Tiana menata beberapa boneka barunya di dalam rak yang ada di kamarnya. Juga tiga kaca mata baru dengan bingkai bermacam warna, anak perempuan itu senang koleksi bonekanya bertambah, tapi dia sedih temannya harus pergi."Tidak boleh nangis," ujar Tiano merangkul kembaran perempuannya. "Tiana tidak nangis kok," jawab anak itu menatap Tiano dan tersenyum. "Bagus! Mulai besok kalau di sekolah, kau hanya boleh main denganku dan Tino. Jangan main dengan anak-anak yang lain ya, Tiana..." Tiana mengangguk paham. Dia kembali mengambil boneka ikan paus di dalam rak, memeluknya seperti dia memeluk Aldrich. 'Besok pagi Aldrich akan pergi ke Italia. Aku akan mencari teman baru, Aldrich bilang kalau aku besar nanti aku harus menjadi Bu Guru, kalau aku jadi Bu Guru, pasti aku punya banyak teman.' Perasaan sedih bercampur aduk di dalam hati Tiana. Anak itu berjalan ke arah ranjangnya dan berbaring memeluk boneka paus miliknya. Sementara Tino duduk di ujung ranjang dan memainkan miana robot kap
Semangat yang disiapkan Tiana sejak pagi pun sirna. Begitu sampai di sekolah, ternyata Aldrich menunggu di sana dengan kedua orang tuanya. Anak laki-laki itu sudah bersiap ingin pergi ke Italia pagi ini. Tapi dia marah pada Papanya karena ingin menemui Tiana lebih dulu di sekolah. "Jangan menangis, aku akan kembali, Tiana..." Aldrich memeluk Tiana yang kini menangis memeluknya dengan erat."Tiana tidak akan punya teman lagi, Aldrich," ucap anak perempuan itu. "Sayang, kan di sekolah ada banyak teman. Tiana tidak akan kesepian," ujar Elmma mengusap rambut Tiana. Pelukan Tiana pada Aldrich pun terlepas, anak laki-laki mundur satu langkah. Dia tersenyum manis pada Tiana sebelum menatap Tino dan Tiano, juga Madam Ellin yang berada bersama mereka."Sudah Al, ayo berangkat," ajak Roghan pada sang putra. Aldrich melambaikan tangannya pada Tiana. Namun Tiana sama sekali tidak melihatnya, Tiana menangis dan menundukkan kepalanya saja. "Tiana," panggil Aldrich saat masuk ke dalam mobil.
"Pakaian apa yang kau pakai itu Shela?! Lepas!" Suara pekikan Sebastian membuat Shela menatap pantulan wajah suaminya di cermin yang berdiri di belakangnya. Dress di atas lutut berwarna violet, dengan lengan Sabrina. Mungkin akan terlihat modis di mata orang lain, tapi Sebastian benci kalau istrinya memakai pakaian semacam ini. "Kenapa memangnya? Bukannya kau suka yang seperti ini?" Shela sebenarnya sangat malu mengatakan hal ini. "Shela, lepas pakaian itu atau aku yang melepaskannya!" Sebastian mendekat, namun Shela lebih dulu mundur dan mengarahkan satu tangannya untuk membuat suaminya itu terhenti.Tatapan mata berkilatan dari Sebastian, patutlah dia marah. Laki-laki egois ini tidak suka dengan pemandangan yang istrinya berikan. "Bu-bukannya ini adalah fashion wanita jaman sekarang? Aku hanya sedang mengikuti saja. Cardina mengatakannya," ujar Shela menunjukkan wajah sedih."Mana mungkin Cardina seperti itu, hah?!" Sebastian masih tak percaya. Laki-laki itu membuka beberapa p
"Bibi, aku titip Tiana pada Bibi ya, aku harus pergi dengan Mama mertuaku untuk sebuah acara." Shela menatap penuh kepercayaan pada pembantunya. Wanita setengah baya itu mengangguk dan selalu tersenyum manis. "Iya Nyonya, jangan khawatir. Tiana anak yang pintar kok, saya juga sudah menjelaskannya." "Baiklah, terima kasih Bi." Shela kembali berjalan masuk ke dalam kamarnya. Dia menatap cermin besar di hadapannya, pikirannya melayang jauh tentang pakaiannya yang mungkin akan terlihat seperti lelucon di hadapan Cardina. Meskipun wanita itu tak terlalu penting. "Ayolah Shela, jadilah dirimu sendiri! Abaikan orang-orang yang menilaimu dengan buruk!" Kembali senyuman Shela terukir, wanita itu berjalan keluar dari dalam kamar. Di lantai satu, Sebastian duduk di ruang tamu dan berbincang bersama dengan Cardina. Wanita sialan itu datang lagi, sepertinya dia memang mendapatkan perintah. "Oh, itu istriku sudah siap," ujar Sebastian menatap Shela. Hal pernah yang ia lihat adalah puas. Sh
PLAKK...Tamparan keras mendarat di pipi Shela saat itu juga. Semua orang di dalam ruangan itu terlihat terkejut dengan tindakan Monica yang impulsif. Naik turun napas Monica, sedangkan Shela terjatuh di lantai memegang pipinya dan tetesan darah menetes di lantai marmer yang dingin. "Beraninya kau bilang kalau Millory adalah milikmu, wanita sialan!" teriak Monica berapi-api. "Kau anak yatim piatu miskin, beraninya kau... Papamu sudah mati dan Millory adalah milik keluargaku!" Napas Shela naik turun, jarinya meremas kuat. Tidak boleh ada air mata yang menetes, Shela!"Ya ampun nak," ucap seorang wanita, dia membantu Shela berdiri. Wanita itu menatap kesal pada Monica. "Kau tidak harusnya bersikap begini pada menantumu, Monica! Apa tidak cukup sejak awal kau mempermalukannya?!" "Kalian jangan ikut campur! Ini urusanku dengan dia!" pekik Monica marah besar. Beberapa orang di sana pun satu persatu pergi, hingga tak lama menyisakan Monica, Bella, Shela dan wanita yang menolong Shela
"Opa, kok jemput kita sih, kita kan belum pamitan sama Mami." "Iya nih... Nanti kalau Mami nyariin kita bagaimana?" Si kembar mengomel saja seraya turun dari dalam mobil milik Opanya dan membawa pula tas sekolahnya. Ferdi sama sekali tidak menjelaskan apapun pada anak-anak itu sekarang tujuannya adalah anak-anak sudah ada bersamanya. "Sudah jangan ribut saja, cepat masuk ke dalam sana," bujuk Ferdi pada mereka bertiga. Anak-anak pun berlari masuk ke dalam rumah. Dua pembantu di rumah itu menyambutnya, seperti biasa kalau mereka yang merawat kembar saat ada di sana. "Bibi Mela, Oma ada di mana?" tanya Tiano. "Oma ada di atas, sama Maminya Tuan Tiano," jawab wanita itu. "Hah? Mami ada di sini?" tanya Tino menatap wanita itu. "Mami?" Tiana mencicit. Anak-anak itu langsung berlari ke lantai dua, tidak ada suara apapun di sana selain suara isak tangis dari dalam sebuah kamar. Langkah mungil anak-anak itu terhenti seketika. Mereka berjajar dan saling melemparkan tatap. Menebak si
Shela berdiri dengan kaki bergetar menatap orang yang paling dia cintai adalah orang yang ia hadapi dan tantang saat ini. Sebastian berusaha mendekat dan memeluknya. Air mata yang mengalir di pipi Shela yang lebam parah, Sebastian tahu betapa nyeri luka itu. "Sayang, kita bicara baik-baik, okay? Jangan seperti ini, jangan seperti anak kecil." Sebastian mendekat. "Biar meskipun aku seperti anak kecil, si kembar pun pasti akan kecewa kalau disakiti, kau tahu!" sinis Shela menepis tangan Sebastian. Laki-laki itu menyergah napasnya panjang, dia menyunggar rambut hitamnya dengan jari jemarinya, Sebastian duduk di tepi ranjang dan menatap Shela yang menangis di dekat jendela. Wanitanya hancur, dia pasti terluka dan kesakitan. Harusnya Sebastian tidak membiarkan hal ini terjadi pada Shela. Perlahan dia bangkit, Sebastian tetap berusaha mendekat. "Aku ingin memelukmu," ujar Sebastian membujuknya dengan lembut. "Sayang..."Dia memegang satu lengan Shela dan hendak memeluknya sebelum She
Sebastian masih terpaku di tempatnya menatap Shela yang ternyata selama ini menyembunyikan kekesalan sebesar itu kepadanya. Bodohnya, Sebastian tak menyadari itu. "Mau sampai kapan? Sampai kapan aku menunggu kesadaranmu tanpa memintamu untuk berubah?" Shela kini bangkit, dia berdiri di tepi ranjang dengan tubuh lemas dan lemah. Tapi hal yang menyakitkan lagi saat Sebastian menoleh dan tersenyum. Dia berjalan mendekat, meletakkan lagi mangkuk besar di ditangannya ke atas meja. Langkahnya mendekati Shela. "Apa aku kurang baik padamu selama ini?" "Bukan itu. Aku tahu kau-""Aku juga berusaha memberikan apapun yang kau inginkan, Shela. Aku juga ingin kau mengerti tentang perasaanku. Suami mana yang tidak ingin berkumpul dengan anak istrinya di rumah? Itulah kenapa aku sering mengatakan kalau aku lelah! Setiap kali kau mendekatiku aku selalu bilang aku sedang lelah! Karena itulah nyatanya Sayang." Tidak ada nada tinggi dari Sebastian, tapi tetep saja Shela merasa hatinya diremas oleh
Sebuah acara makan malam yang begitu yang begitu menyenangkan di musim dingin di kediaman keluarga Morgan. Meskipun hanya dengan anak dan menantunya yang berkumpul di sana, namun kebersamaan ini membuat Shela merasa senang dan bahagia. "Kalau seperti ini setiap hari, Mami akan senang sekali. Andai saja kalian mau membeli rumah di sekitar sini," ujar Shela mantap para anak-anaknya. "Kakak kan sudah tinggal sama Mami," jawab Tiana membantu Shela menyiapkan makanan di meja. "Kami akan sering-sering ke sini, Mi," sahut Irish. Shela mengangguk, wanita itu tersenyum manis pada mereka. Sadari mereka semua memiliki keputusan yang tepat untuk kehidupannya masing-masing. Meskipun para anak-anaknya sudah dewasa, namun di mata Shela mereka adalah anak kecil yang dulu dia asuh dan ditimang ke mana-mana sendirian. "Mamimu sangat takut kalian jarang berkunjung," ujar Sebastian yang duduk berhadapan dengan Shela. "Tentu saja! Mami kan sayang sama kita, Pi. Dari bayi juga cuma Mami yang merawa
Beberapa Bulan Kemudian...Waktu berjalan dengan sangat cepat, hari-hari yang dilalui penuh dengan kebahagiaan untuk Irish dan Tino. Apalagi kini mereka telah menjadi orang tua, setelah kemarin Irish melahirkan anak pertama mereka. Doa-doa yang setiap harinya dia panjatkan ternyata dikabulkan oleh Tuhan. Dia memiliki seorang anak perempuan yang sangat-sangat cantik. "Mereka bertiga seperti anak kembar, ya?" Irish terkekeh melihat putri kecilnya dibaringkan bersama dua anak Sora dan Tiano. Sora dan Tiano memiliki anak kembar laki-laki yang lahir dua minggu lebih dulu dari Irish. "Seperti aku dan Kakak dulu ini, aku perempuan sendiri, dua saudara kembarku laki-laki!" seru Tiana sembari duduk di samping Irish. "Tapi tetap saja! Yang nangisnya paling kenceng seperti Mamanya, tetap Arabelle!" sahut Tino kini menggendong Arabelle yang memeluk botol susu cokelat miliknya. Anak manis berusia hampir satu tahunan itu merengek-rengek ingin turun setelah dibuat menangis oleh Tino. Irish me
Kabar kehamilan Irish sudah diketahui oleh semua keluarga, tentu saja mereka semua bahagia. Bahkan di kemungkinan besar Irish dan Sora akan memiliki anak yang seumuran nantinya, hanya selisih satu bulan saja. Kini Irish berada di rumahnya, gadis itu baru saja menghubungi Sora dan Tiana, untuk memberikan kabar bahagia pada saudarinya kalau dia hamil. "Rish, kau sudah makan?" tanya Tino mendekati istrinya yang tengah rebahan di sofa yang berada ruang keluarga di lantai satu. Gadis itu menoleh dan menggelengkan kepalanya. "Tino... Aku tidak lapar, aku nanti bisa mual kalau makan terlalu banyak. Aku tidak mau," seru gadis itu menggelengkan kepalanya lagi. Tino pun tersenyum tipis dan menarik lengan gadis itu dengan pelan. "Makan sekarang, Sayang!" serunya dengan nada menekan dan memaksa. "Pemaksaan sekali, Tino..." gerutu Irish dengan wajah cemberutnya. "Aku mau makan, tapi suapi aku, ya!" "Iya! Aku akan menyuapimu. Sekarang ayo makan dulu," seru Tino lagi. Irish duduk dengan pel
Hari dengan hari berjalan jemu, Irish sering kali merasa kesepian beberapa waktu ini. Suaminya rupanya sangat sibuk, selalu pulang terlambat, dan pergi saat Irish masih tertidur. Bahkan di minggu ketiga di mana Tino selalu sibuk dengan pekerjaan di kantor milik Sebastian kini, Irish merasa benar-benar membutuhkannya di saat dia tidak sehat kondisi tubuhnya. Irish bangun pukul delapan pagi, dan hari ini Tino masih di rumah. Kesempatan yang baik untuk Irish berbincang dengannya. "Sayang..." Suara Irish memanggil dari luar di lantai dasar. Gadis itu mencari-cari, dia menuruni anak tangga dan memperhatikan sekitar yang sepi. Sampai akhirnya langkah Irish benar-benar terhenti di penghujung tangga. "Hari ini jadwal saya akan padat Pak Kyle, boleh diundur sampai hari Senin besok? Tidak ada waktu luang sama sekali, Minggu ini saya juga akan ke luar kota untuk mengecek proyek. Satu jam dari sekarang saya ada meeting!" Suara penuh riuh kesibukan itu membuat Irish kembali menelan kesediha
Keesokan paginya, Irish dan Tino asik menghabiskan waktu untuk mengunjungi beberapa tempat wisata di kawasan Salzburg. Mereka menikmati momen berdua di sebuah taman yang sangat indah. "Andai saja liburannya bisa diperpanjang," ujar Irish menyandarkan kepalanya di pundak Tino. "Aku juga tidak ingin pulang," jawab laki-laki itu mengecup pucuk kepala Irish. "Heem, kita menikmati momen yang indah di sini." Irish mengembuskan napasnya pelan, ia beranjak dari duduknya dan berdiri di hadapan Tino, memegangi satu tangan Tino dan menatap sekitar. Sedangkan Tino masih selalu memperhatikan istrinya dengan tatapan kagum, ia yang selalu mencintai dan menyayangi Irish, tak mungkin bisa berpaling darinya. Sampai tiba-tiba sebuah bole menggelinding di bawah kaki Irish. Gadis itu menatap bola merah di bawah kakinya, sebelum ada seorang anak kecil perempuan yang baru saja bisa berjalan, menuju ke arahnya. "Wahhh, ini bola mi-milikmu ya?" Irish menekuk kedua lututnya dan mengulurkan tangannya me
Hari sudah malam, Tino kali ini bersama dengan Paman Caesar di sebuah rumah kaca setelah ia meninggalkan istrinya yang sibuk berjalan-jalan dengan Bibi Alpen dan juga sopirnya ke kota. Kini Tino berdua saja dengan Paman Caesar, laki-laki itu menuangkan sebuah minuman ke gelas berukuran kecil di hadapan Tino. "Huffttt... Aku tidak pernah menyangka kalau Irish akan memiliki suami sepertimu," ujar Paman Caesar tiba-tiba. "Kenapa begitu, Paman?" tanya Tino menatap laki-laki di depannya itu dengan tatapan tak biasa. Caesar menghela napasnya pelan. "Irish anak yang sangat aneh, Tino. Tidak mudah baginya untuk dekat dengan sembarang orang, Irish... Irish punya masa lalu yang buruk sekalipun dia anak orang terpandang. Makanya aku mengajukanmu, dari keluarga Morgan untuk menjadi suaminya. Aku tahu kau tidak akan menyakitinya." Tino sedikit tercubit dengan kata-kata Caesar barusan, karena pada awalnya dia tidak sebaik ini pada Irish. "Irish tidak gagap, Tino," ujar Caesar lagi. Detak jan
Tino dan Irish benar-benar bepergian bersama ke Salzburg. Mereka berdua sudah sampai di sana beberapa jam yang lalu, dan Paman Caesar lah orang yang menjemput mereka berdua saat ini. Sembari menunggu Paman Caesar, Irish melihat pemandangan sekitar yang memang sangat indah dan jauh dari hiruk pikuk seperti di kota asalnya. "Bagus ya, di sa-sana pegunungan kelihatan," ujar gadis itu menunjuk-nunjuk ke sana dan ke sini."Kau tidak pernah ke sini sama sekali, Sayang?" tanya Tino menatapnya. "Tidak, Mama dan Pa-papa yang sering ke sini. A-aku harus belajar yang gi-giat di rumah. Ja-jadi tidak pernah pergi ke ma-manapun." Tino yang mendengar itu merasa kasihan. Irish memang anak orang sangat terpandang, namun kehidupannya tidak seindah seperti yang Tino bayangkan. "Sekarang kan aku sudah mengajakmu ke sini," ujar laki-laki itu tersenyum. "Heem, tempat yang indah. Rasanya aku tidak mau pulang." Irish mengatakan tanpa gagap sedikitpun seraya memeluk Tino. Perasaan Tino menjadi sedikit
Pagi-pagi sekali Tino datang ke kediaman Sebastian. Ia ingin mengabari Papanya kalau dia ingin liburan beberapa hari di Austria. Sebelumnya Irish terlihat sangat cemas, sepanjang perjalanan mengunjungi kediaman mertuanya, gadis itu terus mengoceh panik kalau Sebastian diam mengizinkan Tino. "Tumben datang ke sini? Biasanya juga sibuk sendiri-sendiri, sampai istri dikurung di rumah!" Kalimat sarkastik itu terucap dari bibir Tiano, yang ternyata sedang datang berkunjung. "Apa kau tidak punya cermin?! Kau sendiri juga tidak akan datang ke sini kalau tidak ditelfon dulu! Memang kau ini tipe-tipe seleb!" maki Tino duduk di sofa bersama istrinya. Irish nampak begitu senang akhirnya ia bertemu lagi dengan Sora, mereka berdua seolah mempunyai dunia sendiri dan berbincang kesenangan menceritakan banyak hal. "Tino, Irish, sebentar lagi kalian akan punya keponakan baru," ujar Shela menatap Tino. "Ke-keponakan baru?" Irish mengerjap bingung. "Iya Sayang, Irish sedang hamil sekarang." Shela
Beberapa hari berlalu, Irish sangat bekerja keras untuk mempersiapkan penampilannya dalam acara sebuah pertunjukan. Hari yang dia tunggu-tunggu pun akhirnya datang. Gadis itu sangat gugup, ia berada di belakang panggung pertunjukan sendirian. Irish perlu menenangkan diri sebelum keluar bersama beberapa temannya. "Huufffttt... Rasanya gu-gugup sekali!" Irish menepuk dadanya berkali-kali dan menarik napasnya dalam-dalam. "Bagaimana ini, bagaimana nanti kalau aku jatuh tiba-tiba?" Wajah Irish menjadi cemberut, gadis itu memainkan jemarinya di lantai sebelum ia merasakan seseorang menyentuh pipinya dari belakang. "Eh..." Irish mendongakkan kepalanya menatap siapa seseorang itu. Ternyata suaminya yang datang, Tino memberikan sebotol air mineral padanya. "Kenapa malah diam di sini, hem?" Tino ikut menekuk lututnya di samping Irish. "Aku masih mengumpulkan keberanian," jawab gadis itu. "Hemm? Mengumpulkan keberanian, kenapa? Kau tidak tampil sendirian. Ada beberapa temanmu yang ikut