Saat pagi tiba, Sebastian bangun dari tidurnya dengan kepala yang terasa pening. Di sampingnya Shela meringkuk menjadikan lengannya sebagai bantal. Sebastian pun kembali memeluknya, mengecup pundak Shela yang terekspos. "Sayang, kau tidak bangun?" bisik Sebastian mengusap pipi Shela dan mengecupnya. "Aku masih ngantuk," jawab Shela membalikkan badannya. Sebastian terkekeh pelan, dia kembali memeluk lagi tubuh istrinya dan mendusal seperti anak kecil. Shela lantas membuka mata. Sifat manja seorang Sebastian Morgan hanya dirinya lah yang tahu, selebihnya laki-laki ini memang mudah emosi dan sosok yang keras kepala tanpa ada yang berani menentangnya. "Aku merindukanmu," bisik Sebastian mengecupi pipi kiri Shela terus menerus. Shela tahu, dia merayunya. "Dan aku tidak," jawab Shala menatap sang suami. Laki-laki itu tersenyum, dia mengusap kening Shela dan mendekatkan wajahnya. Kedua telapak tangan Shela membelai pipi Sebastian. "Aku sedang tidak ingin bercinta, jangan merayuku,"
Tidak akan pernah ada kata cerai dan berpisah dari Sebastian untuk Shela. Dia mengakui kalau dirinya yang mencintai Shela lebih dari apapun. Sebastian menjelaskan mati-matian pada Mamanya dengan penuh ketegasan kalau dia tidak akan menceraikan Shela apapun masalahnya. Bahkan Monica langsung pulang setelah Sebastian menegaskan tidak akan meninggalkan Shela. "Sayang..." Suara Shela membuat Sebastian menoleh. Laki-laki itu tersenyum melihatnya. Dia melambaikan tangan meminta Shela masuk ke dalam kamar. "Aku pikir kau sedang melanjutkan pekerjaanmu di bawah," ujar Shela, dia naik ke atas ranjang dan tersenyum manis. "Tidak. Aku kan sudah bilang, nanti saja." Sebastian menarik pinggang Shela hingga wanita itu duduk di sampingnya. Shela menjadikan pangkuan Sebastian sebagai bantalnya, wanita itu asik membaca buku yang baru saja dia beli. Menatap wajah ayu istrinya, entah kenapa sahabatnya di kantor, Vir dan Gavin sering kali menakut-nakuti Sebastian kalau Shela yang usianya terpaut h
Kejadian pagi tadi membuat Shela tidak betah di rumah. Wanita itu kini pergi dengan nekat tanpa pamit pada Sebastian. Shela datang ke toko rotinya, dia ingin bertemu dengan Morsil dan menangis kepadanya, di antara semua orang, hanya Morsil lah orang yang paling tahu kondisi Shela. "Ada apa Shel, kenapa datang-datang menangis seperti ini?" Morsil menatap Shela yang kini duduk di sofa belakang. "Kau bertengkar ya, dengan Sebastian?" "Iya. Aku beberapa hari ini memang bertengkar terus dengannya, Morsil," ujar Shela dengan nada sedih. Wanita itu mengembuskan napasnya pelan, tatapannya menjadi sendu. Morsil mengusap pundak Shela dengan lembut. "Shela... Cerita saja padaku. Ada apa, hem?" "Aku kesal dengan Sebastian, Morsil. Dia tidak pernah mengerti perasaanku, dia tidak seperti dulu lagi." Morsil melotot mendengarnya. "Ma-maksudmu, dia selingkuh?!" pekik wanita itu dengan nada meninggi. Shela pun cepat menggeleng. "Tidak, Sebastian laki-laki yang sangat mencintaiku. Tapi dia sala
Shela turun dari dalam sebuah bus kota, dia membawa tas punggungnya dan berjalan membawa selembar kertas. Gadis itu kini menginjakkan kakinya di London, dia pulang ke rumah milik Morsil yang berada di tengah-tengah kota London. "Wahh, Morsil punya rumah sebagus ini," gumam Shela tersenyum tipis. Shela mengetuk pintu rumah itu, dan pintunya terbuka. Nampak seorang wanita tua yang membuka pintu tersebut. "Shela, temannya Morsil ya?" tanya wanita itu. Shela mengangguk dan tersenyum manis. "Iya Nek, Morsil sudah menghubungi Nenek kalau Shela akan menginap di sini sampai beberapa hari?" tanya Shela. Wanita tua bernama Clair itu mengangguk. "Ya, dia menghubungiku, dia bilang aku akan punya teman baru selama beberapa hari. Ternyata Shela yang cantik ini yang menemaniku..." Shela tersenyum manis, untuk ketiga kalinya Shela bertemu dengan wanita tua ini. Dan dia tetap masih sama, perhatian dan sayang pada Shela. "Mari nak masuk, biar pembantu Nenek yang membawakan tasmu. Kau pasti cape
"Mami... Mami di sana sudah makan, kan? Sudah mandi belum? Kita kangen Mami..." Suara si kembar membuat Shela tersenyum, ia menatap layar ponsel milik Morsil yang sengaja diberikan pada Shela untuk beberapa hari ini berkomunikasi dengan anak dan Mamanya."Sudah dong Sayang, ini Mami sedang duduk di teras," ujar Shela tersenyum manis. "Tiana mau peluk Mami," ujar Tiana di balik gambar itu. "Iya, nanti Mami pulang kok." Shela merasa merindukan anaknya. "Jangan Mi! Jangan pulang, biar saja Papi nangis-nangis dulu. Biar tahu rasa seperti apa jauh dari Mami!" seru Tino dengan alis bertaut. Ekspresi wajah si kembar laki-laki itu memang tidak berbeda jauh dengan Papanya. Tapi mereka lucu, dan Shela rindu dengan kelucuan anak-anak itu. "Kalian jangan nakal ya, Sayang. Jangan bilang siapa-siapa meskipun tahu di mana Mami berada," ujar Shela pada mereka. "Mami jangan khawatir. Kita paham kok... Kita berdua aja, Tiana tidak. Dia rewel, nangis terus dan tidak dewasa," ujar Tiano. "Iya, ja
Malam ini Stevani membawa si kembar datang untuk menjenguk Shela di London. Sudah tiga hari semenjak Shela tidak pulang, Stevani lah yang menjaga si kembar. Shela merasa sangat bahagia bisa bertemu dengan anak-anaknya lagi. Mereka bertiga memeluknya dengan sangat erat membuktikan kerinduannya."Mami tahu tidak sih, kita itu kangen!" seru Tiana memeluk Shela dengan sangat erat. Shela tersenyum manis mengusap air matanya. "Tahu kok Sayang, Mami juga kengan sama Tiana dan Kakak." "Tapi Mami di sini saja, jangan pulang dulu. Biarin saja dulu Papi nangis-nangisnya, biar tidak nakalin Mami lagi," seru Tino dengan nada kesal."Iya. Papi sudah stress kok sekarang Mam, jadi rencananya Mami, berhasil!" Tiano terkikik geli mengacungkan jempolnya. Entah kenapa, mereka malah mendukung kalau Shela menjauh dari Sebastian, anak-anak ini memang sangat lucu. Kadang ada juga saat di mana Shela merasa kalau mereka memang benar-benar bersaing dengan Sebastian untuk mendapatkan perhatian Shela. "Tian
Shela meremas ponsel putih di tangannya. Dia tidak mau berkeras kepala lagi, ia merindukan Sebastian, setengahnya lagi Shela tidak mau berlama-lama merepotkan Nenek Clair meskipun wanita itu tidak keberatan sama sekali. Kini hari sudah sore, Shela berdiri di teras sendirian. Ia duduk di kursi tua dan menatap ke arah gerbang yang terbuka di rumah besar itu. "Apa dia benar-benar ke sini?" gumam Shela mengetukkan jemarinya di atas kayu pinggiran kursi. Shela menyangga dagu dan termenung sejenak. 'Di hari ulang tahunku, tahun pertama bagiku memiliki seorang suami. Aneh sekali aku ini, meminta hadiah seperti anak kecil tapi sedang marah juga padanya. Mungkin kata Nyonya Monica benar, lain dari Sebastian pasti sudah akan meninggalkan aku, tidak akan betah dan tahan dengan sikapku yang kekanakan ini.' Sibuk membatin tentang dirinya yang aneh, Shela memijit pelipisnya dan menghela napas. Sampai hari menjelang senja Sebastian tidak kunjung datang. Padahal Shela sejak siang tadi menghubun
"Aku akan memberikan lima permintaan, dan apapun itu akan aku berikan padamu." Sebastian berdiri di hadapan Shela, sedangkan wanita itu duduk di sebuah pagar tembok di tepi jalanan taman. Shela yang sibuk menikmati minuman cokelat hangatnya. Kedua mata wanita itu mengerjap. 'Ya ampun, dia ini royal sekali. Padahal dari sore sampai malam begini aku sudah meminta beberapa hal padanya, apa dia punya sumber uang yang tidak bisa habis?' batin Shela menelisik wajah Sebastian. "Kenapa malah menatapku seperti itu?" Sebastian memeluk pinggang Shela dengan kedua tangannya. "Sudah cukup. Aku sudah membeli banyak barang, bukan?" Shela menatap wajah suaminya. "Nanti kalau uangmu habis, bagaimana?" Laki-laki itu terkekeh, konyol sekali permintaan Shela yang mengatakan kalau uang Sebastian akan habis. "Rupanya istriku ini sedang meremehkan aku," ucap Sebastian menyipitkan kedua matanya. Shela cemberut mendengarnya, ia langsung turun dari tempat itu dengan bantuan Sebastian. Wanita itu berdi