‘Jika itu definisi cinta, apakah aku juga mencintaimu? Entah sejak kapan, aku sangat suka melihat wajah judesmu tersenyum.’
“Tera … Tera,” gerutunya sambil membenamkan wajahnya dengan bantal. Gelap semakin membuat wajah ayah dari Evan itu semakin jelas.‘Aku hanya ingin kamu tahu, di dunia ini ada yang mencintaimu tulus. Jadi percaya dirilah. Kamu berhak menentukan pilihanmu. Kamu berhak mencintai dan dicintai.”“Aaa …,” erangnya. “Kenyataannya, untuk apa kamu mengungkapkannya? Pada akhirnya kamu juga meninggalkanku.”Bunyi ketukan pintu terdengar. Seketika ia menutup mulutnya, berharap di luar tidak ada yang mendengar gerutuannya.“Tera!” panggil ibunya.Ia meloncat dari ranjang, lalu membuka pintu.“Kenapa dikunci?”“Ibu lupa, kalau di rumah ini ada laki-laki lain?” singgung Tera.“Siapa? Arbain? Bukankah dia iparmu?”“Ibu lupa apa yang telah dia perbuat padaku?”“Pintar jawab yaSanad melajukan mobilnya membelah kota Kandangan mengarah ke Barabai. Ia lupa kapan terakhir mengendarai mobil sendiri. Setelah kecelakaan, kemana-mana selalu di kemudi seorang sopir, entah Pak Karni sopir yang mengantar ke kantor atau Keane yang sekarang menjaga Evan. Kini ia tak peduli lagi dengan trauma, hati remuk ditambah satu masalah membuatnya tidak sempat lagi memikirkan rasa takut. Mobilnya berhenti tepat berada di halaman rumah Rudi. Rudi langsung keluar, begitu mendengar bunyi mobil berhenti di depan rumahnya. Meski tidak hafal, ia sudah bisa menebak siapa yang akan datang. “Kenapa kamu membatalkan transaksi?” tanyanya tanpa basa-basi. “Itu hakku. Apa mau kujual, kutarik atau kuberikan, itu terserahku," jawab Rudi sekenanya. Namanya saja sudah membuat emosi Rudi terpantik, apalah lagi dengan sikap kasar Sanad.“Tidak bisa begitu. Kamu tau berapa kerugian yang kami tanggung?!” Rudi tertawa sumbang. “Rugi? Bukankah
“San, berilah dia kesempatan sekali lagi,” bujuk Fatima. “Sudahlah. Aku capek. Keputusanku sudah bulat. Nanti besok, aku akan antar kamu ke orang tuamu.” Sanad berdiri.“SAN!” sergah Fatima. Tetapi Sanad berlalu, masuk ke kamar Evan.*** Hayati masih duduk di lantai, tangisnya makin menderu. Fatima merasa iba melihatnya. Ia memegang kedua bahu Hayati, lalu membantu berdiri.“Kamu istirahatlah! Semoga setelah pikirannya mulai tenang, ia mau menarik ucapannya,” bujuk Fatima. Hayati mengangguk. “Terima kasih, Ma.”Fatima hanya menjawab anggukan kepala. “Istirahatlah!***Setelah beberapa malam, Rudi datang ke rumah Tera, tetapi tak kunjung ketemu, akhirnya ia memutuskan mendatangi Tera ke lantingnya. Tera hanya menatap sebentar, lalu kembali fokus pada pekerjaannya. Membetulkan hampang yang tak lagi berdiri tegak akibat ulah orang tidak bertanggung jawab. Rudi melonca
"Jika kamu tidak bisa menikahi Tera, dan bercerai dengan Hayati, itu artinya kamu akan sendiri?"Sanad mengangguk. "Tak apa, Ma. Aku memang ingin menyendiri dulu. Konsentrasi merawat Evan. Aku pun tak berencana lagi mencari pengasuh. Akan kurawat sendiri.""San ….""Ma, tolong hargai keputusanku. Menurutku ini juga lebih baik buat Hayati. Memang menyakitkan untuk sementara. Tapi sudah saatnya dia mau menerima kenyataan, melepaskan diri dariku dan berpikir menerima orang lain yang bisa mencintainya."*** Malam hari, Sanad beserta ibunya ke rumah orang tua Hayati. Awalnya orang tua Hayati tidak terima dengan sikap Sanad. Namun, mau tak mau harus menerima keputusan Sanad, meski hati mereka tentu sangat kecewa, terutama ayahnya Hayati, Aidin. Terlebih lagi jika melihat putrinya yang sangat terpukul. "Anak tak tau terima kasih," gerutu Aidin geram.***“Mentari, tolong pesankan tiket ke Jakarta untuk hari ini juga, dan persiapkan semua data kerjasama dan jangan lupa beberapa rancangan ba
Di danau Bangkau, Teratai duduk menghadap sebuah meja diterangi oleh sebuah lampu ublik. Memandangi buku yang diberikan Evan sewaktu mereka berkunjung ke rumah, The Lord Of The Rings. Ia tersenyum geli menyadari hal itu. Ternyata anak sama bapak sama kejamnya. Dulu ia marah karena Sanad membacakan buku itu untuk Evan yang baru berusia lima tahun. Menurutnya ini terlalu berat untuk Evan, Mengapa tidak dibacakan buku-buku khusus untuk seusianya? Tuh banyak buku anak-anak yang edukatif dan mendidik. Sekarang ia harus marah kepada siapa jika Evan memberikan buku ini padanya yang hanya lulusan sekolah dasar?Baru saja menyingkap sampulnya, susunan huruf bagaikan monster yang menyatu, lalu berputar memaksa dunianya terasa mau meledak. Spontan ia langsung menutup sampul itu. Ia teringat pertama kali menaiki sampan, dunia juga terasa berputar dan menyeramkan baginya. Cukup lama beradaptasi, tetapi setelah sekian lama, setelah mendapatkan pengalaman baru, sampan dan danau
“Apa boleh buat, Cil. mungkin begitulah takdir kami,” ucapnya sendu.Tiba-tiba pandangannya tertuju pada speed boat di belakang rumah tetangga bibinya. Matanya membesar. “Cil, speed boat itu boleh disewa nggak?” *** Terpaan cahaya matahari membuatnya tidak bisa membuka matanya secara sempurna. Sambil menaungi matanya dengan telapak tangan, ia terus saja memandangi sebuah speed boat yang mendekati lantingnya. Speed boat melaju sangat pelan, bahkan mesin sudah dimatikan. Ia merasa tidak memiliki hubungan dengan siapa pun, hanya saja kedatangan speed boat ke tengah danau masih merupakan fenomena langka yang mengundang penasaran. Terakhir yang ingat hanyalah speed boat milik polres saat razia ilegal fishing. Matanya membelalak ketika speed boat makin dekat dan orang di atasnya dapat dikenali. “Sanad?”Laki-laki itu hanya tersenyum. Ia meloncat begitu juri mudi merapatkan speed boatnya. “Kamu boleh jalan-jalan, sejam dua jam lagi, jemp
“Cantik, sangat terawat. Terlihat kamu memang telaten.” “Kamu ke sini karena ada masalah atau mau memujiku?” Sanad berdecak. Menatapnya penuh ejek. Tera terkekeh melihat rautnya.Sanad menghadap hamparan teratai. “Tidak heran jika kamu sangat menyukai tempat ini. Begitu tenang, sangat jauh dari keramaian, perselisihan, dan persaingan.”“Kamu ada masalah di perusahaan?” selidik Tera.Sanad kembali menghadap Tera. “Sejujurnya iya.”“Berceritalah! Meski aku tidak mungkin bisa membantumu, setidaknya bisa membuat perasaanmu sedikit nyaman dan cepat pergi dari sini.”Sanad mendesis. “Jahatnya.”"Kamu yang mengajariku."Sanad terkekeh. "Dasar!"Sesaat hening. Sepoi angin danau Bangkau terasa nyaring di telinga mereka. Sayup-sayup terdengar bunyi mesin ketinting dari kejauhan. “Aku baru saja menjalin kontrak kerjasama bisnis lampit dengan jumlah besar. Tiba-tiba saja salah seorang calon investor membatalkan investasinya. Padahal dia yang paling banyak menanam modal. Jadi begitulah … ““K
“Sanad? Aku tidak salah lihat, kan?” Aditya masih tidak bisa melepas keheranannya. Salwa langsung menjewer lengannya. “Kamu kenapa, Dit?” tanya anita yang datang membawa makanan frozen dan meletakkannya di tengah-tengah mereka. Aditya terkekeh. “Kaget aja. Kok dia bisa sampai ke sini.”Bayu yang duduk di samping Sanad tersenyum. “Dia tadi ke kantor. Ingat dia sepupu kamu, jadi aku ajak ke sini. Mumpung, kan. Siapa tahu kita bisa jadi keluarga besar.”Sanad mengangangkat alisnya. “Tapi, aku perhatikan, dia memang banyak berubah sebelum terakhir aku melihatnya. Kapan ya kita ketemuan sebelum di rumah sakit?” tanya Bayu.“Entahlah! Aku ke kantormu, palingan untuk rapat direksi. Itu pun beberapa kali terakhir, aku nggak datang lagi. Setelah kamu yang memimpin aku percaya saja padamu.”Bayu mendesis. “Kamu tidak ingin gabung perusahaan kami? Bagaimana pun almarhum ayahmu sangat berjasa di perusahaan itu. Sepertinya perusah
"Gilang!"Gilang membuka pintu. *** Waktu terus berjalan. Semua orang menjalani rutinitasnya dengan pekerjaan masing-masing. Sanad kembali dengan kesibukannya. Proyek lampit berjalan lancar berkat bantuan Bayu dan Aditya. Proyek ini membuatnya tenggelam dalam kesibukan baru. Namun, tidak baik bagi Evan. Kesibukan ayahnya, semakin membuatnya merindukan Tera. Meski Tera pernah menjenguknya di sekolah, tidak dapat menggantikan hari-harinya yang dirundung kesepian. Di hari Minggu ia tidak dapat lagi menahan dirinya. Ia mengguncang-guncang tangan ayahnya, merengek minta diajak ke Bangkau. "Evan, Mama sekarang lebih suka menghabiskan waktu di danau. Walau kita ke sana, belum tentu bertemu dengannya."Evan mengambil kertas. [Kita ke danau pakai kapal]“Kapal siapa?”[Siapa saja, pasti dapat. Kita nyewa, pasti ada yang mau] Sanad kehabisan alasan. "Evan, tolong mengerti P