Putus asa lantaran tidak ada perkembangan dalam upaya mengingat rangkaian peristiwa, Esther membaringkan lagi kepalanya lantaran usaha itu hanya membuat kepalanya terasa makin sakit. Kalau saja, ini bukan situasi yang membingungkan seperti sekarang, dia mungkin akan sedikit terhibur melihat bibir Gaara yang terbuka sedikit. Pemandangan yang sangat berbeda dengan dirinya sehari-hari, dia sangat polos dan menggemaskan, cukup untuk membuat Esther menahan diri untuk tidak menjerit.Wajah si gadis sontak memanas.“G—Gaara …,” bisik Esther lembut. Dibandingkan diam saja dan hanya mencoba sendiri mengais puing-puing ingatan dia berpikir bahwa bertanya pada Gaara akan sedikit mengembalikan memorinya yang terlupakan. “Gaara …,” panggilnya lagi mencoba membangunkan si berandal.Lelaki itu tetap bergeming, menyadari bahwa itu tidak cukup berefek untuk membuatnya terjaga akhirnya Esther mengguncang kepalanya sedikit. Jari-jarinya yang panjang menyentuh rahangnya yang tegas, salah satu daya tarikn
Esther menarik napas lega tatkala mendengar pintu kamar Gaara tertutup rapat. Entah mengapa dia merasa lebih leluasa ketika pria itu memilih untuk menunggunya di luar kamar. Jadinya, dia punya waktu lebih untuk sendirian lebih lama.Gadis itu menggigit bibirnya ketika melihat secara langsung kamar mandi milik si pemuda. Jujur saja, dia sedikit iri melihat bath tub berkaki yang ada di tempat ini, pun juga ada tempat khusus untuk shower. Demi Tuhan! Esther semakin menganga ketika menjelajah lebih dalam dan menemukan sebuah jacuzzi di kamar mandinya.Tanpa pikir panjang, Esther menanggalkan seluruh pakaiannya dan melangkah menuju ke dalam pancuran.“Siapa yang bisa menolak godaan untuk mandi saat badan selengket ini?” ujar Esther pada diri sendiri.Siraman air pertama yang mengenai kulitnya secara spontan langsung membantu merileks-kan seluruh tubuhnya yang beberapa saat lalu terasa tegang dan kaku. Dia memejamkan mata dan seketika pula pikirannya kembali melayang pada kejadian-kejadian
Esther menatap pantulan dirinya pada cermin yang besar yang ada di kamar Nelsy. Tidak dibutuhkan banyak proses sama Esther tiba-tiba saja sudah merasa dekat dengan gadis cantik itu. Bahkan sekarang dia sudah dibawa ke rumahnya dan di make up dan hair do olehnya pula. Tetapi beranikah dia menyematkan satu kata yang begitu asing untuk mendefinisikan dirinya? Ya, cantik.Rambut keperakannya yang biasa lurus kini sedikit bergelombang di bagian bawahnya. Perubahan yang asing, tetapi cocok untuknya. Secara keseluruhan Esther menyukai penampilannya, kecuali satu hal.Dahinya mengernyit melihat ujung rok yang hanya menutupi setengah dari pahanya. “Nelsy, aku tidak yakin bisa mengenakan ini.”Nelsy yang terpanggil kontan terkejut mendengar kalimat yang barusan keluar dari mulutnya. Saat itu dia sedang sibuk dengan curl iron untuk mengikalkan rambutnya panjangnya pula. “Apa kau bilang? Rok itu terlihat menakjubkan kalau kau yang memakainya, Esther!”Entahlah, kloset pakaian Esther lebih banyak
Gaara menatap bosan pada sekeliling ruangan. Pesta yang dia hadiri saat ini tidak ada yang menarik perhatian. Minuman yang sama, orang-orang yang sama, dan wanita murahan yang sama. Benar-benar membosankan.Disampingnya, Grace juga diam seribu bahasa. Tampaknya dia juga sama tidak nyamannya dengan dia. Hanya saja dia tidak mengerti apa motif perempuan itu mendatanginya sore tadi. Karena Gaara tidak punya alasan untuk mangkir, maka pada akhirnya dia menyetujui menjadi patner gadis itu datang ke pesta ini. Kalau boleh jujur, Gaara pun juga jadi teringat urusannya dengan Vinson yang belum usai. Makanya dia pikir laki-laki itu mungkin datang mengingat dia dan Elise (sang penyelenggara pesta) lumayan dekat dan kerap ketahuan sering affair. Tetapi setelah mencoba mencari segala penjuru tempat dia tidak bisa menemukan lelaki itu di mana pun.“Gaara, kau mau menari?” tanya Grace tiba-tiba, sepertinya dia mencoba untuk mencairkan kebisuan diantara mereka berdua.“Hn.” Gara merespon seadanya, t
Esther mendongak tatkala dia mendengar pertanyaan yang Gaara berikan. Dia tersenyum sebagai balasan tanpa kata. Jenis senyuman yang biasa Gaara lihat dibibir gadis itu. Gaara entah mengapa merasa lega melihatnya, tetapi dia tidak siap atas apa yang terjadi setelah itu. Tepatnya ketika wajah si gadis sudah mendadak sangat dekat dengannya. Kemudian tanpa aba-aba gadis itu langsung menciumnya begitu saja.Kekagetan yang mampir dalam benak Gaara sirna begitu saja, sebab di detik berikutnya sang pemuda langsung melumat bibir Esther dengan balasan yang lebih ganas. Sisi rasionalnya menguap, dia justru sudah masa bodo dengan segala hal termasuk fakta bahwa gadis yang menciumnya sekarang sedang mabuk berat. Di alam bawah sadarnya, Gaara cukup yakin bahwa sejatinya si gadis juga menginginkan dirinya.Esther mengkonfirmasi praduga Gaara dengan cara melingkarkan lengannya sendiri dileher pemuda itu tanpa disuruh. Bahkan dia membuat pergerakan sendiri dengan menduduki pangkuannya untuk memperdala
Seorang pelayan yang masuk ke dalam membawa sebuah nampan berisi makanan yang Esther yakin berisi sarapan. Tetapi jumlahnya yang lumayan banyak seperti disiapkan bukan hanya untuk Gaara seorang.“Letakan saja di meja,” kata Gaara pada pelayannya dan orang itu langsung melakukan apa yang Gaara perintahkan, lalu undur diri.Begitu si pelayan hendak pergi, Esther mengambil kesempatan itu untuk ikut pamit pula. Tetapi Gaara dengan refleksnya yang bagus langsung menangkap tangannya sehingga Esther telah terjebak. “Mau kemana?”“Aku rasa aku mau pulang saja.”“Isi dulu perutmu, baru kau kuizinkan pulang.”“Aku tidak lapar, lagipula—” kata-kata Esther terhenti lantaran suara yang keluar dari perutnya jauh lebih nyaring. Esther menutup matanya dan memandang pada Gaara yang kala itu sudah menaikan alisnya.“Sarapan dulu,” katanya dan nada bicaranya yang otoriter tersebut sudah jelas tidak bisa lagi Esther bantah. Lagipula dia tidak bisa beralasan lagi karena perutnya yang keroncongan tidak bis
Hal pertama yang Nelsy sadari begitu dia terjaga adalah fakta bahwa dia saat ini berada sebuah ruangan yang bukan miliknya. Rasa pegal dan kaku diseluruh badan menyusul setelah itu, terutama di bagian lehernya. Butuh waktu sepersekian detik hingga dia bisa memanggil seluruh ingatan di kepala, terutama untuk kejadian yang baru saja dia alami semalam.Nelsy merenggangkan seluruh tubuhnya seperti seekor kucing sebelum mulai berdiri dari sofa yang dia tempati semalaman sambil menguap lebar. Aksi yang dia lakukan setelah itu adalah mendekati ranjang yang tidak jauh dari posisinya. Disana sudah terbaring seorang pria yang adalah sang pemilik kamar ini sekaligus orang yang sudah menduduki posisi paling menyebalkan bagi Nelsy.Vinson.Nelsy menghela napas, tanpa sadar jemarinya menyingkirkan rambut yang menutupi wajah dahi sang pemuda. Sejujurnya jika dilihat diposisi ini, Vinson sangat polos dan terlihat seperti pria baik yang bijaksana, dia nampak jauh lebih mudah dicintai dengan tampangnya
Malam sebelumnya “Kau tunggu disini ya Esther, aku akan ambilkan minuman.” Itu adalah kata-kata terakhir yang Nelsy katakan kepada Esther sebelum meninggalkan dia begitu saja di sofa yang telah dia pilihkan. Saat itu Nelsy sama sekali tidak mengira bahwa tindakan tersebut adalah cikal bakal daripada pengubah nasib mereka malam itu.Jadi, ketika dia meninggalkan Esther. Nelsy segera menuju ke bar dimana ada seseorang yang ahli meracik minuman berada. Nelsy memesan mocktail untuk dia dan Esther, karena Nelsy tahu kalau gadis itu bukan tipikal orang yang suka minum alkohol. Walaupun kebersamaan mereka terbilang singkat, tetapi Nelsy sudah cukup mengenal gadis itu. Bahkan sampai titik dimana dia mendengar soal permainan konyol Vinson yang menjebak Esther didalam pusaran tidak berujung.“Halo, Nelsy.”Mendengar namanya disebut oleh suara yang familiar kontan gadis itu merinding, apalagi ketika napas hangat orang itu menerpa lehernya, kemudian diikuti dengan sepasang lengan kuat yang menda
Baiklah ini mungkin sedikit tentang keluarga pasutri muda. sebenarnya tidak ada yang terlihat wah atau bagaimana kecuali fakta bahwa mereka mulanya adalah pasangan yang terlihat abnormal tetapi nyatanya bisa membuat sebuah keluarga yang terlampau manis bak gulali, apple candy, dan kue lapis legit. Namun terkadang juga bisa sepahit kopi, se asam lemon, se asin garam. Ya, barangkali inilah alasan mengapa hidup itu tidak selalu tentang satu rasa, sebab manis itu sendiri tidak akan pernah berarti bila tidak ada rasa yang lain. Hidup tidak melulu soal bahagia.Matahari sudah meninggi, teriknya telah menghidupkan semesta mencoba mengintip dari celah tirai jendela yang sengaja belum dibuka. Seiring dengan langkah Gaara yang sampai di ujung tengah dan lekas membuka pelan pintu kamarnya.Lelaki itu berjalan tanpa suara, seraya mengukir senyum yang paling sempurna. Kedua matanya memancarkan cahaya yang lembut, tampak sekali bahwa pria tersebut menyukai sosok wanita yang masih meringkuk nyaman d
Tidak disangka hari yang ditunggu akan tiba. Dia juga tidak habis pikir bahwa akan tiba masanya dia akan mengenakan pakaian serba putih dan didandani dengan cantik, terlebih nantinya dia akan bersanding dengan pria yang dia cintai. Senyuman manis terpatri di wajah Esther yang sudah dipoles dengan make up sedemikian rupa. Gadis itu sama sekali tidak bisa berhenti tersenyum untuk moment ini. Hari ini dia akan menikah, dengan seseorang yang dulunya adalah bad boy di kampus, lelaki yang mulanya hanya dijadikan sebagai objek taruhan antara dia dengan Vinson. Ceritanya memang selucu itu, tetapi tidak memudarkan bahwa cinta yang dia miliki kepada sang pria adalah cinta yang tulus.Setelah lulus dan berpacaran selama kurang lebih tiga tahun, Gaara datang ke kediamannya dan dengan gentle meminang Esther di depan ayahnya. Lamaran itu datang tanpa diduga sama sekali oleh Esther, dan dia teramat bahagia mendengar kesungguhan Gaara terhadapnya. Selang beberapa waktu, pria itu langsung sibuk memper
Esther terbangun karena rasa lapar di perut. Dia berbalik dan menemukan sepasang mata Gaara yang menatapnya dengan intens.Dia tertidur saat ditengah permainan, dan ranjang Gaara sekarang sudah menjadi favorit Esther. Dia tidak mau meninggalkannya.“Hei,” sapa gadis itu pada sang pemuda, dia tersenyum malu-malu.“Hei,” balas Gaara membalas senyumannya. “Kau lapar ya?”Esther mengangguk.“Aku sudah memanaskan sup dan ada sedikit roti juga. Mungkin rasanya tidak akan terlalu cocok, tapi aku pribadi memang jarang makan dirumah.”Esther terkekeh. “Kau seperti cenayang, bagaimana kau bisa tahu aku lapar?”“Aku mendengar suara perutmu.”Wajah Esther memerah, sementara Gaara malah tertawa. Mereka kemudian makan bersama di tempat tidur. Makan terakhir yang Esther makan memang hanya sarapan di pesawat. Rasa lelah membuat Esther melupakan banyak hal termasuk urusan mengisi perut. Dan meski Gaara bilang rasanya mungkin tidak sesuai, tetapi bagi Esther makanan itu adalah yang paling nikmat yang p
“Menurutmu apa aku punya pilihan Gaara?” Dia merasakan air mata membasahi pelupuk mata. “Aku sendirian. Jika ada satu kesempatan bagiku untuk bisa menyelamatkan diri, tentu aku akan melakukannya.”“Bagaimana bisa kau melakukan itu sementara—”“Siapa yang kau pikir akan menolongku saat itu? Apakah kau Gaara? Kau? Tentu saja aku tidak pernah berpikir kesana karena aku orang asing bagimu sementara Vinson adalah teman baikmu. Dan apa yang kau lakukan saat kau tahu aku kesulitan di kampus ketika Vinson membully-ku? Kau tidak melakukan apapun.” Gaara hendak memotongnya, tetapi Esther segera mengangkat tangan mencoba untuk menghentikan apapun yang akan lelaki katakan sebagai bentuk dari pada pembelaan. “Kita pernah membicarakan ini dulu sekali. Aku tidak berusaha sedang menyalahkan keadaan ini kepadamu. Faktanya, memang pada saat itu aku tidak punya seorangpun yang bisa menolongku. Pada akhirnya aku hanya harus melakukan sesuatu agar aku bisa menyelamatkan diriku sendiri. Terus terang taruha
Gaara yakin dia berhalusinasi ketika melihat sosok perempuan berambut keperakan yang berdiri di muka rumahnya.Tidak. Tidak mungkin itu Esther.Selain Gaara hanya ada dua orang yang tahu soal keberadaan rumah ini. Paman Yoshi dan ayahnya.Bahkan saat Gaara turun dari jeep dan melepas kacamata hitamnya untuk memastikan bahwa terik matahari tidak membuatnya berhalusinasi, sosok tersebut masih berada disana. Semakin mendekat, Gaara semakin yakin bahwa sosok itu memang adalah Esther.Perasaannya kian membuncah dan tidak terkendali. Tetapi diantara itu semua, Gaara tidak bisa berbohong bahwa dia bersyukur melihat Esther ada disini. Apalagi mengingat bahwa beberapa saat yang lalu dia nyaris membuat keputusan yang mungkin akan disesalinya.Ketika dia berhasil memeluk sosok itu, rasa lega segera menyebar dalam hatinya. Dia tidak tahu bagaimana caranya Esther bisa berada disini. Namun dia bersyukur bahwa sekali lagi dia masih bisa menyentuh kehangatan kulit gadis itu. Berada didekat Esther mem
Sejak meninggalkan rumah yang dahulu menjadi tempat dia menghabiskan waktu bersama sang bunda tercinta. Gaara tidak menduga bahwa akan ada saatnya dia kembali ke rumah ini. Tepat seperti dugaannya pula tidak ada satu bagian dari rumah ini yang berubah. Ayahnya pasti melakukan segala cara agar rumah tersebut tetap sama persis seperti saat masih ditinggali oleh ibunya terakhir kali. Gaara bisa melihatnya dari taman bunga dan juga gazebo tempat ibunya dulu selalu menghabiskan waktu bersama Gaara untuk membacakannya sebuah dongeng.Gaara tidak bisa membohongi dirinya. Rumah itu sangat mencerminkan kepribadian ibunya. Setiap sudutnya memaksa Gaara mengingat semua memori tentang wanita itu. Ketika Gaara pertama kali melewati pintu depan rumah tersebut, dia merasa seperti melihat hantu ibunya dari masa lalu.Dalam perjalannnya ke Australia, Gaara sebenarnya telah membayangkan ratusan skenario yang ingin dia lakukan pada rumah tersebut. Hal pertama yang mampir ke otaknya adalah membersihkan s
Sesuai dengan janji, setelah mengunjungi makam ibunya Gaara, Jorge mengantar Esther menuju ke kediaman mendiang istrinya dimana gadis itu bilang bahwa Gaara berpotensi berada disana. Jorge sebenarnya tidak yakin bahwa sang putra akan berada di rumah tua itu. Apalagi karena Gaara punya alasan yang kuat mengapa dia bersedia tinggal bersamanya dari pada tinggal dirumah itu.Namun entah bagaimana, Esther mampu mematahkan semua statement pria itu berdasarkan intuisinya yang liar.Sementara Esther sendiri kini semakin diliputi rasa bersalah yang teramat mendalam kepada Gaara. Setelah mendengar cerita Jorge tentang mendiang istrinya. Esther memahami bahwa Gaara tumbuh dengan pemahaman bahwa sang ibu meninggal karena cinta yang terlalu besar kepada ayahnya. Memang masuk akal bahwa pemuda itu akan bersikap sinis dan membenci ayahnya. Tetapi terlepas dari hal itu, Esther pun tidak bisa menjudge keduanya. Tetapi yang pasti setelah mendengar segalanya dari kedua belah pihak, Esther malah merasa k
Esther benar-benar tidak tahu bahwa dia punya keberuntungan sebesar ini dalam hidupnya.Lima belas menit yang lalu dia benar-benar dibuat kelimpungan dan nyaris menangis gara-gara kehabisan mobil jemputan. Memang benar keputusan yang dia buat kali ini pun terbilang sangat gila seumur hidupnya. Terbang ke Australia tanpa punya kenalan satu pun, bahkan alamat yang hendak dia tuju pun Esther tak tahu. Esther hanya punya modal ingatan foto-foto lama Gaara dengan mendiang ibunya saja. Makanya rencana Esther adalah menyewa mobil dan pergi berkeliling sambil mencari rumah yang mirip dengan gambar yang pernah Esther lihat.Saat itulah mendadak pria baik hati yang Esther temui di pesawat menghampiri. Karena Esther punya pengalaman kurang baik dengan orang asing, maka Esther sempat ragu untuk mengatakan yang sebenarnya kepada orang itu. Tetapi bila mengingat kebaikan yang pria itu lakukan, Esther berasumsi bahwa orang itu bukanlah orang yang punya maksud jahat.“Ah, saya Jorge Maxwell. Orang ya
“Maaf?” balas gadis itu tampak agak kaget dengan pertanyaan yang Jorge berikan terhadapnya.“Mimpimu.”“A—ah… itu … b—bukan apa-apa,” sahutnya agak tergagap sambil menggelengkan kepala. “Maaf saja tapi itu … bukan tipik yang cukup menyenangkan untuk … dibicarakan.”Jorge mengangguk. “Baiklah kalua begitu, tapi saat melihatmu aku jadi teringat putra bungsuku yang kurasa seumuran denganmu.”Sekilas gadis itu jadi tampak sedikit tertarik. “Benarkah? Umur berapa?”“Tahun ini masuk dua puluh dua tahun.”Gadis itu menganggukan kepala. “Ah, benarkah? Saya juga.”“Jadi, kalua boleh tahu apa yang gadis sepertimu lakukan sendirian? Apa kau ingin mengunjungi seseorang?”Selama sesaat gadis itu tampak menimbang-nimbang jawabannya. Ekspresinya juga sedikit berubah. Tetapi kemudian tak selang beberapa lama dia menganggukan kepala. “Ya, begitulah.”“Keluarga?”“Ah, bukan. Hanya seorang teman.”“Kurasa dia adalah teman yang special sampai kau mau terbang sendirian seperti ini.”Jorge jadi terkekeh sa