'Haruskah aku melepasmu sekarang? Sementara cinta ini baru berbunga'--------------------Hanum acuh, ponselnya tak berhenti bergetar sejak tadi. Setelah pertemuan di restoran, dia melarikan diri secepat mungkin. Dia tidak mengira dua laki-laki yang bersengketa berasal dari rahim yang sama. Sepanjang pertemuan dia hanya diam, terlalu shock dengan kenyataan yang ada di hadapannya. Dia ada di sana, tetapi pikirannya melayang entah ke mana. Seakan mimpi jika Alex dan Adrian bersaudara dan dia mencintai keduanya, meski Adrian hanya masa lalu. Hidup bersama Alex sekarang rasanya sebuah kemustahilan. Tidak mungkin dia menikah dengan kakak mantan suaminya, sementara sang mantan begitu terobsesi padanya.Hanum merasa ironi. Mengapa jalan hidupnya serumit ini. Satu per satu ujian dijalaninya dengan ikhlas, tetapi kenapa semakin lama semakin berat. Dia manusia biasa, punya batas kesabaran yang tidak bisa ditolerir lagi. Hanum putus asa. Dia mulai percaya jika hidupnya sebuah kutukan. Bahagia h
'Cinta itu menerima apa adanya. Omong kosong! Demi cintamu, aku rela menjadi manusia paling egois.'-----------------------Alex mengumpat beberapa kali. Dokumen di depannya dibiarkan berserakan di atas meja kerja, konsentrasinya pecah. Dua hari Hanum meninggalkan rumah dan dia sudah tidak sabar lagi. Mudah sebenarnya bagi seorang Alex Bagaspati menemukan keberadaan wanita itu, sayangnya, Hanum lebih cerdik. Dia mematikan ponselnya sehingga pria itu tak mengendus lokasinya. "Pak, ada yang ingin bertemu," Alex berdecak keras, menatap sekretarisnya tajam. "Kau lupa apa yang kuperintahkan?!" ketusnya.Sang sekretaris menunduk ketakutan. Selalu begitu jika sang Presdir menampakkan taringnya. " M-maaf, Pak. Tapi, dia menyebut nama Buk Hanum. Saya pikir-":Siapa namanya?" sambar Alex cepat."Adrian Wicaksono," jawab sang Sekretaris.Seketika wajah Alex mengeras. Kedua tangannya mencengkeram lengan kursi putarnya.'Mau apa dia ke sini? Apa Hanum bersamanya ...? Ah, tidak! Hanum tak
'Bahkan disetiap hembusan napasmu hanya ada aku. Maafkan cinta ini yang selalu melukaimu berkali-kali.Sungguh ... aku ingin berhenti di hatimu, jadi bertahanlah.'--------------------------------------"Alex, aku menemukan lokasi GPS, Hanum.""Di mana?""Penginapan Widuri di Km. 10. Tapi ...""Tapi apa, Gilang? Jangan membuatku penasaran.""Orangku meretas CCTV penginapan itu beberapa menit yang lalu, sekedar meyakinkan saja.""Apa yang ingin kau katakan!""Apa Hanum berteman dengan Alicia?""Hanum, apa?! SIAL! Gilang, hubungi polisi, aku dekat dengan lokasi. Retas akses penginapan itu, cari di kamar berapa Hanum. Aku tidak mau membuang waktu dengan bertanya."Alex mengemudikan mobilnya seperti orang kesetanan. Dia gelisah, seperti sesuatu yang buruk akan terjadi. Beberapa kali menyalip kendaraan yang ada di depan. Pria itu tak peduli, menemukan Hanum prioritasnya sekarang. Dia tahu segila apa Alicia, karena itu dia tidak pernah menanggapi wanita itu. Mana mungkin dia menjadikan seor
'Ada saatnya kita harus menempuh jalan berliku demi mendapatkan sesuatu. Ada kalanya harus merasakan sakit berkali-kali agar hati terlatih dan kuat. Namun,Satu yang pasti, sejauh apa pun kaki melangkah, sesulit apa pun aral melintang, cinta selalu tahu kemana dia harus pulang.'----------------------------Hanum bersandar ke jendela rumah sakit, memmerhatikan titik air yang turun menyampaikan rindu kepada bumi. Gerimis yang kemudian menjadi hujan deras, semakin membuat hatinya yang dingin semakin beku. Satu bulan Adrian terjebak dalam tidur panjangnya. Dokter sudah memindahkannya dari ruang steril ke kamar inap. Dia seolah enggan membuka mata. Takut menyergap hati Hanum. Dia takut jika Adrian memilih menyerah, takut jika akhirnya Tuhan memintanya pulang. Setiap pikiran itu datang, secepat itu pula dia menepisnya. Wanita itu menolak menyerah, tidak selama jantung Adrian masih berdetak, harapan itu selalu ada.*"Hanum ..."Langkah wanita itu terhenti ketika Amelia menghadangnya di pin
'Jika engkau bukan jalanku, kuberhenti mengharapkanmu.Jika engkau memang tercipta untuk, jodoh pasti bertemu.'(Afgan)-----------------------Alex menatap Neysa dari jendela kamarnya. Sejak Hanum menginjakkan kaki pertama kali di rumah ini, gadis kecilnya itu selalu tersenyum. Wanita tersebut seperti cahaya yang menerangi kegelapan hidup Neysa. Putrinya itu kembali bersemangat menjalani hidup. Perlakuan dan kasih sayang Hanum yang begitu tulus merasuk hingga ke sanubari Neysa. Alex bahkan merasa Neysa lebih mencintai Hanum dibanding dirinya.Jika dulu, Alex tentu akan bahagia karena dia yakin menjadikan Hanum sebagai ibu sambung bagi Neysa. Akan tetapi, semua menjadi abu-abu ketika dua hari yang lalu tanpa sengaja melihat Hanum dan Livia ke luar dari sebuah restoran. Hanum terlihat kusut, begitu pun dengan Livia, tetapi wanita itu masih bisa tersenyum dan memeluk Hanum hangat. Sejak hari itu Hanum berubah murung. Sering dia mendapati wanita itu melamun. Pandangannya menerawang jauh
'Hal yang paling menyakitkan adalah ketika mencintai, tetapi tak bisa mengungkapkannya. Memilih pergi bukan karena menyerah. Namun, melindungi hati agar tidak terluka parah,'----------------------Hanum menatap kosong ke luar jendela rumah sakit. Raganya di sini bersama Adrian yang masih terbaring koma, tetapi hati dan pikirannya berkelana mencari jejak bayang Alex dan Neysa. Perlahan air matanya merembes ke pipi. Wanita itu lebih sering menangis sekarang. Keputusannya melepas Alex adalah hal terbodoh dan menyakitkan. Namun, berada di antara dua saudara dan membuat mereka bersitegang demi dirinya bukan sesuatu yang akan dipilih Hanum.Seburuk apa pun hubungan sebuah keluarga, saudara tetaplah saudara. Hanum tak ingin menjadi penyebab semakin rusaknya hubungan itu. Dia lebih memilih pergi dan memendam lukanya sendiri. Masih terngiang kata-kata Gilang ketika mereka bertemu di kantin rumah sakit. Dia mengabarkan jika Alex memutuskan kembali ke Singapura dan menetap di sana. Selain itu m
Cinta ini, sialan sekali! Tak jua pudar meski kau menjauh.'---------------------Adrian tersenyum melihat pantulan dirinya di dalam cermin. Sosok lelaki gagah dalam balutan T-Shirt putih dipadu dengan jeans hitam, semakin menawan dengan jas slimfit berwarna senada dengan celananya. Wajahnya terlihat cerah, tidak terlihat sama sekali seperti orang yang baru bangun dari koma.Setelah puas mengagumi dirinya, Adrian meraih kunci mobil yang tergantung di sebelah cermin. Langkahnya ringan keluar dari kamar, mulutnya tak berhenti bersenandung tembang cinta."Mau ke mana?" tegur Livia yang sedang menata meja makan. Melihat Adrian melewatinya dengan senyum terukir di wajah.Adrian berhenti sejenak. " mau ajak Hanum dinner, Ma."Livia mengerutkan dahinya, mendekati putra kesayangannya. "Cuma dinner?" Adrian menggaruk tengkuknya, salah tingkah karna tatapan Livia yang bisa menebak pikirannya. "Em ... sebenarnya aku mau ngajakin Hanum rujuk," akunya.Livia tersenyum, merapikan jas Adrian yang t
Rindu ini sungguh mengesalkan! Selalu bertambah tanpa tahu cara menguranginya.'------------------------Dua tahun kemudian.Seorang laki-laki keluar dari gerbang kedatangan bandara Soekarno-Hatta. Langkahnya tenang dan terukur. Mata elangnya tersembunyi dari balik kaca mata hitam yang tersemat di tulang hidung tingginya, rahang tegas, dan bibir penuh kemerahan membuatnya terlihat misterius. Dia membuka kaca matanya ketika melihat seorang laki-laki melambai, dia tersenyum tipis mendekati laki-laki tersebut."Hai, Bro! Gimana perjalanan lo?" tanya laki-laki itu, antusias."Sudah gue bilang, Gilang, stop basa-basi. I don't like it."Gilang tertawa. "Pemarah seperti biasa."Laki-laki itu mendengkus, menyematkan lagi kaca matanya, lalu meninggalkan Gilang yang masih setia dengan dengan tawanya."Hei, Alex! Tungguin gue." Gilang gegas mengejar laki-laki yang dipanggil Akex, tetapi yang dipanggil acuh tak acuh.Alex masuk ke dalam mobil hitam yang telah menunggunya di pelataran parkir banda
"Aku benar-benar kecewa sama Alex. Pasti wanita itu yang menghasutnya." Nina masuk ke ruang kerja papanya sambil mengomel dan wajah kusut.Pak Burhan hanya diam, dia tetap melanjutkan pekerjaannya sambil menunggu putrinya itu melimpahkan amarah."Papa tahu, Alex mengusirku hanya karena wanita itu! Padahal dia tak punya kelebihan apa-apa dibanding aku. Aku bisa menyokong usahanya, aku mengerti bisnis, tapi dia lebih condong ke wanita itu.""Kamu selalu menyebut wanita itu wanita itu. Setidaknya kamu sebut namanya.""Papa tahu siapa yang aku maksud. Siapa lagi kalau bukan Hanum" balas Nina dengan nada keras."Papa rasa tidak ada yang salah dengan Alex. Kamu yang terlalu agresif dan memaksakan kehendakmu padanya. Kau tahu dengan jelas kalau laki-laki itu sangat mencintai Hanum dan kau seakan-akan meminta dia memilih, jelas Alex akan memilih istrinya.""Tapi dia janji mau nikahi aku, Pa!" Nina tak mau kalah. Sifat aslinya keluar. Wajah manis yang selama ini dia tampaknya berubah menjadi r
"Sialan!"Dengan raut kesal Nina melemparkan tasnya ke sembarang arah. Niat mendatangi rumah Hanum dan bersikap seolah-olah menguasai rumah itu untuk membuat mental si wanita jatuh, malah gagal total. Dia tidak memperhitungkan Neysa. Gadis remaja itu ternyata berpihak kepada Hanum. Tak mungkin dia lupa senyum puas di wajah Hamum melihat Alex membentaknya. Ternyata, wanita itu lebih pintar dari yang dia kira. Dia yakin Hanumlah yang menghasut Neysa untuk mengerjainya. Nina benar-benar dibuat seperti orang bodoh di depan lelaki pujaannya oleh kedua orang itu.'Dasar tidak tahu terima kasih! Sudah ditolong malah berniat mencelakakanku. Lihat saja, aku akan membalas perbuatanmu.' Nina mengumpat sambil mengepalkan kedua tangannya.Nina bukan tipe wanita yang tertarik dengan pernikahan. Dia lebih hubungan tanpa ikatan, gaya hidup yang dia jalani sejak remaja. Tinggal di Singapura serba bebas adalah surga baginya. Alex adalah teman lamanya dan mendiang suaminya. Sejak dulu dia menyukai l
Pagi itu, ketika Hanum bersiap ke rumah sakit untuk melakukan pemeriksaan bekas jahitan dan juga perkembangan bayinya, mobil milik Nina memasuki pekarangan rumahnya.. Wanita itu datang ke rumah Hanum sambil membawa beberapa kantong plastik berisi berbagai bahan makanan. Begitu melihat Hanum, Nina tersenyum ramah sambil melambaikan tangannya."Pagi, Num, aku mau bantu urus anak-anak dan memasak untuk keluarga," ucap Nina sembari memperlihatkan barang bawaannya, seolah-olah dia masuk ke rumah sendiri.Dahi Hanum berkerut saat mendengar ucapan Nina. Dia mengulas senyum untuk menyembunyikan amarahnya. "Makasih, Nin, kamu enggak perlu repot-repot," balasnya berusaha tetap ramah. Hanum tidak ingin paginya dirusak oleh Nina.Melihat sikap Hanum yang melunak, Nina merasa di atas angin. Dia tersenyum. "Ah, enggak apa-apa kok. Aku ingin membantu. Lagipula, aku ingin belajar memasak masakan rumahan yang enak seperti yang sering kamu buat," ujarnya lalu masuk begitu saja tanpa permisi, seakan
Setelah Hanum melahirkan. Alex menghabiskan waktu di rumah sakit untuk menemani bayi mereka yang sedang berjuang untuk hidup. Dia juga terus mendampingi sang istri, memberikan dukungan dan kasih sayang yang dibutuhkan wanita itu, walaupun sikap Hanum masih saja dingin, meskipun begitu dia tidak menyerah untuk mengambil hati sang istri. Sementara Hanum terus berusaha menggerakkan tubuhnya agar segera pulih. Dia tak ingin berlama-lama di rumah sakit. Beruntung, bayi mereka baik-baik saja sehingga bisa tidur kembali dengan Hanum."Num, apa kau butuh sesuatu?" Alex mencoba mencairkan suasa yang membeku."Aku enggak butuh apa-apa. Makasih."Alex menghela napas. Meski singkat setidaknya Hanum sudah mulai bicara padanya.Pada saat yang bersamaan, Nina yang merasa terabaikan oleh Alex, mencoba mencari cara agar bisa mendapatkan perhatian lelaki itu kembali. Setelah berpikir matang, dia memutuskan untuk mengunjungi rumah sakit dan membawa beberapa perlengkapan bayi sebagai hadiah untuk Hanum
Alex menginjak gas agar mobilnya semakin melaju ke rumah sakit. Di dalam hati rasa cemas mencengkeram jantungnya, doa-doa keselamatan tak berhenti dia gumamkan untuk sang istrinya, satu-satunya wanita yang dia cintai. Alex tidak bisa membayangkan hidupnya seperti apa jika sesuatu menimpa wanita yang dicintainya. Penyesalan bertalu talu menggedor ke dalam dada lelaki itu, andai Neysa tidak meneleponnya tadi, mungkin dia sudah larut ke dalam pesona Nina. Wanita itu tahu bagaimana menarik perhatiannya.'Sial! Bisa-bisanya aku terlena hanya karena masakan saja. Bagaimana perasaan Hanum kalau dia tahu aku selemah itu? Padahal hasil masakan istriku jauh lebih enak.'Alex memukul setir mobil saking kesal pada dirinya sambil mengumpat. Harusnya dia lebih memperhatikan kondisi Hanum yang sedang hamil, bukannya sibuk mencari cara bagaimana menjaga hati kedua wanita tersebut. Toh, Hanum lebih berhak atasnya secara hukum agama dan negara, sementara dengan Nina dan dia hanya terikat janji saja. Al
Alex merasakan benar ada yang berubah dalam diri Hanum sejak dua bulan terakhir. Tepatnya setelah Nina datang ke rumah. Istrinya itu tidak lagi banyak bicara, cenderung tertutup, dan menarik diri darinya. Meski Hanum tidak pernah melalaikan kewajibannya sebagai seorang istri. Dia tetap melayani kebutuhan Alex dengan khidmat dan baik, tetapi sikap si wanita yang lebih banyak diam menyiksa hati Alex. Rumahnya yang dulu riuh karena gelak tawa dan canda, kini mendadak sepi dan kehilangan cahaya juga gairahnya. Hanum hanya akan tersenyum ketika mereka berkumpul dengan anak-anak, tetapi ketika hanya berdua saja di dalam kamar sikapnya sedingin es. Wanita itu tidak pernah lagi mempertanyakan bagaimana kelanjutan hubungannya dengan Nina, Juga tak ada pertanyaan mengapa kini selalu pulang larut malam. Begitupun Neysa dan si kembar, anak-anaknya itu seakan tahu kalau hubungan kedua orang tuanya tidak sedang baik-baik saja. Meski diam dan terlihat tenang, Alex tahu semua itu hanya untuk menut
Suasana di dalam mobil yang dikemudikan oleh Alex terasa sangat sepi, hanya terdengar suara dari pemutar musik yang membuat suasana tidak terasa seperti di areal pemakaman. Hanum masih setia dengan diamnya. Dia enggan bicara setelah mendengarkan fakta menyakitkan yang keluar dari bibir Pak Burhan. Dia masih tidak percaya kalau selama ini Alex menyimpan kebohongan yang sangat besar di belakangnya. Mengapa laki-laki itu tidak jujur sejak awal? Mengapa dia tak dibiarkan memilih melanjutkan rencana pernikahan atau tidak sehingga tidak perlu menjadi orang kedua di dalam hubungan antara Nina dan lelaki itu.Sekarang dia tidak tahu apa yang harus dilakukan. Di satu sisi dia merasa berhak pada Alex, tetapi di sisi lain Nina juga tidak bersalah. Wajar wanita itu kesal padanya karena mengira dia telah merebut Alex. Kini, untuk mundur pun tak mungkin, sebab ada anak-anak yang akan menjadi korban dari sebuah perceraian. Akan tetapi, dia juga tak mungkin sanggup berbagi raga dan hati. Terpisah j
Hanum menatap rumah modern bergaya victoria di depannya. Bangunan megah berlantai dua dengan banyak ruangan di dalamnya. Dari luar saja orang yang bertamu tahu kalau si empunya rumah memiliki selera tinggi. Belum lagi furniture mewah dan klasik yang menghiasi setiap sudut rumah membuat yang datang akan betah berlama-lama di sana."Ayo turun." Hanum membuka pintu mobil lalu keluar dari mobil diikuti oleh Neysa dan Aruna yang sejak tadi tak berhenti mebgoceh, sementara Arjun tak jadi ikut, sebab sudah tertidur di depan televisi sembari menunggunya bersiap-siap. Neysa berjalan di samping Hanum yang membimbing Aruna. Gadis itu hanya diam seolah-olah tahu awan mendung yang sedang bergelayut di hati sang bunda. Neysa, dia sering melirik ibu sambungnya itu. Wajah datar Hanum membuatnya sedih. Sudah lama dia tidak melihat raut seperti itu dan berharap tidak akan pernah. Terakhir ketika si wanita meninggalkan rumahnya sekitar empat atau lima tahun yang lalu. Tak lama kemudian dia dan papanya
Seluruh tulang di tubuh Hanum seolah-olah dilolosi setelah membaca tulisan di kuitansi tadi. Berkali-kali dia menghela napas untuk menenangkan badai yang tiba-tiba saja berkecamuk di dalam dada. Sekeras apa pun dia berprasangka baik kepada Alex, bukti-bukti terus berdatangan menggoyahkan hatinya. Haruskah dia menanyakan masalah kuitansi pembelian kepada lelaki tersebut? Bagaimana kalau Alex tersinggung dan menghadirkan masalah yang tidak perlu di rumah tangga mereka? Hanum memejamkan mata sembari menekan dadanya yang nyeri, dia berharap air matanya keluar membawa perih yang menusuk tanpa iba, tetapi saking sakitnya tak setetes pun cairan bening itu tumpah.'Buket bunga itu dibelikan oleh sekretarisku. Aku bahkan tidak ingat kalau Nina ulang tahun.'Kata-kata Alex terngiang di benak Hanum. Entah mengapa sekarang dia meragukan perkataan suaminya itu. Tak ingin kepalanya dipenuhi prasangka, dia merogoh ponsel yang ada di dalam saku bajunya. Dia menatap layar benda itu yang masih menghit