Sebastian masih terpaku di tempatnya menatap Shela yang ternyata selama ini menyembunyikan kekesalan sebesar itu kepadanya. Bodohnya, Sebastian tak menyadari itu. "Mau sampai kapan? Sampai kapan aku menunggu kesadaranmu tanpa memintamu untuk berubah?" Shela kini bangkit, dia berdiri di tepi ranjang dengan tubuh lemas dan lemah. Tapi hal yang menyakitkan lagi saat Sebastian menoleh dan tersenyum. Dia berjalan mendekat, meletakkan lagi mangkuk besar di ditangannya ke atas meja. Langkahnya mendekati Shela. "Apa aku kurang baik padamu selama ini?" "Bukan itu. Aku tahu kau-""Aku juga berusaha memberikan apapun yang kau inginkan, Shela. Aku juga ingin kau mengerti tentang perasaanku. Suami mana yang tidak ingin berkumpul dengan anak istrinya di rumah? Itulah kenapa aku sering mengatakan kalau aku lelah! Setiap kali kau mendekatiku aku selalu bilang aku sedang lelah! Karena itulah nyatanya Sayang." Tidak ada nada tinggi dari Sebastian, tapi tetep saja Shela merasa hatinya diremas oleh
"Sayang, sepertinya lukanya cukup serius. Mama takut kalau terjadi sesuatu, Shela..." Stevani mengusap pipi Shela dan menatap cemas. Dia mengelap pipi Shela dengan air hangat. "Ma, ini sudah baikan kok. Tidak terlalu memar lagi seperti kemarin kan?" "Ya tapi tetap saja yang namanya luka tetap luka," seru wanita itu kesal. Shela cemberut. Bagaimana pun juga, di hadapan Mamanya, Shela tetaplah seperti anak gadis manja yang selalu keinginannya mudah ia dapatkan. "Ma, menurut Mama apa bagus kalau Shela bercerai?" tanya Shela tiba-tiba. Kegiatan Stevani lantas terhenti. Kedua mata cokelatnya menatap sang putri dan ingin sekali ia menempeleng kepala Shela saat ini juga. Entah apa yang ada di pikiran Shela, mudah sekali dia membicarakan tentang perceraian. "Pernikahan itu bukan mainan, Sayang." Lantas Shela tertunduk. "Sebastian marah saat aku mengatakan hal itu." "Tentu saja dia marah, Sebastian itu laki-laki dewasa yang pikirannya jauh lebih matang daripada dirimu, Sayang. Dia me
Akhirnya, dengan segala macam mainan yang dibeli, si kembar tiga mau pulang bersama dengan Sebastian di rumah mereka.Sungguh kali ini mereka merontokkan semua isi dompet Papanya. Namun hal itu bukan masalah untuk Sebastian, toh kerja kerasnya juga ia berikan untuk anak dan istrinya. "Sudah tidak marah lagi sama Papi?" tanya Shela mendekati anak-anak yang membuka beberapa kotak mainannya."Masih lah, Mam!" jawab Tino. "Tiana sudah tidak," jawab anak perempuan itu tersenyum manis. Shela menoleh pada Tiano. "Tiano?" "Marahnya tinggal seperempat, Mam." "Haaahhh..." Shela mengembuskan napasnya kasar. Sedangkan Sebastian berdiri bersedekap di depan sofa menatap tiga anaknya yang asik sendiri. Setidaknya mereka mau pulang, itu sudah lebih dari cukup. Shela menatap seisi rumah, Bibi libur selama dia pergi hingga beberapa meja kayu di sana nampak berdebu. Bunga-bunga hias juga layu dan kering. "Mau ke mana?" Sebastian menarik lengan Shela. "Mau mengganti bunga-bunga ini. Aku carikan
Beberapa hari kemudian...Malam datang dengan cepat, Sebastian baru saja pulang pukul dua dini hari. Laki-laki itu masuk ke dalam rumah menenteng tuxedo hitamnya dengan wajah lelah. Begitu pintu terbuka, dia melihat Shela yang berdiri di ujung atas lantai dua. Wanita itu menunjukkan wajah cemas seperti hari-hari kemarin menunggunya. "Sayang, kenapa belum tidur?" Sebastian mendekati Shela. Wanita itu mendongak untuk menjangkau tatapan sang suami. "Kenapa pulang selarut ini?" tanya Shela menatap Sebastian. "Sebenarnya sudah selesai pukul sepuluh tadi, tapi yang lainnya masih ada di sana." Sebastian menjawab dengan mudah. "Anak-anak menunggumu, mereka tidur pukul sebelas. Kau lupa ingin tidur bersama mereka, jadi mereka terus menunggumu." Shela berjalan di belakang suaminya. "Oh... Ya ampun," ucap Sebastian baru teringat. Rasa kesal menjalar di hati Shela, ia tidak tahu apa yang ada dalam otak suaminya ini. Shela merasa amat kecewa dengan tindakan Sebastian. Dan laki-laki itu ki
"Pekerjaan tidak pernah beres! Bisa-bisanya kalian kehilangan beberapa laporan penting bulan ini!" Suara amarah menggelegar di dalam ruangan meeting. Sebastian melemparkan sebuah berkas ke atas meja dengan wajah lelah dan kesal. Kecerobohan seorang karyawannya yang kehilangan beberapa rangkaian file penting untuk meeting penting beberapa waktu ke depan. "Aku tidak mau tahu, dalam waktu dua hari, file itu sudah kembali dirangkai dan aku tidak mau mendengar alasan kalian semua!" amuk laki-laki itu dengan napas terengah. "Baik Pak..." Semua karyawannya mengangguk dengan kepala tertunduk. Tatapan Sebastian tertuju pada Gavin. "Tolong kau atasi mereka, aku sudah pusing!" seru Sebastian. Laki-laki itu langsung melenggang keluar dari dalam ruangan meeting. Sebastian berulang kali mengumpat kesal. Sampai akhirnya Vir yang baru saja datang dari luar kota, laki-laki itu mendapati sahabatnya dengan muka stress. "Wahh, kenapa Boss?!" Vir terkekeh mengejek dan menepuk pundak Sebastian. "
Saat pagi tiba, Sebastian bangun dari tidurnya dengan kepala yang terasa pening. Di sampingnya Shela meringkuk menjadikan lengannya sebagai bantal. Sebastian pun kembali memeluknya, mengecup pundak Shela yang terekspos. "Sayang, kau tidak bangun?" bisik Sebastian mengusap pipi Shela dan mengecupnya. "Aku masih ngantuk," jawab Shela membalikkan badannya. Sebastian terkekeh pelan, dia kembali memeluk lagi tubuh istrinya dan mendusal seperti anak kecil. Shela lantas membuka mata. Sifat manja seorang Sebastian Morgan hanya dirinya lah yang tahu, selebihnya laki-laki ini memang mudah emosi dan sosok yang keras kepala tanpa ada yang berani menentangnya. "Aku merindukanmu," bisik Sebastian mengecupi pipi kiri Shela terus menerus. Shela tahu, dia merayunya. "Dan aku tidak," jawab Shala menatap sang suami. Laki-laki itu tersenyum, dia mengusap kening Shela dan mendekatkan wajahnya. Kedua telapak tangan Shela membelai pipi Sebastian. "Aku sedang tidak ingin bercinta, jangan merayuku,"
Tidak akan pernah ada kata cerai dan berpisah dari Sebastian untuk Shela. Dia mengakui kalau dirinya yang mencintai Shela lebih dari apapun. Sebastian menjelaskan mati-matian pada Mamanya dengan penuh ketegasan kalau dia tidak akan menceraikan Shela apapun masalahnya. Bahkan Monica langsung pulang setelah Sebastian menegaskan tidak akan meninggalkan Shela. "Sayang..." Suara Shela membuat Sebastian menoleh. Laki-laki itu tersenyum melihatnya. Dia melambaikan tangan meminta Shela masuk ke dalam kamar. "Aku pikir kau sedang melanjutkan pekerjaanmu di bawah," ujar Shela, dia naik ke atas ranjang dan tersenyum manis. "Tidak. Aku kan sudah bilang, nanti saja." Sebastian menarik pinggang Shela hingga wanita itu duduk di sampingnya. Shela menjadikan pangkuan Sebastian sebagai bantalnya, wanita itu asik membaca buku yang baru saja dia beli. Menatap wajah ayu istrinya, entah kenapa sahabatnya di kantor, Vir dan Gavin sering kali menakut-nakuti Sebastian kalau Shela yang usianya terpaut h
Kejadian pagi tadi membuat Shela tidak betah di rumah. Wanita itu kini pergi dengan nekat tanpa pamit pada Sebastian. Shela datang ke toko rotinya, dia ingin bertemu dengan Morsil dan menangis kepadanya, di antara semua orang, hanya Morsil lah orang yang paling tahu kondisi Shela. "Ada apa Shel, kenapa datang-datang menangis seperti ini?" Morsil menatap Shela yang kini duduk di sofa belakang. "Kau bertengkar ya, dengan Sebastian?" "Iya. Aku beberapa hari ini memang bertengkar terus dengannya, Morsil," ujar Shela dengan nada sedih. Wanita itu mengembuskan napasnya pelan, tatapannya menjadi sendu. Morsil mengusap pundak Shela dengan lembut. "Shela... Cerita saja padaku. Ada apa, hem?" "Aku kesal dengan Sebastian, Morsil. Dia tidak pernah mengerti perasaanku, dia tidak seperti dulu lagi." Morsil melotot mendengarnya. "Ma-maksudmu, dia selingkuh?!" pekik wanita itu dengan nada meninggi. Shela pun cepat menggeleng. "Tidak, Sebastian laki-laki yang sangat mencintaiku. Tapi dia sala
Sebuah acara makan malam yang begitu yang begitu menyenangkan di musim dingin di kediaman keluarga Morgan. Meskipun hanya dengan anak dan menantunya yang berkumpul di sana, namun kebersamaan ini membuat Shela merasa senang dan bahagia. "Kalau seperti ini setiap hari, Mami akan senang sekali. Andai saja kalian mau membeli rumah di sekitar sini," ujar Shela mantap para anak-anaknya. "Kakak kan sudah tinggal sama Mami," jawab Tiana membantu Shela menyiapkan makanan di meja. "Kami akan sering-sering ke sini, Mi," sahut Irish. Shela mengangguk, wanita itu tersenyum manis pada mereka. Sadari mereka semua memiliki keputusan yang tepat untuk kehidupannya masing-masing. Meskipun para anak-anaknya sudah dewasa, namun di mata Shela mereka adalah anak kecil yang dulu dia asuh dan ditimang ke mana-mana sendirian. "Mamimu sangat takut kalian jarang berkunjung," ujar Sebastian yang duduk berhadapan dengan Shela. "Tentu saja! Mami kan sayang sama kita, Pi. Dari bayi juga cuma Mami yang merawa
Beberapa Bulan Kemudian...Waktu berjalan dengan sangat cepat, hari-hari yang dilalui penuh dengan kebahagiaan untuk Irish dan Tino. Apalagi kini mereka telah menjadi orang tua, setelah kemarin Irish melahirkan anak pertama mereka. Doa-doa yang setiap harinya dia panjatkan ternyata dikabulkan oleh Tuhan. Dia memiliki seorang anak perempuan yang sangat-sangat cantik. "Mereka bertiga seperti anak kembar, ya?" Irish terkekeh melihat putri kecilnya dibaringkan bersama dua anak Sora dan Tiano. Sora dan Tiano memiliki anak kembar laki-laki yang lahir dua minggu lebih dulu dari Irish. "Seperti aku dan Kakak dulu ini, aku perempuan sendiri, dua saudara kembarku laki-laki!" seru Tiana sembari duduk di samping Irish. "Tapi tetap saja! Yang nangisnya paling kenceng seperti Mamanya, tetap Arabelle!" sahut Tino kini menggendong Arabelle yang memeluk botol susu cokelat miliknya. Anak manis berusia hampir satu tahunan itu merengek-rengek ingin turun setelah dibuat menangis oleh Tino. Irish me
Kabar kehamilan Irish sudah diketahui oleh semua keluarga, tentu saja mereka semua bahagia. Bahkan di kemungkinan besar Irish dan Sora akan memiliki anak yang seumuran nantinya, hanya selisih satu bulan saja. Kini Irish berada di rumahnya, gadis itu baru saja menghubungi Sora dan Tiana, untuk memberikan kabar bahagia pada saudarinya kalau dia hamil. "Rish, kau sudah makan?" tanya Tino mendekati istrinya yang tengah rebahan di sofa yang berada ruang keluarga di lantai satu. Gadis itu menoleh dan menggelengkan kepalanya. "Tino... Aku tidak lapar, aku nanti bisa mual kalau makan terlalu banyak. Aku tidak mau," seru gadis itu menggelengkan kepalanya lagi. Tino pun tersenyum tipis dan menarik lengan gadis itu dengan pelan. "Makan sekarang, Sayang!" serunya dengan nada menekan dan memaksa. "Pemaksaan sekali, Tino..." gerutu Irish dengan wajah cemberutnya. "Aku mau makan, tapi suapi aku, ya!" "Iya! Aku akan menyuapimu. Sekarang ayo makan dulu," seru Tino lagi. Irish duduk dengan pel
Hari dengan hari berjalan jemu, Irish sering kali merasa kesepian beberapa waktu ini. Suaminya rupanya sangat sibuk, selalu pulang terlambat, dan pergi saat Irish masih tertidur. Bahkan di minggu ketiga di mana Tino selalu sibuk dengan pekerjaan di kantor milik Sebastian kini, Irish merasa benar-benar membutuhkannya di saat dia tidak sehat kondisi tubuhnya. Irish bangun pukul delapan pagi, dan hari ini Tino masih di rumah. Kesempatan yang baik untuk Irish berbincang dengannya. "Sayang..." Suara Irish memanggil dari luar di lantai dasar. Gadis itu mencari-cari, dia menuruni anak tangga dan memperhatikan sekitar yang sepi. Sampai akhirnya langkah Irish benar-benar terhenti di penghujung tangga. "Hari ini jadwal saya akan padat Pak Kyle, boleh diundur sampai hari Senin besok? Tidak ada waktu luang sama sekali, Minggu ini saya juga akan ke luar kota untuk mengecek proyek. Satu jam dari sekarang saya ada meeting!" Suara penuh riuh kesibukan itu membuat Irish kembali menelan kesediha
Keesokan paginya, Irish dan Tino asik menghabiskan waktu untuk mengunjungi beberapa tempat wisata di kawasan Salzburg. Mereka menikmati momen berdua di sebuah taman yang sangat indah. "Andai saja liburannya bisa diperpanjang," ujar Irish menyandarkan kepalanya di pundak Tino. "Aku juga tidak ingin pulang," jawab laki-laki itu mengecup pucuk kepala Irish. "Heem, kita menikmati momen yang indah di sini." Irish mengembuskan napasnya pelan, ia beranjak dari duduknya dan berdiri di hadapan Tino, memegangi satu tangan Tino dan menatap sekitar. Sedangkan Tino masih selalu memperhatikan istrinya dengan tatapan kagum, ia yang selalu mencintai dan menyayangi Irish, tak mungkin bisa berpaling darinya. Sampai tiba-tiba sebuah bole menggelinding di bawah kaki Irish. Gadis itu menatap bola merah di bawah kakinya, sebelum ada seorang anak kecil perempuan yang baru saja bisa berjalan, menuju ke arahnya. "Wahhh, ini bola mi-milikmu ya?" Irish menekuk kedua lututnya dan mengulurkan tangannya me
Hari sudah malam, Tino kali ini bersama dengan Paman Caesar di sebuah rumah kaca setelah ia meninggalkan istrinya yang sibuk berjalan-jalan dengan Bibi Alpen dan juga sopirnya ke kota. Kini Tino berdua saja dengan Paman Caesar, laki-laki itu menuangkan sebuah minuman ke gelas berukuran kecil di hadapan Tino. "Huffttt... Aku tidak pernah menyangka kalau Irish akan memiliki suami sepertimu," ujar Paman Caesar tiba-tiba. "Kenapa begitu, Paman?" tanya Tino menatap laki-laki di depannya itu dengan tatapan tak biasa. Caesar menghela napasnya pelan. "Irish anak yang sangat aneh, Tino. Tidak mudah baginya untuk dekat dengan sembarang orang, Irish... Irish punya masa lalu yang buruk sekalipun dia anak orang terpandang. Makanya aku mengajukanmu, dari keluarga Morgan untuk menjadi suaminya. Aku tahu kau tidak akan menyakitinya." Tino sedikit tercubit dengan kata-kata Caesar barusan, karena pada awalnya dia tidak sebaik ini pada Irish. "Irish tidak gagap, Tino," ujar Caesar lagi. Detak jan
Tino dan Irish benar-benar bepergian bersama ke Salzburg. Mereka berdua sudah sampai di sana beberapa jam yang lalu, dan Paman Caesar lah orang yang menjemput mereka berdua saat ini. Sembari menunggu Paman Caesar, Irish melihat pemandangan sekitar yang memang sangat indah dan jauh dari hiruk pikuk seperti di kota asalnya. "Bagus ya, di sa-sana pegunungan kelihatan," ujar gadis itu menunjuk-nunjuk ke sana dan ke sini."Kau tidak pernah ke sini sama sekali, Sayang?" tanya Tino menatapnya. "Tidak, Mama dan Pa-papa yang sering ke sini. A-aku harus belajar yang gi-giat di rumah. Ja-jadi tidak pernah pergi ke ma-manapun." Tino yang mendengar itu merasa kasihan. Irish memang anak orang sangat terpandang, namun kehidupannya tidak seindah seperti yang Tino bayangkan. "Sekarang kan aku sudah mengajakmu ke sini," ujar laki-laki itu tersenyum. "Heem, tempat yang indah. Rasanya aku tidak mau pulang." Irish mengatakan tanpa gagap sedikitpun seraya memeluk Tino. Perasaan Tino menjadi sedikit
Pagi-pagi sekali Tino datang ke kediaman Sebastian. Ia ingin mengabari Papanya kalau dia ingin liburan beberapa hari di Austria. Sebelumnya Irish terlihat sangat cemas, sepanjang perjalanan mengunjungi kediaman mertuanya, gadis itu terus mengoceh panik kalau Sebastian diam mengizinkan Tino. "Tumben datang ke sini? Biasanya juga sibuk sendiri-sendiri, sampai istri dikurung di rumah!" Kalimat sarkastik itu terucap dari bibir Tiano, yang ternyata sedang datang berkunjung. "Apa kau tidak punya cermin?! Kau sendiri juga tidak akan datang ke sini kalau tidak ditelfon dulu! Memang kau ini tipe-tipe seleb!" maki Tino duduk di sofa bersama istrinya. Irish nampak begitu senang akhirnya ia bertemu lagi dengan Sora, mereka berdua seolah mempunyai dunia sendiri dan berbincang kesenangan menceritakan banyak hal. "Tino, Irish, sebentar lagi kalian akan punya keponakan baru," ujar Shela menatap Tino. "Ke-keponakan baru?" Irish mengerjap bingung. "Iya Sayang, Irish sedang hamil sekarang." Shela
Beberapa hari berlalu, Irish sangat bekerja keras untuk mempersiapkan penampilannya dalam acara sebuah pertunjukan. Hari yang dia tunggu-tunggu pun akhirnya datang. Gadis itu sangat gugup, ia berada di belakang panggung pertunjukan sendirian. Irish perlu menenangkan diri sebelum keluar bersama beberapa temannya. "Huufffttt... Rasanya gu-gugup sekali!" Irish menepuk dadanya berkali-kali dan menarik napasnya dalam-dalam. "Bagaimana ini, bagaimana nanti kalau aku jatuh tiba-tiba?" Wajah Irish menjadi cemberut, gadis itu memainkan jemarinya di lantai sebelum ia merasakan seseorang menyentuh pipinya dari belakang. "Eh..." Irish mendongakkan kepalanya menatap siapa seseorang itu. Ternyata suaminya yang datang, Tino memberikan sebotol air mineral padanya. "Kenapa malah diam di sini, hem?" Tino ikut menekuk lututnya di samping Irish. "Aku masih mengumpulkan keberanian," jawab gadis itu. "Hemm? Mengumpulkan keberanian, kenapa? Kau tidak tampil sendirian. Ada beberapa temanmu yang ikut