"Mama, jangan tinggalkan Alex. Aku ikut sama Mama ..." "Mama ngga bisa bawa kamu. Tinggal aja sama Papa.""Ngga, Alex ikut Mama ...""Kamu tuli, ya! Mama ngga bisa, kamu itu cuma beban!""Livia! Jangan bicara seperti itu. Alex putramu.""Terserah, kamu urus sendiri.""Livia ... hentikan semua kegilaanmu. Kau akan menghancurkan dua keluarga. Lihat Alex, dia masih membutuhkanmu.""Aku ngga peduli! Aku udah ngga cinta sama kamu.""Pikirkan lagi. Aku akan memaafkanmu dan bersedia mengakui anak itu sebagai anakku, tapi kembalilah jadi Livia yang dulu.""Maaf, anak ini bukti cintaku pada Wicaksono. Buka matamu, kita sudah selesai."..Alex terus mengerang dalam tidurnya. Dia merintih memanggil seseorang. Keringat membasahi T-shirt putihnya. Dia gelisah, tangannya menggapai ke sembarang arah. "Alex, alex!"Tepukan di pipi dan suara yang sangat dia kenal menariknya dari mimpi buruk. Kelopak matanya terbuka dan melihat Hanum duduk di tepi ranjang sedang menatap cemas. Alex menegakkan tubuh
'Haruskah aku melepasmu sekarang? Sementara cinta ini baru berbunga'--------------------Hanum acuh, ponselnya tak berhenti bergetar sejak tadi. Setelah pertemuan di restoran, dia melarikan diri secepat mungkin. Dia tidak mengira dua laki-laki yang bersengketa berasal dari rahim yang sama. Sepanjang pertemuan dia hanya diam, terlalu shock dengan kenyataan yang ada di hadapannya. Dia ada di sana, tetapi pikirannya melayang entah ke mana. Seakan mimpi jika Alex dan Adrian bersaudara dan dia mencintai keduanya, meski Adrian hanya masa lalu. Hidup bersama Alex sekarang rasanya sebuah kemustahilan. Tidak mungkin dia menikah dengan kakak mantan suaminya, sementara sang mantan begitu terobsesi padanya.Hanum merasa ironi. Mengapa jalan hidupnya serumit ini. Satu per satu ujian dijalaninya dengan ikhlas, tetapi kenapa semakin lama semakin berat. Dia manusia biasa, punya batas kesabaran yang tidak bisa ditolerir lagi. Hanum putus asa. Dia mulai percaya jika hidupnya sebuah kutukan. Bahagia h
'Cinta itu menerima apa adanya. Omong kosong! Demi cintamu, aku rela menjadi manusia paling egois.'-----------------------Alex mengumpat beberapa kali. Dokumen di depannya dibiarkan berserakan di atas meja kerja, konsentrasinya pecah. Dua hari Hanum meninggalkan rumah dan dia sudah tidak sabar lagi. Mudah sebenarnya bagi seorang Alex Bagaspati menemukan keberadaan wanita itu, sayangnya, Hanum lebih cerdik. Dia mematikan ponselnya sehingga pria itu tak mengendus lokasinya. "Pak, ada yang ingin bertemu," Alex berdecak keras, menatap sekretarisnya tajam. "Kau lupa apa yang kuperintahkan?!" ketusnya.Sang sekretaris menunduk ketakutan. Selalu begitu jika sang Presdir menampakkan taringnya. " M-maaf, Pak. Tapi, dia menyebut nama Buk Hanum. Saya pikir-":Siapa namanya?" sambar Alex cepat."Adrian Wicaksono," jawab sang Sekretaris.Seketika wajah Alex mengeras. Kedua tangannya mencengkeram lengan kursi putarnya.'Mau apa dia ke sini? Apa Hanum bersamanya ...? Ah, tidak! Hanum tak
'Bahkan disetiap hembusan napasmu hanya ada aku. Maafkan cinta ini yang selalu melukaimu berkali-kali.Sungguh ... aku ingin berhenti di hatimu, jadi bertahanlah.'--------------------------------------"Alex, aku menemukan lokasi GPS, Hanum.""Di mana?""Penginapan Widuri di Km. 10. Tapi ...""Tapi apa, Gilang? Jangan membuatku penasaran.""Orangku meretas CCTV penginapan itu beberapa menit yang lalu, sekedar meyakinkan saja.""Apa yang ingin kau katakan!""Apa Hanum berteman dengan Alicia?""Hanum, apa?! SIAL! Gilang, hubungi polisi, aku dekat dengan lokasi. Retas akses penginapan itu, cari di kamar berapa Hanum. Aku tidak mau membuang waktu dengan bertanya."Alex mengemudikan mobilnya seperti orang kesetanan. Dia gelisah, seperti sesuatu yang buruk akan terjadi. Beberapa kali menyalip kendaraan yang ada di depan. Pria itu tak peduli, menemukan Hanum prioritasnya sekarang. Dia tahu segila apa Alicia, karena itu dia tidak pernah menanggapi wanita itu. Mana mungkin dia menjadikan seor
'Ada saatnya kita harus menempuh jalan berliku demi mendapatkan sesuatu. Ada kalanya harus merasakan sakit berkali-kali agar hati terlatih dan kuat. Namun,Satu yang pasti, sejauh apa pun kaki melangkah, sesulit apa pun aral melintang, cinta selalu tahu kemana dia harus pulang.'----------------------------Hanum bersandar ke jendela rumah sakit, memmerhatikan titik air yang turun menyampaikan rindu kepada bumi. Gerimis yang kemudian menjadi hujan deras, semakin membuat hatinya yang dingin semakin beku. Satu bulan Adrian terjebak dalam tidur panjangnya. Dokter sudah memindahkannya dari ruang steril ke kamar inap. Dia seolah enggan membuka mata. Takut menyergap hati Hanum. Dia takut jika Adrian memilih menyerah, takut jika akhirnya Tuhan memintanya pulang. Setiap pikiran itu datang, secepat itu pula dia menepisnya. Wanita itu menolak menyerah, tidak selama jantung Adrian masih berdetak, harapan itu selalu ada.*"Hanum ..."Langkah wanita itu terhenti ketika Amelia menghadangnya di pin
'Jika engkau bukan jalanku, kuberhenti mengharapkanmu.Jika engkau memang tercipta untuk, jodoh pasti bertemu.'(Afgan)-----------------------Alex menatap Neysa dari jendela kamarnya. Sejak Hanum menginjakkan kaki pertama kali di rumah ini, gadis kecilnya itu selalu tersenyum. Wanita tersebut seperti cahaya yang menerangi kegelapan hidup Neysa. Putrinya itu kembali bersemangat menjalani hidup. Perlakuan dan kasih sayang Hanum yang begitu tulus merasuk hingga ke sanubari Neysa. Alex bahkan merasa Neysa lebih mencintai Hanum dibanding dirinya.Jika dulu, Alex tentu akan bahagia karena dia yakin menjadikan Hanum sebagai ibu sambung bagi Neysa. Akan tetapi, semua menjadi abu-abu ketika dua hari yang lalu tanpa sengaja melihat Hanum dan Livia ke luar dari sebuah restoran. Hanum terlihat kusut, begitu pun dengan Livia, tetapi wanita itu masih bisa tersenyum dan memeluk Hanum hangat. Sejak hari itu Hanum berubah murung. Sering dia mendapati wanita itu melamun. Pandangannya menerawang jauh
'Hal yang paling menyakitkan adalah ketika mencintai, tetapi tak bisa mengungkapkannya. Memilih pergi bukan karena menyerah. Namun, melindungi hati agar tidak terluka parah,'----------------------Hanum menatap kosong ke luar jendela rumah sakit. Raganya di sini bersama Adrian yang masih terbaring koma, tetapi hati dan pikirannya berkelana mencari jejak bayang Alex dan Neysa. Perlahan air matanya merembes ke pipi. Wanita itu lebih sering menangis sekarang. Keputusannya melepas Alex adalah hal terbodoh dan menyakitkan. Namun, berada di antara dua saudara dan membuat mereka bersitegang demi dirinya bukan sesuatu yang akan dipilih Hanum.Seburuk apa pun hubungan sebuah keluarga, saudara tetaplah saudara. Hanum tak ingin menjadi penyebab semakin rusaknya hubungan itu. Dia lebih memilih pergi dan memendam lukanya sendiri. Masih terngiang kata-kata Gilang ketika mereka bertemu di kantin rumah sakit. Dia mengabarkan jika Alex memutuskan kembali ke Singapura dan menetap di sana. Selain itu m
Cinta ini, sialan sekali! Tak jua pudar meski kau menjauh.'---------------------Adrian tersenyum melihat pantulan dirinya di dalam cermin. Sosok lelaki gagah dalam balutan T-Shirt putih dipadu dengan jeans hitam, semakin menawan dengan jas slimfit berwarna senada dengan celananya. Wajahnya terlihat cerah, tidak terlihat sama sekali seperti orang yang baru bangun dari koma.Setelah puas mengagumi dirinya, Adrian meraih kunci mobil yang tergantung di sebelah cermin. Langkahnya ringan keluar dari kamar, mulutnya tak berhenti bersenandung tembang cinta."Mau ke mana?" tegur Livia yang sedang menata meja makan. Melihat Adrian melewatinya dengan senyum terukir di wajah.Adrian berhenti sejenak. " mau ajak Hanum dinner, Ma."Livia mengerutkan dahinya, mendekati putra kesayangannya. "Cuma dinner?" Adrian menggaruk tengkuknya, salah tingkah karna tatapan Livia yang bisa menebak pikirannya. "Em ... sebenarnya aku mau ngajakin Hanum rujuk," akunya.Livia tersenyum, merapikan jas Adrian yang t