Share

2. Buat Dia Hamil!

Penulis: Hanazawa Easzy
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

“Dirgantara Artha Graha, itu nama yang luar biasa. Selamat atas peresmian perusahaan barumu, Hans.”

Pria yang dipanggil Hans mengangguk sambil tersenyum, mengangkat gelasnya untuk bersulang. Musik menghentak terdengar memekakkan telinga bersama kelap-kelip lampu berbagai warna yang membuat silau mata. 

Hans dan Felix duduk di lantai dua sambil menatap ke arah lantai dansa sebuah kelab malam elit ibu kota.

“Pilihlah satu di antara gadis-gadis itu. Aku akan membawakannya padamu. Mereka tidak akan keberatan menghabiskan malam dengan pria tampan sepertimu,” ujar Felix sambil menenggak wine miliknya, mengerling Hans yang justru menggelengkan kepala.

“Tidak perlu sungkan. Just one night stand. Tidak akan ada yang menuntut pertanggung jawaban. Semua atas dasar suka sama suka.”

Hans tersenyum tanpa menanggapinya, berkeliling menatap kelab milik sahabatnya yang semakin ramai saat melewati tengah malam.

“Karena kamu malu-malu, biarkan aku yang menentukan.”

Pria dengan kemeja navy itu memicingkan mata, mencari mangsa terbaik yang bisa dihadiahkan kepada sahabatnya. One night stand, dosa terindah yang pasti ada di dalam kepala Casanova sekelas Felix yang tak pernah tertarik berkomitmen dengan seorang wanita.

“Hans, bagaimana dengan gadis itu?” tanya Felix menunjuk seorang gadis mungil dalam balutan baju you can see warna merah yang tengah meliukkan badannya. 

“Aku mengenalnya,” imbuh pria yang kini menyesap minuman beralkohol di depannya satu seloki lagi.

“Lupakan saja,” jawab Hans sambil menggeleng. “Aku tidak tertarik.”

“Ayolah, Hans. Berapa usiamu? Kau bahkan belum pernah tidur dengan sorang wanita. Itu memalukan. Orang-orang akan berpikir milikmu tidak bisa berguna sebagaimana mestinya.”

“Sial!” 

Hans tertawa sambil meninju sahabatnya. Mereka saling mengenal sejak kecil, bahkan tumbuh di lingkungan yang sama. Pewaris tunggal masing-masing keluarga yang bergelimang harta. Melontarkan cemooh sepele seperti itu adalah hal yang biasa.

Yang membuat keduanya berbeda adalah gaya hidup yang dijalani setelah dewasa. Felix sangat menikmati kebebasannya, bermain dengan setiap wanita setiap malam tanpa memikirkan konsekuensinya. Dia tahu betul cara menggunakan harta miliknya untuk memanjakan korban sebelum diajak menghabiskan malam bersama.

Sebaliknya, Hans menjaga dirinya dari hal-hal serupa. Kesibukan mengurus perusahaan dan bisnis keluarga benar-benar membuatnya tidak suka bermain wanita. Bahkan, bisa dibilang dia tidak memiliki satu pun teman lawan jenis.

“Aku datang untuk menemuimu, bukan bermain-main dengan gadis-gadis itu. Lagi pula, apa aku harus mencicipi gadis yang pernah merintih di bawah tubuhmu? Itu memalukan. Aku tidak mau mendapat bekasan!”

“Kamu mau yang masih perawan? Akan aku carikan!”

“Hey!” sentak Hans sambil menarik kerah kemeja Felix yang membuat keduanya tertawa bersama.

“Kamu benar-benar anak Mama, Hans.”

Hans mengangkat kedua bahunya, tidak keberatan dengan sebutan itu. 

“Berhentilah mengajakku mencicipi mereka. Kalau kau mau, ambil saja.”

Felix tertawa, menghabiskan minuman di gelasnya sekali teguk. Tanpa Hans memerintahkan hal itu, dia akan melakukannya dengan senang hati.

“Jadi, bagaimana caramu mendapatkan pendamping hidup? Perjodohan bisnis atau kencan buta?"

Hans menggeleng, “Tidak keduanya. Mama membebaskanku memilih sendiri."

"Lantas?" Satu alis Felix naik, menakar seberapa jauh kisah asmara Hans. Selama ini, tidak ada satu pun wanita yang berhasil menarik perhatiannya.

"Ada seseorang yang kusuka, tapi sulit untuk didekati.”

“Heih?! Siapa?” Degup jantung Felix berdetak lebih cepat. 25 tahun mengenal Hans, baru kali ini dia mendengar pria itu tertarik pada seseorang. 

"Apa aku mengenalnya?" kejar Felix semakin penasaran.

Hans mengangguk samar sebelum menjawab, "Evalia Ayu Lesmana. Aku yakin kau masih mengingatnya.”

Kening Felix berkerut seketika.

“Evalia?”

Hans mengangguk dua kali.

“Gadis fakultas kedokteran yang pernah menolongmu itu?”

Hans mengangguk. Senyum simpul tidak bisa disembunyikan dari kedua sudut bibirnya. Namun, hal yang sebaliknya terlihat dari wajah Felix yang tidak percaya dengan pengakuan sahabatnya.

Ingatannya terlempar jauh pada memori saat pertama kali bertemu dengan Eva. Atap plafon terjatuh membuat Hans dan beberapa mahasiswa terluka. Secara kebetulan, Eva—yang merupakan mahasiswa kedokteran tahun pertama, menolong Hans dan membalut luka di dahinya. Sejak saat itulah benih-benih cinta tumbuh di hati seorang Hans Dirgantara. Cinta pada pandangan pertama. Tahun-tahun berlalu, ternyata rasa itu masih ada.

“Dia hanya gadis yatim piatu, masuk ke kampus kita dengan beasiswa penuh. Bukan golongan orang berada.” Felix menyuarakan isi kepalanya, kembali tersadar dari lamunan singkatnya.

“Apa masalahnya? Dia cantik dan baik. Mama akan menyukainya.”

Felix meraup wajahnya, kesulitan mencari kata yang tepat untuk menyadarkan Hans dari asmara yang mulai menggerogoti kewarasannya. Menyatukan dua orang berbeda kasta tidak semudah bayangan sahabatnya.

“Gadis itu terlalu dingin, tidak tertarik pada pria. Bagaimana caramu mendapatkannya?”

“Entahlah. Untuk itulah aku datang padamu. Kau paling mengerti cara untuk menaklukkan wanita.”

Felix terkekeh lirih. Seringai miring terlihat di bibir tipisnya, menatap Hans dengan seribu satu ide licik di dalam kepala.

“Kalau kamu bertanya padaku, tidak ada cara tercepat mendapatkan Eva kecuali membuat dia hamil! Kamu pasti akan mendapatkannya.”

Hans terkesiap, menatap Felix dengan kening berkerut.

“Felix, kita sudah membahasnya. Kau tahu aku tidak akan melakukan hal-hal seperti itu.”

Hans menyingkir dari hadapan sahabatnya, menatap lantai dansa yang semakin ramai sesak oleh manusia. Dia sama sekali tidak setuju dengan pemikiran sesat itu.

“Aku bisa mengatur semuanya jika kamu bersedia.”

"Tidak. Jangan melakukan hal yang tidak-tidak. Aku akan mendekatinya perlahan.”

“Mendekatinya perlahan? Yang benar saja!” Felix tertawa hambar, merasa tidak yakin dengan ucapan Hans. “Bagaimana caranya?”

Bab terkait

  • Baby CEO: Kehamilan yang Tak Diinginkan   3. Awal Kesalahan Bermula

    Eva melemaskan otot lehernya setelah memindahkan begitu banyak berkas seorang diri. Sebagai dokter magang yang baru bergabung di rumah sakit ini, dia harus mau disuruh apa saja. Termasuk membawa catatan fisik pasien ke ruang arsip dan mengaturnya sedemikian rupa. "Kau lelah?" Hans menghampiri Eva dan mengulurkan soft drink dingin. Sebuah senyum terukir di bibirnya, menampilkan lesung pipi yang cukup manis dan menambah ketampanan pria itu. Dia sengaja mampir ke rumah sakit untuk melihat pujaan hatinya. "Untukmu," jelasnya saat melihat Eva tak lantas mengambil minuman itu, justru menatapnya dengan pandangan heran. "Ah, aku kebetulan ada urusan dengan kepala rumah sakit dan tidak sengaja melihatmu. Apa kau masih mengingatku? Kita pertama kali bertemu di kelas bahasa." Hans menunjuk keningnya yang dulu pernah mendapat perawatan Eva. "Maaf," ucap Eva sebelum berbalik. Dia tidak mengenali pria di hadapannya. Namun, Hans dengan cepat kembali menghadangnya dan menjelaskan detail pertemuan

  • Baby CEO: Kehamilan yang Tak Diinginkan   4. Ungkapan Cinta Tak Terduga

    “Dasar gadis miskin tidak tahu diri!” Plak! Sebuah tamparan mendarat di wajah Eva, membuat rasa panas dan perih segera merayap di pipinya. Tanpa membuat kesalahan berarti, dia mendapat perlakuan tidak menyenangkan dari gadis yang bahkan tak dikenalnya. Di sisi lain, dua orang pria sedang duduk santai di lantai dua saat seorang pelayan datang dengan tergesa. Langkahnya hampir seperti berlari, melewati dua anak tangga sekaligus. “Tu … Tuan Muda!” Suaranya tercekat di tenggorokan saat mencoba berbicara. Napasnya terengah-engah, kesulitan menyuarakan rangkaian kata di kepala. Felix yang pertama kali menoleh, menaikkan sebelah alisnya. “Ada apa?” Hans membenahi lengan kemejanya, mendekat ke arah pintu yang terbuka tanpa diketuk dulu sebelumnya. “Ada … ada yang bertengkar, Tuan. Anda harus segera turun.” Tanpa membuang waktu lebih lama, Hans dan Felix berlari menuruni anak tangga seolah berkejaran dengan waktu yang ada. Mereka masih harus melewati ruang tengah yang luas sebelum samp

  • Baby CEO: Kehamilan yang Tak Diinginkan   5. Pelampiasan

    “Sayang, Hans bicara denganmu. Apa kamu ingin membiarkannya terus berlutut seperti itu?” Berbagai pemikiran Eva segera terjeda, menatap Kuina yang kembali memeluk lengannya seperti saat mereka bergabung kembali ke tempat itu. “Tidak ada yang memaksamu menerima pernyataan cinta bocah itu, tapi setidaknya kamu bisa membuatnya berdiri,” bisiknya lebih lanjut. Hans merendahkan dirinya, mengungkapkan perasaan yang tidak bisa disembunyikan lagi. Dia ingin Eva tahu bahwa dirinya adalah seseorang yang spesial. Semua gadis yang ada di sana melihat adegan romantis di depan mereka dengan tatapan iri. Tidak sedikit yang berharap bisa bertukar posisi dengan gadis yang sampai saat ini masih bungkam seribu bahasa. Hans Dirgantara memiliki semua yang diidam-idamkan wanita. Tampan, pekerja keras, lembut, juga masa depan yang cemerlang sebagai pemilik sekaligus pendiri sebuah perusahaan multinasional. Belum lagi ayah dan ibunya yang terkenal dengan kebaikan hatinya, tidak memandang orang lain berda

  • Baby CEO: Kehamilan yang Tak Diinginkan   6. Niat Jahat

    "Eva, ini sudah terlalu larut. Menginap saja di asrama. Kamu bisa kembali besok pagi." Seorang dokter dengan name tag bertuliskan Arvin Faaz tampak khawatir menatap gadis bertubuh mungil di hadapannya. Sebagai senior sekaligus penanggung jawab koasisten, dia harus memastikan anggotanya tetap aman. "Anda terlalu banyak berpikir, Dokter. Lagi pula, rumah saya tidak jauh, hanya lima menit berjalan kaki dari sini. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan." "Lampu di ujung jalan rusak. Bisa saja—" "Dokter Arvin, apa Anda lupa kalau saya bukan lagi anak kecil yang takut gelap?" Pria berkacamata tebal itu tak lantas menjawab. Raut khawatir masih terlihat di wajahnya, bimbang antara mengantarkan Evalia sampai kamar kosnya atau tetap berjaga di ruang gawat darurat untuk mengantisipasi pasien yang datang tiba-tiba. "Tunggu di sini. Aku akan mengantarmu, lagi pula sedang tidak ada pasien darurat sekarang." "Tidak perlu, Dokter. Tugas Anda lebih penting di sini." "Eva ...." Sekali lagi Arvin mena

  • Baby CEO: Kehamilan yang Tak Diinginkan   7. Di Bawah Pengaruh Alkohol

    “Eva, buka pintunya! Apa kamu di dalam?” Arvin terus mengetuk pintu di depannya, berharap Eva muncul dan mengikis prasangka buruknya tentang apa yang terjadi. Namun, harapannya itu tak pernah terjadi. Pintu tak pernah terbuka, bahkan tak ada sepatu Eva yang menandakan gadis itu sudah pulang. "Astaga, apa yang terjadi dengannya?" Untuk ke sekian kali, Arvin menghubungi nomor ponsel dokter muda bimbingannya itu. Sayang, hanya operator ponsel yang terdengar berkali-kali menjawabnya. Tanpa pikir panjang, pria dengan kacamata tebal itu kembali berlari ke arah jalan pintas yang menghubungkan rumah sakit dengan perumahan padat penduduk tempat Eva tinggal. Langkahnya terhenti di di bawah lampu jalan yang rusak dan belum sempat diperbaiki oleh petugas. Dengan gemetar tangannya kembali menekan nomor ponsel Eva. Saat itulah matanya melihat sebuah benda pipih menyala, tergeletak tak jauh dari kakinya. "Ponsel milik Eva!" Arvin berlari ke arah rumah sakit dan segera melaporkan kejadian menghi

  • Baby CEO: Kehamilan yang Tak Diinginkan   8. Felix Dalangnya!

    "Argh! Kenapa kepalaku sakit sekali?" keluh Hans saat tersadar dari tidur panjangnya. Rasa pening menghantam kepala, seperti ada palu godam yang membebani. Meski begitu, ada kepuasan yang tidak diketahui penyebabnya. "Kamu suka hadiah dariku, Hans?" Suara Felix berhasil membuat Hanson Dirgantara membuka matanya, mengerjap dua kali untuk menyesuaikan cahaya yang memasuki indra penglihatannya. "Hadiah?" Felix terkekeh, duduk di kursi sofa dengan begitu santai dan menyilangkan kakinya. Sebuah senyum licik juga terukir di wajah tampannya. "Untuk apa kau di sini?" Hans menatap sekelilingnya, mengamati dekorasi ruangan yang tampak asing. Namun, saat mencoba mengingat kenapa dia ada di sana, seperti ada kabut tebal yang menghalangi memorinya. "Kamu mabuk semalam," gumam Felix sambil menyerahkan segelas minuman yang terbuat dari jahe. Uap panas masih mengebul di atasnya, menguar sebelum menghilang tiga detik berikutnya. Hans menyesapnya sedikit sambil menggali ingatannya. Dia ada di kela

  • Baby CEO: Kehamilan yang Tak Diinginkan   9. Nasi Sudah Menjadi Bubur

    “Seberapa efektif obat ini untuk mencegah kehamilan?” “Apa maksudmu, Ev? Ini ….” “Tolong jawab sejujurnya, Dok. Saya mohon.” Arvin harus meneguk ludah untuk membasahi kerongkongannya. Melihat kesungguhan gadis di hadapannya, dia harus menarik napas dalam agar tetap tenang dan tidak kehilangan akal sehatnya. Semalam suntuk Arvin ke sana kemari mencari Eva, bahkan tiga kali pulang pergi ke kantor polisi untuk mencari keberadaan Eva. Pagi ini, saat dirinya berada di ambang rasa putus asa, gadis itu tiba-tiba muncul di depan klinik dan menodongnya dengan pertanyaan yang tidak terduga, menanyakan seberapa efektif obat kontrasepsi darurat di tangannya. “Mari kita bicarakan di dalam.” “Waktu saya terbatas, Dok.” “Masuk dan kita bicara di dalam atau tidak sama sekali.” Eva menggigit bibir bawahnya, ragu antara masuk atau memilih pergi saja dari sana. Terlebih, Arvin pria lajang yang tinggal sendirian. Dia takut akan menimbulkan fitnah. “Tunggu apa lagi?” Arvin kembali dan mengonfirma

  • Baby CEO: Kehamilan yang Tak Diinginkan   Bab 10. Kemarahan Arvin

    "Aku akan menikahimu," ucap Hans sedikit berteriak yang membuat Eva menghentikan langkah. Telinganya dengan jelas menangkap ucapan Hans, juga berhasil membuat beberapa orang menoleh ke arah mereka. Eva tak menjawab, menggigit bibir sambil mengepalkan tangan erat-erat di samping badan. Dadanya bergemuruh, semakin muak dengan Hans yang keras kepala dan selalu menghantuinya. "Aku tidak akan melepaskan tanggung jawabku begitu saja. Dengan atau tanpa persetujuanmu, aku akan tetap mendaftarkan pernikahan kita." Hans mencengkeram tangan Eva, bersiap menariknya pergi dari pelataran rumah sakit saat sebuah tangan menahannya. "Lepaskan dia." Hans menoleh dan mendapati seorang pria dengan kacamata tebal tengah menatap ke arahnya. "Telingamu berfungsi dengan baik, bukan? Lepaskan tanganmu sekarang juga! Jangan membuat gaduh di rumah sakit dan jangan mengganggunya." Gemeletuk gigi Hans terdengar saling beradu, merasa terusik dengan kehadiran pria tak dikenal yang berusaha mencampuri urusannya

Bab terbaru

  • Baby CEO: Kehamilan yang Tak Diinginkan   Bab 59. Perdarahan

    “Nyonya, ada tamu untuk Anda.”Eva mengangguk, menyangga perut besarnya sambil keluar dari kamar. Tampak Liliana tersenyum menyambutnya.“Apa kabar, Eva? Lama tidak bertemu,” sapanya sambil mendekati Eva dan memberikan pelukan hangat. Namun, tangan Eva tak menyambutnya.“Silakan duduk. Apa yang membawamu kemari?” tanyanya to the point.Liliana terbiasa mendapati sikap Eva yang cukup pendiam, tidak menyadari bahwa sandiwaranya telah terungkap. Hans sudah menceritakan semuanya, termasuk menegaskan bahwa Liliana ada di bawah pengawasan pria itu.“Sebentar lagi hari persalinanmu, bukan? Aku membawakan makanan enak untukmu selagi kamu bisa makan bebas. Setelah bersalin nanti, kamu nggak mungkin makan sembarangan.”Sebelum sempat Eva merespons, Liliana dengan tidak tahu diri langsung berjalan ke arah dapur dan mengambil mangkuk.“Cicipi sedikit saja, Eve. Kamu pasti suka,” ucap Liliana sambil mendekatkan sendok di tangannya ke arah Eva setelah keduanya duduk berdekatan di atas sofa.“Maaf,

  • Baby CEO: Kehamilan yang Tak Diinginkan   Bab 58. Kepercayaan Hans dan Kuina

    "Tuan, ada kabar buruk!" Bram memasuki ruang kerja Hans tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu. Ada hal lain yang lebih penting yang harus disampaikan kepada pria itu. Hans mengangkat wajahnya dan bertanya, "Ada apa?" Bram meletakkan lembaran foto yang tersebar ke seluruh karyawan ke atas meja, menampilkan foto-foto Arvin yang sedang menggenggam tangan Eva. Gosip segera merebak di antara ratusan karyawan Dirgantara Artha Graha itu. "Seorang anonim mengirimkan ini di web sebelum salah satu karyawan kita meneruskannya ke grup obrolan. Mereka mengira itu suami Nyonya Eva dan memberikan pujian karena melihat kemesraan keduanya." Hans bungkam, menyipitkan matanya demi menatap potret itu sekali lagi. Dilihat dari sudut pandang orang luar, memang tidak mungkin keduanya tidak memiliki hubungan. Pria dengan kacamata tebal itu sedang meniup luka di punggung tangan Eva yang sedang mengelus perut sambil menatap sayu ke arah si pria. "Apa yang harus saya lakukan, Tuan?" tanya Bram setelah men

  • Baby CEO: Kehamilan yang Tak Diinginkan   Bab 57. Siasat Licik Liliana

    "Presdir, ini jadwal Anda hari ini," ucap Liliana sambil meletakkan komputer tablet di tangannya ke depan Hans setelah dipersilakan memasuki ruangan. "Aku sudah mendapat salinannya dari Bram, tidak perlu merepotkanmu. Untuk ke depannya, tidak perlu masuk ke ruangan ini tanpa panggilan dariku karena mulai hari ini kamu bukan sekretaris utama lagi." Liliana menelan ludah dengan paksa, menyadari sikap atasannya begitu dingin. "Kenapa masih di sini?" "Ah, maaf. Apa saya membuat kesalahan sampai Presdir memindahkan saya ke divisi lain?" "Kau tidak menyadari kesalahanmu?" Liliana menggeleng dengan wajah polos. Gadis itu tentu saja sadar, tapi dia ingin tahu sejauh mana Hanson menyadari rencana liciknya. Mungkin ada sedikit celah yang bisa dia manfaatkan. "Jangan pernah berpikir berlebihan. Istriku hanya Evalia Lesmana selamanya." Dengan wajah tertunduk menahan malu, Liliana meninggalkan Hans. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, dia membereskan barang-barangnya di meja dan men

  • Baby CEO: Kehamilan yang Tak Diinginkan   Bab 56. Tidak Habis Pikir

    “Jadi, kalian bertiga berkomplot menipuku?” tanya Eva sambil menghempas tangan Hans yang sedari tadi menggenggam jemarinya erat-erat sambil menjelaskan hubungan Liliana dan Felix selama ini.“Eve, aku tidak pernah berniat untuk—”“Faktanya, dia mendekatiku karena membantumu!”“Ya, itu benar. Aku minta maaf karena memanfaatkan hubungan kalian, tapi saat itu aku sangat mengkhawatirkanmu dan kau menolak untuk bertemu denganku.”Eva mendengkus, mengubah posisi duduknya jadi membelakangi Hans. Kakinya terulur ke lantai yang dingin.Seketika itu juga, Hans turun dari ranjang dan mengambil sandal rumah milik Eva dan memakaikannya. Namun, wanita yang terlanjur emosi itu menendangnya dengan sengaja. Dia berjalan menjauh dari ranjang dengan bertelanjang kaki.“Eve, dengarkan dulu.”“Aku tidak ingin mendengar apa pun. Diam dan enyahlah dariku!”Hans tidak melawan saat Eva menyingkirkannya. Dia hanya bisa menatap punggung wanita itu keluar dari kamar dan menuju dapur.Segelas air putih langsung d

  • Baby CEO: Kehamilan yang Tak Diinginkan   Bab 55. Runtuhnya Dinding Tak Kasat Mata

    Saat Hans membuka pintu kamar, semerbak aroma harum menyapa indra penciumannya. Seulas senyum terkembang di wajahnya yang tampan.“Selamat malam, Sayang,” sapa Hans sambil mendekap tubuh Eva yang sedang berdiri di depan lemari, mencari piyama. Tangannya melekat erat di perut buncit wanita itu sambil menyesap leher jenjang yang tak tertutup apa pun.Eva baru selesai berendam. Rambut panjangnya sengaja diikat tinggi di atas kepala agar tidak basah. Siapa sangka, Hans pulang sebelum dia bisa merapikannya.“Kamu sudah pulang,” ujarnya sambil menoleh, mendapati wajah tampan yang hampir bersentuhan dengan hidungnya.“Kenapa mandi di tengah malam begini, hmm?” bisiknya di telinga Eva sambil sesekali melumatnya.Degup jantung Eva tak terkendali mendapat perlakuan seperti itu, membuat wajahnya memerah. Bagaimanapun juga, meski masih belum mencintai Hans, dia tidak bisa menolak pesona pria itu. Terlebih, dirinya juga seorang wanita dewasa.Berbulan-bulan mencoba mengabaikan kebutuhan biologisny

  • Baby CEO: Kehamilan yang Tak Diinginkan   Bab 54. Rencana Gagal

    “Hans, akhirnya kita bertemu lagi.”Pemilik resort sekaligus event organizer berusia awal empat puluh tahunan itu langsung menjabat tangan Hans, bahkan memeluknya seperti seorang sahabat yang lama tidak bertemu.“Apa kabar, Dam? Masih betah menyendiri seperti sebelumnya?” balas Hans, memicu tawa mereka berdua.Satu-dua obrolan mengalir lancar, tidak terasa canggung sama sekali. Sebaliknya, Liliana tercengang di posisinya. Dia tidak menyangka Hans dan Adam saling mengenal satu sama lain.“Sudah, kita lanjutkan obrolannya lagi nanti. Jangan sungkan. Ayo duduk.”Hans menempati sebuah kursi, menyisakan Liliana yang masih mematung di tempatnya. Dia terkejut, tidak pernah melihat Hans berpelukan dengan orang lain, terlebih rekan bisnis. Pria itu selalu menjaga jarak dengan orang lain.“Ah, Nona Liliana, kenapa masih diam di sana? Ayo silakan duduk.”Liliana tergagap, “Ba … baik,” jawabnya sambil melirik Hans setelah terpaksa mengulas senyum canggung. Jauh di lubuk hatinya, dia masih bertany

  • Baby CEO: Kehamilan yang Tak Diinginkan   Bab 53. Percayalah Padaku

    “Presdir, sudah waktunya pergi ke tempat pertemuan.” Suara Liliana terdengar jernih, menghalangi Hans yang berniat pergi menemui Eva.“Aku tahu. Kau siapkan dokumennya, kita bertemu di lobi.”“Baik,” jawab Lily dengan senyum lebar di wajahnya. Sejak sebulan terakhir, dia semakin banyak berkontribusi untuk bisnis Hans. Dia mendapat promosi untuk menjadi sekretaris utama, menggantikan sekretaris sebelumnya yang dipindahkan ke kantor cabang.Bram segera mengikuti Hans, menekan tombol lift dan membiarkan tuannya masuk terlebih dahulu.“Presdir, ada sesuatu yang ingin saya sampaikan,” ucapnya saat lift mulai bergerak turun.“Ada apa?”“Sepertinya Liliana memiliki maksud tersembunyi dengan Anda.”Kening Hans berkerut, menoleh dan menatap asisten pribadinya.“Jangan asal bicara atau menduga-duga.”Bram menggeleng, mendekat ke arah Hans dengan wajah serius.“Saya juga tidak ingin mempercayainya, tapi dia sudah memesan kamar atas nama Anda di hotel Pacific.”“Memesan kamar untukku?”“Benar. Jik

  • Baby CEO: Kehamilan yang Tak Diinginkan   Bab 52. Menjadi Orang Ketiga

    "Selamat pagi, Tuan, Nyonya," sapa asisten rumah tangga yang melihat Hans dan Eva turun dari lantai dua. Keduanya berjalan bersisian, dengan tangan Hans memegangi lengan istrinya."Selamat pagi. Bibi, apa sarapannya sudah siap?" balas Eva sambil mendekat ke arah meja makan dan melihat hidangan yang sudha tersaji di sana."Sudah, Nyonya. Silakan.""Terima kasih banyak. Tolong panggilkan Liliana untuk makan bersama."Wanita paruh baya itu mengangguk, segera mengetuk pintu kamar tamu dan menyampaikan maksudnya."Kau sangat dekat dengannya?" tanya Hans sambil melirik ke arah Liliana yang baru saja membuka pintu."Bisa dibilang begitu. Dia satu-satunya temanku.""Hanya teman?"Eva mengangguk, "Ya. Teman baik.""Bukan sahabat?" selidik Hans ingin tahu."Apa bedanya? Kami saling membantu satu sama lain saat membutuhkan. Itu sudah cukup. Entah namanya teman atau sahabat, itu hanya sebutan saja."Hans mengangguk, menyadari istrinya tidak terlalu dekat dengan Liliana. Mereka terhubung karena per

  • Baby CEO: Kehamilan yang Tak Diinginkan   Bab 51. Menolong Liliana

    “Lepaskan tangan kotormu dari wanita itu!”Suara Hans terdengar bersamaan tangan yang mencekal lengan pria berjaket kulit di depannya. Tatapan tajamnya jelas menunjukkan kekuasaan mutlak yang dimiliki.“Siapa kamu? Jangan ikut campur urusanku dengan jal—”Plak!Belum selesai berbicara, Hans sudah lebih dulu menggunakan punggung tangannya untuk menampar wajah pria itu.“Sial. Apa urusanmu dengannya, hah? Dia pasangan kencanku!” protesnya setelah meludah ke samping dengan wajah merah menahan marah.“Dia sekretarisku. Siapa pun yang menyakiti orang-orangku, aku berhadapan langsung denganku. Jangan berpikir untuk menindasnya atau kau tidak akan bertahan hidup lagi di kota ini.”Pria pasangan kencan buta itu tertawa, sama sekali tidak percaya dengan ucapan Hans.“Kalaupun benar dia sekretarismu, kamu tidak ada urusan lagi karena ini bukan lagi jam kerja. Yang harus pergi itu kamu. Jangan mengganggu kencan kami!”Liliana refleks meraih lengan Hans dan menunjukkan gelengan kepala sambil mengg

DMCA.com Protection Status