Share

Sosok Hitam

Author: alfinadamayantii1122
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

jam pun berdetik tanpa henti, tanpa sedikitpun memberi jeda untukku dan fadli lebih lama tertawa lepas, kini bel masuk kelas pun sudah menggema disetiap sudut, menandakan bahwa jam masuk kelas sudah tiba, aku segera bergegas menuju kelasku, berjalan membelah ramainya lapangan dengan banyak anak yang lalu lalang, bergegas menuju kelas masing-masing, beberapa guru sudah mulai meninggalkan ruang guru satu persatu, kelasku terletak dilorong pojok gedung sekolah ini aku sedikit mempercepat langkah ku, kupandang seluruh isi kelas ini, cupang ya dia terlihat sedang berdiskusi dengan teman sebelahnya, tertawa lepas tanpa ada beban, aku hanya memandangnya dan terus berjalan membelah suara bising dikelasku yang diciptakan oleh kegaduhan teman kelasku. lalu tak lama sosok hitampun itu masuk dan segera membuat kelasku merasa tercekam, hening, tanpa ada bisikan sama sekali. aku segera menoleh ya sosok yang sangat disegenani disekolah ini, dia bukan kepala sekolah ataupun pemilik sekolah, dia hanya sosok guru matematika yang sangat disegani, kepribadiannnya yang agamis dan perilakunya yang baik kepada semua orang yang membuat orang segan kepadanya, bapak ini tidak pernah membuat orang lain kecewa dengan tutur katanya, ya walaupun hanya sedang bercanda saja, bapak ini dia selalu punya cara untuk membuat semua orang yang berbicara dengannya tidak bosan dan mau mendengarkannya, seakan terhipnotis olehnya, kelasku selalu hening tanpa suara. aku selalu suka dengan sosok hitam ini ya walaupun aku tak pernah mengerti dengan pelajaran yang disampaikan beliau tapi aku selalu nyaman ketika beliau memberi petuah-petuah sejuk saat didalam kelas, dia memandang kami dengan tatapan tenang dan senyum mengembang tipis dibibirnya, salampun terdengar merdu ketika beliau berucap. jawabku dan teman serentak "waalaikum salam warrahmatulllahi wabarakatuh" dia membuka lembaran absen yang dipegangnya dari ruang guru, mengabsen teman sekelasku satu persatu, ya aku selalu mendapatkan absen yang terakhir aku masih sempat berbicara dengan temanku, bertanya dakah tugas rumah hari ini, tapi sepertinya dewa sedang bersamaku gelengan kepala temanku pertanda aman, "ko, onok pr a saiki ?" (ko ada pr kah hari ini) tanyaku, dan dia spontan langsung menggeleng, setelah kegiatan absen, bapak hitam ini berdidri tepat ditengah kelas dan bertanya "bab keri dewe tak kek i pr kan ?" (bab terakhir saya kasih tugas kan) sontak tatapan aku dan eko teman depan mejaku pun langsung bertemu, "jaremu gennok ko," (katamu gak ada tugas ko) sontak dia menjawab dengan heran "aku asline lali se." (sebenarnya aku lupa sih) dan seketika jurus ku membuka halaman buku terakhir catatan pelajaran kemarin, dan disana terpampang tulisan yang sangat besar "PR" 

Tamat sudah, dia memang orangnya berwibawa tapi jika masalah tugas, sudahlah diriku pasti kena hukum, selalu dan selalu, sikap disiplinnya seakan menempel erat dengannya, ya disaat aku sedang kebingungan dengan tugas pr ku, bagaikan di sambar petir disiang bolong, suaranya yang terdengar halus tapi mencekam memanggil dengan jelas namaku, ya namaku pinot. langsung aku menoleh dan tersenyum sedikit terpaksa, spontan aku menjawab "dereng pak, kulo dereng ngerja aken tugas" (belum pak, saya belum mengerjakan tugas) dengan spontan aku menjawabnya, dan aku langsung berdiri dari tempat ku, berjalan dengan pasti menuju depan kelas, berdiri disebelah papan tulis dekat meja pak hitam ini, tak lama temanku satu persatu mulai berdiri menemaniku didepan, ya inilah kebiasan kami jika tidak mengerjakan pr pak hitam, kami akan berbaris rapi didepan kelas,

Pak hitam selalu mengajarkan kepada kami bahwa kejujuran dalah segala-galanya, jadi kita dikelas tidak pernah mendapt nilai dari hasil pekerjaan rumah yang kami kerjakan, hanya saja nilai kejujuran yang akan masuk kedalam absen pak hitam ini, pak hitam melangkah mendekat kedepan kami memandangi satu persatu anak-anak yang didepannya, "pancet ae seng gak ngerjakno, yo mek iki-iki ae" (tetap saja yang tidak mengerjakan pr hanya orang-orang ini saja), beliau memberi jeweran telinga kiri kami satu persatu, lalu pak hitam memberi nilai di buku absen miliknya, pak hitam mulai menulis ulan soal yang sama dengan yang dibukuku, mempersilahkan kami anak-anak yang sedikit nakal bergiliran untuk maju mengerjakan pr didepan, aku berharap teman-temanku disini mampu mengerjakannya, tanpa harus aku maju kedepan, "ayo sopo seng iso ndang majuo" (siapa yang bisa mengerjakan pr silahkan maju dan kerjakan) diluar dugaan ku, semua teman-temanku, seakan mematung sama sepertiku, otakku kupaksa bekerja lebih keras, agar sedikit bisa mengingat pelajaran yang disampaikan, ahh dasar ini otakku, tak ada sinyal yang masuk sedikitpun.

"coba garapen siji ae" (coba kerjakan satu saja) suaranya seakan menggema diruang kelas ini, aku berharap salah satu temanku segera maju, dan jangan sampai pak hitam sampai menunjuk salah satu diantara kami, suara jantungku seakan berpacu dengan detak jam didnding diatasku, tanganku mulai basah dkarena keringat dingin, aku melirik teman disampingku, mereka tak jauh beda denganku, didepan ku hanya tersisa dua murid laki-laki yang hanya tersisa, ya dia adikku dan tepan sebangkunya, tanpa pikir panjang adikku berdiri dan berjalan maju mengerjakan soal nomor satu, pak hitam membiarkannya , dia hanya memandangi adikku yang sedang mengerjakan begitu pula aku dan teman-temanku yang sedang berdiri didepan, ada seikit rasa senang, akhirnya sedikit memberi jeda jantungku untuk tidak berdegup layaknya seseorang yang sedang marthon digaris kejuaran nasional, dan rasa iri pun sedikit menyelinap dalam diri ini, kenapa aku tak sepintar adikku ini, dia dengan mudah mengerjakan soal yang sangat sulit bagiku, bahkan dia mengerjakan dengan sangat cepat, aku hanya sedikit iri saja, kadang aku berfikir mungkin aku saja yang kurang jam belajarku, mungkin aku yang selalu menghabiskan waktuku bermain dengan teman-temanku, tapi kenapa semakin aku berfikir semakin aku mengkoreksi diri ini, semakin sesak nafas ini, belum lagi ocehan teman sekelasku yang membandingkanku dengan dikku, sakit memang tapi aku tau aku dan adikku layaknya matahari dan budi, memliki banyak perbedaan, bahkan aku merasa tidak ada satu halpun yang membuat kita sama, entah itu hanya sekedar mainan ataupun hanya sekedar makanan, kami memiliki hal yang selalu bertentangan, dengan cepat lamunanku buyar seketika ketika aku melihat kursi yang tadi kosong kini ada seseorang yang sedang mendudukinya, ya adikku sudah selesai mengerjakan satu soal yang sangat sulit didepan, aku hanya bisa memperhatikan hasil pekerjaan yang ditulis didepan, dan memkasa otakku agar memahami setiap tulisannya, aku dan teman-temanku menghela nafas panjang, seakan kita tahu perlombaan maraton akan segera dimulai, pak hitam akan segera memanggil satu siswa yang akan mengerjakan soal selanjutnya, dan siswa tersebut adalah salah satu dari kami yang sedang berdiri didepan.

Related chapters

  • Badai Pun Belum Berlalu   Hadiah

    detik semakin mencekam pak hitam semakin menatap dengan tatapan yang penuh arti, keringat dingin mulai membasahi tangan ku, kenapa semakin sesak isi dada ini, suara pak hitam yang sangat wibawa membuyarkan degup jantungku, "ojo onok seng lungguh, wong gak ngerjakno tugas kok katene lungguh, pr mung limo ae ra kerjakne" (jangan ada yang duduk, kalian tidak mengerjakan tugas, tugas hanya lima soal saja kalian tidak mengerjakan). ucapnya pasti, kami segera menuju ke tempat duduk kami mengambil buku dan alat tulis kami, satu persatu dari kami segera mengambil posisi, tanpa duduk kami mengikuti pembelajaran matematika hari ini, dengan memaksa sedikit untuk berkonsentrasi aku mencoba tidak menghiraukan teman-teman disampingku yang asyik dengan cerita mereka, aku memang tidak sepandai adikku, tapi aku adalah sosok orang yang selalu menulis disetiap pelajaran, entah itu aku paham atau hanya sekedar menulis saja.aku tetap mencoba memahami materi yang dijelaskan pak hitam hari ini, wa

  • Badai Pun Belum Berlalu   tak bernilai

    saat matahari semakin tingginya diatas kepala, tanpa ampun membuat keringat bercucuran membasahi kaos bapak yang sangat lusuh, lelah pasti tapi bapak tidak pernah mengeluh didepanku, dia selalu tersenyum, "ayo le ngasuh dikek"( ayo nak, istirahat dulu) kata bapak sambil mengelus keringat yang didahinya, aku segera menyudahinya menepi mencari tempat yang lebih teduh, aku duduk bersama bapak, tanpa kata yang terucap, bapak hanya meminum botol yang berisi air putih yang ibukku masak buatnya, dia juga mengeluarkan makanan bekal yang ia bawa dipagi hari tadi, aku hanya memperhatikannya, bapak membukanya tanpa basa-basi bapak menyodorkannya kepada ku, "aku mari maem pak" (aku sudah selesai makan pak) jawabku, sembari mendorong kotak makanan bapak.bapak mengambilnya dan langsung memakannya, sangat lahap dia menunduk seakan makan dengan makanan yang sangat mewah, tapi layaknya lauk dirumah tak beda jauh, hanya saja sambal goreng ditambahkan dengan sayur bening, sudah cukup nikmat ba

  • Badai Pun Belum Berlalu   Tetes air mata

    Dalam kata yang terdengar samar kini mulai terdengar lebih jelas, mereka yang kupanggil bapak dan ibuk seakan sedikit bernada tinggi dalam berkata, aku takut, berdiri mengintip dan mencoba mencerna kata yang belum kupahami, sangat sulit dimengerti di usia ku yang masih sangat dini memahami perkataan yang jauh dari kata mengerti."Ojo budal"(jangan pergi) kata bapakku sambil tetap memegang tangan ibuk.Ibuk melengos dan tak berkata, sejenak kaki ini ingin melangkah, bertanya tapi aku terlalu takut untuk itu.Suasana seakan mencekam, tetesan air mata ibuk masih berlinang, membasahi pipinya, menunduk dengan penuh kesedihan.Adikku mendekatiku, mencoba bertanya perihal yang terjadi, otakku bekerja sekeras mungkin bagaimana aku bisa menjelaskan, aku yang tak paham dengan situasi ini hanya mampu memberi isyarat untuk tetap diam, dia yang lebih polos dariku akhirnya menyerah tanpa bertanya lagi.Aku masih

  • Badai Pun Belum Berlalu   Isak tangis

    Berjalan menuju musholla dengan langkah yang berat memang tak mudah, banyak kata yang tersimpan dalam benak yang tak terucap, banyak kata tersirat dalam tatapan mata yang sangat lelah, tapi hanya dengan berkumpul dengan mereka aku lautan rasa dengki terhadap adikku sedikit terlupakan, dipertigaan menuju musholla aku mendengar terikan yang tak asing lagi, ya dia Fadli teman dekat ku, "tas budal, Nang ndi ae rek" (baru berangkat, kemana saja kamu) tanyanya sambil memandang ku, aku tak menjawabnya hanya ajakan untuk terus melangkah maju menuju musholla, sudah lah rasa ini semakin sesak jika kurasakan.Temanku dimusholla sudah heboh dengan sendirinya, mereka melakukan semua candaan sampai suaranya terdengar dari jalan gang ini, aku dan fadli segera bergegas menuju mereka, ingin segera bergabung dan berbagi cerita dengan mereka, kami sedikit berlari kecil, ternyata teman-teman kami sudah siap dengan segala macam makanan dan cerita kesana kemari tiada henti, kadang kita bercerita t

  • Badai Pun Belum Berlalu   senyum senja

    Kujumpai adikku sedang bercanda ria dengan teman sekelasku, ya aku dan aikku memang terpaut beberapa tahun tapi aku satu kelas dengannya, aku tak pernah mengerti kenapa tapi yakinlah bapakku punya alasan sendiri agar aku sekelas dengan cupang, karena aku dan adikku dari kecil memang ada batasan tersendiri, mungkin seseorang tak akan mengira bahwa dia adikku, seakan kita tidak pernah mengenal jika kita diluar rumah, aku hanya bisa mengelus dada dan bernafas sedikit berat jika memikirnya, entahlah dia seakan menjaga jarak denganku, aku sebagai kakak lebih memlih diam tanpa bertanya, karena aku berpikir jika aku bertanya akan membuat jarak diantara kita semakin menjauh, aku hanya bisa melihatnya dalam jarak yang sedikit jauh dariku, memastikan dia baik-baik saja dan menyapanya jika dia menegurku, dan itupun kami lakukan jika kita saling bertanya perihal uang saku, jangankan untuk berbicara bercanda gurau bersama, dia duduk bersama teman baiknya, sejak kelas satu sampai sekarang, ya aku

Latest chapter

  • Badai Pun Belum Berlalu   tak bernilai

    saat matahari semakin tingginya diatas kepala, tanpa ampun membuat keringat bercucuran membasahi kaos bapak yang sangat lusuh, lelah pasti tapi bapak tidak pernah mengeluh didepanku, dia selalu tersenyum, "ayo le ngasuh dikek"( ayo nak, istirahat dulu) kata bapak sambil mengelus keringat yang didahinya, aku segera menyudahinya menepi mencari tempat yang lebih teduh, aku duduk bersama bapak, tanpa kata yang terucap, bapak hanya meminum botol yang berisi air putih yang ibukku masak buatnya, dia juga mengeluarkan makanan bekal yang ia bawa dipagi hari tadi, aku hanya memperhatikannya, bapak membukanya tanpa basa-basi bapak menyodorkannya kepada ku, "aku mari maem pak" (aku sudah selesai makan pak) jawabku, sembari mendorong kotak makanan bapak.bapak mengambilnya dan langsung memakannya, sangat lahap dia menunduk seakan makan dengan makanan yang sangat mewah, tapi layaknya lauk dirumah tak beda jauh, hanya saja sambal goreng ditambahkan dengan sayur bening, sudah cukup nikmat ba

  • Badai Pun Belum Berlalu   Hadiah

    detik semakin mencekam pak hitam semakin menatap dengan tatapan yang penuh arti, keringat dingin mulai membasahi tangan ku, kenapa semakin sesak isi dada ini, suara pak hitam yang sangat wibawa membuyarkan degup jantungku, "ojo onok seng lungguh, wong gak ngerjakno tugas kok katene lungguh, pr mung limo ae ra kerjakne" (jangan ada yang duduk, kalian tidak mengerjakan tugas, tugas hanya lima soal saja kalian tidak mengerjakan). ucapnya pasti, kami segera menuju ke tempat duduk kami mengambil buku dan alat tulis kami, satu persatu dari kami segera mengambil posisi, tanpa duduk kami mengikuti pembelajaran matematika hari ini, dengan memaksa sedikit untuk berkonsentrasi aku mencoba tidak menghiraukan teman-teman disampingku yang asyik dengan cerita mereka, aku memang tidak sepandai adikku, tapi aku adalah sosok orang yang selalu menulis disetiap pelajaran, entah itu aku paham atau hanya sekedar menulis saja.aku tetap mencoba memahami materi yang dijelaskan pak hitam hari ini, wa

  • Badai Pun Belum Berlalu   Sosok Hitam

    jam pun berdetik tanpa henti, tanpa sedikitpun memberi jeda untukku dan fadli lebih lama tertawa lepas, kini bel masuk kelas pun sudah menggema disetiap sudut, menandakan bahwa jam masuk kelas sudah tiba, aku segera bergegas menuju kelasku, berjalan membelah ramainya lapangan dengan banyak anak yang lalu lalang, bergegas menuju kelas masing-masing, beberapa guru sudah mulai meninggalkan ruang guru satu persatu, kelasku terletak dilorong pojok gedung sekolah ini aku sedikit mempercepat langkah ku, kupandang seluruh isi kelas ini, cupang ya dia terlihat sedang berdiskusi dengan teman sebelahnya, tertawa lepas tanpa ada beban, aku hanya memandangnya dan terus berjalan membelah suara bising dikelasku yang diciptakan oleh kegaduhan teman kelasku. lalu tak lama sosok hitampun itu masuk dan segera membuat kelasku merasa tercekam, hening, tanpa ada bisikan sama sekali. aku segera menoleh ya sosok yang sangat disegenani disekolah ini, dia bukan kepala sekolah ataupun pemilik sekolah, dia han

  • Badai Pun Belum Berlalu   senyum senja

    Kujumpai adikku sedang bercanda ria dengan teman sekelasku, ya aku dan aikku memang terpaut beberapa tahun tapi aku satu kelas dengannya, aku tak pernah mengerti kenapa tapi yakinlah bapakku punya alasan sendiri agar aku sekelas dengan cupang, karena aku dan adikku dari kecil memang ada batasan tersendiri, mungkin seseorang tak akan mengira bahwa dia adikku, seakan kita tidak pernah mengenal jika kita diluar rumah, aku hanya bisa mengelus dada dan bernafas sedikit berat jika memikirnya, entahlah dia seakan menjaga jarak denganku, aku sebagai kakak lebih memlih diam tanpa bertanya, karena aku berpikir jika aku bertanya akan membuat jarak diantara kita semakin menjauh, aku hanya bisa melihatnya dalam jarak yang sedikit jauh dariku, memastikan dia baik-baik saja dan menyapanya jika dia menegurku, dan itupun kami lakukan jika kita saling bertanya perihal uang saku, jangankan untuk berbicara bercanda gurau bersama, dia duduk bersama teman baiknya, sejak kelas satu sampai sekarang, ya aku

  • Badai Pun Belum Berlalu   Isak tangis

    Berjalan menuju musholla dengan langkah yang berat memang tak mudah, banyak kata yang tersimpan dalam benak yang tak terucap, banyak kata tersirat dalam tatapan mata yang sangat lelah, tapi hanya dengan berkumpul dengan mereka aku lautan rasa dengki terhadap adikku sedikit terlupakan, dipertigaan menuju musholla aku mendengar terikan yang tak asing lagi, ya dia Fadli teman dekat ku, "tas budal, Nang ndi ae rek" (baru berangkat, kemana saja kamu) tanyanya sambil memandang ku, aku tak menjawabnya hanya ajakan untuk terus melangkah maju menuju musholla, sudah lah rasa ini semakin sesak jika kurasakan.Temanku dimusholla sudah heboh dengan sendirinya, mereka melakukan semua candaan sampai suaranya terdengar dari jalan gang ini, aku dan fadli segera bergegas menuju mereka, ingin segera bergabung dan berbagi cerita dengan mereka, kami sedikit berlari kecil, ternyata teman-teman kami sudah siap dengan segala macam makanan dan cerita kesana kemari tiada henti, kadang kita bercerita t

  • Badai Pun Belum Berlalu   Tetes air mata

    Dalam kata yang terdengar samar kini mulai terdengar lebih jelas, mereka yang kupanggil bapak dan ibuk seakan sedikit bernada tinggi dalam berkata, aku takut, berdiri mengintip dan mencoba mencerna kata yang belum kupahami, sangat sulit dimengerti di usia ku yang masih sangat dini memahami perkataan yang jauh dari kata mengerti."Ojo budal"(jangan pergi) kata bapakku sambil tetap memegang tangan ibuk.Ibuk melengos dan tak berkata, sejenak kaki ini ingin melangkah, bertanya tapi aku terlalu takut untuk itu.Suasana seakan mencekam, tetesan air mata ibuk masih berlinang, membasahi pipinya, menunduk dengan penuh kesedihan.Adikku mendekatiku, mencoba bertanya perihal yang terjadi, otakku bekerja sekeras mungkin bagaimana aku bisa menjelaskan, aku yang tak paham dengan situasi ini hanya mampu memberi isyarat untuk tetap diam, dia yang lebih polos dariku akhirnya menyerah tanpa bertanya lagi.Aku masih

DMCA.com Protection Status