"Mami... Mami di sana sudah makan, kan? Sudah mandi belum? Kita kangen Mami..." Suara si kembar membuat Shela tersenyum, ia menatap layar ponsel milik Morsil yang sengaja diberikan pada Shela untuk beberapa hari ini berkomunikasi dengan anak dan Mamanya."Sudah dong Sayang, ini Mami sedang duduk di teras," ujar Shela tersenyum manis. "Tiana mau peluk Mami," ujar Tiana di balik gambar itu. "Iya, nanti Mami pulang kok." Shela merasa merindukan anaknya. "Jangan Mi! Jangan pulang, biar saja Papi nangis-nangis dulu. Biar tahu rasa seperti apa jauh dari Mami!" seru Tino dengan alis bertaut. Ekspresi wajah si kembar laki-laki itu memang tidak berbeda jauh dengan Papanya. Tapi mereka lucu, dan Shela rindu dengan kelucuan anak-anak itu. "Kalian jangan nakal ya, Sayang. Jangan bilang siapa-siapa meskipun tahu di mana Mami berada," ujar Shela pada mereka. "Mami jangan khawatir. Kita paham kok... Kita berdua aja, Tiana tidak. Dia rewel, nangis terus dan tidak dewasa," ujar Tiano. "Iya, ja
Malam ini Stevani membawa si kembar datang untuk menjenguk Shela di London. Sudah tiga hari semenjak Shela tidak pulang, Stevani lah yang menjaga si kembar. Shela merasa sangat bahagia bisa bertemu dengan anak-anaknya lagi. Mereka bertiga memeluknya dengan sangat erat membuktikan kerinduannya."Mami tahu tidak sih, kita itu kangen!" seru Tiana memeluk Shela dengan sangat erat. Shela tersenyum manis mengusap air matanya. "Tahu kok Sayang, Mami juga kengan sama Tiana dan Kakak." "Tapi Mami di sini saja, jangan pulang dulu. Biarin saja dulu Papi nangis-nangisnya, biar tidak nakalin Mami lagi," seru Tino dengan nada kesal."Iya. Papi sudah stress kok sekarang Mam, jadi rencananya Mami, berhasil!" Tiano terkikik geli mengacungkan jempolnya. Entah kenapa, mereka malah mendukung kalau Shela menjauh dari Sebastian, anak-anak ini memang sangat lucu. Kadang ada juga saat di mana Shela merasa kalau mereka memang benar-benar bersaing dengan Sebastian untuk mendapatkan perhatian Shela. "Tian
Shela meremas ponsel putih di tangannya. Dia tidak mau berkeras kepala lagi, ia merindukan Sebastian, setengahnya lagi Shela tidak mau berlama-lama merepotkan Nenek Clair meskipun wanita itu tidak keberatan sama sekali. Kini hari sudah sore, Shela berdiri di teras sendirian. Ia duduk di kursi tua dan menatap ke arah gerbang yang terbuka di rumah besar itu. "Apa dia benar-benar ke sini?" gumam Shela mengetukkan jemarinya di atas kayu pinggiran kursi. Shela menyangga dagu dan termenung sejenak. 'Di hari ulang tahunku, tahun pertama bagiku memiliki seorang suami. Aneh sekali aku ini, meminta hadiah seperti anak kecil tapi sedang marah juga padanya. Mungkin kata Nyonya Monica benar, lain dari Sebastian pasti sudah akan meninggalkan aku, tidak akan betah dan tahan dengan sikapku yang kekanakan ini.' Sibuk membatin tentang dirinya yang aneh, Shela memijit pelipisnya dan menghela napas. Sampai hari menjelang senja Sebastian tidak kunjung datang. Padahal Shela sejak siang tadi menghubun
"Aku akan memberikan lima permintaan, dan apapun itu akan aku berikan padamu." Sebastian berdiri di hadapan Shela, sedangkan wanita itu duduk di sebuah pagar tembok di tepi jalanan taman. Shela yang sibuk menikmati minuman cokelat hangatnya. Kedua mata wanita itu mengerjap. 'Ya ampun, dia ini royal sekali. Padahal dari sore sampai malam begini aku sudah meminta beberapa hal padanya, apa dia punya sumber uang yang tidak bisa habis?' batin Shela menelisik wajah Sebastian. "Kenapa malah menatapku seperti itu?" Sebastian memeluk pinggang Shela dengan kedua tangannya. "Sudah cukup. Aku sudah membeli banyak barang, bukan?" Shela menatap wajah suaminya. "Nanti kalau uangmu habis, bagaimana?" Laki-laki itu terkekeh, konyol sekali permintaan Shela yang mengatakan kalau uang Sebastian akan habis. "Rupanya istriku ini sedang meremehkan aku," ucap Sebastian menyipitkan kedua matanya. Shela cemberut mendengarnya, ia langsung turun dari tempat itu dengan bantuan Sebastian. Wanita itu berdi
"Tiana kangen rumah lama kita, Mami." Tiana berucap sedih, bersama dua kembarannya dan juga Sebastian, mereka kini berdiri di depan sebuah rumah di mana tempat itu dulunya tempat Shela membesarkan ketiga buah hatinya. "Mami juga, Tiana," jawab Shela membalas genggaman tangan Tiana."Dulu kita sering main di teras sini, ya kan? Tiana naik sepeda kecil, terus Tiano yang dorong," ujar Tiano menatap teras rumah itu. Sebastian tersenyum tipis mendengarnya mereka berbicang. Kali ini mereka mengunjungi rumah lamanya setelah Monica pergi kembali ke Prancis. Pintu rumah dibuka oleh Sebastian, si kembar berlari lebih dulu masuk ke dalam sana. Anak-anak itu mendapati beberapa mainannya masih ditata rapi. "Papi... Lihat, ini mainan Tino waktu masih bayi kata Mami," ujar anak itu menunjukkan sebuah boneka kecil. "Iya Sayang. Jangan main di luar ya," tegas Sebastian pada mereka. "Iya Pi." Kompak ketiganya menjawab. Sebastian merangkul pinggang Shela dan mengajaknya berjalan ke lantai dua.
Malam yang sunyi pukul sebelas malam, semua penerangan rumah sudah mati. Shela berdiri di depan dinding kaca yang berada di lantai dua rumahnya. Wanita itu menunggu Sebastian yang kini sedang bertelepon dengan rekan bisnisnya di ruang kerja. Suaminya adalah orang yang sibuk, dan semuanya juga demi Shela. 'Dia mengenalkan aku sebagai pemilik perusahaan Milory, padahal aku tidak melakukan apapun.' Shela menyandarkan kepalanya di kaca. "Pantas saja Nyonya Monica semarah itu padaku, aku tidak tahu kalau Sebastian sudah sejauh ini menentang keluarganya," gumam lirih Shela. "Demi aku." Hening kembali menyapanya. Shela tersentak saat tiba-tiba telapak tangan dingin menyentuh pipinya dari belakang. "Astaga!" Wanita itu menoleh cepat. "Sebastian!" Laki-laki itu tersenyum manis. "Kenapa melamun saja, hem?" Sebastian merangkul Shela. "Tidak papa. Hanya kepikiran waktu tadi kau mengenalkan aku sebagai pemilik perusahaan. Aku canggung sekali, kau tahu!" Shela cemberut. "Kan memang kau yang
"Ayo ambil ini... Ambil kalau bisa!" Suara tawa anak-anak di tepi jalanan malam itu terdengar menjengkelkan di telinga Tiana. Di depan gedung sekolah kursus bahasa, teman-temannya merebut botol minum milik Tiana dan mereka ingin Tiana lompat untuk mengambilnya. "Mana, kembalikan. Itu punyaku, tahu! Kembalikan dong, Alice!" teriak Tiana mengejar temannya, yang jelasnya mereka berusia sama seperti Tiana. "Kembalikan!" teriak Tiana mengejarnya. Tiga anak perempuan itu membawa lari botol minum milik Tiana. Jelas Tiana tidak mampu mengejar mereka, dia tidak boleh terlalu lelah. Berusaha berlari cepat, Tiana tersandung dan terjungkal hingga kaca matanya terpental dan jatuh. "Kaca mataku... Di mana?" Tiana mengulurkan tangannya dan merayap mencari-cari dalam kegelapan. "Kaca matanya, ambil kaca matanya Tiana!" Suara itu membuat Tiana semakin kesal. Ia mencoba merayapkan tangannya lagi. "Ayo mana kaca matamu, Tiana!" seru Abelle menendang pelan kaca mata Tiana. Suara bunyi benda it
"Aku juga berusaha berubah seperti yang kau mau, Shela! Aku bingung kau menginginkan lelaki yang seperti apa!" Suara amukan Sebastian pada Shela, membuat Tiana menangis. Anak itu langsung berdiri memeluk sang Mama dengan erat. Shela menatap Sebastian berkaca-kaca, laki-laki itu tidak akan pernah tahu bagaimana menjadi seorang perempuan bila dibentak. "Ayo pergi, Mami... Ayo ke pergi!" teriak Tiana keras-keras. Shela menyeka air matanya. "Iya, ayo Sayang. Diam dulu, jangan nangis," bisik Shela. Wanita itu melangkah ke arah pintu, lengannya tiba-tiba ditahan oleh Sebastian. "Mau ke mana? Ini sudah malam!" seru Sebastian. Shela mengabaikan Sebastian dan menarik lengannya. "Aaaaa... Papi jangan sentuh Mamiku!" teriak Tiana marah pada Sebastian. "Sudah Tiana, jangan teriak-teriak," bisik Shela mendekap putrinya. Sebastian terus mengikuti istrinya dengan perasaan kalut. Dia tahu ia kelewatan, membentak Shela di depan Tiana. "Shela-""Diam!" pekik Shela mengulurkan jari telunjukny
Sebuah acara makan malam yang begitu yang begitu menyenangkan di musim dingin di kediaman keluarga Morgan. Meskipun hanya dengan anak dan menantunya yang berkumpul di sana, namun kebersamaan ini membuat Shela merasa senang dan bahagia. "Kalau seperti ini setiap hari, Mami akan senang sekali. Andai saja kalian mau membeli rumah di sekitar sini," ujar Shela mantap para anak-anaknya. "Kakak kan sudah tinggal sama Mami," jawab Tiana membantu Shela menyiapkan makanan di meja. "Kami akan sering-sering ke sini, Mi," sahut Irish. Shela mengangguk, wanita itu tersenyum manis pada mereka. Sadari mereka semua memiliki keputusan yang tepat untuk kehidupannya masing-masing. Meskipun para anak-anaknya sudah dewasa, namun di mata Shela mereka adalah anak kecil yang dulu dia asuh dan ditimang ke mana-mana sendirian. "Mamimu sangat takut kalian jarang berkunjung," ujar Sebastian yang duduk berhadapan dengan Shela. "Tentu saja! Mami kan sayang sama kita, Pi. Dari bayi juga cuma Mami yang merawa
Beberapa Bulan Kemudian...Waktu berjalan dengan sangat cepat, hari-hari yang dilalui penuh dengan kebahagiaan untuk Irish dan Tino. Apalagi kini mereka telah menjadi orang tua, setelah kemarin Irish melahirkan anak pertama mereka. Doa-doa yang setiap harinya dia panjatkan ternyata dikabulkan oleh Tuhan. Dia memiliki seorang anak perempuan yang sangat-sangat cantik. "Mereka bertiga seperti anak kembar, ya?" Irish terkekeh melihat putri kecilnya dibaringkan bersama dua anak Sora dan Tiano. Sora dan Tiano memiliki anak kembar laki-laki yang lahir dua minggu lebih dulu dari Irish. "Seperti aku dan Kakak dulu ini, aku perempuan sendiri, dua saudara kembarku laki-laki!" seru Tiana sembari duduk di samping Irish. "Tapi tetap saja! Yang nangisnya paling kenceng seperti Mamanya, tetap Arabelle!" sahut Tino kini menggendong Arabelle yang memeluk botol susu cokelat miliknya. Anak manis berusia hampir satu tahunan itu merengek-rengek ingin turun setelah dibuat menangis oleh Tino. Irish me
Kabar kehamilan Irish sudah diketahui oleh semua keluarga, tentu saja mereka semua bahagia. Bahkan di kemungkinan besar Irish dan Sora akan memiliki anak yang seumuran nantinya, hanya selisih satu bulan saja. Kini Irish berada di rumahnya, gadis itu baru saja menghubungi Sora dan Tiana, untuk memberikan kabar bahagia pada saudarinya kalau dia hamil. "Rish, kau sudah makan?" tanya Tino mendekati istrinya yang tengah rebahan di sofa yang berada ruang keluarga di lantai satu. Gadis itu menoleh dan menggelengkan kepalanya. "Tino... Aku tidak lapar, aku nanti bisa mual kalau makan terlalu banyak. Aku tidak mau," seru gadis itu menggelengkan kepalanya lagi. Tino pun tersenyum tipis dan menarik lengan gadis itu dengan pelan. "Makan sekarang, Sayang!" serunya dengan nada menekan dan memaksa. "Pemaksaan sekali, Tino..." gerutu Irish dengan wajah cemberutnya. "Aku mau makan, tapi suapi aku, ya!" "Iya! Aku akan menyuapimu. Sekarang ayo makan dulu," seru Tino lagi. Irish duduk dengan pel
Hari dengan hari berjalan jemu, Irish sering kali merasa kesepian beberapa waktu ini. Suaminya rupanya sangat sibuk, selalu pulang terlambat, dan pergi saat Irish masih tertidur. Bahkan di minggu ketiga di mana Tino selalu sibuk dengan pekerjaan di kantor milik Sebastian kini, Irish merasa benar-benar membutuhkannya di saat dia tidak sehat kondisi tubuhnya. Irish bangun pukul delapan pagi, dan hari ini Tino masih di rumah. Kesempatan yang baik untuk Irish berbincang dengannya. "Sayang..." Suara Irish memanggil dari luar di lantai dasar. Gadis itu mencari-cari, dia menuruni anak tangga dan memperhatikan sekitar yang sepi. Sampai akhirnya langkah Irish benar-benar terhenti di penghujung tangga. "Hari ini jadwal saya akan padat Pak Kyle, boleh diundur sampai hari Senin besok? Tidak ada waktu luang sama sekali, Minggu ini saya juga akan ke luar kota untuk mengecek proyek. Satu jam dari sekarang saya ada meeting!" Suara penuh riuh kesibukan itu membuat Irish kembali menelan kesediha
Keesokan paginya, Irish dan Tino asik menghabiskan waktu untuk mengunjungi beberapa tempat wisata di kawasan Salzburg. Mereka menikmati momen berdua di sebuah taman yang sangat indah. "Andai saja liburannya bisa diperpanjang," ujar Irish menyandarkan kepalanya di pundak Tino. "Aku juga tidak ingin pulang," jawab laki-laki itu mengecup pucuk kepala Irish. "Heem, kita menikmati momen yang indah di sini." Irish mengembuskan napasnya pelan, ia beranjak dari duduknya dan berdiri di hadapan Tino, memegangi satu tangan Tino dan menatap sekitar. Sedangkan Tino masih selalu memperhatikan istrinya dengan tatapan kagum, ia yang selalu mencintai dan menyayangi Irish, tak mungkin bisa berpaling darinya. Sampai tiba-tiba sebuah bole menggelinding di bawah kaki Irish. Gadis itu menatap bola merah di bawah kakinya, sebelum ada seorang anak kecil perempuan yang baru saja bisa berjalan, menuju ke arahnya. "Wahhh, ini bola mi-milikmu ya?" Irish menekuk kedua lututnya dan mengulurkan tangannya me
Hari sudah malam, Tino kali ini bersama dengan Paman Caesar di sebuah rumah kaca setelah ia meninggalkan istrinya yang sibuk berjalan-jalan dengan Bibi Alpen dan juga sopirnya ke kota. Kini Tino berdua saja dengan Paman Caesar, laki-laki itu menuangkan sebuah minuman ke gelas berukuran kecil di hadapan Tino. "Huffttt... Aku tidak pernah menyangka kalau Irish akan memiliki suami sepertimu," ujar Paman Caesar tiba-tiba. "Kenapa begitu, Paman?" tanya Tino menatap laki-laki di depannya itu dengan tatapan tak biasa. Caesar menghela napasnya pelan. "Irish anak yang sangat aneh, Tino. Tidak mudah baginya untuk dekat dengan sembarang orang, Irish... Irish punya masa lalu yang buruk sekalipun dia anak orang terpandang. Makanya aku mengajukanmu, dari keluarga Morgan untuk menjadi suaminya. Aku tahu kau tidak akan menyakitinya." Tino sedikit tercubit dengan kata-kata Caesar barusan, karena pada awalnya dia tidak sebaik ini pada Irish. "Irish tidak gagap, Tino," ujar Caesar lagi. Detak jan
Tino dan Irish benar-benar bepergian bersama ke Salzburg. Mereka berdua sudah sampai di sana beberapa jam yang lalu, dan Paman Caesar lah orang yang menjemput mereka berdua saat ini. Sembari menunggu Paman Caesar, Irish melihat pemandangan sekitar yang memang sangat indah dan jauh dari hiruk pikuk seperti di kota asalnya. "Bagus ya, di sa-sana pegunungan kelihatan," ujar gadis itu menunjuk-nunjuk ke sana dan ke sini."Kau tidak pernah ke sini sama sekali, Sayang?" tanya Tino menatapnya. "Tidak, Mama dan Pa-papa yang sering ke sini. A-aku harus belajar yang gi-giat di rumah. Ja-jadi tidak pernah pergi ke ma-manapun." Tino yang mendengar itu merasa kasihan. Irish memang anak orang sangat terpandang, namun kehidupannya tidak seindah seperti yang Tino bayangkan. "Sekarang kan aku sudah mengajakmu ke sini," ujar laki-laki itu tersenyum. "Heem, tempat yang indah. Rasanya aku tidak mau pulang." Irish mengatakan tanpa gagap sedikitpun seraya memeluk Tino. Perasaan Tino menjadi sedikit
Pagi-pagi sekali Tino datang ke kediaman Sebastian. Ia ingin mengabari Papanya kalau dia ingin liburan beberapa hari di Austria. Sebelumnya Irish terlihat sangat cemas, sepanjang perjalanan mengunjungi kediaman mertuanya, gadis itu terus mengoceh panik kalau Sebastian diam mengizinkan Tino. "Tumben datang ke sini? Biasanya juga sibuk sendiri-sendiri, sampai istri dikurung di rumah!" Kalimat sarkastik itu terucap dari bibir Tiano, yang ternyata sedang datang berkunjung. "Apa kau tidak punya cermin?! Kau sendiri juga tidak akan datang ke sini kalau tidak ditelfon dulu! Memang kau ini tipe-tipe seleb!" maki Tino duduk di sofa bersama istrinya. Irish nampak begitu senang akhirnya ia bertemu lagi dengan Sora, mereka berdua seolah mempunyai dunia sendiri dan berbincang kesenangan menceritakan banyak hal. "Tino, Irish, sebentar lagi kalian akan punya keponakan baru," ujar Shela menatap Tino. "Ke-keponakan baru?" Irish mengerjap bingung. "Iya Sayang, Irish sedang hamil sekarang." Shela
Beberapa hari berlalu, Irish sangat bekerja keras untuk mempersiapkan penampilannya dalam acara sebuah pertunjukan. Hari yang dia tunggu-tunggu pun akhirnya datang. Gadis itu sangat gugup, ia berada di belakang panggung pertunjukan sendirian. Irish perlu menenangkan diri sebelum keluar bersama beberapa temannya. "Huufffttt... Rasanya gu-gugup sekali!" Irish menepuk dadanya berkali-kali dan menarik napasnya dalam-dalam. "Bagaimana ini, bagaimana nanti kalau aku jatuh tiba-tiba?" Wajah Irish menjadi cemberut, gadis itu memainkan jemarinya di lantai sebelum ia merasakan seseorang menyentuh pipinya dari belakang. "Eh..." Irish mendongakkan kepalanya menatap siapa seseorang itu. Ternyata suaminya yang datang, Tino memberikan sebotol air mineral padanya. "Kenapa malah diam di sini, hem?" Tino ikut menekuk lututnya di samping Irish. "Aku masih mengumpulkan keberanian," jawab gadis itu. "Hemm? Mengumpulkan keberanian, kenapa? Kau tidak tampil sendirian. Ada beberapa temanmu yang ikut