Saga segera mempersilahkan masuk ketika mendengar suara pintu diketuk. Ia membayangkan kalau yang akan membuka pintu adalah Reres, mengingat kejadian terakhir kali saat ia merasakan serangan panik seperti ini. Namun jelas saja itu bukan Reres, itu adalah Aira yang berjalan masuk dengan cemas.Saga jadi malas sekali ia merebahkan kepalanya di meja kerja. Kenapa harus Aira? Kenapa bukan Reres saja? Harusnya Reres tahu kalau Saga takkan pernah mencari orang yang meninggalkan dirinya. Orang yang telah pergi jelas tak menginginkannya, maka sejak dulu Saga pantang mencari sesuatu yang hilang dari dirinya."Kamu oke kan?"bertanya dengan cemas kepada Saga yang segera dijawab anggukan kepala oleh pria itu."Ngapain kamu tiba-tiba datang ke sini?" Saya bertanya dengan nada yang ketus. Aira kemudian duduk tepat di depan Saga. Menata pria itu dengan tatapan iba. "Kamu itu bisa ngadepin semuanya Saga. Kamu itu kuat kalau kamu berbesar hati. Kamu harus percaya diri saga, karena kamu adalah pemilik
Saga kini telah berada di dalam klub bersama dengan Lauren. Keduanya menikmati malam itu bersama. Meski tadi sang nenek dan juga mami sempat melarangnya keluar, karena ia baru saja selesai melangsungkan pertunangan. Namun, jelas saja Saga tetap nekat keluar. Sudah malas di rumah. Lagipula, menurut Saga ia sudah menuruti permintaan sang ibu dan nenek untuk bertunangan dengan Aira. Jadi butuh apalagi?Saat sedang menikmati musik, Saga teringat sesuatu. "Kamu bilang mau bilang sesuatu?" tanyanya pada Lauren."Ah, iya.' lauren teringat. Ia lalu mengambil sesuatu dari dalam tasnya dan menyerahkan sebuah cek. "Ini," kata gadis itu."Cek? Buat apa?" tanya Saga"Uang kamu," ucap Lauren. Saga menatap dengan penasaran. "Aku ikhlas kasih kamu selama kita jadian. Jangan kayak gini, kita temen kan?""Ini uang mami kamu. Mami kamu kasih ke aku setelah kita putus. Dia juga minta aku tanda tangan surat perjanjian." Lauren menjelaskan apa yang ingin ia katakan pada Saga. Sejak lama Lauren memang in
Pagi ini Haris sudah rapi dan bersiap untuk melakukan kegiatannya. Haris berniat untuk ke panti asuhan dan melakukan hal yang biasa ia lakukan bersama Reres. Saga dan Haris memiliki cara yang berbeda untuk menaklukan sakit hatinya. Haris ingin mengenang semua hal yang biasa ia dan Reres lakukan, sementara Saga berusaha melupakan dan menjauhkan semuanya. Setelah siap, ia segera berjalan keluar rumah dan menuju mobilnya. Segera melajukan mobil menuju minimarket untuk membeli snack, lalu menuju sebuah tiki sembako di dekat panti asuhan. Memesan bahan makanan juga sembako dengan jumlah yang sama seperti yang biasa Reres pesan. "Mbak Reres, pernah ke sini lagi Pak?" tanya Haris pada pemilik toko. Sang pemilik toko menggelengkan kepalanya. "Kayaknya, terakhir kali itu pas sama Mas beberapa bulan lalu. Tapi, masih telepon dan minta diantar buat panti. Nanti di transfer.""Boleh minta nomornya Pak?" tanya Haris."Maaf, Mbak Reres bilang nomernya rahasia Mas," sahut pemilik toko. Haris jad
Brian membuka pintu, ia mendapati salah seorang anak panti yang berdiri seraya memegang sepucuk surat. Tentu saja anak itu diperintahkan oleh Bu Ida. Ia diperintahkan untuk mengantarkan surat yang dituliskan Haris."Apa?" tanya Brian pada anak laki-laki itu."Surat untuk Kak Reres. Ini dari bu Ida, katanya surat dari Mas Haris." jawab anak laki-laki itu."Oke, terima kasih," ucap Brian kemudian ia menerima surat yang diberikan oleh anak laki-laki itu.Anak itu kemudian segera berlari meninggalkan Brian. Sementara setelah menutup pintu Bryan segera berjalan masuk, kemudian memberikan surat itu pada Reres yang kini tengah dipijat kakinya oleh mbok.Reres menerima kemudian menatap dengan bingung. "Surat apa nih?""Surat dari Bu Ida, katanya dari Haris," jawab Brian kemudian melangkahkan kakinya menuju ruang tamu depan. "Makasih,Bri." Reres mengucapkan."Kalau suratnya bikin sakit hati nggak usah dibaca neng," kata mbok pada Reres. Tentu saja ia khawatir karena keadaan saat ini. Takut ka
Direksi di kantor mulai meributkan mengenai Saga yang tak pernah lagi menghadiri dan memimpin rapat. semua digantikan oleh Nindi atau Ayu. Tentu saja itu aneh sekali, apalagi selalu saja alasannya adalah kesehatan Saga. Itu jelas menjadi desas-desus bahkan, direksi meminta untuk pemilihan CEO ulang karena Saga dianggap tak bisa memimpin perusahaan. Tentu saja itu tak bisa diterima oleh Nindi dan juga Ayu. hanya Saga yang boleh memimpin perusahaan. Dan tak mungkin ada yang lain karena Saga adalah keturunan satu-satunya dari keluarga Manendra. Mana bisa kursi kepemimpinan diberikan pada orang lain? Ayu dan Nindi jelas menolak itu mentah-mentah. "Kamu harus ikut terapi dong Ga," ucap Nindi.Mereka semua kini berada di ruang makan, menikmati santap malam yang seharusnya nikmat menjadi menyebalkan bagi Saga karena celotehan Nindi dan juga Ayu. Saga hanya diam saja, seperti biasa sejak kepergian Reres lebih banyak diam, tak bersuara. Aira menatap pada sang suami, tatapan saga dingin, terk
Aira menatap keluar jendela kamar sambil menatap mobil suaminya yang berlalu keluar melewati pagar rumah. Aira lalu mematikan panggilan tersebut. Selama ini, sejak Saga menyebutkan nama Reres, ia mulai membayar seseorang untuk mencari dan mengawasi pergerakan Reres. Sementara itu kini, Reres bersama bayi pertama yang keluar dari rahimnya, bayi cantik itu di gendong oleh salah seorang suster yang kini berdiri tepat di sampingnya. Rasa haru, bahagia dan syukur tak lepas ia ucapkan dari tadi. Buat air matanya terus saja menetes. Meski belum sadar sepenuhnya ia masih bisa merespon rasanya dengan baik. ""Bayinya Dok," suara suster terdengar cemas. Karena bayi itu mengalam henti napas. Dokter dan suster segera bergegas untuk melakukan penanganan. Reres menatap kembali pada lampu bisa melihat bayi itu tak bergerak, ataupun menangis. Berbeda saat bayi pertamanya keluar tadi, ia segera menggerakkan tangan dan kakinya sambil menangis keras sekali. Sampai kemudian suster dan dokter membawany
Sudah dua bulan ini Reres menghabiskan hidupnya di Bali. Sejak kedua putri kembarnya berusia tiga bulan, ia memutuskan untuk segera pindah. Kemudian membuat sebuah toko sederhana yang menjual makanan beku dan juga brownies buatannya yang kiani dibantu oleh empat orang karyawan. Sehingga ia bisa tetap mengasuh Uca dan Una si kembar yang kini berusia lima bulan. Uca dan Una terlahir kembar, tapi keduanya bukan kembar identik. Uca memiliki mata bulat besar seperti sang ibu, dan Una memiliki mata yang sipit seperti Saga. Uca adalah bayi kedua yang terlahir dengan gagal napas. Beruntung dokter dan suster bisa menangani dengan baik. Sehingga nyawa bayi cantik itu bisa diselamatkan. "Bri istirahat dulu, capek!" seru Reres pada Brian yang tengah mendorong stroller di depannya. Brian menoleh dan menatap dengan kesal. "Tadi sok enggak mau naik mobil," kata Brian mengingatkan. Tadi Reres yang mengatakan kalau ingin berjalan-jalan sekaligus menurunkan berat badannya yang kini kembali seperti
Saga frustrasi, mengacak semua yang berada di kamar hingga buat kamarnya jadi berantakan. Semua bagian dari kamar tak ada yang luput dari perbuatannya mencari surat dari Reres. jadi menyesal sekali tak langsung membaca surat tersebut. Saga kini terduduk di lantai, merutuki kebodohan yang ia lakukan. Kenapa menunda membaca surat itu? Kenapa tak segera membacanya? Juga pertanyaan lain yang membuatnya menyesal sekali. Sementara Aira menatap dengan tatapan yang sulit diartikan. Ada amarah, kecewa, cemburu entah apa yang ia rasakan. Hanya menatap Saga di sudut kamar, berdiri sambil melipat tangannya di depan dada. "Udah bikin keributannya?" tanya Aira.Saga melirik Aira, kemudian menatap Aira dengan tatapan kesal. "Kamu kan yang bawa surat itu?""Surat apa sih?!" tanya Aira lagi karena terus saja disalahkan. "Surat dari Reres? Sampai segitunya.'Saga berdiri, kemudian dengan cepat menghampiri Aira. "Di mana?" tanya Saga menekankan."Aku enggak tau," jawab Aira lalu memalingkan wajahnya