Keluarga Fikri sudah tiba. Dua mobil berjejer di halaman rumah Bu Umi. Para tetangga pun mulai bergerumbul untuk melihat ada apa di rumah Zulfa.
"Fik, jangan gugup. Biasa aja!" goda Pak Said–paman Fikri.
"Iya, nih. Calonnya gak pernah diajak ke rumah tiba-tiba mau nikah," timpal ibu Fikri–Bu Hesti.
"Sudah, sudah. Jangan ribut sendiri. Kita sudah sampai ini!" Pak Farhan menghentikan perdebatan keluarganya.
"Kak, dia wanita yang udah lama Kakak tunggu, ya?" Faiz–adik Fikri satu-satunya menaik turunkan kedua alisnya.
"Jangan usil!" ketus Fikri.
Keluarga Fikri yang datang ada delapan orang. Masing-masing mereka membawa seserahan seperti peningset(kain jarik dan centing), tetel(makanan dari beras ketan yang dideplok dicampur dengan parutan kelapa), kue basah, dan buah-buahan.
"Assalamu'alaikum," salam keluarga Fikri serempak.
"Wa'alaikum salam," Bu Umi menyahut.
Keluarga Zulfa pun juga be
Bu Salma masih terngiang-ngiang dengan ucapan Zulfa tempo hari. Zulfa subur? Normal? Sehat? Lalu, kenapa dia tidak kunjung hamil?Pelbagai pertanyaan selalu berputar dalam benak beliau. Ucapan Nuril, tetangga Rio tempo hari pun kembali berputar. Beliau ingat saat Nuril terlihat ragu ketika akan berucap. Apakah ada hal lain yang belum ia sampaikan pada Bu Salma."Bu?" tegur Pak Setyo saat melihat Bu Salma melamun di halaman belakang."Eh, iya, Yah. Ada apa?" sahut Bu Salma."Kamu ngapain melamun di sini? Lagi mikirin apa?" Pak Setyo mengambil posisi duduk di sebelah sang istri. Seperti biasa, beliau menyalakan cerutu, mengisap dan mengembuskannya."Tidak. Tidak ada yang aku pikirkan," jawab Bu Salma."Oh, ya. Kamu tidak bisa membohongiku. Pasti kamu mikirin anakmu itu, kan?" todong Pak Setyo.Bu Salma bergeming."Tidak usah kamu pikirkan mereka. Mereka sudah dewasa dan mengerti apa yang harus dilakukan. Jika kamu t
Sepertinya Bu Salma memang harus menemui Nuril. Tentangga Rio yang pernah menemuinya tempo hari. Beliau yakin, bahwa Nuril mengetahui sesuatu.Beliau pun curiga, bahwa Amara pasti sedang menemui pria yang dikatakan Nuril tempo hari. Entah siapa dia, Bu Salma merasa semua ini perlu untuk diungkap."Ibu ajak Kayla jalan-jalan, ya?" kata Bu Salma pada Rio."Jalan-jalan kemana?""Ke rumah Nuril. Pasti dia senang kalau ibu datang ngajak Kayla," ucap Bu Salma.Rio mengangguk. Tiba-tiba ide gila terlintas dalam benaknya. Mengingat tidak ada orang lain lagi selain dia dan Silvi. Ia akan menyuruh Bu Imas untuk ke pasar."Ngobrol yang lama juga gak papa kalau Ibu ke sana. Lagian Nuril gak ada temannya. Cuma berdua sama anaknya," kata Rio."Iya!" sahut Bu Salma.Sepeninggal sang Ibu dari rumahnya, Rio memanggil Bu Imas. Bu Imas yang sudah selesai dengan pekerjaannya segera menghampiri Rio."Ada apa, Pak?" tanya
Keluarga Zulfa dari pihak sang Ayah telah tiba. Mereka memang sengaja datang waktu hari H pernikahan, entah apa sebabnya. Ada adik dari sang Ayah, bernama Pak Wandi beserta istrinya, dan juga kakak dari sang Ayah, Pak Farid. Beliau datang sendiri."Zulfa yang sudah dirias terlihat cantik, ya. Kayak masih perawan," bisik para tetangga yang saat ini rewang di rumah Bu Umi.Sudah menjadi adat, jika seseorang punya suatu acara. Entah itu pernikahan ataupun khitanan, maka para tetangga akan membantu memasak di rumah yang sedang punya hajat. Jika perempuan dinamakan 'biodo' dan laki-laki dinamakan 'sinoman'. Maklum, Bu Umi adalah seorang Jawa tulen, jadi tidak bisa menghilangkan adat istiadat Jawanya."Sudah siap apa belum? Katanya akad nikahnya jam delapan?" tanya Pak Farid pada Bu Umi."Sudah, ayo berangkat," ucap Bu Umi.Bu Umi menggandeng Z
"Ciiieeee ... ada pengantin baru lewat!" seru seorang bocah berusia sekitar tujuh tahun."Hey kamu! Sini!" Fikri melambaikan tangannya memanggil si bocah.Bocah itu terdiam. Nampak ketakutan."Sini, om punya sesuatu buat kamu," kata Fikri sambil mengeluarkan selembar uang berwarna biru. "Mau gak?" tanyanya.Zulfa hanya mengulum senyum melihat sikap bocah itu yang terlihat takut-takut tapi mau. "Sini, Ar, nggak papa. Jangan takut," ujar Zulfa menimpali.Bocah itu bernama Arya. Zulfa mengenalnya karena Arya sering lewat depan rumahnya dan meminta pepes tongkol padanya. Maklum, dia berasal dari keluarga yang kurang mampu. Ayahnya seorang pemulung, sedangkan ibunya hanya ibu rumah tangga biasa. Beliau tidak bisa bekerja karena mengurus dua adik Arya yang masih kecil dan masih bayi."Siapa namamu?" Fikri bert
Amara berkali-kali mendapat pesan dari Haris. Namun, tidak satu pun dari pesan itu yang ia buka. Muak. Ingin sekali Amara memblokir nomornya. Akan tetapi, ia takut jika tiba-tiba Haris datang ke rumahnya."Ra, aku berangkat dulu. Kamu jaga Kayla!" ucap Rio."Iya. Hati-hati."Sepeninggal Rio, Amara menelpon Haris.[Halo? Tumben kamu menelponku? Kangen?], tanya Haris di seberang telepon.[Jangan GR! Kamu gak bisa apa gak ngirim pesan terus-terusan! Nanti kalau Rio curiga gimana?!], omel Amara.[Lebih baik begitu, kan? Oh, ya Rio sudah berangkat, kan?][Ya. Dia baru aja berangkat. Kenapa?], tanya Amara yang mencium ketidak beresan.[Aku ke rumahmu sekarang], ucapnya seketika membuat Amara membelalak sempurna.[Jangan gila
Kedua pipi Silvi terasa panas ketika mendapatkan perlakuan manis dari Rio. Ia mengulum senyum saat bibir Rio kembali menyatu dengan bibirnya. Tak hanya menempel, tetapi kini ia dan Rio saling berpagut mesra penuh gelora.Silvia ternyata lihat dalam permainan lidah. Rio telah menemukan pasangan seimbang. Ia sedikit terkejut saat tahu bahwa Amara ternyata bisa selincah ini.Rio melepas pagutannya saat Silvi mulai kesulitan bernapas. Diusapnya bibir gadis belia itu yang terlihat membengkak. Kini, bibir Silvi telah menjadikan Rio candu untuk terus memainkannya."Kamu sudah lihai ...," bisik Rio di telinga Silvi, lantas mengigit kecil telinga Silvi."Sebenarnya ... ini adalah kali pertama saya melakukannya," ungkap Silvi lirih.Rio membelalak tak percaya. "Oh, ya? Lalu, kenapa kamu bisa mahir?" tanyanya."Entahlah,
Fikri meminta izin pada Bu Umi untuk membawa Zulfa tinggal di rumahnya. Ia berniat untuk hidup bersama dengan keluarga barunya. Sudah tiga puluh enam hari Fikri dan Zulfa tinggal bersama Bu Umi.Bu Umi pernah berkata bahwa mereka boleh pergi setelah selapan(masa pengantin setelah 36 hari). Dengan begitu, beliau bisa lebih tenang, karena anak dan menantunya sudah diselamati dan didoakan(Kejawen)."Bu, saya izin mau memboyong Zulfa ikut bersama saya," kata Fikri pada Bu Umi di ruang tamu.Fajar baru saja terbit, desiran angin pun masih menjadi pertanda bahwa hari masih terlalu pagi. Bu Umi sebenarnya masih ingin ditemani. Namun, apalah daya, Fikri lebih berhak atas putrinya sekarang."Bu, kalau Ibu tidak ingin kami pergi ... kami bisa tinggal di sini," timpal Zulfa. Sebagai anak, tentunya ia tak tega meninggalkan sang Ibu hidup seorang diri.
Minggu ini, Rio mengambil cuti. Ia berencana mengajak Silvi keluar. Hanya saja bingung memikirkan caranya. Bagaimana cara membawa Silvi keluar tanpa membuat Bu Imas dan Amara curiga.Amara tengah menimang-nimang Kayla. Beberapa minggu ini, ia terlihat lebih sering tersenyum. Rio yang melihatnya merasa heran."Kamu kelihatan berbeda," kata Rio.Amara menoleh sekilas, lantas kembali fokus pada Kayla. Bayi itu sudah bisa menyangga leher, berat badannya pun sudah bertambah banyak. Menggendongnya sebentar saja, pundak akan terasa pegal."Kamu mau gendong Kayla gak?" Amara mencoba memancing Rio."Enggak. Badanku pegel-pegel. Mana sekarang Kayla gemuk sekali," tolak RioAmara hanya tersenyum kecut. Apa memang Rio tak ada rasa sayang pada Kayla? Atau apa Rio merasa bahwa Kayla bukan darah dagingnya?
Aku pernah merasakan sakit secara batin. Tertekan karena tak kunjung hamil, hingga akhirnya dikhianati. Namun, aku yakin ... bahwa jika aku sabar, semua akan indah pada waktunya._Zulfa_***Kehamilan Zulfa sudah semakin membesar dan memasuki usia tujuh bulan. Dua bulan lagi, malaikat kecil yang ia nantikan akan lahir ke dunia."Sayang?" Fikri masuk ke dalam kamar. Meraih Zulfa dalam pelukannya."Aku punya kabar," ucap Fikri. Zulfa mengernyit saat melihat ekspresi suaminya."Ada apa, Mas?""Rio dikeluarkan dari kantor karena ia sering marah-marah sendiri. Sepertinya dia depresi." Zulfa membelalak mendengar penuturan suaminya."Kok bisa begitu?" Zulfa merasa iba. Meski bagaimanapun, Rio pernah mengisi hatinya.
Rio menoleh ke belakang. Sesosok pria dengan rambut gondrong dikuncir itu mencekal tangannya yang berada di udara. Tatapannya tajam menghunjam ke dalam retina Rio.Amara menutup mulutnya saat Haris tiba-tiba datang. Ia tak menyangka sama sekali bahwa Haris akan menolongnya dari amukan Rio.Rahang Haris mengeras. Dalam sekali sentakan, ia mengempaskan tangan Rio dan memukul tepat mengenai pipi Rio hingga ia jatuh tersungkur.Amara menjerit dan segera menggendong Kayla, lalu membawanya keluar bergabung dengan Bu Imas dan Silvi. Ia ketakutan, hingga tangannya bergetar."Sini, biar Kayla ibu yang gendong, Non," tawar Bu Imas yang tak tega melihat Amara yang ketakutan."Ini, bawalah." Amara menyerahkan Kayla dengan wajah pucat."Siapa kau!" Rio bangkit dan mengusap bibirnya.Haris tak m
"Kayla bukan anak kandungmu. Bagaimana bisa Amara hamil jika kamu mandul?"Ucapan Dokter Diana masih terngiang-ngiang di telinga Rio. Ia masih belum bisa menerima kenyataan pahit itu. Sepanjang perjalanan pulang dari Dokter Diana, ia menangis. Merasa sudah dibodohi."Hahaha ... aku mandul ... aku mandul!! Hahahaa." Rio meracau sambil memukul kemudi di depannya."Kayla ... Siapa ayahmu, Kayla??!!!" teriaknya. Air matanya luruh seketika.Ia kini bagaikan orang yang kehilangan kewarasannya. Gila. Kadang tertawa, kadang juga menangis.Ia membelokkan kemudi mobilnya ke pelantaran rumah. Ia mengatur napas, menarik, dan mengembuskannya. Ia mematut dirinya di cermin. Mengusap seluruh air mata dan segera bergegas turun.Silvi yang berada di halaman rumah tersenyum menyapa Rio. Namun, Rio malah abai, hingga membuatnya m
Fikri mengernyit heran saat melihat Zulfa masih terbaring di tempat tidur. Tidak biasanya Zulfa bangun telat, bahkan sampai Fikri selesai sholat. Didekatinya istri tercintanya itu, kemudian menepuk-nepuk kedua pipinya."Egghh ...." Zulfa mengerang. Lalu, mengerjap-ngerjapkan kedua matanya. Kepalanya semakin terasa pening. Entah, mengapa rasanya perutnya mual."Kamu kenapa, Sayang?" tanya Fikri dengan begitu lembut."Jam berapa ini?" Zulfa membalas dengan memberi tanya."Sudah hampir jam enam. Kamu sakit? Tumben sampai siang begini?" Fikri merasa khawatir.Zulfa berusaha bangkit. Ia melihat sekelilingnya seperti berputar. "Kepalaku pusing, Mas," lirinya sambil memegangi kepala.Fikri menempelkan tangannya di kening dan pipi Zulfa. Normal. Tidak ada tanda-tanda demam."Kamu mungkin k
Sesuai kesepakatan dengan Dokter Diana. Rio kini sudah berada di rumah sakit Melati. Ia sudah mengambil nomor antrian dan mengisi data diri. Sepanjang menunggu namanya dipanggil, tak henti-hentinya ia komat-kamit, merapal doa agar hasilnya sesuai dengan keinginannya.Tak berselang lama, namanya dipanggil. Rio segera bangkit dan menemui Dokter Diana. Wanita berjas putih itu menatap Rio, sesekali, melihat berkas-berkas di mejanya."Cepat sekali kau datang," celetuknya."Sudahlah, jangan basa-basi. Cepat segera periksa aku," sahut Rio.Dokter Diana mengangguk. Ia menjelaskan beberapa tahap pemeriksaan kepada Rio. Rio mendengarkan setiap kalimat Dokter Diana, meski ia tidak mengerti maksudnya."Jadi gini, langkah pertama untuk pemeriksaan adalah analisis sperma, gunanya untuk mengetahui jumlah dan kualitas sperma serta bentuk dan pergerakan s
"Mas, aku mau jualan lagi, ya?" Zulfa membuka obrolan pagi saat mereka sedang berdua di meja makan. Menikmati sarapan dengan sayur dan telur dadar, serta ditemani oleh dua cangkir kopi dengan asap yang masih mengepul."Jualan masakan?" sahut Fikri sambil mengernyitkan dahi.Zulfa mengangguk. Ia bosan melakukan aktivitas di rumah yang cuma itu-itu saja. Apalagi ia merasa kesepian, karena di rumah sebesar itu, hanya dia dan Fikri saja yang tinggal. Jika Fikri pergi bekerja, maka Zulfa hanya sendirian."Kenapa?" Fikri menghampiri sang istri. Menyeret kursi dan duduk di sebelahnya. Dibelainya kepala Zulfa dengan penuh kasih."Aku ... bosan," cicit Zulfa. Fikri mengangguk. Ia pun paham bahwa istri tercintanya itu sering kesepian."Jangan jualan. Nanti kita ke rumah Ibu. Ngajak Ibu tinggal di sini biar kamu a
Amara kembali diajak ke rumah Haris. Kini, ia hanya berdua dengan pria itu. Selama dalam perjalanan, Haris tak henti-hentinya melirik Amara lewat kaca spion."Kenapa Kayla tadi tidak diajak juga?" tanyanya."Ya biar aku cepet pulang. Kalau ada Kayla, aku pasti akan terlambat pulang gara-gara kamu melarangnya. Katanya masih kangen Kayla-lah, masih pengen gendonglah, ciumlah," cerocos Amara.Haris terkekeh menanggapi ocehan Amara. "Wajar dong. Kan aku ayahnya. Tentu saja aku pengen berlama-lama sama anakku," tukasnya. Amara hanya mencebik."Hem ... aku tahu, aku tahu. Pasti kamu hanya ingin berduaan denganku, kan?" tuduhnya.Amara sontak mendelik. "Jangan ngarang!" ketusnya.Mobil yang ditumpangi Haris berbelok ke pelantaran rumahnya. Ia turun lebih dulu, lalu membukakan pintu untuk Amara. Amara merasa seperti s
Minggu ini, Rio mengambil cuti. Ia berencana mengajak Silvi keluar. Hanya saja bingung memikirkan caranya. Bagaimana cara membawa Silvi keluar tanpa membuat Bu Imas dan Amara curiga.Amara tengah menimang-nimang Kayla. Beberapa minggu ini, ia terlihat lebih sering tersenyum. Rio yang melihatnya merasa heran."Kamu kelihatan berbeda," kata Rio.Amara menoleh sekilas, lantas kembali fokus pada Kayla. Bayi itu sudah bisa menyangga leher, berat badannya pun sudah bertambah banyak. Menggendongnya sebentar saja, pundak akan terasa pegal."Kamu mau gendong Kayla gak?" Amara mencoba memancing Rio."Enggak. Badanku pegel-pegel. Mana sekarang Kayla gemuk sekali," tolak RioAmara hanya tersenyum kecut. Apa memang Rio tak ada rasa sayang pada Kayla? Atau apa Rio merasa bahwa Kayla bukan darah dagingnya?
Fikri meminta izin pada Bu Umi untuk membawa Zulfa tinggal di rumahnya. Ia berniat untuk hidup bersama dengan keluarga barunya. Sudah tiga puluh enam hari Fikri dan Zulfa tinggal bersama Bu Umi.Bu Umi pernah berkata bahwa mereka boleh pergi setelah selapan(masa pengantin setelah 36 hari). Dengan begitu, beliau bisa lebih tenang, karena anak dan menantunya sudah diselamati dan didoakan(Kejawen)."Bu, saya izin mau memboyong Zulfa ikut bersama saya," kata Fikri pada Bu Umi di ruang tamu.Fajar baru saja terbit, desiran angin pun masih menjadi pertanda bahwa hari masih terlalu pagi. Bu Umi sebenarnya masih ingin ditemani. Namun, apalah daya, Fikri lebih berhak atas putrinya sekarang."Bu, kalau Ibu tidak ingin kami pergi ... kami bisa tinggal di sini," timpal Zulfa. Sebagai anak, tentunya ia tak tega meninggalkan sang Ibu hidup seorang diri.