Kujumpai adikku sedang bercanda ria dengan teman sekelasku, ya aku dan aikku memang terpaut beberapa tahun tapi aku satu kelas dengannya, aku tak pernah mengerti kenapa tapi yakinlah bapakku punya alasan sendiri agar aku sekelas dengan cupang, karena aku dan adikku dari kecil memang ada batasan tersendiri, mungkin seseorang tak akan mengira bahwa dia adikku, seakan kita tidak pernah mengenal jika kita diluar rumah, aku hanya bisa mengelus dada dan bernafas sedikit berat jika memikirnya, entahlah dia seakan menjaga jarak denganku, aku sebagai kakak lebih memlih diam tanpa bertanya, karena aku berpikir jika aku bertanya akan membuat jarak diantara kita semakin menjauh, aku hanya bisa melihatnya dalam jarak yang sedikit jauh dariku, memastikan dia baik-baik saja dan menyapanya jika dia menegurku, dan itupun kami lakukan jika kita saling bertanya perihal uang saku, jangankan untuk berbicara bercanda gurau bersama, dia duduk bersama teman baiknya, sejak kelas satu sampai sekarang, ya aku memlih duduk dengan teman-teman yang tidak terlalu pandai dan suka tidur didalam kelas, jadi tidak heran jika mereka terlalu pintar dariku, mereka sedikit lebih rajin dariku dan teman-temanku, aku hanya bisa tersenyum bangga jika dia bisa mengerjakan soal dengan tepat didepan kelas, ya walaupun dia tidak pernah menegurku tapi setidaknya dia tetap menjadi adikku, hari ini dia maju mengerjakan tugas yang sempat membuatku berpikir keras tadi pagi, dia mengerjakan dengan benar sedangkan aku hanya menghela nafas yang panjang karena tugasku hanya benar beberapa soal dari sepuluh soal yang diberikan, kenapa dia terlalu pandai sedangkan aku mengerjakan sepuluh soal saja tidak bisa sampai selesai, sungguh miriskan cerita ku menjadi kakak, tapi aku tidak pernah iri kepada adik kecilku itu, aku malah bangga, setidaknya dia lebih baik dariku.
hari ini berajalan begitu cepat pembahasan soal dan mengerjakan pembelajaran bab baru membuatku merasa sangat lapar dijam istirahat ini, di tahun 2003 uang sebesar 1000 rupiah merupakan uang yang cukup besar untuk kami anak kelas tiga sd, aku harus berbagi uang dengan adik kecilku ini, membaginya sama rata agar dia tidak mengadu kepada bapak atau ibuk, menjaganya agar tetap aman juga kulakukan sebaik mungkin, karena mungkin ini yang bapak tak pernah ucapkan, tapi harus kulakukan tanpa harus disuruh, karena aku ingin menjadi sebaik-baiknya kakak dimata bapak dan ibukku, kadang aku berharap bahwa ibukku juga memandang ku sama dengan adikku, sosok anak kecil yang ingin dimanja dan disayang dengan sepenuh hati, tapi apalah dayaku, pundak dan hati seorang kakak harus jauh berlipat-lipat kuat dari adiknya, air mata yang harus kuat membendung tanpa harus dialirkan, memendam semua kata yang selama ini ingin kuucap, mengubahnya menjadi sesimpul senyum yang menandakan aku baik-baik saja, agar mereka selalu bisa memastikan bahwa anaknya masih tetap bisa berdiri dengan tegaknya diatas kedua kakinya yang masih kecil ini, menanggung beberapa kata yang tak pernah terucap menutupinya dengan sangat rapi, "cak sanguku endi ?" (Cak uang saku ku mana ?) seketika lamunanku buyar dan segera merogoh saku kanan celanaku dan mengambil uang saku milik adikkku, dia berjalan lari meninggalkanku tanpa sebatas kata, terlalu biasa bagiku, dia memang begitu. aku terus berjalan menyusuri sekolah ini, memandang sekeliling dimana ank kecil-kecil tertawa dengan lepasnya bercerita semua yang mereka rasakan dengan sesuka hati, ada yang berbagi makanan dengan senang hati kepada temannya, ada yang hanya memilih menghabiskan waktu istirahat dengan membaca buku diperpustakaan, bahkan ada yang hanya bermain sepanjang waktu istirahat, aku segera bergegas menuju warung didepan sekolah kami yang tak berjumlah banyak, dua arung yang selalu ramai dikunjungi anak-anak sewaktu jam istirahat seperti ini, berdusel-duselan memilih makanan ataupun jajan yang mereka inginkan, hari ini aku hanya memutuskan untuk menhabiskan 300 rupiah saja uang sakuku, aku siang pulang sekolah masih ingin jajan bersama temanku, atau enggak aku akan menyisihkan uang ini dalam celengan ayamku, aku segera mengambil tiga jajan yang berharga 100 rupiah per bijinya, aku membukanya sambil berjalan menjauh dari tempat kerumunana siswa itu, aku menikmati jajanku dengan langkah sendirian menyusuri sekolah ku ini, aku sudah biasa berjalan sendiri seperti ini, aku menghabiskan waktu dengan langkah yang harus tetap tegap, harus tetap dalam senyum yang sedikit dipaksa, dalam perjalana menuju kelas yang kususuri dengan langkah kecil ini, aku mendengar ada teriakan yang memanggilku dengan suara yang cukup keras yang membelah suara dari beberapa siswa lainnya, ya aku mengenali suara ini, pasti fadli yang memanggilku, dia juga sama sepertiku jauh dari kata cukup untuk berbahagia dan tertawa lepas, saat aku menolohkan wajahku, ya aku menemui wajah nya dengan senyum senjanya berjalan menuju kearahku, dan ku melihatnya tanpa jajan ditangannya, entahlah jajan hari ini sudah habis, atau dia memang tidak ada uang saku, aku mengeluarkan jajan ku dari saku kiriku, menunjukkan dua jajan untuknya, dan dia mengambil satu jajan yang kusodorkan, dia berterimakasih padaku, "kok dewean gak due konco a awakmu ?" (kenapa sendirian saja, kamu gak punya teman emang ?) aku tak menjawabnya hanya tersenyum kecut padanya, dia kakak kelasku yang sama sepertiku, tidak mempunyai teman kelas yang dekat denganku, karena nasib dan apa yang kurasakan sama dengannya, kita sering bercerita tentang apa yang kita pendam satu sama lain, layaknya anak kecil yang berumur sembilan tahun kita bercerita tentang suka duka hari ini, duduk didepan kelasku bercerita semua hal yang terlintas, dia juga bercerita tentang hari ini pergi sekolah tanpa uang saku, kadang akupun juga mengalami apa yang dirasakan fadli, tak jarang bapak harus meminta maaf kepadaku dan adikku, untuk hari ini belum bisa memberi uang saku seperti biasanya, kadang aku mencongkel uang didalam tabungan ayamku, tapi tak jarang aku juga berangkat tanpa uang saku, dan fadli akan melakukan hal yang sama seperti yang kulakukan saat ini, membagi jajan yang kita punya, ya walaupun tak banyak kita selalu berbagi karena senasib yang kita rasakan membuat kita dekat layaknya lebih dari saudara sendiri, dia sosok anak yang suka bercerita dan sangat humoris, tapi tak jarang jika kita sedang berkumpul dengan anak sebaya didesaku, di menjadi sosok anak yang selalu disuruh-suruh hanya untuk berberapa rupiah uang bonus yang mereka berikan kepada fadli, kadang aku kasihan padanya, secara umur mereka jauh lebih muda dariku dan fadli, tapi kita hanya menjadi pesuruh dan pelayan bagi mereka, ya karena memang uang bukan segalanya dan segalanya memang butuh uang, dari sini aku benar-benar merasakan arti kalimat orang dewasa yang mereka katakan.
jam pun berdetik tanpa henti, tanpa sedikitpun memberi jeda untukku dan fadli lebih lama tertawa lepas, kini bel masuk kelas pun sudah menggema disetiap sudut, menandakan bahwa jam masuk kelas sudah tiba, aku segera bergegas menuju kelasku, berjalan membelah ramainya lapangan dengan banyak anak yang lalu lalang, bergegas menuju kelas masing-masing, beberapa guru sudah mulai meninggalkan ruang guru satu persatu, kelasku terletak dilorong pojok gedung sekolah ini aku sedikit mempercepat langkah ku, kupandang seluruh isi kelas ini, cupang ya dia terlihat sedang berdiskusi dengan teman sebelahnya, tertawa lepas tanpa ada beban, aku hanya memandangnya dan terus berjalan membelah suara bising dikelasku yang diciptakan oleh kegaduhan teman kelasku. lalu tak lama sosok hitampun itu masuk dan segera membuat kelasku merasa tercekam, hening, tanpa ada bisikan sama sekali. aku segera menoleh ya sosok yang sangat disegenani disekolah ini, dia bukan kepala sekolah ataupun pemilik sekolah, dia han
detik semakin mencekam pak hitam semakin menatap dengan tatapan yang penuh arti, keringat dingin mulai membasahi tangan ku, kenapa semakin sesak isi dada ini, suara pak hitam yang sangat wibawa membuyarkan degup jantungku, "ojo onok seng lungguh, wong gak ngerjakno tugas kok katene lungguh, pr mung limo ae ra kerjakne" (jangan ada yang duduk, kalian tidak mengerjakan tugas, tugas hanya lima soal saja kalian tidak mengerjakan). ucapnya pasti, kami segera menuju ke tempat duduk kami mengambil buku dan alat tulis kami, satu persatu dari kami segera mengambil posisi, tanpa duduk kami mengikuti pembelajaran matematika hari ini, dengan memaksa sedikit untuk berkonsentrasi aku mencoba tidak menghiraukan teman-teman disampingku yang asyik dengan cerita mereka, aku memang tidak sepandai adikku, tapi aku adalah sosok orang yang selalu menulis disetiap pelajaran, entah itu aku paham atau hanya sekedar menulis saja.aku tetap mencoba memahami materi yang dijelaskan pak hitam hari ini, wa
saat matahari semakin tingginya diatas kepala, tanpa ampun membuat keringat bercucuran membasahi kaos bapak yang sangat lusuh, lelah pasti tapi bapak tidak pernah mengeluh didepanku, dia selalu tersenyum, "ayo le ngasuh dikek"( ayo nak, istirahat dulu) kata bapak sambil mengelus keringat yang didahinya, aku segera menyudahinya menepi mencari tempat yang lebih teduh, aku duduk bersama bapak, tanpa kata yang terucap, bapak hanya meminum botol yang berisi air putih yang ibukku masak buatnya, dia juga mengeluarkan makanan bekal yang ia bawa dipagi hari tadi, aku hanya memperhatikannya, bapak membukanya tanpa basa-basi bapak menyodorkannya kepada ku, "aku mari maem pak" (aku sudah selesai makan pak) jawabku, sembari mendorong kotak makanan bapak.bapak mengambilnya dan langsung memakannya, sangat lahap dia menunduk seakan makan dengan makanan yang sangat mewah, tapi layaknya lauk dirumah tak beda jauh, hanya saja sambal goreng ditambahkan dengan sayur bening, sudah cukup nikmat ba
Dalam kata yang terdengar samar kini mulai terdengar lebih jelas, mereka yang kupanggil bapak dan ibuk seakan sedikit bernada tinggi dalam berkata, aku takut, berdiri mengintip dan mencoba mencerna kata yang belum kupahami, sangat sulit dimengerti di usia ku yang masih sangat dini memahami perkataan yang jauh dari kata mengerti."Ojo budal"(jangan pergi) kata bapakku sambil tetap memegang tangan ibuk.Ibuk melengos dan tak berkata, sejenak kaki ini ingin melangkah, bertanya tapi aku terlalu takut untuk itu.Suasana seakan mencekam, tetesan air mata ibuk masih berlinang, membasahi pipinya, menunduk dengan penuh kesedihan.Adikku mendekatiku, mencoba bertanya perihal yang terjadi, otakku bekerja sekeras mungkin bagaimana aku bisa menjelaskan, aku yang tak paham dengan situasi ini hanya mampu memberi isyarat untuk tetap diam, dia yang lebih polos dariku akhirnya menyerah tanpa bertanya lagi.Aku masih
Berjalan menuju musholla dengan langkah yang berat memang tak mudah, banyak kata yang tersimpan dalam benak yang tak terucap, banyak kata tersirat dalam tatapan mata yang sangat lelah, tapi hanya dengan berkumpul dengan mereka aku lautan rasa dengki terhadap adikku sedikit terlupakan, dipertigaan menuju musholla aku mendengar terikan yang tak asing lagi, ya dia Fadli teman dekat ku, "tas budal, Nang ndi ae rek" (baru berangkat, kemana saja kamu) tanyanya sambil memandang ku, aku tak menjawabnya hanya ajakan untuk terus melangkah maju menuju musholla, sudah lah rasa ini semakin sesak jika kurasakan.Temanku dimusholla sudah heboh dengan sendirinya, mereka melakukan semua candaan sampai suaranya terdengar dari jalan gang ini, aku dan fadli segera bergegas menuju mereka, ingin segera bergabung dan berbagi cerita dengan mereka, kami sedikit berlari kecil, ternyata teman-teman kami sudah siap dengan segala macam makanan dan cerita kesana kemari tiada henti, kadang kita bercerita t
saat matahari semakin tingginya diatas kepala, tanpa ampun membuat keringat bercucuran membasahi kaos bapak yang sangat lusuh, lelah pasti tapi bapak tidak pernah mengeluh didepanku, dia selalu tersenyum, "ayo le ngasuh dikek"( ayo nak, istirahat dulu) kata bapak sambil mengelus keringat yang didahinya, aku segera menyudahinya menepi mencari tempat yang lebih teduh, aku duduk bersama bapak, tanpa kata yang terucap, bapak hanya meminum botol yang berisi air putih yang ibukku masak buatnya, dia juga mengeluarkan makanan bekal yang ia bawa dipagi hari tadi, aku hanya memperhatikannya, bapak membukanya tanpa basa-basi bapak menyodorkannya kepada ku, "aku mari maem pak" (aku sudah selesai makan pak) jawabku, sembari mendorong kotak makanan bapak.bapak mengambilnya dan langsung memakannya, sangat lahap dia menunduk seakan makan dengan makanan yang sangat mewah, tapi layaknya lauk dirumah tak beda jauh, hanya saja sambal goreng ditambahkan dengan sayur bening, sudah cukup nikmat ba
detik semakin mencekam pak hitam semakin menatap dengan tatapan yang penuh arti, keringat dingin mulai membasahi tangan ku, kenapa semakin sesak isi dada ini, suara pak hitam yang sangat wibawa membuyarkan degup jantungku, "ojo onok seng lungguh, wong gak ngerjakno tugas kok katene lungguh, pr mung limo ae ra kerjakne" (jangan ada yang duduk, kalian tidak mengerjakan tugas, tugas hanya lima soal saja kalian tidak mengerjakan). ucapnya pasti, kami segera menuju ke tempat duduk kami mengambil buku dan alat tulis kami, satu persatu dari kami segera mengambil posisi, tanpa duduk kami mengikuti pembelajaran matematika hari ini, dengan memaksa sedikit untuk berkonsentrasi aku mencoba tidak menghiraukan teman-teman disampingku yang asyik dengan cerita mereka, aku memang tidak sepandai adikku, tapi aku adalah sosok orang yang selalu menulis disetiap pelajaran, entah itu aku paham atau hanya sekedar menulis saja.aku tetap mencoba memahami materi yang dijelaskan pak hitam hari ini, wa
jam pun berdetik tanpa henti, tanpa sedikitpun memberi jeda untukku dan fadli lebih lama tertawa lepas, kini bel masuk kelas pun sudah menggema disetiap sudut, menandakan bahwa jam masuk kelas sudah tiba, aku segera bergegas menuju kelasku, berjalan membelah ramainya lapangan dengan banyak anak yang lalu lalang, bergegas menuju kelas masing-masing, beberapa guru sudah mulai meninggalkan ruang guru satu persatu, kelasku terletak dilorong pojok gedung sekolah ini aku sedikit mempercepat langkah ku, kupandang seluruh isi kelas ini, cupang ya dia terlihat sedang berdiskusi dengan teman sebelahnya, tertawa lepas tanpa ada beban, aku hanya memandangnya dan terus berjalan membelah suara bising dikelasku yang diciptakan oleh kegaduhan teman kelasku. lalu tak lama sosok hitampun itu masuk dan segera membuat kelasku merasa tercekam, hening, tanpa ada bisikan sama sekali. aku segera menoleh ya sosok yang sangat disegenani disekolah ini, dia bukan kepala sekolah ataupun pemilik sekolah, dia han
Kujumpai adikku sedang bercanda ria dengan teman sekelasku, ya aku dan aikku memang terpaut beberapa tahun tapi aku satu kelas dengannya, aku tak pernah mengerti kenapa tapi yakinlah bapakku punya alasan sendiri agar aku sekelas dengan cupang, karena aku dan adikku dari kecil memang ada batasan tersendiri, mungkin seseorang tak akan mengira bahwa dia adikku, seakan kita tidak pernah mengenal jika kita diluar rumah, aku hanya bisa mengelus dada dan bernafas sedikit berat jika memikirnya, entahlah dia seakan menjaga jarak denganku, aku sebagai kakak lebih memlih diam tanpa bertanya, karena aku berpikir jika aku bertanya akan membuat jarak diantara kita semakin menjauh, aku hanya bisa melihatnya dalam jarak yang sedikit jauh dariku, memastikan dia baik-baik saja dan menyapanya jika dia menegurku, dan itupun kami lakukan jika kita saling bertanya perihal uang saku, jangankan untuk berbicara bercanda gurau bersama, dia duduk bersama teman baiknya, sejak kelas satu sampai sekarang, ya aku
Berjalan menuju musholla dengan langkah yang berat memang tak mudah, banyak kata yang tersimpan dalam benak yang tak terucap, banyak kata tersirat dalam tatapan mata yang sangat lelah, tapi hanya dengan berkumpul dengan mereka aku lautan rasa dengki terhadap adikku sedikit terlupakan, dipertigaan menuju musholla aku mendengar terikan yang tak asing lagi, ya dia Fadli teman dekat ku, "tas budal, Nang ndi ae rek" (baru berangkat, kemana saja kamu) tanyanya sambil memandang ku, aku tak menjawabnya hanya ajakan untuk terus melangkah maju menuju musholla, sudah lah rasa ini semakin sesak jika kurasakan.Temanku dimusholla sudah heboh dengan sendirinya, mereka melakukan semua candaan sampai suaranya terdengar dari jalan gang ini, aku dan fadli segera bergegas menuju mereka, ingin segera bergabung dan berbagi cerita dengan mereka, kami sedikit berlari kecil, ternyata teman-teman kami sudah siap dengan segala macam makanan dan cerita kesana kemari tiada henti, kadang kita bercerita t
Dalam kata yang terdengar samar kini mulai terdengar lebih jelas, mereka yang kupanggil bapak dan ibuk seakan sedikit bernada tinggi dalam berkata, aku takut, berdiri mengintip dan mencoba mencerna kata yang belum kupahami, sangat sulit dimengerti di usia ku yang masih sangat dini memahami perkataan yang jauh dari kata mengerti."Ojo budal"(jangan pergi) kata bapakku sambil tetap memegang tangan ibuk.Ibuk melengos dan tak berkata, sejenak kaki ini ingin melangkah, bertanya tapi aku terlalu takut untuk itu.Suasana seakan mencekam, tetesan air mata ibuk masih berlinang, membasahi pipinya, menunduk dengan penuh kesedihan.Adikku mendekatiku, mencoba bertanya perihal yang terjadi, otakku bekerja sekeras mungkin bagaimana aku bisa menjelaskan, aku yang tak paham dengan situasi ini hanya mampu memberi isyarat untuk tetap diam, dia yang lebih polos dariku akhirnya menyerah tanpa bertanya lagi.Aku masih