'Cinta seperti pisau bermata dua. Tetap melukai dari sudut mana pun. Bodohnya aku, menggenggamnya terlalu erat hingga sakitnya mencerabuti seluruh rasa.Sejak malam itu hubungan keduanya berubah dingin. Alex lebih sering menghabiskan waktu di ruang kerjanya. Tak ada pembicaraan lagi di antara mereka. Hanya pada Neysa, Alex masih tersenyum, sabar mendengar celotehan gadis itu. Hanum tak berani mendekat, sorot mata laki-laki itu seperti api yang membakarnya dalam kebencian. Wanita itu terpuruk dalam duka tak berkesudahan. Berkubang dalam luka yang sama. Diabaikan tanpa tahu salahnya. Tuhan mungkin menciptakannya dalam wujud begitu indah, digilai dua lelaki. Namun, lupa menuliskan kisah bahagia untuknya.Mendesah lelah, melihat dari jauh dua orang yang menempati ruang khusus di hati. Keduanya terlihat ceria. Hanum tersenyum getir. Mungkin waktunya telah usai. Lakonnya di rumah ini tak diperlukan lagi. Terseok melangkah menaiki anak tangga satu per satu. Menikmati bahagia yang sebentar l
'Cinta itu memberi tanpa pernah berharap balas, tak pernah membenci karna dalam cinta selalu ada kata ... maaf.'----------------------------Alex menggeliat beberapa kali. Aroma arabica dan roti panggang menggelitik hidungnya. Perlahan kelopak matanya terbuka dan melihat sosok Hanum berjalan menjauhi ranjangnya."Hanum ..." panggil Alex pelan. Dia berharap Hanum tidak mendengar dan terus melangkah. Namun, wanita beraroma strawberry itu terlalu peduli. Dia berbalik. Menatap Alex dengan mata teduh yang membuat sang pria semakin merasa bersalah. "Terima kasih ... " lirihnya.Hanum mengangguk. "Air panas sudah saya siapkan. Di meja ada pakaian ganti dan aspirin." ucapnya datar, lalu berbalik keluar kamar.Alex menjatuhkan kembali tubuhnya ke ranjang. Menatap langit-langit kamar. Terngiang kata-kata gilang semalam membuat penyesalan semakin menerobos hatinya."Jangan samakan semua wanita seperti dia. Hanum beda. Dia peduli sama lo dan Neysa. Padahal kalian bukan keluarganya. Coba pikir,
"Mama, jangan tinggalkan Alex. Aku ikut sama Mama ..." "Mama ngga bisa bawa kamu. Tinggal aja sama Papa.""Ngga, Alex ikut Mama ...""Kamu tuli, ya! Mama ngga bisa, kamu itu cuma beban!""Livia! Jangan bicara seperti itu. Alex putramu.""Terserah, kamu urus sendiri.""Livia ... hentikan semua kegilaanmu. Kau akan menghancurkan dua keluarga. Lihat Alex, dia masih membutuhkanmu.""Aku ngga peduli! Aku udah ngga cinta sama kamu.""Pikirkan lagi. Aku akan memaafkanmu dan bersedia mengakui anak itu sebagai anakku, tapi kembalilah jadi Livia yang dulu.""Maaf, anak ini bukti cintaku pada Wicaksono. Buka matamu, kita sudah selesai."..Alex terus mengerang dalam tidurnya. Dia merintih memanggil seseorang. Keringat membasahi T-shirt putihnya. Dia gelisah, tangannya menggapai ke sembarang arah. "Alex, alex!"Tepukan di pipi dan suara yang sangat dia kenal menariknya dari mimpi buruk. Kelopak matanya terbuka dan melihat Hanum duduk di tepi ranjang sedang menatap cemas. Alex menegakkan tubuh
'Haruskah aku melepasmu sekarang? Sementara cinta ini baru berbunga'--------------------Hanum acuh, ponselnya tak berhenti bergetar sejak tadi. Setelah pertemuan di restoran, dia melarikan diri secepat mungkin. Dia tidak mengira dua laki-laki yang bersengketa berasal dari rahim yang sama. Sepanjang pertemuan dia hanya diam, terlalu shock dengan kenyataan yang ada di hadapannya. Dia ada di sana, tetapi pikirannya melayang entah ke mana. Seakan mimpi jika Alex dan Adrian bersaudara dan dia mencintai keduanya, meski Adrian hanya masa lalu. Hidup bersama Alex sekarang rasanya sebuah kemustahilan. Tidak mungkin dia menikah dengan kakak mantan suaminya, sementara sang mantan begitu terobsesi padanya.Hanum merasa ironi. Mengapa jalan hidupnya serumit ini. Satu per satu ujian dijalaninya dengan ikhlas, tetapi kenapa semakin lama semakin berat. Dia manusia biasa, punya batas kesabaran yang tidak bisa ditolerir lagi. Hanum putus asa. Dia mulai percaya jika hidupnya sebuah kutukan. Bahagia h
'Cinta itu menerima apa adanya. Omong kosong! Demi cintamu, aku rela menjadi manusia paling egois.'-----------------------Alex mengumpat beberapa kali. Dokumen di depannya dibiarkan berserakan di atas meja kerja, konsentrasinya pecah. Dua hari Hanum meninggalkan rumah dan dia sudah tidak sabar lagi. Mudah sebenarnya bagi seorang Alex Bagaspati menemukan keberadaan wanita itu, sayangnya, Hanum lebih cerdik. Dia mematikan ponselnya sehingga pria itu tak mengendus lokasinya. "Pak, ada yang ingin bertemu," Alex berdecak keras, menatap sekretarisnya tajam. "Kau lupa apa yang kuperintahkan?!" ketusnya.Sang sekretaris menunduk ketakutan. Selalu begitu jika sang Presdir menampakkan taringnya. " M-maaf, Pak. Tapi, dia menyebut nama Buk Hanum. Saya pikir-":Siapa namanya?" sambar Alex cepat."Adrian Wicaksono," jawab sang Sekretaris.Seketika wajah Alex mengeras. Kedua tangannya mencengkeram lengan kursi putarnya.'Mau apa dia ke sini? Apa Hanum bersamanya ...? Ah, tidak! Hanum tak
'Bahkan disetiap hembusan napasmu hanya ada aku. Maafkan cinta ini yang selalu melukaimu berkali-kali.Sungguh ... aku ingin berhenti di hatimu, jadi bertahanlah.'--------------------------------------"Alex, aku menemukan lokasi GPS, Hanum.""Di mana?""Penginapan Widuri di Km. 10. Tapi ...""Tapi apa, Gilang? Jangan membuatku penasaran.""Orangku meretas CCTV penginapan itu beberapa menit yang lalu, sekedar meyakinkan saja.""Apa yang ingin kau katakan!""Apa Hanum berteman dengan Alicia?""Hanum, apa?! SIAL! Gilang, hubungi polisi, aku dekat dengan lokasi. Retas akses penginapan itu, cari di kamar berapa Hanum. Aku tidak mau membuang waktu dengan bertanya."Alex mengemudikan mobilnya seperti orang kesetanan. Dia gelisah, seperti sesuatu yang buruk akan terjadi. Beberapa kali menyalip kendaraan yang ada di depan. Pria itu tak peduli, menemukan Hanum prioritasnya sekarang. Dia tahu segila apa Alicia, karena itu dia tidak pernah menanggapi wanita itu. Mana mungkin dia menjadikan seor
'Ada saatnya kita harus menempuh jalan berliku demi mendapatkan sesuatu. Ada kalanya harus merasakan sakit berkali-kali agar hati terlatih dan kuat. Namun,Satu yang pasti, sejauh apa pun kaki melangkah, sesulit apa pun aral melintang, cinta selalu tahu kemana dia harus pulang.'----------------------------Hanum bersandar ke jendela rumah sakit, memmerhatikan titik air yang turun menyampaikan rindu kepada bumi. Gerimis yang kemudian menjadi hujan deras, semakin membuat hatinya yang dingin semakin beku. Satu bulan Adrian terjebak dalam tidur panjangnya. Dokter sudah memindahkannya dari ruang steril ke kamar inap. Dia seolah enggan membuka mata. Takut menyergap hati Hanum. Dia takut jika Adrian memilih menyerah, takut jika akhirnya Tuhan memintanya pulang. Setiap pikiran itu datang, secepat itu pula dia menepisnya. Wanita itu menolak menyerah, tidak selama jantung Adrian masih berdetak, harapan itu selalu ada.*"Hanum ..."Langkah wanita itu terhenti ketika Amelia menghadangnya di pin
'Jika engkau bukan jalanku, kuberhenti mengharapkanmu.Jika engkau memang tercipta untuk, jodoh pasti bertemu.'(Afgan)-----------------------Alex menatap Neysa dari jendela kamarnya. Sejak Hanum menginjakkan kaki pertama kali di rumah ini, gadis kecilnya itu selalu tersenyum. Wanita tersebut seperti cahaya yang menerangi kegelapan hidup Neysa. Putrinya itu kembali bersemangat menjalani hidup. Perlakuan dan kasih sayang Hanum yang begitu tulus merasuk hingga ke sanubari Neysa. Alex bahkan merasa Neysa lebih mencintai Hanum dibanding dirinya.Jika dulu, Alex tentu akan bahagia karena dia yakin menjadikan Hanum sebagai ibu sambung bagi Neysa. Akan tetapi, semua menjadi abu-abu ketika dua hari yang lalu tanpa sengaja melihat Hanum dan Livia ke luar dari sebuah restoran. Hanum terlihat kusut, begitu pun dengan Livia, tetapi wanita itu masih bisa tersenyum dan memeluk Hanum hangat. Sejak hari itu Hanum berubah murung. Sering dia mendapati wanita itu melamun. Pandangannya menerawang jauh