"Papi tidak boleh kerja, temani Tiana main! Tidak boleh pergi ke mana-mana pokoknya!" Teriakan anak kecil itu sangat keras, diiringi dengan rengekan dan tangisnya, Tiana mengejar Sebastian yang bersiap hendak ke kantor pagi ini. Sebastian yang mulanya berjalan di depan Tiana, ia berbalik dan menggendong putri kecilnya. "Papi sibuk, Sayang. Papi harus kerja, ada meeting pagi ini," jelas Sebastian, kini dia merasakan rumit juga punya anak yang masih kecil-kecil, apalagi ada tiga!"Apa itu meeting, Papi?" tanya Tiana, dia menggigit jari telunjuknya. "Meeting itu sangat penting. Papi harus kerja, nanti kalau sudah pulang kerja, nanti Papi main sama Tiana sama Kakak juga, bagaimana?" "Tetap tidak boleh." Sebastian menyergah napasnya kasar, ia berjalan ke lantai satu menatap Tino dan Tiano yang sudah bosan menunggu Papinya, mereka akan pergi ke sekolah bersama Sebastian. "Jadi sekolah, tidak sih?" gumam Tiano malas. "Bolos saja, enak. Nonton Tayo di rumah sambil buat Tiana nangis,"
"Papi lama sekali, kita sudah lapar." Tino meletakkan kepalanya di atas meja makan. Dia kesal sekali lantaran Papinya belum juga kembali dari kantor hingga pukul setengah tujuh. Sedangkan dua anak laki-lakinya itu tidak mau makan sebelum Papinya pulang. Sekeras apapun Shela membujuk mereka untuk makan, maka keras kepala pula mereka menolaknya. Titisan Sebastian ini memang sedikit berbeda. "Iya, Papi kok lama-lama sekali sih, Mam?" Tiano menatap Shela yang menyuapi Tiana. "Papi kan sibuk, Sayang. Makan saja dulu, nanti kalian sakit perut." Shela menatap mereka berdua.Tino berdecak kecil. "Punya Papi rasanya tetap saja seperti tidak punya Papi, jarang ada waktu buat kita." Celetukan Tino membuat Shela merasa sedih, mereka masih terlalu kecil untuk tahu seberapa sibuk Papinya di kantor. Belum sempat Shela membujuk mereka berdua, terdengar klakson mobil di depan rumah. Wajah berbinar Tino dan Tiano pun terlihat serempak. "Papi!" pekik dua anak itu langsung berlari turun dari kur
Shela dan Sebastian tidak kunjung tidur, rasanya seperti ada kebahagiaan yang menghampiri mereka hingga malam ini terasa sangat lamban tiap detiknya. Mereka berdua duduk bersantai di atas ranjang menatap jendela besar di kamar yang belum tertutup gordennnya meskipun penerangan telah Shela matikan. Shela menoleh pada Sebastian saat laki-laki itu menarik pundaknya. Dia menjadikan dada bidangnya sebagai sandaran untuk Shela. "Apa kau ingat, bagaimana kau bisa berada di kamar hotel malam itu? Kenapa kau ada di sana?" tanya Sebastian tiba-tiba. Shela menatap wajah tampan Sebastian sebelum dia menunduk dan mengusap punggung tangan laki-laki itu yang melingkar di pinggangnya. "Malam itu... Aku datang ke apartemen kekasihku, aku menabung dan membelikan dia kue ulangtahun. Tapi begitu aku sampai di sana-" Shela menghentikan ucapannya, ia mendongak menatap Sebastian dengan bibir cemberut. Laki-laki itu tersenyum, ia mengusap pipi Shela dan menaikkan kedua alisnya. "Kenapa?" tanya Sebastia
Setelah pulang dari pesta semalam, Shela begitu kelelahan karena Tiana marah-marah padanya dan Sebastian. Entah apa yang diinginkan anak itu hingga apapun yang Shela berikan tidak ada benarnya. Menangis dan berteriak semalaman sampai demam, Shela tidak mau kaget lagi putri kecilnya. Sampai pagi ini Shela yang duduk di kursi ruang makan, tertidur tanpa sadar. "Mami..." "Mami lagi apa?" Suara Tino dan Tiano membuat Shela tersentak bangun dan menoleh, ia tersenyum manis pada kedua putranya. Mereka baru saja bangun tidur, dan seperti biasa keduanya akan mencari Shela. "Papi di mana, Sayang?" tanya Shela menatap mereka. "Papi sama Tiana, adik Tiana marah-marah terus minta sekolah," jawab Tino cemberut. "Iya, Adik Tiana harusnya sekolah sama kita. Kapan sih sembuhnya?! Lama sekali, kita kan juga mau pamer ke semua teman-teman kalau kita ini tidak bohong! Benar-benar kembar tiga!" seru Tiano menyahuti. Salut dengan keinginan mereka yang terus berdoa dan berharap kembarannya segera se
'Mama sakit, Mama ingin bertemu dengan ketiga Cucu Mama, Sebastian.' Sebuah pesan masuk ke dalam ponsel Sebastian di pagi hari, Shela lah yang membuka pesan itu saat ia baru saja bangun dari tidurnya. Di sampingnya ada Tiana yang tidur bersama Sebastian. Shela meletakkan kembali benda pipih berwarna hitam tersebut. "Sebastian," lirih Shela, ia menepuk pelan pundak Sebastian. "Emmm, masih pagi, Sayang," jawab Sebastian, laki-laki itu malah mengeratkan pelukannya pada putri kecilnya yang tidur menumpang di atas dada bidang sang Papa. "Mama mengirim pesan, dia sakit," ujar Shela. Seketika Sebastian membuka kedua matanya dan menatapnya lekat pada Shela. Laki-laki itu pun perlahan bangun dan duduk sambil memeluk Tiana dan kembali menidurkan sang putri dengan posisi ternyaman. "Mama sakit?" lirihnya bertanya-tanya. Shela pikir kalau laki-laki itu akan panik, nyatanya dia hanya mengangguk saja. "Mama ingin bertemu dengan anak-anak, kita ke sana, kasihan Mama, ya?" ajak Shela pada Se
"Kalian jangan nakal, ya ampun... Mami sudah berapa kali bilang jangan bicara seperti itu sama orang yang lebih tua!" Shela mengomeli kedua anaknya, segera ia menarik lengan kedua putranya. Wajah Monica sudah masam sekali, namun Sebastian nampak biasa-biasa saja. Tino dan Tiano masih menatap nyalang pada wanita tua yang mereka panggil Nenek tersebut. "Nenek itu sudah bicara jelek loh tadi, bilang Mami kayak gitu, kita kan tidak suka!" Tino menatap Shela dengan kedua alisnya bertaut. "Tapi Sayang, kalian jangan-""Besok-besok kalau Papi mau ke sini ya ke sini saja sendiri, kita tidak mau ikut!" Tiano menarik tangan Shela. Monica langsung berdiri dari duduknya seketika itu. Wanita berbalut dress panjang putih itu langsung menudingkan hari telunjuknya ke arah Shela. "Beraninya kau meracuni pikiran Cucuku, hah?! Kau membuat mereka membenci dan memakiku?!" amuk Monica pada Shela. Sebastian menatap si dua anak laki-lakinya dan ia menaikkan kedua alisnya. Saat itu juga Tino dan Tiano
"Mami, Papi ke mana? Kok Papi pergi tidak pamit sama kami? Sudah tidak sayang lagi ya?" "Pasti Papi kena mental kita bully terus!" "Tiana mau sama Papi..." Drama ketiga bocah itu dimulai, satu mencari Papinya, yang dua malah mengomel-ngomel sendiri. Shela sangat pusing menghadapi mereka, apalagi Tiana yang sudah terlihat kesal. Anak perempuannya itu memeluk kemeja yang semalam tadi dipakai Sebastian. Seperti amplop dan perangko, Tiana tidak bisa sebentar saja ditinggal Papinya. "Papi nanti pulang kok, hanya pergi sebentar saja, Sayang..." Shela menjelaskan seraya menata beberapa pakaiannya di dalam lemari. "Mami pasti bohong," cicit Tiana manyun. "Papi pasti pergi, pulang sepuluh tahun lagi!" "Ehh, mana ada. Papi itu sedang ke kantor, tadi Om Vir telfon Papi, Sayang." Tino pun melihat adik perempuannya menangis, anak itu mendekati Tiana dan memeluknya dengan penuh kasih sayang. Kalau Tiana sudah marah dan menangis, kedua kembarannya tidak akan mengatakan apapun, mereka akan d
Sesampainya di rumah sakit, dan Adam membawa Tiana berlari lebih dulu masuk ke dalam sebuah ruangan khusus. Sementara Shela menunggu di luar dengan keadaan paniknya. Shela duduk di bangku tunggu sendirian, ia menangis penuh kecemasan yang melanda hatinya. 'Apa yang terjadi? Kenapa bisa jadi begini? Sejauh ini Tiana tidak pernah seperti ini, kenapa saat Sebastian pergi?' batin Shela menangis perih. "Sebastian," lirih Shela, ia menatap kedua telapak tangannya yang kini dipenuhi sisa cairan merah pekat yang masih menempel lekat di telapak tangannya. "Kenapa aku tidak bisa menghubungimu? Kenapa Mama juga tidak bisa aku hubungi?" Shela bertanya-tanya dengan hati yang sangat hampa. Pintu ruangan di depannya terbuka, muncul Adam dengan napas berat dan menatap Shela yang menatapnya pula dengan tatapan tak biasa. "Adam, bagaimana Tiana?" tanya Shela mengerjapkan kedua matanya yang berkaca-kaca. Laki-laki itu menarik satu lengan Shela dan memeluknya dengan erat. Shela bingung, kenapa? A
Sebuah acara makan malam yang begitu yang begitu menyenangkan di musim dingin di kediaman keluarga Morgan. Meskipun hanya dengan anak dan menantunya yang berkumpul di sana, namun kebersamaan ini membuat Shela merasa senang dan bahagia. "Kalau seperti ini setiap hari, Mami akan senang sekali. Andai saja kalian mau membeli rumah di sekitar sini," ujar Shela mantap para anak-anaknya. "Kakak kan sudah tinggal sama Mami," jawab Tiana membantu Shela menyiapkan makanan di meja. "Kami akan sering-sering ke sini, Mi," sahut Irish. Shela mengangguk, wanita itu tersenyum manis pada mereka. Sadari mereka semua memiliki keputusan yang tepat untuk kehidupannya masing-masing. Meskipun para anak-anaknya sudah dewasa, namun di mata Shela mereka adalah anak kecil yang dulu dia asuh dan ditimang ke mana-mana sendirian. "Mamimu sangat takut kalian jarang berkunjung," ujar Sebastian yang duduk berhadapan dengan Shela. "Tentu saja! Mami kan sayang sama kita, Pi. Dari bayi juga cuma Mami yang merawa
Beberapa Bulan Kemudian...Waktu berjalan dengan sangat cepat, hari-hari yang dilalui penuh dengan kebahagiaan untuk Irish dan Tino. Apalagi kini mereka telah menjadi orang tua, setelah kemarin Irish melahirkan anak pertama mereka. Doa-doa yang setiap harinya dia panjatkan ternyata dikabulkan oleh Tuhan. Dia memiliki seorang anak perempuan yang sangat-sangat cantik. "Mereka bertiga seperti anak kembar, ya?" Irish terkekeh melihat putri kecilnya dibaringkan bersama dua anak Sora dan Tiano. Sora dan Tiano memiliki anak kembar laki-laki yang lahir dua minggu lebih dulu dari Irish. "Seperti aku dan Kakak dulu ini, aku perempuan sendiri, dua saudara kembarku laki-laki!" seru Tiana sembari duduk di samping Irish. "Tapi tetap saja! Yang nangisnya paling kenceng seperti Mamanya, tetap Arabelle!" sahut Tino kini menggendong Arabelle yang memeluk botol susu cokelat miliknya. Anak manis berusia hampir satu tahunan itu merengek-rengek ingin turun setelah dibuat menangis oleh Tino. Irish me
Kabar kehamilan Irish sudah diketahui oleh semua keluarga, tentu saja mereka semua bahagia. Bahkan di kemungkinan besar Irish dan Sora akan memiliki anak yang seumuran nantinya, hanya selisih satu bulan saja. Kini Irish berada di rumahnya, gadis itu baru saja menghubungi Sora dan Tiana, untuk memberikan kabar bahagia pada saudarinya kalau dia hamil. "Rish, kau sudah makan?" tanya Tino mendekati istrinya yang tengah rebahan di sofa yang berada ruang keluarga di lantai satu. Gadis itu menoleh dan menggelengkan kepalanya. "Tino... Aku tidak lapar, aku nanti bisa mual kalau makan terlalu banyak. Aku tidak mau," seru gadis itu menggelengkan kepalanya lagi. Tino pun tersenyum tipis dan menarik lengan gadis itu dengan pelan. "Makan sekarang, Sayang!" serunya dengan nada menekan dan memaksa. "Pemaksaan sekali, Tino..." gerutu Irish dengan wajah cemberutnya. "Aku mau makan, tapi suapi aku, ya!" "Iya! Aku akan menyuapimu. Sekarang ayo makan dulu," seru Tino lagi. Irish duduk dengan pel
Hari dengan hari berjalan jemu, Irish sering kali merasa kesepian beberapa waktu ini. Suaminya rupanya sangat sibuk, selalu pulang terlambat, dan pergi saat Irish masih tertidur. Bahkan di minggu ketiga di mana Tino selalu sibuk dengan pekerjaan di kantor milik Sebastian kini, Irish merasa benar-benar membutuhkannya di saat dia tidak sehat kondisi tubuhnya. Irish bangun pukul delapan pagi, dan hari ini Tino masih di rumah. Kesempatan yang baik untuk Irish berbincang dengannya. "Sayang..." Suara Irish memanggil dari luar di lantai dasar. Gadis itu mencari-cari, dia menuruni anak tangga dan memperhatikan sekitar yang sepi. Sampai akhirnya langkah Irish benar-benar terhenti di penghujung tangga. "Hari ini jadwal saya akan padat Pak Kyle, boleh diundur sampai hari Senin besok? Tidak ada waktu luang sama sekali, Minggu ini saya juga akan ke luar kota untuk mengecek proyek. Satu jam dari sekarang saya ada meeting!" Suara penuh riuh kesibukan itu membuat Irish kembali menelan kesediha
Keesokan paginya, Irish dan Tino asik menghabiskan waktu untuk mengunjungi beberapa tempat wisata di kawasan Salzburg. Mereka menikmati momen berdua di sebuah taman yang sangat indah. "Andai saja liburannya bisa diperpanjang," ujar Irish menyandarkan kepalanya di pundak Tino. "Aku juga tidak ingin pulang," jawab laki-laki itu mengecup pucuk kepala Irish. "Heem, kita menikmati momen yang indah di sini." Irish mengembuskan napasnya pelan, ia beranjak dari duduknya dan berdiri di hadapan Tino, memegangi satu tangan Tino dan menatap sekitar. Sedangkan Tino masih selalu memperhatikan istrinya dengan tatapan kagum, ia yang selalu mencintai dan menyayangi Irish, tak mungkin bisa berpaling darinya. Sampai tiba-tiba sebuah bole menggelinding di bawah kaki Irish. Gadis itu menatap bola merah di bawah kakinya, sebelum ada seorang anak kecil perempuan yang baru saja bisa berjalan, menuju ke arahnya. "Wahhh, ini bola mi-milikmu ya?" Irish menekuk kedua lututnya dan mengulurkan tangannya me
Hari sudah malam, Tino kali ini bersama dengan Paman Caesar di sebuah rumah kaca setelah ia meninggalkan istrinya yang sibuk berjalan-jalan dengan Bibi Alpen dan juga sopirnya ke kota. Kini Tino berdua saja dengan Paman Caesar, laki-laki itu menuangkan sebuah minuman ke gelas berukuran kecil di hadapan Tino. "Huffttt... Aku tidak pernah menyangka kalau Irish akan memiliki suami sepertimu," ujar Paman Caesar tiba-tiba. "Kenapa begitu, Paman?" tanya Tino menatap laki-laki di depannya itu dengan tatapan tak biasa. Caesar menghela napasnya pelan. "Irish anak yang sangat aneh, Tino. Tidak mudah baginya untuk dekat dengan sembarang orang, Irish... Irish punya masa lalu yang buruk sekalipun dia anak orang terpandang. Makanya aku mengajukanmu, dari keluarga Morgan untuk menjadi suaminya. Aku tahu kau tidak akan menyakitinya." Tino sedikit tercubit dengan kata-kata Caesar barusan, karena pada awalnya dia tidak sebaik ini pada Irish. "Irish tidak gagap, Tino," ujar Caesar lagi. Detak jan
Tino dan Irish benar-benar bepergian bersama ke Salzburg. Mereka berdua sudah sampai di sana beberapa jam yang lalu, dan Paman Caesar lah orang yang menjemput mereka berdua saat ini. Sembari menunggu Paman Caesar, Irish melihat pemandangan sekitar yang memang sangat indah dan jauh dari hiruk pikuk seperti di kota asalnya. "Bagus ya, di sa-sana pegunungan kelihatan," ujar gadis itu menunjuk-nunjuk ke sana dan ke sini."Kau tidak pernah ke sini sama sekali, Sayang?" tanya Tino menatapnya. "Tidak, Mama dan Pa-papa yang sering ke sini. A-aku harus belajar yang gi-giat di rumah. Ja-jadi tidak pernah pergi ke ma-manapun." Tino yang mendengar itu merasa kasihan. Irish memang anak orang sangat terpandang, namun kehidupannya tidak seindah seperti yang Tino bayangkan. "Sekarang kan aku sudah mengajakmu ke sini," ujar laki-laki itu tersenyum. "Heem, tempat yang indah. Rasanya aku tidak mau pulang." Irish mengatakan tanpa gagap sedikitpun seraya memeluk Tino. Perasaan Tino menjadi sedikit
Pagi-pagi sekali Tino datang ke kediaman Sebastian. Ia ingin mengabari Papanya kalau dia ingin liburan beberapa hari di Austria. Sebelumnya Irish terlihat sangat cemas, sepanjang perjalanan mengunjungi kediaman mertuanya, gadis itu terus mengoceh panik kalau Sebastian diam mengizinkan Tino. "Tumben datang ke sini? Biasanya juga sibuk sendiri-sendiri, sampai istri dikurung di rumah!" Kalimat sarkastik itu terucap dari bibir Tiano, yang ternyata sedang datang berkunjung. "Apa kau tidak punya cermin?! Kau sendiri juga tidak akan datang ke sini kalau tidak ditelfon dulu! Memang kau ini tipe-tipe seleb!" maki Tino duduk di sofa bersama istrinya. Irish nampak begitu senang akhirnya ia bertemu lagi dengan Sora, mereka berdua seolah mempunyai dunia sendiri dan berbincang kesenangan menceritakan banyak hal. "Tino, Irish, sebentar lagi kalian akan punya keponakan baru," ujar Shela menatap Tino. "Ke-keponakan baru?" Irish mengerjap bingung. "Iya Sayang, Irish sedang hamil sekarang." Shela
Beberapa hari berlalu, Irish sangat bekerja keras untuk mempersiapkan penampilannya dalam acara sebuah pertunjukan. Hari yang dia tunggu-tunggu pun akhirnya datang. Gadis itu sangat gugup, ia berada di belakang panggung pertunjukan sendirian. Irish perlu menenangkan diri sebelum keluar bersama beberapa temannya. "Huufffttt... Rasanya gu-gugup sekali!" Irish menepuk dadanya berkali-kali dan menarik napasnya dalam-dalam. "Bagaimana ini, bagaimana nanti kalau aku jatuh tiba-tiba?" Wajah Irish menjadi cemberut, gadis itu memainkan jemarinya di lantai sebelum ia merasakan seseorang menyentuh pipinya dari belakang. "Eh..." Irish mendongakkan kepalanya menatap siapa seseorang itu. Ternyata suaminya yang datang, Tino memberikan sebotol air mineral padanya. "Kenapa malah diam di sini, hem?" Tino ikut menekuk lututnya di samping Irish. "Aku masih mengumpulkan keberanian," jawab gadis itu. "Hemm? Mengumpulkan keberanian, kenapa? Kau tidak tampil sendirian. Ada beberapa temanmu yang ikut