Gilang menarik botol yang dipegang Hayati saat hendak kembali menuang ke gelas.
"Sudah cukup, Hay!"Hayati menggeleng. Wajahnya masih saja sembab. Kepalanya tak bisa lagi tegak. "Sakitnya masih terasa, Lang. Aku masih membutuhkannya," ceracau Hayati."Sudah cukup. Minum berapa botol pun tidak akan menyelesaikan masalah. Sadarlah, Hay. Buka matamu. Hati tidak bisa dipaksa.""Kenapa?! Kenapa dia tidak bisa menyukaiku," keluhnya, dengan kepala terantuk-antuk. "Apa kurangnya aku? Hampir 24 jam aku mengikutinya, melayaninya, mengapa dia tidak memberiku ruang sedikit saja?""Hay, bukankah kamu dulu bilang, selama dia bersamamu, kamu tidak menuntut apa-apa lagi padanya? Kamu lupa?" Gilang mengingatkan.Hayati tersenyum sendu. "Semuanya akan baik-baik saja, andai dia tidak memberikan perhatian pada wanita lain."Gilang mengerutkan kening."Apa kurangnya aku dibanding dia? Menjaga Evan? Aku pun bisa, andai aku diberiSaat keluar dari kamar mandi Sanad mendapati istrinya sudah berada dalam kamar dengan keadaan terlihat sangat capek."Kamu dari mana?" tanya Sanad sambil mengusap rambut basahnya dengan handuk. "Tak perlu kamu tau," jawab Hayati sambil berlalu hendak ke kamar mandi.Sanad menyambar lengan Hayati. "Tak perlu aku tau? Hayati, kamu istriku.""Istri?" ulang Hayati dengan nada mengejek. "Lalu malam tadi kamu membawa seorang gadis, apakah kamu tidak berpikir bagaimana perasaanku sebagai istri?"Sanad tergagap. "Apa maksudmu? Maksudmu Tera? Malam tadi? Itu hanya itu bentuk ungkapan terima kasih atas usahanya untuk Evan.""Usahanya?" Hayati tertawa sumbang. "Dengan mengajaknya jauh-jauh sampai ke Tangkisung? Yang benar saja? Padahal dia hanya beberapa bulan di sini. Bagaimana denganku? Aku membersamaimu sekian tahun, tapi apa yang kudapatkan?""Aku makin tidak mengerti. Bukankah aku selalu berusaha bersikap baik padamu? Soal ul
“Hayati, tolong kamu tinggalkan kami sebentar,” pinta Sanad pada Hayati yang duduk di sampingnya ketika Arsa, Tera dan Evan telah keluar.Hayati mengangguk, lalu menjauh. "Mengapa Mama lakukan itu?” tanya Sanad.“Mengapa? Tidak ada apa-apa. Apa salahnya menjodohkan mereka? Sama-sama masih sendiri,” sahut Fatima, lalu meneguk minumannya.“Kenapa tiba-tiba? Kenapa tidak membicarakan dulu secara pribadi? Kenapa begitu terang-terangan? Ada apa?”“Ada apa? Apa tidak sadar apa yang kamu lakukan malam tadi? Membawa seorang gadis jauh-jauh sampai ke Tangkisung?”“Ma, itu hanya perayaan ulang Tahun, di sana ada Evan dan Keane. Lagi pula di pinggir pantai, apa yang dapat kami lakukan di pinggir pantai?” bela Sanad.“Apapun itu, tetap tidak baik seorang laki-laki membawa anak gadis orang. Lalu apa kamu tidak berpikir bagaimana perasaan Hayati?” sungut Fatima.“Oke, anggap aku salah. Tapi kenapa Tera yang jadi korban?”
"Tidak. Aku sudah lama menyukaimu, hanya saja tidak kesempatan mendekatimu. Aku tidak akan menyerah sampai di sini. Oke, aku tidak lagi mengganggu kerjamu. Tapi aku akan buktikan ketulusanku."Arsa beralih ke Evan. Ia menepuk pundak. "Dengar, jangan khawatir! Aku tidak akan merebut tantemu, oke." Evan mengangguk ragu. Arsa menautkan ujung telunjuk dengan ujung jempolnya.Sanad mengelus rambut Evan. “Evan masuklah sendiri. Papa ingin bicara sama Mama, boleh?” tanya Sanad setelah Arsa hilang dari pandangan mereka. Evan mengangguk. Ia kembali memeluk Sanad. Dari getarannya, Sanad tau anak itu masih diselimuti kecemasan. Sanad memeluknya erat. “Nanti Evan terlambat. Masuklah duluan! Nanti Mama akan menyusul ke dalam, ya.”***Sanad membawa Tera ke sebuah kafe elite di pinggir kota. Kafe memakai konsep ala rumah santai. Ia memilih duduk ke sebuah sofa melingkar di salah satu pojok. Lagu Jodoh Pasti Bertemu dari Afgan meng
Sanad menghela napas. “Sebenarnya ini nanti mau aku hadiahkan pada seseorang.”Pak Arsyad mengernyit.“Saya tahu orang itu?”Sanad menggeleng. “Bapak tau keadaan putra saya.”Pak Arsyad mengangguk. “Kebetulan Evan cocok dengan seorang perempuan yang berasal dari sana. Banyak perubahan positif pada Evan. Jadi saya ingin memberinya hadiah itu. Bisa buatnya bekal, jika sewaktu-waktu dia memutuskan kembali ke desanya.”Pak Arsyad mengangguk-ngangguk. “Saya mengerti. Tapi apa perempuan itu nanti bisa mengelola?”“Jika dia bisa menangani Evan, saya percaya dia juga akan bisa menangani hal itu,” jawab Sanad tegas. Pak Arsyad tertawa. "Jadi ingat almarhum papamu. Waktu kecil kamu juga luar biasa. Hanya papamu juga bisa menanganimu. Terbukti dia juga berhasil menaklukkan masalah apapun."Sanad terdiam. Benar, papanya berhasil menaklukkan. Namun, berbeda dengan cara Tera. Tera tidak menaklukkan Evan. Evan sendiri yang datang karena ketulusan Tera."Pa, saya minta tolong lagi, bisa?" "Kenapa
"Nggak bisa dilepas?" tanya Sanad saat melihat jam di dinding yang sudah menunjukkan pukul 11. Tera kembali menggeser tangannya, tetapi lagi-lagi Evan merengek. "Sepertinya belum benar-benar tidur ya?" tanya Sanad pelan."Sepertinya hari ini dia benar-benar ketakutan," bisik Tera. "Ditambah kemunculan Arbain.""Iya, Keane ada cerita padaku. Aku minta maaf. Tidak seharusnya tadi memakai tenaga Keane." Sanad berjongkok di sisi ranjang. Ia membelai lembut rambut Evan. "Kamu istirahatlah. Tak baik lama-lama di sini," tegur Tera. Ia menatap ragu, tetapi benar kata Tera. Lama-lama diam di kamar Evan, tidak baik buat Tera. Gerakannya terhenti ketika hendak berdiri. Ia menatap ujung piyamanya yang dipegang Evan. Sanad kembali duduk. “Evan mau ditemani Papa?”Evan mengangguk. “Kalau begitu Mama tidur ke kamarnya, ya. Papa yang temani Evan,” bujuk Sanad.Evan menggeleng. Seketika keduanya saling terperanjat. ***Gerakan Sanad terhenti ketika hendak berdiri. Ia menatap ujung piyamanya
"Kenapa Ibu ke sini?" tanya Tera ketika sudah di luar gedung. Di pinggir jalan, sebuah mobil yang dikemudi oleh Arbain "Pulanglah," pinta ibunya, sambil melirik Keane yang berada di dekat mereka.Tera beralih ke Keane. “Keane, dia ibuku, tinggalkan kami sebentar.”Keane mengangguk. “Tapi, maaf saya tidak bisa meninggalkan terlalu jauh. Mohon pengertiannya.”“Iya, saya mengerti. Terima kasih, Keane.” "Di sini aku sudah punya pekerjaan, jadi Ibu kembalilah,” pinta Tera setelah Keane menjauh. "Pekerjaan apa? Merebut suami orang?" ketus Bastiah.Tera tersentak. "Apa maksud Ibu? Aku di sini mengasuh seorang anak. Dari mana Ibu mendapat informasi ga jelas itu?"Bastiah tergagap. "Ada … ada pokoknya.""Iya, tapi siapa?" desak Tera. "Jangan katakan Arbain yang katakan itu pada Ibu?!""Bukan, bukan dia."Arbain keluar dari mobil, mendekati mereka. Melihatnya Tera jadi berang. Ia langsung men
Evan langsung berlari ketika ia keluar dari kelasnya. Tiada adanya Tera di jam istirahat benar-benar membuatnya semakin cemas. Ia melambatkan jalannya begitu melihat Keane berdiri sendiri di depan gedung. Matanya mengerjap pelan. Jalannya semakin lambat, berharap Tera akan muncul. Kenyataannya, ia telah sampai di depan Keane. Halaman telah sepi. Pagar gedung sekolah sudah ditutup. Sekarang hanya ada dia dan Keane. Keane mendekatinya. Ia berjongkok sambil memegang pundak Evan. Keane sedikit dapat bernapas lega, Evan tidak menjauh darinya.“Mama ada keperluan mendadak. Evan pulang sama Om ya. Tadi Mama ada titip pesan di ponsel Om, nanti Evan bisa baca di mobil, ya?”Evan mengangguk. Keane merasakan ada yang mengganjal di tenggorokannya ketika melihat mata merah Evan yang mengerjap cepat. Ia bertanya-tanya siapakah perempuan yang dimaksud Bastiah? Mengapa tega mengorbankan anak tunawicara ini hanya demi kepentingan pribadi? ***“Katakan berapa harga yang kamu inginkan?” ucap Sanad ta
Ah, kadang Mama lupa Evan hanyalah anak kecil yang belum genap usianya 6 tahun. Namun, Evan anak istimewa yang sangat cerdas. Di saat anak-anak lain membaca buku fabel, Evan sudah membaca buku bahasa Inggris. Dulu Mama pikir, Papa itu sangat kejam. Setelah melihat perkembangan Evan, ternyata luar biasa. Evan sangat beruntung memiliki Papa. Ah, tidak. Papa yang sangat beruntung memiliki anak secerdas Evan. Mama juga sangat beruntung bertemu dan sempat bersama Evan. Betapa Mama sangat ingin terus bersama Evan, sampai melihat Evan tumbuh besar dan bisa bicara. Sampai detik itu, Evan pasti sangat membanggakan Papa. Maafkan Mama. Mama harus pulang dan tidak sempat pamitan sama Evan. Dari sini Mama akan selalu mendoakan Evan. Percayalah, Evan tidak pernah sendiri. Ada Papa yang selalu berjuang untuk Evan. Ada Mama yang selalu mendoakan Evan. Ada nenek, Mama Hayati, Om Keane yang selalu menjaga Evan, dan orang-orang di rumah yang selalu berusaha berbuat yang terbaik bu
"Kamu pakai parfum apa?" tanya Sanad. "Parfum yang kamu kasih." "Aku suka wanginya." Sanad tergoda membaui aroma lembut di leher Tera. Tera merasakan bulu romanya merinding. Kehangatan napas Sanad menimbulkan reaksi alamiah yang membuat Sanad semakin bersemangat."San, hati-hati, kamu tidak bisa mandi lo." Tera mengingatkan.Tera menghempaskan napasnya. Ia segera bangkit, dan menurunkan kakinya ke lantai. "Aku pingin lihat Evan. Kok nggak ada suaranya." Tangan Sanad menyambar pinggangnya. "Tadi dia sama Lilac.""Aku pingin lihat, khawatir badannya bentol-bentol."Sanad menarik bahunya hingga terbaring. Seketika tubuhnya terkunci oleh sebelah tangan kekar."Tadi aku sudah minta Lilac agar mengolesi kulitnya dengan lotion anti nyamuk." Sanad meletakkan bibirnya di leher Tera. "San, kamu berani berendam di tengah malam? Bukan mandi di kolam rumah lo.""Kita mandi bersama.""San …." Mendadak bibirnya terkunci oleh
"Benarkah? Janji?!""Iya …."*** Kamar Tera kini dihiasi layaknya kamar pengantin. Ada sedikit berbeda di kamar Tera dibanding kamar pengantin umumnya. Di zaman sekarang, pengantin lebih banyak menggunakan ranjang modern tipe divan bed, sedang Tera memilih tipe ranjang kelambu. Ranjang yang memiliki kanopi supaya bisa dipasang kelambu. Dulu orang Bangkau banyak memakai tipe ini, mengingat kampung mereka banyak nyamuk. Perlahan ranjang kelambu kekurangan peminatnya, karena ranjang divan bed setiap masa desainnya semakin modern dan untuk menghiasi kamar pun semakin banyak kreasinya. Soal nyamuk, itu nanti dipikirkan, yang penting terlebih dahulu menikmati sebagai sepasang raja ratu, meski hanya sehari.Berbeda dengan Tera, mengingat Sanad bukanlah orang Bangkau, tentu nyamuk bukanlah perkara bisa dianggap enteng. Pertama kali yang dipikirkannya bagaimana supaya suaminya bisa tidur dengan nyaman tanpa adanya gangguan nyamuk. Menggunakan obat nyamuk sepanjang malam bukanlah pilihan ya
"Cil." Tera ikutan menangis. "Kenapa ngungkit itu, kan jadi nangis." Ia mengusap wajahnya kasar.Kembang mengambilkan tisu, lalu meletakkan di tengah-tengah."Terima lah dia. Dilihat kesungguhannya ingin beli Teratai Kedua, terlihat dia sangat ingin membahagiakanmu. Masalah perbedaan, asal sama-sama mau berusaha dan terbuka, seiring waktu kalian akan bisa saling mengimbangi.""Cil." Tera meletakkan wajahnya di pangkuan Acil Nurul. Tangisnya makin menderu. Bastiah dan Kembang ikut mengusap wajahnya. Air mata Acil Nurul tak henti-hentinya mengalir. Sebelah tangannya membelai rambut Tera. "Doa Acil akan selalu menyertaimu."***Hari lamaran tiba. Mengingat Bastiah sering menyebut perbedaan, Sanad mengantisipasi dengan hanya melibatkan keluarga dari pihak ibunya yang berada di Baruh Kambang. Secara kelas social mereka tidak terlalu berbeda. Ditambah Muallim Ibrahim, keluarga Tera yang tinggal di Baruh Kambang mem
“Aku pergi dulu. Jaga diri baik-baik. Malam ini aku akan ke sini.”“Jangan!” jawab Tera cepat. "Kenapa?" "Kamu lihatlah, bagaimana mereka," bisik Tera sambil mengerling ke arah kumpulan tetangga. "Tapi masih banyak yang harus kita bicarakan.""Kita bisa bicara lewat telepon kan?""Iya, sih. Tapi ….""Ayo lah …."Akhirnya mau tak mau, Sanad harus mau menuruti Tera. Benar saja, begitu mobil Sanad menjauh, ibu-ibu di kumpulan itu langsung memberondongnya. Mereka mengikuti Tera sampai ke dalam rumah. "Bagaimana keadaanmu, Tera? Alhamdulillah, akhirnya bisa pulang," ucap salah seorang ibu yang muka cemongnya dengan pupur basah. "Aku nggak menyangka lo, Tera. Kamu kemarin sudah kayak mayat," imbuh seorang perempuan muda. "Oh iya, laki-laki tadi menyelamatkanmu kemarin kan? Dia siapa? Jangan katakan dia langganan kerupukmu!""Mulai," batin Tera. Bastiah datang membawa
"Jangan khawatir. Aku hanya butuh akuisisi. Produksinya tetap mereka yang tangani, kamu hanya bertanggungjawab bagian pengembangan." Tera menghela napasnya. "Tapi … apa aku bisa? Teratai Produksi yang sempat jaya bertahun-tahun, sekarang kolaps padahal ditangani seorang sarjana. Rudi cerita produksi Teratai Kedua juga mengalami kemunduran, apa aku bisa membangkitkannya, padahal kamu telah mengeluarkan banyak biaya." "Kamu pasti bisa. Kamu dengarkan Mama sudah menawarkan tempat untukmu, tinggal produksi saja lagi dengan kualitas sebaik mungkin." "Aku takut mengecewakan."Sanad meraih bahu Tera. "Aku percaya kamu pasti bisa.""Coba saja, Tera. Nanti aku langsung akan cek barangnya, aku tidak akan segan menolak, kalau memang itu tidak layak bertengger di minimarket kami."Tera mengangguk. "Terima kasih, Bu.""Semangatlah." Sanad mendekatkan wajahnya ke telinga Tera. "Ini kesempatanmu membuktikan diri kalau kamu layak jadi istri Sanad."Tera berdecak. Fatima tersenyum penuh arti. Tapi
"Belum apa-apa sudah nyusur. Tera, kamu dan dia jauh banget. Dia orang kota, kita orang kampung. Orang kampung masih polos. Bagaimana kamu bisa hidup sebebas dia? Belum jadi istri sudah berani cium. Kamu juga, diam aja dicium," gerutu Bastiah. Elang tertawa. "Siapa bilang orang kampung itu masih polos? Sekarang informasi mudah diakses, jadi hal semacam itu bukan lagi hal tabu. Ibu saja yang tidak memperhatikan perubahan zaman.""Pokoknya aku tak suka dengan orang kota. Mereka nggak akan bisa beradaptasi dengan lingkungan kita.""Sudahlah, Bu. Kenapa sih selalu maunya punya Ibu yang dijalankan?" sanggah Elang."Bukan begitu. Orang tua itu sudah banyak makan asam garam," sahut Bastiah. "Aku tau. Tapi Kak Tera juga sudah dewasa. Apa yang terjadi nanti, tentu dia sudah siap menghadapinya. Yang merepotkan, jika Ibu bersikukuh dengan pendapat Ibu, tiba-tiba nanti dia mengalami hal buruk, maka beban yang dirasakan Kak Tera akan terasa lebih be
"Dia Elang, adikku. Yang masih kuliah di Bjb." Tera mengenalkan. "Evan ingat tidak?"Evan mengangguk. "Om Elang." "Pintar!" Tera mengeratkan pelukannya.Kedua lelaki itu saling berjabat tangan dan mengenalkan diri. "Akhirnya aku bisa bertemu dengan Anda," ucap Elang nada membuat Tera mengernyit. Mata tajamnya menatap penuh selidik. "Elang, apaan sih kamu?" tegur Tera. "Tidak apa. Aku hanya ingin memastikan orang yang dekat dengan kakakku itu orang baik. Aku tidak ingin kejadian dulu terulang lagi," sahut Elang sambil mengerling ke arah Arbain. "Ngomong apa kamu, Lang?" sela Bastiah. "Oh iya, Nak Sanad. Ini agak kasar, tapi Ibu minta kamu jangan terlalu dekat dengan Teratai. Teratai telah bertunangan dan kamu juga telah beristri. Sebagai seorang ibu, tentu aku tidak ingin putriku jadi perusak rumah tangga orang lain.""Ibu ngomong apa sih?" seru Teratai. Ia mengerling ke arah Evan. Sanad mendekati
Tera membuka mulut, tetapi menutup kembali. Tidak memungkinkan ia membela diri di saat sama-sama emosi. Selain itu, ia tidak tahu betul bagaimana hubungan Sanad dengan Hayati. Sanad belum bercerita kalau sudah bercerai dengan Hayati. "Terserah Ibu lah," ucapnya akhirnya, lalu menutup diri. Dalam selimut ia masih saja mendengar wejangan Bastiah. "Tera, aku tahu perlakuan laki-laki itu sangat baik padamu, tapi jangan jadi perusak rumah tangga orang. Selain itu, sebesar apa pun ia mencintaimu, kalian dari kasta yang berbeda. Aku sudah dengar dari Arbain. Dia putra bosnya yang memiliki banyak minimarket. Dari segi keturunan, mereka juga dari kaum bangsawan, bergelar Gusti."Tera tercenung. Ia masih belum berani berharap pada Sanad. Namun membayangkan perbedaan yang sangat jauh membuat nyalinya ciut. Bahkan berbanding dengan Evan saja dia masih ketinggalan jauh. Antara langit dan bumi. Ia sering menemani Evan ke berbagai acara keluarga, rata-rata mereka baik dan ramah, tapi itu dulu h
"San, aku ingin bicara denganmu. Ada waktu?" tanya Rudi.Sanad mengerutkan keningnya. Sesaat ia menoleh ke arah Tera. Gadis itu terlihat cemas. Ia juga menoleh ke Bastiah."Asal tidak sekarang, kapan?""Nanti kasih kabar, jika kamu punya waktu."***Sepeninggalan Sanad, Bastiah membuka kulkas. Sesaat matanya membesar. Melihat kulkas yang terisi penuh. Mulai roti, buah, cake, susu cair, yogurt, teh botol dan air mineral. "Kalian mau jualan?" ejek Bastiah. Tera menengok sebentar, tapi lalu kembali berpaling. Bahkan menoleh pun masih terasa sakit.Rudi duduk berhadapan dengan Tera yang sedang menyuap buburnya. "Bubur sumsumnya tidak dimakan?" tanya Rudi."Habiskan ini dulu. Sayang, sudah terlanjur. Itu kan masih belum bergerak, nggak papa disimpan lama." Rudi terkekeh. Tera memang selalu begitu, penuh dengan pertimbangan. Tidak bisa kah di saat sakit seperti ini mengutamakan rasa