. Hanya menunggu donor yang cocok dan itu seperti menunggu hujan emas dari langit karna golongan darahnya sangat langka."Mbak Hanum, aku ngga mau minum obat itu lagi. Pahit," ucap Neysa dengan wajah memelas membuat wanita itu menatap iba.Hanum berlutut di depan Neysa yang duduk di pinggir ranjang. Mengelus rambutnya."Neysa ngga boleh gitu. Nanti kalau sakit lagi gimana?" tanya Hanum lembut.Gadis kecil itu menunduk, matanya mulai berkaca-kaca."Neysa ngga bakal sembuh, Mbak. Buat apa minum obat terus. Cuma memperlambat aja 'kan? Neysa capek, pingin ketemu Mama ..." lirihnya.Hanum tersedak ludahnya sendiri. Dia tahu rasanya tidak punya siapa-siapa, meski Neysa lebih beruntung masih punya Alex yang mengasihinya.Hanum merengkuh tubuh kecil itu, memeluknya dengan kasih sayang. "Neysa ngga boleh ngomong gitu. Nanti kalau Papa dengar sedih lho. Neysa sayang Papa 'kan?" bujuk Hanum. Tutur katanya lembut dan menenangkan.Gadis kecil itu mengangguk. Dia balas memeluk Hanum erat."Neysa juga sayang Mbak Hanum. Jangan kemana-mana, ya. Tinggal di sini aja selamanya sama Ney dan papa," pintanya polos.Hanum hanya mengusap punggung gadis kecil itu memberi ketenangan. Dia tidak bisa berjanji. Tidak ada yang tahu apa yang terjadi di masa depan, hanya selama dia masih bekerja di sini Hanum bertekad akan menjaga dan menyayangi Neysa sepenuh hati.*Hanum melepas pelukannya dari tubuh Neysa. Memandang raut gadis itu yang terlelap. Mengusap pipi tirusnya perlahan, mata Hanum mengabut. Entah mengapa dia sangat mencintai Neysa, rasa itu hadir begitu saja. Sering dia ikut menangis ketika gadis kecil itu meringkuk menahan sakit, seandainya bisa, ingin rasanya mengalihkan sakit itu ke tubuhnya.Hanum hanya bisa memeluk tubuh kecil itu lembut, memberi kekuatan dan.ketenangan kala sakit itu mendera.Puas memandangi Neysa, Hanum bangkit dari ranjang. Mengangkat rambutnya tinggi, lalu di ikat asal sambil melirik weker di atas meja belajar Neysa.'Pukul sebelas ...' gumamnya.Menarik selimut, lalu menutupi tubuh Neysa hingga dada. Hanum mengusap pucuk kepala gadis itu, lalu mengecup keningnya lembut, kemudian tersenyum sebelum mematikan lampu kamar dan menutup pintu.*Hanum mengurungkan niatnya ke kamar ketika mencium aroma tak sedap.Menuruni anak tangga perlahan ketika melihat cahaya dari dapur. Dia tertegun melihat Alex sedang mengaduk sesuatu di atas kompor. Mungkin lelaki itu lapar. Mengapa dia memasak sendiri? Padahal dia bisa membangunkan pelayan atau memesan lewat aplikasi online."Bapak sedang apa?" Hanum tak tahan bertanya ketika mencium bau gosong.Alex menoleh. "Em, ini ... aku lapar jadinya coba masak yang ada di kulkas," jawabnya.Hanum berjalan mendekat, melongok ke dalam panci yang ada di atas kompor. Tawanya hampir pecah melihat apa yang dimasak Alex."Bapak mau buat makanan atau pupuk kompos, sih? Isinya sayuran ngga jelas semua, gosong lagi," sungut Hanum.Dia mengambil alih sendok di tangan Alex, menyendok isi di dalam panci, lalu mencicipi rasanya. Tepat dugaan Hanum, rasanya membuatnya ingin muntah."Apa rasanya menjijikan?" tanya Alex melihat ekspresi Hanum."Sangat!" jawaban tegas wanita itu membuat Alex meringis dan menggaruk kepalanya yang tidak gatal."Bapak duduk saja, biar saya yang masak." Hanum menyeret tangan Alex ke meja makan, menekan bahunya memaksa pria itu duduk. Tanpa disadari Hanum, sentuhannya membuat detak jantung Alex di atas normal. Aroma strawberry dari tubuh wanita itu membuatnya candu.Mata Alex terus mengawasi setiap gerak-gerik Hanum. Hatinya menghangat. Sejak sang istri meninggal dunia tidak ada lagi yang memasak khusus untuknya. Kehadiran Hanum perlahan mencairkan beku di dalam hati. Neysa pun tak menampik kehadiran wanita itu. Sungguh aneh putri kecilnya yang introvert bisa dekat dan terlihat nyaman dengan Hanum. Memang, anak kecil bisa melihat hati seseorang. Mereka tahu siapa yang tulus dan tidak."Makanan siap," ucap Hanum menenteng mangkuk yang masih mengepulkan uap panas. Harumnya membuat Alex sudah tidak sabar ingin melahapnya."Kamu masak apa?" tanya Alex melihat isi mangkok yang terlihat menggiurkan.Hanum tersenyum, terlihat sangat manis di mata Alex hingga dia tertegun sesaat. "Itu hanya mie rebus, Pak. Saya kasih sayuran, daun bawang, irisan cabe, tomat, telur dan taburan bawang," jelas Hanum bersemangat."Sepertinya enak. Kamu ngga makan?" tanya Alex melihat hanya ada satu mangkok.Hanum menggeleng. "Bapak saja, saya sudah kenyang," tolaknya halus.Alex mencebik. "Kalau kamu ngga makan saya juga ngga!" rajuknya.Hanum terdiam. Tidak mungkin, kan, laki-laki itu sedang merajuk padanya."Ayo duduk," Alex menarik tangan Hanum memaksa duduk di sampingnya.Kedekatan itu membuat Hanum gugup. Dari kursinya dia bisa melihat dengan jelas fitur wajah Alex yang mendekati sempurna. Tulang hidung yang tinggi, rahang tegas dan bibir penuh kemerahan. Rambut hitamnya yang jatuh di dahi membuatnya tampak indah."Enak," puji Alex, menghamburkan lamunan Hanum. Untung saja laki-laki itu tidak memergoki dan membuatnya semakin malu."Coba, deh." Hanum membeku ketika Alex hendak menyuapinya."S-saya bisa sendiri, Pak," elak Hanum gugup.Alex menelengkan kepalanya. "Apa salahnya saya suapin. Saya ngga rabies, lho,"ucapnya dengan senyum jenaka di bibirnya.Hanum menunduk resah. Laki-laki itu tidak tahu kalau saat ini jantungnya berdegup kencang. Kedekatan ini menganggunya dan Hanum tidak suka."B-bukan begitu, Pak. Saya-""Ya, sudah, buka mulutmu. Biar saya suapin," potongnya cepat.Hanum tak bisa membantah lagi. Lidahnya kelu untuk berbalas kata. Dia pasrah Alex menyuapinya. Laki-laki itu pun tersenyum senang melihat Hanum tidak lagi membantah.*"Sudah malam, tidurlah," titah Alex setelah mereka membersihkan mangkuk bekas makan Alex. Tidak! Bekas makan Hanum. Laki-laki itu hanya makan beberapa sendok, selebihnya dia lebih suka menyuapi Hanum."Baiklah, selamat malam, Pak," ucap Hanum beranjak meninggalkan Alex. Akan tetapi, langkahnya tertahan ketika laki-laki itu meraih lengannya."Terima kasih sudah menjaga Neysa dengan baik. Bebanku terasa lebih ringan," ucapnya lembut. Tangan Alex turun ke jemari Hanum, menggenggam erat. "Terima kasih sudah memberi dia semangat, itu sangat berarti," imbuhnya menatap lekat Hanum.Mendadak suasana canggung bagi Hanum. Dia tidak pernah sedekat ini dengan laki-laki selain Adrian. Ada dentuman halus di dada wanita itu. Perasaan nyaman dan hangat kala Alex mengeratkan genggamannya."Hanum, mungkin ini terlalu cepat, tapi rasanya hatiku meledak jika tidak mengatakannya." Alex melangkah semakin dekat tanpa melepaskan pandangannya. "Aku rasa, aku jatuh cinta padamu ..."Hanum terdiam beku. Matanya terus menatap jalinan jemari mereka yang terasa pas. Seolah tangan Alex memang tercipta untuknya.Tbc'Setelah kau hamburkan kepingan hatiku ke dalam tumpukan jerami dan membiarkan kutertatih memungutinya sendiri. Kini kau datang menadahkan tangan meminta kembali, maaf ... hatiku bukan batu.'------------------------------"Aku tahu ini terlalu cepat, tapi kurasa ... aku jatuh cinta padamu.""M-maksud Bapak?!""Aku ingin menjadi pelindungmu, sandaranmu. Hanum, jadilah milikku.""Maaf, saya tidak-""Jangan jawab sekarang, nanti kalau kau sudah siap."..Dari jendela kamar, Hanum menatap hujan menjatuhkan rintikannya ke bumi, terpukau melihat kabut yang membuat kaca jendelanya berembun. Lamunannya terberai ketika memori masa lalu menyapa benaknya. Hanum membenci hujan. Hujan mengingatkannya pada Adrian dan pengkhiatan. Perih itu masih terasa, luka itu masih berdarah. Rasa sakitnya seperti karang yang tetap bertahan meski tenggelam dihempas badai dan gelombang. Sekuat apa pun Hanum ingin menghapus, semakin kuat kenangan itu memeluk benaknya.Kadang terbersit tanya di hati. Pernahkah t
'Tatap mataku dan tanyakan hatimu. Apa ada cinta di sana?Karna diamku bukan segalanya.'---------------------Hanum mendongak ketika sehelai selimut dibentangkan menutupi tubuhnya. Tatapannya beradu dengan iris kelam Alex. Laki-laki itu mengukir senyum di wajah rupawannya yang menular kepada Hanum."Apa kau siap bercerita?" tanyanya duduk di sebelah Hanum menikmati udara malam dari balkon kamar wanita itu.Hanum terdiam. Tatapannya lurus ke depan seolah menimbang perlu tidaknya menyibak tirai masa lalu yang gelap. Semilir angin malam menerbangkan anak rambut yang keluar dari cepolannya, membuat Alex tidak tahan menyentuh surai hitam itu, dan menyelipkan ke belakang telinga Hanum.Dia beringsut lebih dekat, merengkuh bahu Hanum lebih rapat. "Aku tidak memaksa. Seburuk apa pun masa lalumu tidak akan mengubah perasaanku," ujarnya lembut, membuat haru menyelimuti dada Hanum.Hanum berdehem, melonggarkan tenggorakannya yang terasa mencekik. Butuh kekuatan lebih untuk menuturkan kisah hid
'Tak ada yang lebih sakit ketika mencinta dalam diam. Melihat dari kejauhan tanpa bisa mengungkapkan.'--------------------------Alex bangun dengan rasa sakit menyerang kepalanya. Meremas rambutnya sekadar menghilangkan pusing yang mendera. Aroma vanila membuat dahinya berkerut. Mengangkat kepala, lalu mengerang ketika menyadari ini bukan kamarnya.Dia mencoba mengumpulkan keping ingatan yang hilang semalam. Alicia ... wanita itu merengek ingin ditemani untuk mengenang masa lalu. Mereka menghabiskan malam di apartemen wanita itu, bercerita dan minum hingga mabuk. Alex refleks melihat tubuhnya sendiri, mengembuskan napas lega mendapati dia masih berpakaian lengkap. "Tidak terjadi apa-apa, meski aku mengharapkannya," suara Alicia membuat Alex mengangkat wajahnya. Wanita itu mendekat ke arahnya membawa nampan yang berisi secangkir kopi."Terima kasih," ucap Alex menerima cangkir yang disodorkan Alicia, lalu berdecak nikmat ketika cairan hitam itu membasahi kerongkongannya.Alicia men
'Aku mencintai senyum juga tangismu.Mencintai bahagia juga sedihmu, maka biarkan lukamu jadi sakitku.'------------------------Hanum merasakan tepukan lembut di pipinya. Perlahan membuka kelopak mata yang terasa berat. Samar siluet wajah Alex terlihat. Dia tersenyum. Wajah yang mengusik hatinya beberapa bulan ini, senyum yang meluruhkan semua sakitnya terlihat begitu dekat. Wanita itu merasa mimpinya sangat indah."Alex, tidak cukupkah kau mengusikku setiap hari hingga harus datang ke mimpiku?" ucap Hanum lirih, lalu kembali memejamkan matanya, tetapi beberapa detik kemudian melotot mendengar kata-kata Alex."Aku tidak keberatan bila bercinta denganmu sekarang kau anggap mimpi juga?"Hanum terlonjak, lalu meringis memegang keningnya yang beradu dengan Alex. "Ini bukan mimpi ...?" tanya Hanum dengan wajah bingung.Alex tersenyum simpul. Sakit di keningnya hilang melihat wajah polos Hanum."Tidak. Tidurmu nyenyak sekali. Aku tidak tega membangunkanmu jadi kugendong saja ke kamar."Ap
'Cinta itu dibangun di atas pondasi kepercayaan dan kejujuran.Bila nanti badai menerjang dia tetap kokoh tak tergoyahkan.'------------------------Alex tersenyum melihat foto yang dikirim Neysa ke ponselnya. Terlihat sosok Hanum mengenakan celemek dengan baju rumahan dan rambut dicepol asal sedang mengaduk sesuatu di atas kompor. Sepertinya Neysa mengambil foto itu diam-diam.Tangan Alex menelusuri wajah polos Hanum. Wanita itu semakin terlihat menarik dengan penampilan sesederhana itu.. Dia selalu tampak cantik mengenakan apa pun, apalagi ... Alex terkekeh menyadari betapa kotor pikirannya saat ini.'Dasar pria mesum,' umpatnya geli.Senyumnya memudar ketika melihat pintu terbuka menampilkan sosok Alicia masuk dengan senyum dibuat semanis mungkin membuat mood Alex turun drastis."Hei, Alex apa kabar?" tanya Alicia hendak memeluk Alex, tetapi urung karena laki-laki itu berdiri dan berjalan memutari meja kerjanya."Apa yang kau lakukan di sini?!" cetus Alex dingin.Alicia mendesah. "
'Dulu kau abai dan menghinakanku. Menutup mata atas semua luka dan perihku. Menampik keberadaanku. Lalu mengapa kini kau datang menyatakan aku milikmu. Maaf, kau telah lama mati untukku.---------------------------Mata Hanum terpaku pada ruangan di depannya. Tak dipedulikan bajunya yang dipenuhi bekas darah Amelia. Tubuhnya bergetar, wajahnya basah oleh air mata. Bayang tubuh Amelia yang tergeletak di jalan kembali menghantuinya. "Aku sudah menghubungi keluarganya. Sebentar lagi mereka datang," ucap Alex, memeluk tubuh Hanum yang gemetar, membawanya duduk di kursi yang ada di depan ruang operasi."Aku yang salah ... dia hanya ingin bicara. Harusnya aku berhenti. Aku ..."Alex mengetatkan pelukannya, mengecup lama pucuk kepala Hanum. "Sstt, ini bukan salahmu. Ini musibah," ucapnya menenangkan.Hanum menggeleng, dia mulai menangis. "Alex, bagaimana jika-""Sudah, tenangkan dirimu. Dia pasti baik-baik saja," Alex mengusap lembut punggung Hanum. Memberi ketenangan semampunya karena wani
'Aku memaafkan, tapi tidak melupakan. Tak pernah pula melirihkan doa kebencian.Jika yang kau tanam kebaikan tak mungkin petaka yang kau petik.'----------------------Satu bulan berlalu sejak kejadian itu. Amelia sudah sadar dari koma. Seperti prediksi dokter, wanita itu mengalami kelumpuhan pada kakinya. Mengetahui itu, Hanum didera rasa bersalah. Dia selalu termenung, senyum kembali pudar dari wajahnya. Alex tentu saja menyadari perubahan Hanum. Dia mencoba membesarkan hati wanita itu, tetapi sia-sia saja. Hanum seolah membiarkan dirinya terseret dalam rasa bersalah berkepanjangan.Ting.Sebuah notifikasi masuk ke ponsel Hanum. Sedikit enggan dia membaca pesan yang dikirim seseorang. Mata Hanum memanas melihat foto Amelia tampak menyedihkan di atas kursi roda."Bisa kita bertemu? Ada yang ingin kubicarakan." Sebuah pesan dikirimkan bersama foto tersebut. Hanum menggigit bibirnya, berpikir perlu tidaknya membalas pesan itu."Kumohon, sekali ini saja. Apa kau tidak penasaran alasa
'Cinta seperti pisau bermata dua. Tetap melukai dari sudut mana pun. Bodohnya aku, menggenggamnya terlalu erat hingga sakitnya mencerabuti seluruh rasa.Sejak malam itu hubungan keduanya berubah dingin. Alex lebih sering menghabiskan waktu di ruang kerjanya. Tak ada pembicaraan lagi di antara mereka. Hanya pada Neysa, Alex masih tersenyum, sabar mendengar celotehan gadis itu. Hanum tak berani mendekat, sorot mata laki-laki itu seperti api yang membakarnya dalam kebencian. Wanita itu terpuruk dalam duka tak berkesudahan. Berkubang dalam luka yang sama. Diabaikan tanpa tahu salahnya. Tuhan mungkin menciptakannya dalam wujud begitu indah, digilai dua lelaki. Namun, lupa menuliskan kisah bahagia untuknya.Mendesah lelah, melihat dari jauh dua orang yang menempati ruang khusus di hati. Keduanya terlihat ceria. Hanum tersenyum getir. Mungkin waktunya telah usai. Lakonnya di rumah ini tak diperlukan lagi. Terseok melangkah menaiki anak tangga satu per satu. Menikmati bahagia yang sebentar l
"Aku benar-benar kecewa sama Alex. Pasti wanita itu yang menghasutnya." Nina masuk ke ruang kerja papanya sambil mengomel dan wajah kusut.Pak Burhan hanya diam, dia tetap melanjutkan pekerjaannya sambil menunggu putrinya itu melimpahkan amarah."Papa tahu, Alex mengusirku hanya karena wanita itu! Padahal dia tak punya kelebihan apa-apa dibanding aku. Aku bisa menyokong usahanya, aku mengerti bisnis, tapi dia lebih condong ke wanita itu.""Kamu selalu menyebut wanita itu wanita itu. Setidaknya kamu sebut namanya.""Papa tahu siapa yang aku maksud. Siapa lagi kalau bukan Hanum" balas Nina dengan nada keras."Papa rasa tidak ada yang salah dengan Alex. Kamu yang terlalu agresif dan memaksakan kehendakmu padanya. Kau tahu dengan jelas kalau laki-laki itu sangat mencintai Hanum dan kau seakan-akan meminta dia memilih, jelas Alex akan memilih istrinya.""Tapi dia janji mau nikahi aku, Pa!" Nina tak mau kalah. Sifat aslinya keluar. Wajah manis yang selama ini dia tampaknya berubah menjadi r
"Sialan!"Dengan raut kesal Nina melemparkan tasnya ke sembarang arah. Niat mendatangi rumah Hanum dan bersikap seolah-olah menguasai rumah itu untuk membuat mental si wanita jatuh, malah gagal total. Dia tidak memperhitungkan Neysa. Gadis remaja itu ternyata berpihak kepada Hanum. Tak mungkin dia lupa senyum puas di wajah Hamum melihat Alex membentaknya. Ternyata, wanita itu lebih pintar dari yang dia kira. Dia yakin Hanumlah yang menghasut Neysa untuk mengerjainya. Nina benar-benar dibuat seperti orang bodoh di depan lelaki pujaannya oleh kedua orang itu.'Dasar tidak tahu terima kasih! Sudah ditolong malah berniat mencelakakanku. Lihat saja, aku akan membalas perbuatanmu.' Nina mengumpat sambil mengepalkan kedua tangannya.Nina bukan tipe wanita yang tertarik dengan pernikahan. Dia lebih hubungan tanpa ikatan, gaya hidup yang dia jalani sejak remaja. Tinggal di Singapura serba bebas adalah surga baginya. Alex adalah teman lamanya dan mendiang suaminya. Sejak dulu dia menyukai l
Pagi itu, ketika Hanum bersiap ke rumah sakit untuk melakukan pemeriksaan bekas jahitan dan juga perkembangan bayinya, mobil milik Nina memasuki pekarangan rumahnya.. Wanita itu datang ke rumah Hanum sambil membawa beberapa kantong plastik berisi berbagai bahan makanan. Begitu melihat Hanum, Nina tersenyum ramah sambil melambaikan tangannya."Pagi, Num, aku mau bantu urus anak-anak dan memasak untuk keluarga," ucap Nina sembari memperlihatkan barang bawaannya, seolah-olah dia masuk ke rumah sendiri.Dahi Hanum berkerut saat mendengar ucapan Nina. Dia mengulas senyum untuk menyembunyikan amarahnya. "Makasih, Nin, kamu enggak perlu repot-repot," balasnya berusaha tetap ramah. Hanum tidak ingin paginya dirusak oleh Nina.Melihat sikap Hanum yang melunak, Nina merasa di atas angin. Dia tersenyum. "Ah, enggak apa-apa kok. Aku ingin membantu. Lagipula, aku ingin belajar memasak masakan rumahan yang enak seperti yang sering kamu buat," ujarnya lalu masuk begitu saja tanpa permisi, seakan
Setelah Hanum melahirkan. Alex menghabiskan waktu di rumah sakit untuk menemani bayi mereka yang sedang berjuang untuk hidup. Dia juga terus mendampingi sang istri, memberikan dukungan dan kasih sayang yang dibutuhkan wanita itu, walaupun sikap Hanum masih saja dingin, meskipun begitu dia tidak menyerah untuk mengambil hati sang istri. Sementara Hanum terus berusaha menggerakkan tubuhnya agar segera pulih. Dia tak ingin berlama-lama di rumah sakit. Beruntung, bayi mereka baik-baik saja sehingga bisa tidur kembali dengan Hanum."Num, apa kau butuh sesuatu?" Alex mencoba mencairkan suasa yang membeku."Aku enggak butuh apa-apa. Makasih."Alex menghela napas. Meski singkat setidaknya Hanum sudah mulai bicara padanya.Pada saat yang bersamaan, Nina yang merasa terabaikan oleh Alex, mencoba mencari cara agar bisa mendapatkan perhatian lelaki itu kembali. Setelah berpikir matang, dia memutuskan untuk mengunjungi rumah sakit dan membawa beberapa perlengkapan bayi sebagai hadiah untuk Hanum
Alex menginjak gas agar mobilnya semakin melaju ke rumah sakit. Di dalam hati rasa cemas mencengkeram jantungnya, doa-doa keselamatan tak berhenti dia gumamkan untuk sang istrinya, satu-satunya wanita yang dia cintai. Alex tidak bisa membayangkan hidupnya seperti apa jika sesuatu menimpa wanita yang dicintainya. Penyesalan bertalu talu menggedor ke dalam dada lelaki itu, andai Neysa tidak meneleponnya tadi, mungkin dia sudah larut ke dalam pesona Nina. Wanita itu tahu bagaimana menarik perhatiannya.'Sial! Bisa-bisanya aku terlena hanya karena masakan saja. Bagaimana perasaan Hanum kalau dia tahu aku selemah itu? Padahal hasil masakan istriku jauh lebih enak.'Alex memukul setir mobil saking kesal pada dirinya sambil mengumpat. Harusnya dia lebih memperhatikan kondisi Hanum yang sedang hamil, bukannya sibuk mencari cara bagaimana menjaga hati kedua wanita tersebut. Toh, Hanum lebih berhak atasnya secara hukum agama dan negara, sementara dengan Nina dan dia hanya terikat janji saja. Al
Alex merasakan benar ada yang berubah dalam diri Hanum sejak dua bulan terakhir. Tepatnya setelah Nina datang ke rumah. Istrinya itu tidak lagi banyak bicara, cenderung tertutup, dan menarik diri darinya. Meski Hanum tidak pernah melalaikan kewajibannya sebagai seorang istri. Dia tetap melayani kebutuhan Alex dengan khidmat dan baik, tetapi sikap si wanita yang lebih banyak diam menyiksa hati Alex. Rumahnya yang dulu riuh karena gelak tawa dan canda, kini mendadak sepi dan kehilangan cahaya juga gairahnya. Hanum hanya akan tersenyum ketika mereka berkumpul dengan anak-anak, tetapi ketika hanya berdua saja di dalam kamar sikapnya sedingin es. Wanita itu tidak pernah lagi mempertanyakan bagaimana kelanjutan hubungannya dengan Nina, Juga tak ada pertanyaan mengapa kini selalu pulang larut malam. Begitupun Neysa dan si kembar, anak-anaknya itu seakan tahu kalau hubungan kedua orang tuanya tidak sedang baik-baik saja. Meski diam dan terlihat tenang, Alex tahu semua itu hanya untuk menut
Suasana di dalam mobil yang dikemudikan oleh Alex terasa sangat sepi, hanya terdengar suara dari pemutar musik yang membuat suasana tidak terasa seperti di areal pemakaman. Hanum masih setia dengan diamnya. Dia enggan bicara setelah mendengarkan fakta menyakitkan yang keluar dari bibir Pak Burhan. Dia masih tidak percaya kalau selama ini Alex menyimpan kebohongan yang sangat besar di belakangnya. Mengapa laki-laki itu tidak jujur sejak awal? Mengapa dia tak dibiarkan memilih melanjutkan rencana pernikahan atau tidak sehingga tidak perlu menjadi orang kedua di dalam hubungan antara Nina dan lelaki itu.Sekarang dia tidak tahu apa yang harus dilakukan. Di satu sisi dia merasa berhak pada Alex, tetapi di sisi lain Nina juga tidak bersalah. Wajar wanita itu kesal padanya karena mengira dia telah merebut Alex. Kini, untuk mundur pun tak mungkin, sebab ada anak-anak yang akan menjadi korban dari sebuah perceraian. Akan tetapi, dia juga tak mungkin sanggup berbagi raga dan hati. Terpisah j
Hanum menatap rumah modern bergaya victoria di depannya. Bangunan megah berlantai dua dengan banyak ruangan di dalamnya. Dari luar saja orang yang bertamu tahu kalau si empunya rumah memiliki selera tinggi. Belum lagi furniture mewah dan klasik yang menghiasi setiap sudut rumah membuat yang datang akan betah berlama-lama di sana."Ayo turun." Hanum membuka pintu mobil lalu keluar dari mobil diikuti oleh Neysa dan Aruna yang sejak tadi tak berhenti mebgoceh, sementara Arjun tak jadi ikut, sebab sudah tertidur di depan televisi sembari menunggunya bersiap-siap. Neysa berjalan di samping Hanum yang membimbing Aruna. Gadis itu hanya diam seolah-olah tahu awan mendung yang sedang bergelayut di hati sang bunda. Neysa, dia sering melirik ibu sambungnya itu. Wajah datar Hanum membuatnya sedih. Sudah lama dia tidak melihat raut seperti itu dan berharap tidak akan pernah. Terakhir ketika si wanita meninggalkan rumahnya sekitar empat atau lima tahun yang lalu. Tak lama kemudian dia dan papanya
Seluruh tulang di tubuh Hanum seolah-olah dilolosi setelah membaca tulisan di kuitansi tadi. Berkali-kali dia menghela napas untuk menenangkan badai yang tiba-tiba saja berkecamuk di dalam dada. Sekeras apa pun dia berprasangka baik kepada Alex, bukti-bukti terus berdatangan menggoyahkan hatinya. Haruskah dia menanyakan masalah kuitansi pembelian kepada lelaki tersebut? Bagaimana kalau Alex tersinggung dan menghadirkan masalah yang tidak perlu di rumah tangga mereka? Hanum memejamkan mata sembari menekan dadanya yang nyeri, dia berharap air matanya keluar membawa perih yang menusuk tanpa iba, tetapi saking sakitnya tak setetes pun cairan bening itu tumpah.'Buket bunga itu dibelikan oleh sekretarisku. Aku bahkan tidak ingat kalau Nina ulang tahun.'Kata-kata Alex terngiang di benak Hanum. Entah mengapa sekarang dia meragukan perkataan suaminya itu. Tak ingin kepalanya dipenuhi prasangka, dia merogoh ponsel yang ada di dalam saku bajunya. Dia menatap layar benda itu yang masih menghit