Argh! Nyebelin banget sih! Jangan lupa tambahkan buku ini ke rak bacaan kalian, yaa supaya tahu sudah update. Boleh juga kepoin sosial media author, search aja hanazawa.hana Selamat membaca. Sampai jumpa bab berikutnya!
"Aku akan menikahimu," ucap Hans sedikit berteriak yang membuat Eva menghentikan langkah. Telinganya dengan jelas menangkap ucapan Hans, juga berhasil membuat beberapa orang menoleh ke arah mereka. Eva tak menjawab, menggigit bibir sambil mengepalkan tangan erat-erat di samping badan. Dadanya bergemuruh, semakin muak dengan Hans yang keras kepala dan selalu menghantuinya. "Aku tidak akan melepaskan tanggung jawabku begitu saja. Dengan atau tanpa persetujuanmu, aku akan tetap mendaftarkan pernikahan kita." Hans mencengkeram tangan Eva, bersiap menariknya pergi dari pelataran rumah sakit saat sebuah tangan menahannya. "Lepaskan dia." Hans menoleh dan mendapati seorang pria dengan kacamata tebal tengah menatap ke arahnya. "Telingamu berfungsi dengan baik, bukan? Lepaskan tanganmu sekarang juga! Jangan membuat gaduh di rumah sakit dan jangan mengganggunya." Gemeletuk gigi Hans terdengar saling beradu, merasa terusik dengan kehadiran pria tak dikenal yang berusaha mencampuri urusannya
“Dia yang menyentuhmu semalam?” tanya Arvin saat tinggal berdua dengan Eva di ruang istirahatnya, lantai tiga rumah sakit Mitra Sejahtera. Eva memejamkan mata, menarik napas dalam-dalam demi menjaga kewarasannya yang tak seberapa. Melihat Hans berkeliaran di sekitarnya saja sudah membuat masalah, terlebih pria itu dengan gamblang mengakui perbuatan biadabnya di depan Arvin. “Ev, aku bisa membantumu mengurus masalah itu. Meskipun—” “Tidak perlu.” “Eva, aku ikut bersalah karena tidak bisa melindungimu. Seandainya semalam aku mengantarmu, hal buruk itu tidak akan terjadi.” “Tidak ada seandainya dalam hidup ini, Dokter. Anda tidak perlu merasa bersalah untuk hal itu. Bahkan, jika Anda tetap bersama saya, mungkin sekarang Anda ikut menerima akibatnya.” Arvin melepas kacamata tebal dan meletakkannya di meja dengan sedikit keras, mulai frustrasi bicara dengan gadis keras kepala yang berwajah dingin di hadapannya. “Apa yang terjadi antara saya dan laki-laki itu, tidak ada hubungannya de
Warning! Adult Content! “Jadi, maksudmu aku harus mendekati Eva untuk mengawasi gerak-geriknya?” tanya Liliana, gadis dengan mini dress ketat warna merah yang menggoyangkan gelas anggur berisi cairan merah keunguan di tangannya. “Betul. Aku ingin tahu dia hamil atau tidak.” Tawa sumbang terdengar detik berikutnya. Liliana menghabiskan minuman dengan kadar alkohol cukup tinggi itu dalam sekali teguk. Ada rasa cemburu yang menggugah emosinya karena Felix membicarakan wanita lain. “Kamu pikir aku akan bersedia melakukannya? Naif sekali pemikiranmu itu.” “Kamu tidak akan bisa menolaknya, Li. Aku tahu itu.” “Siapa bilang? Kita tidak ada hubungan apa pun sekarang. Aku tidak akan menuruti kehendakmu seperti dulu.” Liliana meletakkan gelasnya dengan sedikit kasar dan beranjak dari sana. Namun, Felix tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan yang ada. Pria dengan kemeja biru tua itu menarik tangan Liliana dan memaksanya duduk di pangkuan. “Apa yang—” Liliana terkejut dan bersiap protes, tet
Eva keluar dari ruang pertemuan dengan langkah yang terasa begitu berat. Seluruh tabungan yang dia tawarkan, tidak bisa menandingi orang yang bertekad membeli panti asuhan. Terlebih, pria itu menjanjikan relokasi di tempat baru yang lebih luas, mewah, dengan segala fasilitas pendukung.“Maafkan Ibu, Nak. Ibu tidak tahu lagi bagaimana menyelesaikan masalah ini. Kamu tahu, mengumpulkan uang sebanyak itu tidak akan mudah. Lagipula, harga yang mereka tawarkan juga cukup menguntungkan. Kita akan bisa membuat kenangan yang lebih indah di tempat baru."Kalimat Mariana kembali terngiang-ngiang, membawa ingatan Eva pada masa kanak-kanaknya di tempat itu belasan tahun yang lalu."Aku tidak tahu kenapa rasanya sesakit ini. Hanya panti ini tempatku pulang saat merasa putus asa hidup di ibu kota. Setelah diratakan dengan tanah, semua kenangan itu juga akan sirna," gumam Eva, berusaha menahan air mata dengan menengadahkan kepala. Dadanya terasa sesak. Dia sudah berencana akan mengundurkan diri dari
"Tapi kamu tahu Eva tidak pernah mencintai Hans. Pernikahan seperti apa yang akan mereka—""Aku tahu, tapi itu di luar kendaliku.""Hey!" Liliana menjauhkan diri dari dekapan Felix, menatap pria itu dengan kening berkerut. Berbagai tanya memenuhi kepala, berusaha memahami sosok yang tidak memiliki hubungan asmara dengannya selain teman berbagi peluh bersama. Masing-masing menjadi candu untuk satu sama lain."Sebagai sahabat, aku hanya ingin membantu Hans mendapatkan gadis kesayangannya. Dan sebagai seorang pria, aku berniat bertanggung jawab karena sudah menjebak mereka. Bisa dibilang, Eva hamil karena kesalahanku, kan?"Liliana mendengus sambil membuang muka. Bola matanya memutar karena jengah."Jika kamu merasa bersalah, kamu tidak akan bertindak lebih jauh dengan melibatkan panti asuhan. Dasar bedebah licik!"Bukannya tersinggung, Felix justru tertawa. Pembahasan itu semakin melebar, termasuk mengenai rencana mereka ke depannya. Felix yakin, lambat laun Eva pasti mulai menunjukkan
"Sial!" Hans menendang pintu di depannya, membuat asisten pribadinya terhenyak dan langsung siap siaga. Pun sama dengan seorang sekretaris di belakang meja yang langsung berdiri dengan kepala tertunduk. Keduanya tak berani bersuara, membiarkan atasannya mengucapkan sumpah serapah sambil memasuki ruangannya. Sosok Hanson Dirgantara yang terkenal ramah dan selalu tenang, tak lagi terlihat. Pria itu menjadi temperamental dan tidak bisa mengendalikan emosinya karena sakit hati terhadap Eva. Terlebih, dia melihat dengan mata kepalanya sendiri saat Arvin memeluk Eva. "Apa kurangku sampai kamu lebih memilih pria itu, hah?!" Hans melepaskan dasi yang terasa mencekik lehernya dan membuang benda itu ke lantai sambil berteriak sekuat tenaga. Egonya terluka, kembali mengingat penolakan Eva malam itu di rumahnya. Detik berikutnya, barang-barang di atas meja disapu dengan kedua tangan dan membuat suara gaduhnya terdengar sampai keluar ruangan. Bram, asisten pribadi Hans harus menarik napas dalam
"Maaf, Ayah tidak menyetujui kepindahanmu." Arvin bicara lewat telepon selularnya karena tidak bisa menemui Eva secara langsung. Bagaimanapun juga, dia tidak akan melanggar larangan ayahnya."Tidak apa, Dok. Mungkin memang aku harus memikirkan aborsi seperti yang Anda sarankan tempo hari.""Eva—""Selagi masih belum terlalu besar, sepertinya risikonya belum terlalu fatal. Saya masih ingin menjadi dokter," sela Eva dengan suara bergetar. "Anda masih menyimpan hasil visum milik saya, Dok?"Arvin meremas kertas kosong di atas meja, tidak tahu harus bagaimana menghadapi situasi kali ini. Eva kembali berpikir akan menyingkirkan bayinya. Gadis itu juga tetap menjaga jarak, menggunakan saya dan Anda, menunjukkan mereka tidak terlalu akrab."Kamu bisa mengundurkan diri dari program ini dengan alasan kesehatan. Aku akan coba bicara dengan Ayah nanti malam.""Tidak perlu, Dokter." Kali ini Eva yang menyela kalimat Arvin, membuat pria itu terpaksa menahan napasnya."Saya tahu Dokter Faaz pasti m
Saat Eva berbalik, Hans sudah pergi lebih dulu. Punggungnya menghilang ditelan pintu belakang rumah sakit yang sesaat lalu menjadi tujuannya. "Apa yang dia katakan barusan?" Tubuh Eva luruh, bersimpuh di tanah dengan rumput hijau yang terasa sedikit basah. Meski tak mengatakannya dengan jelas, tapi Eva bisa memperkirakan objek yang dimaksud pria itu. Tangan kanannya meremas perut sambil menggigit bibir bawahnya. Dia tidak sampai hati menyingkirkan benih Hans meski kebencian begitu mendalam. "Apa yang harus aku lakukan?" Satu bulir air mata membasahi wajah Eva. "Menyingkirkan anak ini, sama saja aku menghancurkan tempat yang selama ini sudah menjadi rumah untukku." Tanpa membuang waktu lebih lama, Eva berlari keluar dari rumah sakit dan menghentikan taksi. "Dirgantara Artha Graha, Pak. Sekarang!" pinta Eva dengan wajah panik luar biasa. Dia harus bertemu dengan Hans dan meminta pria itu tidak mengusik panti. Perjalanan dua puluh menit yang terasa begitu lama bagi Eva. Terlebih, wa
“Nyonya, ada tamu untuk Anda.”Eva mengangguk, menyangga perut besarnya sambil keluar dari kamar. Tampak Liliana tersenyum menyambutnya.“Apa kabar, Eva? Lama tidak bertemu,” sapanya sambil mendekati Eva dan memberikan pelukan hangat. Namun, tangan Eva tak menyambutnya.“Silakan duduk. Apa yang membawamu kemari?” tanyanya to the point.Liliana terbiasa mendapati sikap Eva yang cukup pendiam, tidak menyadari bahwa sandiwaranya telah terungkap. Hans sudah menceritakan semuanya, termasuk menegaskan bahwa Liliana ada di bawah pengawasan pria itu.“Sebentar lagi hari persalinanmu, bukan? Aku membawakan makanan enak untukmu selagi kamu bisa makan bebas. Setelah bersalin nanti, kamu nggak mungkin makan sembarangan.”Sebelum sempat Eva merespons, Liliana dengan tidak tahu diri langsung berjalan ke arah dapur dan mengambil mangkuk.“Cicipi sedikit saja, Eve. Kamu pasti suka,” ucap Liliana sambil mendekatkan sendok di tangannya ke arah Eva setelah keduanya duduk berdekatan di atas sofa.“Maaf,
"Tuan, ada kabar buruk!" Bram memasuki ruang kerja Hans tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu. Ada hal lain yang lebih penting yang harus disampaikan kepada pria itu. Hans mengangkat wajahnya dan bertanya, "Ada apa?" Bram meletakkan lembaran foto yang tersebar ke seluruh karyawan ke atas meja, menampilkan foto-foto Arvin yang sedang menggenggam tangan Eva. Gosip segera merebak di antara ratusan karyawan Dirgantara Artha Graha itu. "Seorang anonim mengirimkan ini di web sebelum salah satu karyawan kita meneruskannya ke grup obrolan. Mereka mengira itu suami Nyonya Eva dan memberikan pujian karena melihat kemesraan keduanya." Hans bungkam, menyipitkan matanya demi menatap potret itu sekali lagi. Dilihat dari sudut pandang orang luar, memang tidak mungkin keduanya tidak memiliki hubungan. Pria dengan kacamata tebal itu sedang meniup luka di punggung tangan Eva yang sedang mengelus perut sambil menatap sayu ke arah si pria. "Apa yang harus saya lakukan, Tuan?" tanya Bram setelah men
"Presdir, ini jadwal Anda hari ini," ucap Liliana sambil meletakkan komputer tablet di tangannya ke depan Hans setelah dipersilakan memasuki ruangan. "Aku sudah mendapat salinannya dari Bram, tidak perlu merepotkanmu. Untuk ke depannya, tidak perlu masuk ke ruangan ini tanpa panggilan dariku karena mulai hari ini kamu bukan sekretaris utama lagi." Liliana menelan ludah dengan paksa, menyadari sikap atasannya begitu dingin. "Kenapa masih di sini?" "Ah, maaf. Apa saya membuat kesalahan sampai Presdir memindahkan saya ke divisi lain?" "Kau tidak menyadari kesalahanmu?" Liliana menggeleng dengan wajah polos. Gadis itu tentu saja sadar, tapi dia ingin tahu sejauh mana Hanson menyadari rencana liciknya. Mungkin ada sedikit celah yang bisa dia manfaatkan. "Jangan pernah berpikir berlebihan. Istriku hanya Evalia Lesmana selamanya." Dengan wajah tertunduk menahan malu, Liliana meninggalkan Hans. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, dia membereskan barang-barangnya di meja dan men
“Jadi, kalian bertiga berkomplot menipuku?” tanya Eva sambil menghempas tangan Hans yang sedari tadi menggenggam jemarinya erat-erat sambil menjelaskan hubungan Liliana dan Felix selama ini.“Eve, aku tidak pernah berniat untuk—”“Faktanya, dia mendekatiku karena membantumu!”“Ya, itu benar. Aku minta maaf karena memanfaatkan hubungan kalian, tapi saat itu aku sangat mengkhawatirkanmu dan kau menolak untuk bertemu denganku.”Eva mendengkus, mengubah posisi duduknya jadi membelakangi Hans. Kakinya terulur ke lantai yang dingin.Seketika itu juga, Hans turun dari ranjang dan mengambil sandal rumah milik Eva dan memakaikannya. Namun, wanita yang terlanjur emosi itu menendangnya dengan sengaja. Dia berjalan menjauh dari ranjang dengan bertelanjang kaki.“Eve, dengarkan dulu.”“Aku tidak ingin mendengar apa pun. Diam dan enyahlah dariku!”Hans tidak melawan saat Eva menyingkirkannya. Dia hanya bisa menatap punggung wanita itu keluar dari kamar dan menuju dapur.Segelas air putih langsung d
Saat Hans membuka pintu kamar, semerbak aroma harum menyapa indra penciumannya. Seulas senyum terkembang di wajahnya yang tampan.“Selamat malam, Sayang,” sapa Hans sambil mendekap tubuh Eva yang sedang berdiri di depan lemari, mencari piyama. Tangannya melekat erat di perut buncit wanita itu sambil menyesap leher jenjang yang tak tertutup apa pun.Eva baru selesai berendam. Rambut panjangnya sengaja diikat tinggi di atas kepala agar tidak basah. Siapa sangka, Hans pulang sebelum dia bisa merapikannya.“Kamu sudah pulang,” ujarnya sambil menoleh, mendapati wajah tampan yang hampir bersentuhan dengan hidungnya.“Kenapa mandi di tengah malam begini, hmm?” bisiknya di telinga Eva sambil sesekali melumatnya.Degup jantung Eva tak terkendali mendapat perlakuan seperti itu, membuat wajahnya memerah. Bagaimanapun juga, meski masih belum mencintai Hans, dia tidak bisa menolak pesona pria itu. Terlebih, dirinya juga seorang wanita dewasa.Berbulan-bulan mencoba mengabaikan kebutuhan biologisny
“Hans, akhirnya kita bertemu lagi.”Pemilik resort sekaligus event organizer berusia awal empat puluh tahunan itu langsung menjabat tangan Hans, bahkan memeluknya seperti seorang sahabat yang lama tidak bertemu.“Apa kabar, Dam? Masih betah menyendiri seperti sebelumnya?” balas Hans, memicu tawa mereka berdua.Satu-dua obrolan mengalir lancar, tidak terasa canggung sama sekali. Sebaliknya, Liliana tercengang di posisinya. Dia tidak menyangka Hans dan Adam saling mengenal satu sama lain.“Sudah, kita lanjutkan obrolannya lagi nanti. Jangan sungkan. Ayo duduk.”Hans menempati sebuah kursi, menyisakan Liliana yang masih mematung di tempatnya. Dia terkejut, tidak pernah melihat Hans berpelukan dengan orang lain, terlebih rekan bisnis. Pria itu selalu menjaga jarak dengan orang lain.“Ah, Nona Liliana, kenapa masih diam di sana? Ayo silakan duduk.”Liliana tergagap, “Ba … baik,” jawabnya sambil melirik Hans setelah terpaksa mengulas senyum canggung. Jauh di lubuk hatinya, dia masih bertany
“Presdir, sudah waktunya pergi ke tempat pertemuan.” Suara Liliana terdengar jernih, menghalangi Hans yang berniat pergi menemui Eva.“Aku tahu. Kau siapkan dokumennya, kita bertemu di lobi.”“Baik,” jawab Lily dengan senyum lebar di wajahnya. Sejak sebulan terakhir, dia semakin banyak berkontribusi untuk bisnis Hans. Dia mendapat promosi untuk menjadi sekretaris utama, menggantikan sekretaris sebelumnya yang dipindahkan ke kantor cabang.Bram segera mengikuti Hans, menekan tombol lift dan membiarkan tuannya masuk terlebih dahulu.“Presdir, ada sesuatu yang ingin saya sampaikan,” ucapnya saat lift mulai bergerak turun.“Ada apa?”“Sepertinya Liliana memiliki maksud tersembunyi dengan Anda.”Kening Hans berkerut, menoleh dan menatap asisten pribadinya.“Jangan asal bicara atau menduga-duga.”Bram menggeleng, mendekat ke arah Hans dengan wajah serius.“Saya juga tidak ingin mempercayainya, tapi dia sudah memesan kamar atas nama Anda di hotel Pacific.”“Memesan kamar untukku?”“Benar. Jik
"Selamat pagi, Tuan, Nyonya," sapa asisten rumah tangga yang melihat Hans dan Eva turun dari lantai dua. Keduanya berjalan bersisian, dengan tangan Hans memegangi lengan istrinya."Selamat pagi. Bibi, apa sarapannya sudah siap?" balas Eva sambil mendekat ke arah meja makan dan melihat hidangan yang sudha tersaji di sana."Sudah, Nyonya. Silakan.""Terima kasih banyak. Tolong panggilkan Liliana untuk makan bersama."Wanita paruh baya itu mengangguk, segera mengetuk pintu kamar tamu dan menyampaikan maksudnya."Kau sangat dekat dengannya?" tanya Hans sambil melirik ke arah Liliana yang baru saja membuka pintu."Bisa dibilang begitu. Dia satu-satunya temanku.""Hanya teman?"Eva mengangguk, "Ya. Teman baik.""Bukan sahabat?" selidik Hans ingin tahu."Apa bedanya? Kami saling membantu satu sama lain saat membutuhkan. Itu sudah cukup. Entah namanya teman atau sahabat, itu hanya sebutan saja."Hans mengangguk, menyadari istrinya tidak terlalu dekat dengan Liliana. Mereka terhubung karena per
“Lepaskan tangan kotormu dari wanita itu!”Suara Hans terdengar bersamaan tangan yang mencekal lengan pria berjaket kulit di depannya. Tatapan tajamnya jelas menunjukkan kekuasaan mutlak yang dimiliki.“Siapa kamu? Jangan ikut campur urusanku dengan jal—”Plak!Belum selesai berbicara, Hans sudah lebih dulu menggunakan punggung tangannya untuk menampar wajah pria itu.“Sial. Apa urusanmu dengannya, hah? Dia pasangan kencanku!” protesnya setelah meludah ke samping dengan wajah merah menahan marah.“Dia sekretarisku. Siapa pun yang menyakiti orang-orangku, aku berhadapan langsung denganku. Jangan berpikir untuk menindasnya atau kau tidak akan bertahan hidup lagi di kota ini.”Pria pasangan kencan buta itu tertawa, sama sekali tidak percaya dengan ucapan Hans.“Kalaupun benar dia sekretarismu, kamu tidak ada urusan lagi karena ini bukan lagi jam kerja. Yang harus pergi itu kamu. Jangan mengganggu kencan kami!”Liliana refleks meraih lengan Hans dan menunjukkan gelengan kepala sambil mengg