"Nisa Naura Setiawan. Dia adalah putri tinggal alias putri semata wayang dari Rendy Setiawan, seorang pengusaha, pebisnis yang lumayan disegani." Danu mendengarkan cerita Amar tentang sosok Nisa, gadis yang dijodohkan dengannya. "Nisa adalah gadis baik-baik. Aku kenal dengannya sejak kami kuliah di fakultas yang sama.""Mas Amar satu angkatan sama Nisa? Kok bisa?" Mita bertanya bingung. Ia berpikir jika usia keduanya jauh berbeda. "Oh, enggak. Nisa di bawahku. Aku kenal dia karena orang tua kami yang adalah rekan bisnis," jelas Amar. Baik Mita atau pun Danu sama-sama menyimak dengan serius. Entah apa yang terjadi, keduanya seperti menemukan sebuah kisah seru yang ingin mereka dengarkan sampai tuntas. "Kalian enggak dijodohkan?" tanya Mita iseng. "Enggak. Aku sudah punya pacar waktu Nisa masuk kuliah. Selain itu usia kami juga lumayan jauh." Amar mencoba membayangkan hal yang membuat kedua orang tua mereka tidak menjodohkannya dengan Nisa. "Lagian, orang tua kamu cuma rekan bisni
Terdengar suara gedebuk orang jatuh dari ketinggian. Danu yang masih kebingungan menjawab pertanyaannya sang ayah, seketika membuka mata dan menyadari jika ia baru saja bermimpi. "Ah, sial! Ternyata cuma mimpi," gerutunya kesal. Danu kemudian kembali ke atas ranjang. Membaringkan tubuhnya kembali yang terasa sakit sebab terjatuh tadi. "Kenapa aku jadi bermimpi seperti itu? Jelas-jelas aku ingin melupakannya. Tapi, kenapa sosoknya malah muncul. Lalu, kenapa juga ayah enggan membatalkan perjodohan ini?" ucapnya semakin kesal. Danu melihat jam di atas nakas. Jam digital di sana menunjukkan angka dua dini hari. "Aku baru tidur satu jam dan sudah bermimpi? Ini benar-benar gila!" gerutu Danu lagi. Ia mencoba untuk kembali tertidur, tapi mengalami kesulitan. Kantuknya seketika hilang setelah insiden terjatuh tadi. Ia pun kemudian memutuskan untuk ke toilet untuk membuang hajat. Setelahnya ia mencuci muka, menatap wajahnya di depan cermin wastafel. 'Hei! Apa kamu masih belum puas membu
Sepekan yang lalu saat Danu baru pulang dari kantor, ia sudah dibuat kesal oleh ayahnya. Hal itu karena ucapan lelaki yang ia sayangi itu mengenai perjodohan yang tetap harus dilaksanakan. "Ibumu sakit. Dokter bilang waktunya tidak lama lagi.""Jangan bercanda, Yah. Ini bukan waktunya main-main." Danu mulai emosi ketika sang ayah membawa-bawa penyakit ibunya. "Bu, apa betul dokter bilang begitu? Memang Ibu itu sakit apa, kok tiba-tiba jadi parah? Kalian ke luar negeri 'kan cuma cek rutin, bukan mau konsultasi penyakit serius." Danu menatap ibunya bertanya. Perasaannya mendadak tak enak. "Enggak, dokter enggak bilang gitu.""Nah, terus? Barusan ayah ngomong gitu!" seru Danu kesal menatap ayahnya. Namun, lelaki di depannya itu terlihat cuek dan santai. Membuat Danu kembali menatap ibunya. "Kenapa Ibu mau aja diajak kongkalikong sama ayah meminta aku buat nikah sama perempuan itu? Sampai bawa-bawa penyakit segala.""Enggak ada yang salah kok, Nu. Apa yang ayahmu katakan itu ada bena
"Aku tidak peduli kamu mau percaya aku atau tidak. Tapi yang pasti, kamu itu bukan seleraku.""Ap-apa?" Nisa menatap Danu emosi. "Kamu bilang aku bukan seleramu? Lantas, perempuan seperti apa yang jadi seleramu? Apakah lebih cantik, lebih kaya, atau lebih pintar dari aku?"Danu tertawa mendengar pertanyaan Nisa. "Kenapa kamu marah? Selera seseorang enggak melulu tentang cantik, kaya, atau pintar bukan?""Y-Ya. Tapi, apa yang para lelaki lihat kalau bukan tiga poin yang aku sebutkan tadi?"Sekali lagi Danu tertawa sembari meminum kopinya yang tinggal setengah. "Aku sudah pernah mendapatkan perempuan dengan tiga poin yang kamu sebutkan tadi. Jadi, bukan itu yang membuatku berselera ketika ingin kembali menikahi seorang perempuan untuk aku jadikan istri."Nisa menaikkan sebelah alisnya tak mengerti. Bagaimana mungkin ada perempuan yang memiliki poin istimewa seperti yang ia sebutkan tadi selain dirinya. "Apa ayahmu sudah memberitahu padamu tentang kehidupanku sebelumnya?""Tentang kamu
"Lusa aku akan menikahi Selena!" Bak suara petir di siang bolong, kalimat yang Danu ucapkan membuat sang istri —Mita, terkejut setengah mati. "A-apa, Mas? Apa yang kamu katakan barusan?""Kamu mendengarnya, Mita. Tak perlu aku mengulanginya lagi bukan?" sinis Danu menatap wanita yang sudah ia nikahi selama hampir tiga tahun lamanya itu. "Tapi kenapa, Mas? Kenapa kamu tega melakukan ini padaku?""Mita, sejak setahun yang lalu kamu sudah tahu alasannya bukan. Kamu itu tidak bisa memberiku keturunan. Selain itu, Selena adalah kekasihku yang akhirnya aku putuskan karena aku harus menikah dengan kamu, yaitu wanita yang orang tuaku jodohkan karena hutang balas budi."Tak sanggup lagi Mita menahan air mata yang sejak tadi menggenang di pelupuk matanya. Danu, yang baru saja pulang dari kantor tiba-tiba mengatakan hal yang —sebenarnya— sering kali ia katakan belakangan ini. Menikahi Selena sudah lama Danu dengungkan di setiap kebersamaannya dengan sang istri bila sedang berada di rumah. Mi
Pukul delapan Danu turun dari kamarnya yang ada di lantai dua. Mita sendiri sudah selesai dengan pekerjaan rumahnya sejak ia mulai menyiapkan makanan untuk sarapan pagi. "Pagi ini aku akan pergi," ucap Danu setelah duduk di bangku ruang makan.Penampilannya memang tampak rapi dan selalu tampan. Tak bisa dipungkiri, wajah Danu sudah membuat Mita jatuh hati karenanya. "Kemana, Mas?"Lelaki itu sedikit menoleh, memandang istrinya. "Bertemu Selena untuk mengecek persiapan esok." Tanpa perasaan bersalah, Danu secara jujur bicara mengenai rencana pernikahannya dengan Selena yang akan digelar besok minggu. 'Ya Tuhan, kuatkanlah hamba!' batin Mita merespon jawaban suaminya itu. Laki-laki itu kini terlihat menyantap makanan yang istrinya sudah siapkan dalam suasana lapar dan kelahapan yang nyata terlihat. Tak ada suara yang keluar dari mulut keduanya. Suasana hening di ruangan itu hanya didominasi tangan-tangan yang beradu dengan peralatan makan di atas meja, baik milik Danu ataupun Mita
Danu belum pulang ketika Mita kembali dari butiknya di waktu sore menjelang maghrib tiba. Padahal, wanita itu sengaja berlama-lama tinggal di butik demi menghindari pertemuan dengan suaminya yang pasti datang dengan wajah ceria sebab akan menggelar pernikahannya besok dengan Selena, mantan kekasihnya itu. Akhirnya Mita pun memilih untuk membersihkan diri. Setelah selesai, tidak sempat istirahat, ia langsung menyiapkan makan malam seperti biasanya.Wanita itu tahu meskipun Danu mampu membeli makanan di restoran, suaminya itu tetap akan pulang ke rumah untuk memakan masakan yang ia siapkan. Alhasil, meski rasa nyeri di hatinya masih begitu terasa demi mendengar keputusan sang suami yang akan menikah lagi, Mita tetap menjalankan tugasnya sebagai seorang istri dengan baik.Masakan sudah terhidang di atas meja ketika Danu pulang tepat di jam delapan malam. Mita baru saja selesai salat Isya ketika suaminya datang dengan ekspresi wajah yang sudah Mita tebak sebelumnya. Bahagia dan begitu c
Pagi-pagi sekali Danu sudah bangun. Tumben sekali biasanya Mita selesai dengan aktifitas-nya menyiapkan sarapan pagi, baru lelaki itu bangun. Itu pun setelah istrinya membangunkannya berkali-kali. "Apa sudah selesai?" tanya Danu sembari membawa koper plus penampilannya yang sudah sangat rapi.Kemeja koko berwarna putih yang dipadukan dengan celana coklat tua berbahan kain. Tampan seperti biasanya. Namun sayang, ketampanan lelaki itu kini hanya bisa Mita nikmati dengan cukup melihatnya saja, tanpa bisa ia sentuh apalagi memiliki hatinya. Pertanyaan 'sudah' yang Danu maksud, tentu saja mengenai sarapan pagi yang istrinya buat. Sebab yang Danu sadari, biasanya ia baru turun begitu Mita selesai. Tapi kali ini, ia sudah turun lebih awal, pastinya ia mesti bertanya apakah sudah bisa ia sarapan. "Sudah, Mas!" Mita menjawab cuek. Wanita itu seolah tak peduli dengan suasana hati suaminya yang terlihat sekali sumringah dan bahagia. Danu berjalan menuju kursi makan. Sebuah piring kosong suda
"Aku tidak peduli kamu mau percaya aku atau tidak. Tapi yang pasti, kamu itu bukan seleraku.""Ap-apa?" Nisa menatap Danu emosi. "Kamu bilang aku bukan seleramu? Lantas, perempuan seperti apa yang jadi seleramu? Apakah lebih cantik, lebih kaya, atau lebih pintar dari aku?"Danu tertawa mendengar pertanyaan Nisa. "Kenapa kamu marah? Selera seseorang enggak melulu tentang cantik, kaya, atau pintar bukan?""Y-Ya. Tapi, apa yang para lelaki lihat kalau bukan tiga poin yang aku sebutkan tadi?"Sekali lagi Danu tertawa sembari meminum kopinya yang tinggal setengah. "Aku sudah pernah mendapatkan perempuan dengan tiga poin yang kamu sebutkan tadi. Jadi, bukan itu yang membuatku berselera ketika ingin kembali menikahi seorang perempuan untuk aku jadikan istri."Nisa menaikkan sebelah alisnya tak mengerti. Bagaimana mungkin ada perempuan yang memiliki poin istimewa seperti yang ia sebutkan tadi selain dirinya. "Apa ayahmu sudah memberitahu padamu tentang kehidupanku sebelumnya?""Tentang kamu
Sepekan yang lalu saat Danu baru pulang dari kantor, ia sudah dibuat kesal oleh ayahnya. Hal itu karena ucapan lelaki yang ia sayangi itu mengenai perjodohan yang tetap harus dilaksanakan. "Ibumu sakit. Dokter bilang waktunya tidak lama lagi.""Jangan bercanda, Yah. Ini bukan waktunya main-main." Danu mulai emosi ketika sang ayah membawa-bawa penyakit ibunya. "Bu, apa betul dokter bilang begitu? Memang Ibu itu sakit apa, kok tiba-tiba jadi parah? Kalian ke luar negeri 'kan cuma cek rutin, bukan mau konsultasi penyakit serius." Danu menatap ibunya bertanya. Perasaannya mendadak tak enak. "Enggak, dokter enggak bilang gitu.""Nah, terus? Barusan ayah ngomong gitu!" seru Danu kesal menatap ayahnya. Namun, lelaki di depannya itu terlihat cuek dan santai. Membuat Danu kembali menatap ibunya. "Kenapa Ibu mau aja diajak kongkalikong sama ayah meminta aku buat nikah sama perempuan itu? Sampai bawa-bawa penyakit segala.""Enggak ada yang salah kok, Nu. Apa yang ayahmu katakan itu ada bena
Terdengar suara gedebuk orang jatuh dari ketinggian. Danu yang masih kebingungan menjawab pertanyaannya sang ayah, seketika membuka mata dan menyadari jika ia baru saja bermimpi. "Ah, sial! Ternyata cuma mimpi," gerutunya kesal. Danu kemudian kembali ke atas ranjang. Membaringkan tubuhnya kembali yang terasa sakit sebab terjatuh tadi. "Kenapa aku jadi bermimpi seperti itu? Jelas-jelas aku ingin melupakannya. Tapi, kenapa sosoknya malah muncul. Lalu, kenapa juga ayah enggan membatalkan perjodohan ini?" ucapnya semakin kesal. Danu melihat jam di atas nakas. Jam digital di sana menunjukkan angka dua dini hari. "Aku baru tidur satu jam dan sudah bermimpi? Ini benar-benar gila!" gerutu Danu lagi. Ia mencoba untuk kembali tertidur, tapi mengalami kesulitan. Kantuknya seketika hilang setelah insiden terjatuh tadi. Ia pun kemudian memutuskan untuk ke toilet untuk membuang hajat. Setelahnya ia mencuci muka, menatap wajahnya di depan cermin wastafel. 'Hei! Apa kamu masih belum puas membu
"Nisa Naura Setiawan. Dia adalah putri tinggal alias putri semata wayang dari Rendy Setiawan, seorang pengusaha, pebisnis yang lumayan disegani." Danu mendengarkan cerita Amar tentang sosok Nisa, gadis yang dijodohkan dengannya. "Nisa adalah gadis baik-baik. Aku kenal dengannya sejak kami kuliah di fakultas yang sama.""Mas Amar satu angkatan sama Nisa? Kok bisa?" Mita bertanya bingung. Ia berpikir jika usia keduanya jauh berbeda. "Oh, enggak. Nisa di bawahku. Aku kenal dia karena orang tua kami yang adalah rekan bisnis," jelas Amar. Baik Mita atau pun Danu sama-sama menyimak dengan serius. Entah apa yang terjadi, keduanya seperti menemukan sebuah kisah seru yang ingin mereka dengarkan sampai tuntas. "Kalian enggak dijodohkan?" tanya Mita iseng. "Enggak. Aku sudah punya pacar waktu Nisa masuk kuliah. Selain itu usia kami juga lumayan jauh." Amar mencoba membayangkan hal yang membuat kedua orang tua mereka tidak menjodohkannya dengan Nisa. "Lagian, orang tua kamu cuma rekan bisni
"Apa? Jadi, ibu sama ayah mau jodohin Mas Danu lagi?" Mita tampak terkejut saat mendengar cerita Danu mengenai perjodohannya dengan Nisa. "Ehm, menurut sahabat ayah begitu." Danu menjawab sambil mengangguk. "Tapi, sebelumnya ayah dan ibu enggak bilang. Aku baru tahu pas hubungi mereka tadi."Mita melempar pandangannya pada Amar. Amar hanya diam dengan senyum tipis. Ekspresinya menunjukkan rasa ingin tahu. Pertemuan malam itu antara Danu, Mita, dan Amar, membuat Danu bercerita tentang rencana perjodohan yang kedua orang tuanya lakukan. Ia yang saat ini sedang menenangkan hati, hanya bisa bercerita pada sosok yang sekiranya bisa dipercaya. "Eh, maafkan aku. Aku enggak bermaksud mengganggu kehidupan baru kalian dengan menceritakan kisahku. Aku cuma butuh tempat bercerita," ucap Danu sembari menyesap kopi panas yang ia pesan. "Setidaknya hal tersebut membuatku lega. Tak perlu ada saran atau pendapat." Danu menatap Mita, terlebih Amar dengan raut muka tak enak hati. "Enggak apa-apa kok
Danu berjalan pelan menuju meja, tempat di mana keluarga Setiawan alias Nisa berada. Makanan sudah terhidang, dan mau tak mau Danu harus melanjutkan makan malamnya dengan keluarga Setiawan. Ia tak mau membuat dua orang tua di depannya kecewa atau pun tak nyaman. "Maafkan saya, Pak Rendy. Maaf karena sudah membuat Anda dan keluarga menunggu," ucap Danu sembari duduk. Di dekatnya Nisa seolah enggan menatapnya. Ekspresinya masih sama, jutek dan kesal. "Tidak apa-apa, Nak Danu. Kami maklum. Kami juga minta maaf karena kecerobohan Nisa membuat kamu terkejut.""Kok aku, Yah?" Nisa menyela, tapi cubitan sang ibu seketika membuatnya bungkam. "Kalau saja Nisa tidak bicara tadi, mungkin suasananya tidak akan se-canggung ini. Kita masih bisa makan dengan santai dan akrab.""Oh, tidak, Pak Rendy. Dengan Nisa bicara tadi, bukankah saya jadi tahu mengenai rencana perjodohan kalian terhadap kami berdua. Saya jadi bisa bertanya pada ayah dan ibu mengenai kebenaran berita tersebut.""Ya, tapi mung
"Mau ngapain kamu di sini?" Nisa bertanya kaget saat melihat Danu berdiri di depannya. "Nisa! Tolong yang sopan sama tamu Ayah."Nisa menengok kepada ayahnya. "Ja-jadi, ini tamu ... eh, maksudnya anak sahabat Ayah yang mau dijodohin sama aku?"Ayah Nisa mengangguk yakin. Tapi, di depannya Danu tercengang. "Maaf, Pak Rendy. Ini maksudnya apa, ya? Siapa yang dijodohkan dan dengan siapa?" Danu merasakan kengerian sebab perkataan Nisa tadi. "Kamu dan Nisa, anak saya.""Kok bisa? Ma-maksud saya, siapa yang bilang begitu?""Loh, apakah orang tua kamu enggak bilang apa-apa tentang perjodohan ini?" Rendy menatap Danu bingung. Danu menggeleng. Ia terlihat lemas dan tak bertenaga. 'Jadi, apakah ini yang ayah dan ibu sembunyikan sejak kemarin?' batin Danu mengingat ucapan-ucapan kedua orang tuanya di telepon beberapa hari belakangan. "Danu, apa udah ada kabar dari Pak Rendy?""Danu, kamu jadi 'kan datang ke undangannya teman Ayah?""Danu! Awas loh kalau kamu sampai enggak datang. Jangan bik
Danu baru akan pulang dari kantor ketika ibunya menelepon. "Iya, Bu?" tanya Danu setelah menerima panggilan dari ibunya tersebut. "Sudah pulang, Nu?""Baru aja mau pulang. Kenapa?""Enggak kenapa-kenapa. Ibu cuma mau tanya, tadi siang apa Pak Rendy jadi datang?""Jadi, Bu. Kenapa memang?""Enggak, Ibu cuma mau mastiin aja.""Mastiin? Emang beliau siapa sih, Bu?""Loh, memangnya Pak Rendy enggak ngenalin dirinya ke kamu?"Danu sudah sampai parkiran. Ia masuk ke mobil, lalu menyalakan mesin mobil. "Ngenalin namanya sama hubungan beliau sama kalian. Itu aja.""Oh, gitu.""Memang kenapa sih, Bu?" tanya Danu penasaran. "Tapi, ngomong-ngomong kok tumben banget, ya, Ibu sama ayah bisa ketemuan sama teman lama. Di sana kalian enggak jadi pulang besok karena mau reunian sama teman juga. Sekarang, tiba-tiba aja muncul Pak Rendy yang katanya teman ayah.""Eh, memangnya enggak boleh?""Siapa yang bilang enggak boleh? Tapi, kok tumben-tumbenan banget. Bisa dua orang begini.""Enggak kenapa-kena
Nisa berjalan gontai menuju parkiran. Ia yang memarkir mobilnya di basement terlihat kesal sekaligus malu. Beberapa saat lalu, Danu menjawab semua kekhawatirannya. Bahkan, lelaki itu mampu membuatnya diam membisu setelah semua pertanyaan dijawab dengan keseriusan yang tampak nyata. Nisa mungkin malu sebab tuduhannya tidak terbukti. Tapi, demi mendengar alasan dirinya tidak diterima bekerja, membuatnya kesal bukan main. "Apakah kamu pikir saya akan menerima seorang perempuan pemabuk untuk jadi sekretaris saya?""Saya bukan seorang pemabuk. Ada masalah yang sedang saya hadapi, yang membuat saya melakukan itu." Nisa mencoba memberikan pembelaan. Tapi, melawan Danu adalah hal yang sia-sia. Lelaki itu mempunyai sejuta alasan untuk menolaknya. "Saya tidak mau mempunyai sekretaris kekanak-kanakan. Seseorang yang rapuh hanya karena satu masalah. Bagaimana ia akan bekerja nanti di tengah masalah pribadi yang sedang dihadapi? Bisa-bisa semua pekerjaan yang sudah dirancang malah hancur beran