Kau datang diam-diam. Menyusup dan perlahan bertahta.
Tapi sayang hatiku telah mati rasa.-----------------------"Pikirkan lagi. Sekali kau melangkah ke luar jangan harap bisa kembali.""Aku tidak tahu apa yang membuatku dulu jatuh cinta padamu, menyesal mencintaimu begitu dalam, tapi pergi dari hidupmu tidak akan pernah kusesali.".."Mulai bulan ini gajimu saya potong dua per tiga.""Dua per tiga? Memangnya kenapa, Buk?""Kamu ngga amnesia 'kan? Bulan lalu membuat kekacauan di pesta ultah perusahaan? Kamu pikir ganti gaunnya Nyonya Martha pakai duit siapa? Ya punya perusahaan. Jadi gaji kamu dipotong selama satu tahun."..Hanum termenung. Percakapan terakhirnya dengan Adrian menghancurkan semua rasa yang dia punya. Dia mati rasa. Begitu pun ancaman Buk Ratna terngiang di telinga. Dua per tiga dari gajinya sangat besar, apalagi selama setahun. Dia tidak bisa membayangkan bagaimana caranya bertahan sampai waktu setahun itu selesai. Hanum mendesah membayangkan hidupnya tidak akan mudah.Satu bulan sudah Hanum keluar dari kontrakan sejak Adrian menjatuhkan talak. Dia hanya membawa lima potong pakaian yang dibeli sebelum menikah dengannya. Laki-laki itu tidak mengijinkan Hanum membawa apa pun yang pernah dibelikan untuknya, bahkan satu-satunya sepatu yang dipakai untuk bekerja disita Adrian, begitu juga dokumen pernikahan serta ijazah Hanum semua ditahan. Adrian benar-benar ingin membuat Hanun tidak berdaya dan kembali bertekuk lutut.Bukan Hanum namanya jika dia menyerah. Lukanya masih berdarah, tetapi wanita itu tak pernah memperlihatkan gundahnya. Dia yakin jika apa yang terjadi adalah ketentuan dari yang kuasa. Dengan sisa tabungan yang tidak seberapa, Hanum menyewa sebuah kamar kos tidak terlalu jauh dari tempatnya bekerja.Tanpa terasa kaki Hanum berjalan ke ruang pantry. Matanya memicing melihat seorang laki-laki sibuk mencari sesuatu di sana. Dia tidak pernah melihatnya di sini. Jadi wanita itu memutuskan mendekat."Maaf, Anda cari apa?" tanyanya sopan.Laki-laki itu menoleh. Sejenak Hanum tertegun ketika pandangan mereka beradu. Iris laki-laki itu begitu kelam. Dengan alis hitam dan tebal membingkai rahang tegasnya. Dia seperti perpaduan eros dan poseidon. Menawan sekaligus mematikan.Laki-laki itu berdehem membuat imajinasi Hanum terberai."Em, maaf. Kamu pasti OB baru itu 'kan?" terkanya gugup.Hanum berbalik menuju dispenser, meletakkan dua buah cangkir, lalu memasukkan gula dan kopi ke dalamnya. "Suka kopi? Aku ahli membuat kopi. Semua orang di sini suka kopi buatanku," ucapnya pura-pura sibuk hanya untuk menutupi malu.Laki-laki itu mendekati Hanum, tetapi wanita itu tergesa menaruh kopi yang telah diseduh ke atas meja. Menarik sebuah kursi untuknya sementara dia memilih duduk di seberangnya. Lelaki itu mengulum senyum, dia tahu wanita di depannya gugup dan itu membuatnya tertarik."Kamu kerja di sini?" tanyanya seraya menghenyakkan bokong ke kursi.Hanum mengangguk. "Iya. Baru beberapa bulan, sih.""Namamu siapa?""Hanum.""Kamu betah?"' Hanum tertawa kecil memperlihatkan barisan gigi putihnya. "Betah, tapi belum apa-apa gajiku udah dipotong," keluhnya murung.Dahi Sang lelaki berkerut. "Dipotong? Kenapa?" tanyanya sambil menyesap kopi buatan Hanum.Hanum mendesah, menopang dagunya dengan tangan. "Aku ngga sengaja rusakin gaun tamu waktu ultah perusahaan kemarin. Dia minta ganti, kepaksa gaji aku dipotong setahun. Padahal aku butuh uang," jelasnya. Matanya kembali berkaca-kaca mengingat kejadian malam itu.Gerak-gerik Hanum tak sedikit pun luput dari sorot mata elang laki-laki itu. Kembali menyesap kopinya, dia memperhatikan sang wanita dari balik cangkir. Biasanya dia tidak peduli dengan wanita mana pun, tetapi Hanum berbeda. Wanita itu terlihat apa adanya. Ada geleyar asing ketika pandangan mereka beradu. Mata sendu itu seolah menariknya berlama-lama memandang wanita itu."Eh, sebaiknya kamu ke ruangan Buk Ratna. Dia ngga suka kalau ada calon karyawan ngga disiplin," cetus Hanum memutus lamunan sang Lelaki.Laki-laki itu berdehem, lalu berdiri. "Baiklah. Kalau begitu aku pergi dulu," ucapnya melangkah keluar pantry, tapi di ambang pintu dia berbalik. "Kopi buatanmu sangat enak, Hanum. Terima kasih." Dia mengulas senyum menawan di bibirnya membuat Hanum membeku sesaat."Sama-sama ..." jawab Hanum lirih setelah laki-laki itu menghilang.''Sadar Hanum ... jangan seperti wanita murahan,' bisik suara di kepalanya membuat Hanum tersenyum kecut.*Seorang lelaki bertubuh tegap, mengenakan kemeja kuning gading dipadu celana bahan berwarna hitam terlihat menyongsong sosok yang berjalan ke arahnya."Pak Alex, maaf kami tidak tahu kalau Anda akan ke kantor hari ini," sambutnya ramah di lorong kantor setelah jauh dari pantry.Laki-laki yang bernama Alex tersenyum miring. "Jangan basa-basi, Gilang. Aku tidak suka!" dengkusnya. "Dan jangan panggil aku, Pak. Kita sepantaran."Gilang terkekeh melihat raut gusar Alex. "Jadi apa yang kau lakukan di pantry?" tanyanya menjajari langkah laki-laki itu."Minum kopi?" jawab Alex singkat.Dahi Gilang berkerut. "Kau repot-repot ke pantry hanya minum kopi?! Kau bisa menyuruh OB 'kan?"Alex hanya diam membiarkan Gilang membuka pintu besar berwarna coklat tua yang bertuliskan Presdir."Apa tidak boleh aku membuat kopi sendiri?" tanya Alex acuh, duduk di kursi putarnya dan memeriksa beberapa berkas yang diminta dari Gilang.Gilang mengedikkan bahu. "Ngga masalah, sih. Hanya saja kau seorang Presdir. Banyak yang bisa kau suruh."Alex tidak menanggapi. Dia sibuk membaca dan menandatangani beberapa berkas penting yang bertumpuk sejak pergi ke Singapura."Bagaimana kabar Neysa?" tanya Gilang hati-hati.Gerakan tangan Alex terhenti, matanya menyorot sendu. "Dia masih bisa bertahan. Dokter belum menemukan pendonor yang cocok." Alex diam sejenak, menghela napas dan mengembuskanya perlahan. "Aku membawanya pulang. Dokter bilang dia butuh suasana baru dan kupikir benar, mengingat hampir enam bulan dirawat di rumah sakit."Gilang mengangguk. "Ya, di rumah dia bisa lebih dekat denganmu. Apa kau menyewa perawat?"Alex mengernyit. "Perawat?""Iya, kau perlu seseorang untuk menjaganya selama kau bekerja. Tidak bisa mengandalkan asisten rumah tangga saja," nasehat Gilang membuat Alex terdiam."Kau harus mencari seseorang yang bisa dipercaya, lembut dan juga sabar. Kau tahu 'kan Neysa sangat tertutup," tambah Gilang."Di mana bisa kucari orang seperti itu?" tanya Alex, tapi sedetik kemudian sekelebat wajah melintas di matanya. Senyum Alex mengembang."Gilang, cari cleaning service bernama Hanum. Tawari dia pekerjaan itu, beri gaji sepuluh kali lipat dari gajinya di sini, tapi dia harus tinggal di rumahku," titah Alex membuat dahi Gilang berkerut."Kau kenal wanita itu?"Alex menggangguk. "Dia sangat nikmat."Gilang terperangah dengan jawaban ambigu Alex."Maksudku kopi buatannya sangat nikmat," ralat Alex tersenyum puas melihat wajah bingung Gilang."Dasar sial!" umpat Gilang setelah tadi membayangkan yang tidak-tidak membuat Alex terbahak.*Hanum membaca sekali lagi kontrak kerja yang di ajukan sekretaris pribadi Presdir.Matanya berbinar melihat nominal gaji yang akan diterimanya setiap bulan. Ditambah lagi dengan fasilitas yang didapatnya. Hanum tidak perlu memikirkan biaya kos dan kebutuhan sehari-hari, semua sudah menjadi tanggungan bos barunya."Pak Gilang, ini serius 'kan?" tanyanya memastikan.Gilang mengangguk. "Saya tidak pernah main-main menawarkan pekerjaan, lagipula ini perintah langsung Presdir."Mata Hanum membola."Presdir ...? Jadi saya kerja di rumah beliau, tinggal di sana, tapi ...."Gilang tersenyum melihat wajah polos Hanum. Dia mengerti mengapa Alex menginginkan wanita itu. Hanum menarik dengan pesona yang tak bisa diungkapkan."Jadi gimana? Kamu mau atau tidak? Saya bisa tawarkan ke-""Saya mau!" tukas Hanum cepat membuat Gilang tersenyum senang."Saya akan minta Pak Udin mengantarmu. Hari ini kamu langsung kerja di sana."*Hanum memandangi rumah berlantai tiga di depannya. Dia takjub melihat betapa besar dan megahnya rumah itu.Halamannya saja mampu menampung sepuluh mobil. Musalla kecil dengan ornamen yang tak kalah indah ada di sisi kiri rumah. Pilar-pilar penyangga sangat besar dan kokoh seperti raksasa yang berbaris.Beberapa mobil mewah berjajar rapi di garasi. Rumah yang didominasi warna putih dan jendela besar terlihat hangat dan tenang membuat kecanggungan Hanum sedikit berkurang.Seorang security memandu langkah Hanum memasuki rumah, lalu mempersilahkannya duduk, kemudian berlalu mencari tuannya.Hanum mengedarkan pandangan menyapu sekeliling ruang tamu yang tak kalah mewah. Semua interiornya terlihat berkelas. Sayup telinganya mendengar kecipak air dan tepuk tangan di samping rumah. Tanpa sadar kakinya melangkah ke sana.Terlihat seorang gadis kecil sedang tertawa dan bertepuk tangan seolah menyemangati seorang laki- laki yang sedang berenang. Hanum bergegas mendekati gadis itu tersebut dan menariknya ke pinggir."Hei, keluar!" bentaknya pada sang lelaki, sementara sang gadis kecil itu menatap Hanum, heran.Mata Hanum melebar ketika melihat siapa sosok yang keluar dari kolam. "Oo, kamu kerja di sini juga?" tanyanya sinis. "Kalau berenang ngga usah bawa yang lain, kalau tenggelam gimana?" imbuhnya ketus.Sementara laki-laki dan gadis kecil yang ada dalam dekapan Hanum saling pandang."Kalau orang tuanya tahu mereka pasti marah," lagi, Hanum tak memberi kesempatan lelaki itu bicara."Lho, Mbak Hanum di sini? Saya cariin dari tadi," ucap security yang tadi mengantarnya, lalu menunduk pada laki-laki yang hanya mengenakan celana pendek."Tuan, ini Mbak Hanum yang mau kerja di sini."Hanum mengernyit. Menatap security dan laki-laki itu bergantian. Tiba-tiba sebuah pemahaman masuk ke benaknya.Hanum terbelalak surut ke belakang, membekap mulutnya yang menganga. Menatap ke arah lelaki yang sedang bersedekap dan balas menatapnya. Terbias geli di bibir dan matanya, membuat Hanum ingin menenggelamkan dirinya ke dasar bumi.'Bukan tak mengerti arti tatapanmu. Aku hanya berpura tidak tahu. Aku takut jatuh lagi ke dalam kubangan kecewa dan jurang sakit hati'-------------------------Hanum terus saja menunduk. Lantai granit lebih menarik perhatian daripada sosok gagah dan manis di depannya. Gerak tubuhnya gelisah, meski tak melihat dia bisa merasakan tubuhnya memanas karena tatapan intens keduanya."Mbaknya lucu, cantik juga," celutuk gadis kecil yang tadi dipeluk Hanum. "Pelukannya juga enak, hangat," imbuhnya.Hanum mengangkat kepalanya dan bersitatap dengan gadis itu yang sedang tersenyum manis padanya. Dia membalas senyuman itu dengan wajah merona malu.Alex mengulum senyum di bibirnya, senang dengan reaksi Neysa, putri kecilnya."Ney, suka Mbak Hanum?" tanyanya yang dibalas Neysa dengan anggukan."Baiklah, mulai hari ini Mbak Hanum kerja dan tinggal di sini. Ney, keluar sebentar, ya ... ada yang mau Papa omongin sama Mbaknya," ucap Alex.Neysa mengangguk, memeluk dan mengecup pipi Alex sekilas, lalu m
'Setelah kau hamburkan kepingan hatiku ke dalam tumpukan jerami dan membiarkan kutertatih memungutinya sendiri. Kini kau datang menadahkan tangan meminta kembali, maaf ... hatiku bukan batu.'------------------------------"Aku tahu ini terlalu cepat, tapi kurasa ... aku jatuh cinta padamu.""M-maksud Bapak?!""Aku ingin menjadi pelindungmu, sandaranmu. Hanum, jadilah milikku.""Maaf, saya tidak-""Jangan jawab sekarang, nanti kalau kau sudah siap."..Dari jendela kamar, Hanum menatap hujan menjatuhkan rintikannya ke bumi, terpukau melihat kabut yang membuat kaca jendelanya berembun. Lamunannya terberai ketika memori masa lalu menyapa benaknya. Hanum membenci hujan. Hujan mengingatkannya pada Adrian dan pengkhiatan. Perih itu masih terasa, luka itu masih berdarah. Rasa sakitnya seperti karang yang tetap bertahan meski tenggelam dihempas badai dan gelombang. Sekuat apa pun Hanum ingin menghapus, semakin kuat kenangan itu memeluk benaknya.Kadang terbersit tanya di hati. Pernahkah t
'Tatap mataku dan tanyakan hatimu. Apa ada cinta di sana?Karna diamku bukan segalanya.'---------------------Hanum mendongak ketika sehelai selimut dibentangkan menutupi tubuhnya. Tatapannya beradu dengan iris kelam Alex. Laki-laki itu mengukir senyum di wajah rupawannya yang menular kepada Hanum."Apa kau siap bercerita?" tanyanya duduk di sebelah Hanum menikmati udara malam dari balkon kamar wanita itu.Hanum terdiam. Tatapannya lurus ke depan seolah menimbang perlu tidaknya menyibak tirai masa lalu yang gelap. Semilir angin malam menerbangkan anak rambut yang keluar dari cepolannya, membuat Alex tidak tahan menyentuh surai hitam itu, dan menyelipkan ke belakang telinga Hanum.Dia beringsut lebih dekat, merengkuh bahu Hanum lebih rapat. "Aku tidak memaksa. Seburuk apa pun masa lalumu tidak akan mengubah perasaanku," ujarnya lembut, membuat haru menyelimuti dada Hanum.Hanum berdehem, melonggarkan tenggorakannya yang terasa mencekik. Butuh kekuatan lebih untuk menuturkan kisah hid
'Tak ada yang lebih sakit ketika mencinta dalam diam. Melihat dari kejauhan tanpa bisa mengungkapkan.'--------------------------Alex bangun dengan rasa sakit menyerang kepalanya. Meremas rambutnya sekadar menghilangkan pusing yang mendera. Aroma vanila membuat dahinya berkerut. Mengangkat kepala, lalu mengerang ketika menyadari ini bukan kamarnya.Dia mencoba mengumpulkan keping ingatan yang hilang semalam. Alicia ... wanita itu merengek ingin ditemani untuk mengenang masa lalu. Mereka menghabiskan malam di apartemen wanita itu, bercerita dan minum hingga mabuk. Alex refleks melihat tubuhnya sendiri, mengembuskan napas lega mendapati dia masih berpakaian lengkap. "Tidak terjadi apa-apa, meski aku mengharapkannya," suara Alicia membuat Alex mengangkat wajahnya. Wanita itu mendekat ke arahnya membawa nampan yang berisi secangkir kopi."Terima kasih," ucap Alex menerima cangkir yang disodorkan Alicia, lalu berdecak nikmat ketika cairan hitam itu membasahi kerongkongannya.Alicia men
'Aku mencintai senyum juga tangismu.Mencintai bahagia juga sedihmu, maka biarkan lukamu jadi sakitku.'------------------------Hanum merasakan tepukan lembut di pipinya. Perlahan membuka kelopak mata yang terasa berat. Samar siluet wajah Alex terlihat. Dia tersenyum. Wajah yang mengusik hatinya beberapa bulan ini, senyum yang meluruhkan semua sakitnya terlihat begitu dekat. Wanita itu merasa mimpinya sangat indah."Alex, tidak cukupkah kau mengusikku setiap hari hingga harus datang ke mimpiku?" ucap Hanum lirih, lalu kembali memejamkan matanya, tetapi beberapa detik kemudian melotot mendengar kata-kata Alex."Aku tidak keberatan bila bercinta denganmu sekarang kau anggap mimpi juga?"Hanum terlonjak, lalu meringis memegang keningnya yang beradu dengan Alex. "Ini bukan mimpi ...?" tanya Hanum dengan wajah bingung.Alex tersenyum simpul. Sakit di keningnya hilang melihat wajah polos Hanum."Tidak. Tidurmu nyenyak sekali. Aku tidak tega membangunkanmu jadi kugendong saja ke kamar."Ap
'Cinta itu dibangun di atas pondasi kepercayaan dan kejujuran.Bila nanti badai menerjang dia tetap kokoh tak tergoyahkan.'------------------------Alex tersenyum melihat foto yang dikirim Neysa ke ponselnya. Terlihat sosok Hanum mengenakan celemek dengan baju rumahan dan rambut dicepol asal sedang mengaduk sesuatu di atas kompor. Sepertinya Neysa mengambil foto itu diam-diam.Tangan Alex menelusuri wajah polos Hanum. Wanita itu semakin terlihat menarik dengan penampilan sesederhana itu.. Dia selalu tampak cantik mengenakan apa pun, apalagi ... Alex terkekeh menyadari betapa kotor pikirannya saat ini.'Dasar pria mesum,' umpatnya geli.Senyumnya memudar ketika melihat pintu terbuka menampilkan sosok Alicia masuk dengan senyum dibuat semanis mungkin membuat mood Alex turun drastis."Hei, Alex apa kabar?" tanya Alicia hendak memeluk Alex, tetapi urung karena laki-laki itu berdiri dan berjalan memutari meja kerjanya."Apa yang kau lakukan di sini?!" cetus Alex dingin.Alicia mendesah. "
'Dulu kau abai dan menghinakanku. Menutup mata atas semua luka dan perihku. Menampik keberadaanku. Lalu mengapa kini kau datang menyatakan aku milikmu. Maaf, kau telah lama mati untukku.---------------------------Mata Hanum terpaku pada ruangan di depannya. Tak dipedulikan bajunya yang dipenuhi bekas darah Amelia. Tubuhnya bergetar, wajahnya basah oleh air mata. Bayang tubuh Amelia yang tergeletak di jalan kembali menghantuinya. "Aku sudah menghubungi keluarganya. Sebentar lagi mereka datang," ucap Alex, memeluk tubuh Hanum yang gemetar, membawanya duduk di kursi yang ada di depan ruang operasi."Aku yang salah ... dia hanya ingin bicara. Harusnya aku berhenti. Aku ..."Alex mengetatkan pelukannya, mengecup lama pucuk kepala Hanum. "Sstt, ini bukan salahmu. Ini musibah," ucapnya menenangkan.Hanum menggeleng, dia mulai menangis. "Alex, bagaimana jika-""Sudah, tenangkan dirimu. Dia pasti baik-baik saja," Alex mengusap lembut punggung Hanum. Memberi ketenangan semampunya karena wani
'Aku memaafkan, tapi tidak melupakan. Tak pernah pula melirihkan doa kebencian.Jika yang kau tanam kebaikan tak mungkin petaka yang kau petik.'----------------------Satu bulan berlalu sejak kejadian itu. Amelia sudah sadar dari koma. Seperti prediksi dokter, wanita itu mengalami kelumpuhan pada kakinya. Mengetahui itu, Hanum didera rasa bersalah. Dia selalu termenung, senyum kembali pudar dari wajahnya. Alex tentu saja menyadari perubahan Hanum. Dia mencoba membesarkan hati wanita itu, tetapi sia-sia saja. Hanum seolah membiarkan dirinya terseret dalam rasa bersalah berkepanjangan.Ting.Sebuah notifikasi masuk ke ponsel Hanum. Sedikit enggan dia membaca pesan yang dikirim seseorang. Mata Hanum memanas melihat foto Amelia tampak menyedihkan di atas kursi roda."Bisa kita bertemu? Ada yang ingin kubicarakan." Sebuah pesan dikirimkan bersama foto tersebut. Hanum menggigit bibirnya, berpikir perlu tidaknya membalas pesan itu."Kumohon, sekali ini saja. Apa kau tidak penasaran alasa
"Aku benar-benar kecewa sama Alex. Pasti wanita itu yang menghasutnya." Nina masuk ke ruang kerja papanya sambil mengomel dan wajah kusut.Pak Burhan hanya diam, dia tetap melanjutkan pekerjaannya sambil menunggu putrinya itu melimpahkan amarah."Papa tahu, Alex mengusirku hanya karena wanita itu! Padahal dia tak punya kelebihan apa-apa dibanding aku. Aku bisa menyokong usahanya, aku mengerti bisnis, tapi dia lebih condong ke wanita itu.""Kamu selalu menyebut wanita itu wanita itu. Setidaknya kamu sebut namanya.""Papa tahu siapa yang aku maksud. Siapa lagi kalau bukan Hanum" balas Nina dengan nada keras."Papa rasa tidak ada yang salah dengan Alex. Kamu yang terlalu agresif dan memaksakan kehendakmu padanya. Kau tahu dengan jelas kalau laki-laki itu sangat mencintai Hanum dan kau seakan-akan meminta dia memilih, jelas Alex akan memilih istrinya.""Tapi dia janji mau nikahi aku, Pa!" Nina tak mau kalah. Sifat aslinya keluar. Wajah manis yang selama ini dia tampaknya berubah menjadi r
"Sialan!"Dengan raut kesal Nina melemparkan tasnya ke sembarang arah. Niat mendatangi rumah Hanum dan bersikap seolah-olah menguasai rumah itu untuk membuat mental si wanita jatuh, malah gagal total. Dia tidak memperhitungkan Neysa. Gadis remaja itu ternyata berpihak kepada Hanum. Tak mungkin dia lupa senyum puas di wajah Hamum melihat Alex membentaknya. Ternyata, wanita itu lebih pintar dari yang dia kira. Dia yakin Hanumlah yang menghasut Neysa untuk mengerjainya. Nina benar-benar dibuat seperti orang bodoh di depan lelaki pujaannya oleh kedua orang itu.'Dasar tidak tahu terima kasih! Sudah ditolong malah berniat mencelakakanku. Lihat saja, aku akan membalas perbuatanmu.' Nina mengumpat sambil mengepalkan kedua tangannya.Nina bukan tipe wanita yang tertarik dengan pernikahan. Dia lebih hubungan tanpa ikatan, gaya hidup yang dia jalani sejak remaja. Tinggal di Singapura serba bebas adalah surga baginya. Alex adalah teman lamanya dan mendiang suaminya. Sejak dulu dia menyukai l
Pagi itu, ketika Hanum bersiap ke rumah sakit untuk melakukan pemeriksaan bekas jahitan dan juga perkembangan bayinya, mobil milik Nina memasuki pekarangan rumahnya.. Wanita itu datang ke rumah Hanum sambil membawa beberapa kantong plastik berisi berbagai bahan makanan. Begitu melihat Hanum, Nina tersenyum ramah sambil melambaikan tangannya."Pagi, Num, aku mau bantu urus anak-anak dan memasak untuk keluarga," ucap Nina sembari memperlihatkan barang bawaannya, seolah-olah dia masuk ke rumah sendiri.Dahi Hanum berkerut saat mendengar ucapan Nina. Dia mengulas senyum untuk menyembunyikan amarahnya. "Makasih, Nin, kamu enggak perlu repot-repot," balasnya berusaha tetap ramah. Hanum tidak ingin paginya dirusak oleh Nina.Melihat sikap Hanum yang melunak, Nina merasa di atas angin. Dia tersenyum. "Ah, enggak apa-apa kok. Aku ingin membantu. Lagipula, aku ingin belajar memasak masakan rumahan yang enak seperti yang sering kamu buat," ujarnya lalu masuk begitu saja tanpa permisi, seakan
Setelah Hanum melahirkan. Alex menghabiskan waktu di rumah sakit untuk menemani bayi mereka yang sedang berjuang untuk hidup. Dia juga terus mendampingi sang istri, memberikan dukungan dan kasih sayang yang dibutuhkan wanita itu, walaupun sikap Hanum masih saja dingin, meskipun begitu dia tidak menyerah untuk mengambil hati sang istri. Sementara Hanum terus berusaha menggerakkan tubuhnya agar segera pulih. Dia tak ingin berlama-lama di rumah sakit. Beruntung, bayi mereka baik-baik saja sehingga bisa tidur kembali dengan Hanum."Num, apa kau butuh sesuatu?" Alex mencoba mencairkan suasa yang membeku."Aku enggak butuh apa-apa. Makasih."Alex menghela napas. Meski singkat setidaknya Hanum sudah mulai bicara padanya.Pada saat yang bersamaan, Nina yang merasa terabaikan oleh Alex, mencoba mencari cara agar bisa mendapatkan perhatian lelaki itu kembali. Setelah berpikir matang, dia memutuskan untuk mengunjungi rumah sakit dan membawa beberapa perlengkapan bayi sebagai hadiah untuk Hanum
Alex menginjak gas agar mobilnya semakin melaju ke rumah sakit. Di dalam hati rasa cemas mencengkeram jantungnya, doa-doa keselamatan tak berhenti dia gumamkan untuk sang istrinya, satu-satunya wanita yang dia cintai. Alex tidak bisa membayangkan hidupnya seperti apa jika sesuatu menimpa wanita yang dicintainya. Penyesalan bertalu talu menggedor ke dalam dada lelaki itu, andai Neysa tidak meneleponnya tadi, mungkin dia sudah larut ke dalam pesona Nina. Wanita itu tahu bagaimana menarik perhatiannya.'Sial! Bisa-bisanya aku terlena hanya karena masakan saja. Bagaimana perasaan Hanum kalau dia tahu aku selemah itu? Padahal hasil masakan istriku jauh lebih enak.'Alex memukul setir mobil saking kesal pada dirinya sambil mengumpat. Harusnya dia lebih memperhatikan kondisi Hanum yang sedang hamil, bukannya sibuk mencari cara bagaimana menjaga hati kedua wanita tersebut. Toh, Hanum lebih berhak atasnya secara hukum agama dan negara, sementara dengan Nina dan dia hanya terikat janji saja. Al
Alex merasakan benar ada yang berubah dalam diri Hanum sejak dua bulan terakhir. Tepatnya setelah Nina datang ke rumah. Istrinya itu tidak lagi banyak bicara, cenderung tertutup, dan menarik diri darinya. Meski Hanum tidak pernah melalaikan kewajibannya sebagai seorang istri. Dia tetap melayani kebutuhan Alex dengan khidmat dan baik, tetapi sikap si wanita yang lebih banyak diam menyiksa hati Alex. Rumahnya yang dulu riuh karena gelak tawa dan canda, kini mendadak sepi dan kehilangan cahaya juga gairahnya. Hanum hanya akan tersenyum ketika mereka berkumpul dengan anak-anak, tetapi ketika hanya berdua saja di dalam kamar sikapnya sedingin es. Wanita itu tidak pernah lagi mempertanyakan bagaimana kelanjutan hubungannya dengan Nina, Juga tak ada pertanyaan mengapa kini selalu pulang larut malam. Begitupun Neysa dan si kembar, anak-anaknya itu seakan tahu kalau hubungan kedua orang tuanya tidak sedang baik-baik saja. Meski diam dan terlihat tenang, Alex tahu semua itu hanya untuk menut
Suasana di dalam mobil yang dikemudikan oleh Alex terasa sangat sepi, hanya terdengar suara dari pemutar musik yang membuat suasana tidak terasa seperti di areal pemakaman. Hanum masih setia dengan diamnya. Dia enggan bicara setelah mendengarkan fakta menyakitkan yang keluar dari bibir Pak Burhan. Dia masih tidak percaya kalau selama ini Alex menyimpan kebohongan yang sangat besar di belakangnya. Mengapa laki-laki itu tidak jujur sejak awal? Mengapa dia tak dibiarkan memilih melanjutkan rencana pernikahan atau tidak sehingga tidak perlu menjadi orang kedua di dalam hubungan antara Nina dan lelaki itu.Sekarang dia tidak tahu apa yang harus dilakukan. Di satu sisi dia merasa berhak pada Alex, tetapi di sisi lain Nina juga tidak bersalah. Wajar wanita itu kesal padanya karena mengira dia telah merebut Alex. Kini, untuk mundur pun tak mungkin, sebab ada anak-anak yang akan menjadi korban dari sebuah perceraian. Akan tetapi, dia juga tak mungkin sanggup berbagi raga dan hati. Terpisah j
Hanum menatap rumah modern bergaya victoria di depannya. Bangunan megah berlantai dua dengan banyak ruangan di dalamnya. Dari luar saja orang yang bertamu tahu kalau si empunya rumah memiliki selera tinggi. Belum lagi furniture mewah dan klasik yang menghiasi setiap sudut rumah membuat yang datang akan betah berlama-lama di sana."Ayo turun." Hanum membuka pintu mobil lalu keluar dari mobil diikuti oleh Neysa dan Aruna yang sejak tadi tak berhenti mebgoceh, sementara Arjun tak jadi ikut, sebab sudah tertidur di depan televisi sembari menunggunya bersiap-siap. Neysa berjalan di samping Hanum yang membimbing Aruna. Gadis itu hanya diam seolah-olah tahu awan mendung yang sedang bergelayut di hati sang bunda. Neysa, dia sering melirik ibu sambungnya itu. Wajah datar Hanum membuatnya sedih. Sudah lama dia tidak melihat raut seperti itu dan berharap tidak akan pernah. Terakhir ketika si wanita meninggalkan rumahnya sekitar empat atau lima tahun yang lalu. Tak lama kemudian dia dan papanya
Seluruh tulang di tubuh Hanum seolah-olah dilolosi setelah membaca tulisan di kuitansi tadi. Berkali-kali dia menghela napas untuk menenangkan badai yang tiba-tiba saja berkecamuk di dalam dada. Sekeras apa pun dia berprasangka baik kepada Alex, bukti-bukti terus berdatangan menggoyahkan hatinya. Haruskah dia menanyakan masalah kuitansi pembelian kepada lelaki tersebut? Bagaimana kalau Alex tersinggung dan menghadirkan masalah yang tidak perlu di rumah tangga mereka? Hanum memejamkan mata sembari menekan dadanya yang nyeri, dia berharap air matanya keluar membawa perih yang menusuk tanpa iba, tetapi saking sakitnya tak setetes pun cairan bening itu tumpah.'Buket bunga itu dibelikan oleh sekretarisku. Aku bahkan tidak ingat kalau Nina ulang tahun.'Kata-kata Alex terngiang di benak Hanum. Entah mengapa sekarang dia meragukan perkataan suaminya itu. Tak ingin kepalanya dipenuhi prasangka, dia merogoh ponsel yang ada di dalam saku bajunya. Dia menatap layar benda itu yang masih menghit