Hai readers semua, akhirnya bisa up juga! Duh, makin kompleks aja masalahnya. Kira-kira, apa yang akan terjadi pada Eva ke depannya? Yuk jangan lupa masukkan ke rak baca!! Terima kasih atas apresiasi kalian. Sampai jumpa bab berikutnya yaa^^
"Tapi kamu tahu Eva tidak pernah mencintai Hans. Pernikahan seperti apa yang akan mereka—""Aku tahu, tapi itu di luar kendaliku.""Hey!" Liliana menjauhkan diri dari dekapan Felix, menatap pria itu dengan kening berkerut. Berbagai tanya memenuhi kepala, berusaha memahami sosok yang tidak memiliki hubungan asmara dengannya selain teman berbagi peluh bersama. Masing-masing menjadi candu untuk satu sama lain."Sebagai sahabat, aku hanya ingin membantu Hans mendapatkan gadis kesayangannya. Dan sebagai seorang pria, aku berniat bertanggung jawab karena sudah menjebak mereka. Bisa dibilang, Eva hamil karena kesalahanku, kan?"Liliana mendengus sambil membuang muka. Bola matanya memutar karena jengah."Jika kamu merasa bersalah, kamu tidak akan bertindak lebih jauh dengan melibatkan panti asuhan. Dasar bedebah licik!"Bukannya tersinggung, Felix justru tertawa. Pembahasan itu semakin melebar, termasuk mengenai rencana mereka ke depannya. Felix yakin, lambat laun Eva pasti mulai menunjukkan
"Sial!" Hans menendang pintu di depannya, membuat asisten pribadinya terhenyak dan langsung siap siaga. Pun sama dengan seorang sekretaris di belakang meja yang langsung berdiri dengan kepala tertunduk. Keduanya tak berani bersuara, membiarkan atasannya mengucapkan sumpah serapah sambil memasuki ruangannya. Sosok Hanson Dirgantara yang terkenal ramah dan selalu tenang, tak lagi terlihat. Pria itu menjadi temperamental dan tidak bisa mengendalikan emosinya karena sakit hati terhadap Eva. Terlebih, dia melihat dengan mata kepalanya sendiri saat Arvin memeluk Eva. "Apa kurangku sampai kamu lebih memilih pria itu, hah?!" Hans melepaskan dasi yang terasa mencekik lehernya dan membuang benda itu ke lantai sambil berteriak sekuat tenaga. Egonya terluka, kembali mengingat penolakan Eva malam itu di rumahnya. Detik berikutnya, barang-barang di atas meja disapu dengan kedua tangan dan membuat suara gaduhnya terdengar sampai keluar ruangan. Bram, asisten pribadi Hans harus menarik napas dalam
"Maaf, Ayah tidak menyetujui kepindahanmu." Arvin bicara lewat telepon selularnya karena tidak bisa menemui Eva secara langsung. Bagaimanapun juga, dia tidak akan melanggar larangan ayahnya."Tidak apa, Dok. Mungkin memang aku harus memikirkan aborsi seperti yang Anda sarankan tempo hari.""Eva—""Selagi masih belum terlalu besar, sepertinya risikonya belum terlalu fatal. Saya masih ingin menjadi dokter," sela Eva dengan suara bergetar. "Anda masih menyimpan hasil visum milik saya, Dok?"Arvin meremas kertas kosong di atas meja, tidak tahu harus bagaimana menghadapi situasi kali ini. Eva kembali berpikir akan menyingkirkan bayinya. Gadis itu juga tetap menjaga jarak, menggunakan saya dan Anda, menunjukkan mereka tidak terlalu akrab."Kamu bisa mengundurkan diri dari program ini dengan alasan kesehatan. Aku akan coba bicara dengan Ayah nanti malam.""Tidak perlu, Dokter." Kali ini Eva yang menyela kalimat Arvin, membuat pria itu terpaksa menahan napasnya."Saya tahu Dokter Faaz pasti m
Saat Eva berbalik, Hans sudah pergi lebih dulu. Punggungnya menghilang ditelan pintu belakang rumah sakit yang sesaat lalu menjadi tujuannya. "Apa yang dia katakan barusan?" Tubuh Eva luruh, bersimpuh di tanah dengan rumput hijau yang terasa sedikit basah. Meski tak mengatakannya dengan jelas, tapi Eva bisa memperkirakan objek yang dimaksud pria itu. Tangan kanannya meremas perut sambil menggigit bibir bawahnya. Dia tidak sampai hati menyingkirkan benih Hans meski kebencian begitu mendalam. "Apa yang harus aku lakukan?" Satu bulir air mata membasahi wajah Eva. "Menyingkirkan anak ini, sama saja aku menghancurkan tempat yang selama ini sudah menjadi rumah untukku." Tanpa membuang waktu lebih lama, Eva berlari keluar dari rumah sakit dan menghentikan taksi. "Dirgantara Artha Graha, Pak. Sekarang!" pinta Eva dengan wajah panik luar biasa. Dia harus bertemu dengan Hans dan meminta pria itu tidak mengusik panti. Perjalanan dua puluh menit yang terasa begitu lama bagi Eva. Terlebih, wa
"Apa Anda bermimpi dengan mata terbuka, Tuan Hans Dirgantara?" sindir Eva yang menatap penuh kebencian kepada pria blasteran di depannya. "Aku bermimpi?" Hans menyilangkan tangan di depan badan. "Mungkin dulu iya, tapi sekarang mimpiku akan menjadi kenyataan. Kamu tidak bisa menghindariku, bukan?" "Karena kamu menggunakan cara kotor untuk menjebakku!" Suara Eva terdengar semakin sengit. "Jika tidak begitu, kamu tidak akan pernah menjadi milikku, Eve." Eva membuang muka, ingin sekali menyuarakan sumpah serapah yang rangkaian katanya sudah tersusun di kepala. Tapi entah kenapa, dia terlalu lelah untuk berbicara dengan pria bebal seperti Hans Dirgantara. "Katakan alasannya. Kenapa kamu memilihku?" "Tidak ada alasan. Aku hanya ingin bertanggung jawab karena ada anakku di rahimmu." "Apa kamu akan melakukan hal yang sama jika wanita lain yang ada di posisiku?" Eva menahan gemuruh yang menggerogoti kewarasannya. Jika bukan karena surat tugas dari rumah sakit yang berkaitan dengan sert
“Dokter Eva, ada yang mencari Anda.” Seorang perawat yang bekerja untuk Dirgantara Artha Graha memasuki klinik dan langsung menghampiri Eva. “Mencariku?” “Ya. Beliau menunggu di depan.” “Beliau?” Eva menutup catatan medis yang tengah diperiksa, meraih jas putih miliknya dengan kening berkerut. “Siapa yang ingin menemuiku siang-siang begini?” Langkah Evalia terhenti di depan pintu kaca, menatap wajah cantik yang terlihat gelisah. “Nyonya Kuina?” panggilnya lirih. Suaranya bergetar dan degup jantung yang lebih kencang dari sebelumnya. Ini pertemuan keduanya dengan wanita yang sudah menolongnya malam itu. “Apa kabar, Eva?” Kuina memeluk Eva, dia justru terpaku seperti manekin kaku. Tangannya tetap terulur di samping badan, sama sekali tidak membalas perlakuan hangat wanita itu. “Bisa ikut denganku sebentar? Ada yang ingin aku bicarakan.” Eva tak lantas menjawab, melirik jam dinding di samping kanannya. Lima menit sebelum jam istirahat datang. “Hanya sebentar saja,” bujuknya deng
"Kamu terlihat sangat cantik, Sayang," puji Kuina sambil mengamati pantulan wajah Evalia yang terlihat di cermin. Tidak butuh waktu lama bagi wanita konglomerat itu untuk mempersiapkan pernikahan sederhana seperti yang diminta menantunya. Dokumen yang siap hanya dalam hitungan jam, gedung resepsi pernikahan yang dilakukan tertutup dan hanya dihadiri keluarga dekat, termasuk urusan make up artist dan semuanya. Kuina benar-benar bisa mendapatkannya hanya dalam hitungan jam. Tentu saja dengan bayaran yang sepadan. “Kamu terlihat tegang sekali,” ujarnya sambil duduk di samping Eva, menarik tangan gadis itu yang sekarang tertutup sarung tangan pengantin warna putih, senada dengan gaun mewah yang melekat di tubuhnya. “Ada yang bisa Mama bantu? Atau, ada yang kamu butuhkan?” Sikap hangat Kuina hanya mendapat gelengan kepala sebagai jawaban. Evalia banyak diam setelah menandatangani perjanjian dengan wanita itu. “Baiklah. Kalau begitu Mama akan lihat keadaan di luar. Jika kamu membutuhkan
"Pa," sapa Hans saat menghampiri ayahnya di balkon. Udara malam terasa membelai wajahnya. Dani mengembuskan napas kasar dari mulut, bingung bagaimana menyampaikan maksudnya. Dia benar-benar turut prihatin melihat putra semata wayangnya itu dibenci oleh istrinya. Kehidupan rumah tangga mereka, entah bagaimana nasibnya. "Kamu baik-baik saja?" tanya Dani membuka percakapan. "Hmm. Sedikit lega. Setidaknya pernikahan ini berjalan dengan lancar dan Eva sama sekali tidak membuat keluarga kita malu. Dia bisa berdamai di depan kolega bisnis kita." "Tapi Mama tetap saja terguncang, Hans. Sikap Eva berubah jadi lebih dingin dibandingkan sebelumnya. Kamu akan menemui kesulitan yang jauh lebih kompleks nantinya." Hans tersenyum pahit dan berkata, "Itu tidak lebih buruk dibandingkan aku tidak bisa memilikinya, Pa. Bagaimanapun juga, itu risiko karena aku sudah menyakitinya. Mungkin itu memang balasan yang tepat untuk kebodohanku malam itu." Dani bergerak mendekati Hans, menepuk pundaknya. "Pa
“Nyonya, ada tamu untuk Anda.”Eva mengangguk, menyangga perut besarnya sambil keluar dari kamar. Tampak Liliana tersenyum menyambutnya.“Apa kabar, Eva? Lama tidak bertemu,” sapanya sambil mendekati Eva dan memberikan pelukan hangat. Namun, tangan Eva tak menyambutnya.“Silakan duduk. Apa yang membawamu kemari?” tanyanya to the point.Liliana terbiasa mendapati sikap Eva yang cukup pendiam, tidak menyadari bahwa sandiwaranya telah terungkap. Hans sudah menceritakan semuanya, termasuk menegaskan bahwa Liliana ada di bawah pengawasan pria itu.“Sebentar lagi hari persalinanmu, bukan? Aku membawakan makanan enak untukmu selagi kamu bisa makan bebas. Setelah bersalin nanti, kamu nggak mungkin makan sembarangan.”Sebelum sempat Eva merespons, Liliana dengan tidak tahu diri langsung berjalan ke arah dapur dan mengambil mangkuk.“Cicipi sedikit saja, Eve. Kamu pasti suka,” ucap Liliana sambil mendekatkan sendok di tangannya ke arah Eva setelah keduanya duduk berdekatan di atas sofa.“Maaf,
"Tuan, ada kabar buruk!" Bram memasuki ruang kerja Hans tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu. Ada hal lain yang lebih penting yang harus disampaikan kepada pria itu. Hans mengangkat wajahnya dan bertanya, "Ada apa?" Bram meletakkan lembaran foto yang tersebar ke seluruh karyawan ke atas meja, menampilkan foto-foto Arvin yang sedang menggenggam tangan Eva. Gosip segera merebak di antara ratusan karyawan Dirgantara Artha Graha itu. "Seorang anonim mengirimkan ini di web sebelum salah satu karyawan kita meneruskannya ke grup obrolan. Mereka mengira itu suami Nyonya Eva dan memberikan pujian karena melihat kemesraan keduanya." Hans bungkam, menyipitkan matanya demi menatap potret itu sekali lagi. Dilihat dari sudut pandang orang luar, memang tidak mungkin keduanya tidak memiliki hubungan. Pria dengan kacamata tebal itu sedang meniup luka di punggung tangan Eva yang sedang mengelus perut sambil menatap sayu ke arah si pria. "Apa yang harus saya lakukan, Tuan?" tanya Bram setelah men
"Presdir, ini jadwal Anda hari ini," ucap Liliana sambil meletakkan komputer tablet di tangannya ke depan Hans setelah dipersilakan memasuki ruangan. "Aku sudah mendapat salinannya dari Bram, tidak perlu merepotkanmu. Untuk ke depannya, tidak perlu masuk ke ruangan ini tanpa panggilan dariku karena mulai hari ini kamu bukan sekretaris utama lagi." Liliana menelan ludah dengan paksa, menyadari sikap atasannya begitu dingin. "Kenapa masih di sini?" "Ah, maaf. Apa saya membuat kesalahan sampai Presdir memindahkan saya ke divisi lain?" "Kau tidak menyadari kesalahanmu?" Liliana menggeleng dengan wajah polos. Gadis itu tentu saja sadar, tapi dia ingin tahu sejauh mana Hanson menyadari rencana liciknya. Mungkin ada sedikit celah yang bisa dia manfaatkan. "Jangan pernah berpikir berlebihan. Istriku hanya Evalia Lesmana selamanya." Dengan wajah tertunduk menahan malu, Liliana meninggalkan Hans. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, dia membereskan barang-barangnya di meja dan men
“Jadi, kalian bertiga berkomplot menipuku?” tanya Eva sambil menghempas tangan Hans yang sedari tadi menggenggam jemarinya erat-erat sambil menjelaskan hubungan Liliana dan Felix selama ini.“Eve, aku tidak pernah berniat untuk—”“Faktanya, dia mendekatiku karena membantumu!”“Ya, itu benar. Aku minta maaf karena memanfaatkan hubungan kalian, tapi saat itu aku sangat mengkhawatirkanmu dan kau menolak untuk bertemu denganku.”Eva mendengkus, mengubah posisi duduknya jadi membelakangi Hans. Kakinya terulur ke lantai yang dingin.Seketika itu juga, Hans turun dari ranjang dan mengambil sandal rumah milik Eva dan memakaikannya. Namun, wanita yang terlanjur emosi itu menendangnya dengan sengaja. Dia berjalan menjauh dari ranjang dengan bertelanjang kaki.“Eve, dengarkan dulu.”“Aku tidak ingin mendengar apa pun. Diam dan enyahlah dariku!”Hans tidak melawan saat Eva menyingkirkannya. Dia hanya bisa menatap punggung wanita itu keluar dari kamar dan menuju dapur.Segelas air putih langsung d
Saat Hans membuka pintu kamar, semerbak aroma harum menyapa indra penciumannya. Seulas senyum terkembang di wajahnya yang tampan.“Selamat malam, Sayang,” sapa Hans sambil mendekap tubuh Eva yang sedang berdiri di depan lemari, mencari piyama. Tangannya melekat erat di perut buncit wanita itu sambil menyesap leher jenjang yang tak tertutup apa pun.Eva baru selesai berendam. Rambut panjangnya sengaja diikat tinggi di atas kepala agar tidak basah. Siapa sangka, Hans pulang sebelum dia bisa merapikannya.“Kamu sudah pulang,” ujarnya sambil menoleh, mendapati wajah tampan yang hampir bersentuhan dengan hidungnya.“Kenapa mandi di tengah malam begini, hmm?” bisiknya di telinga Eva sambil sesekali melumatnya.Degup jantung Eva tak terkendali mendapat perlakuan seperti itu, membuat wajahnya memerah. Bagaimanapun juga, meski masih belum mencintai Hans, dia tidak bisa menolak pesona pria itu. Terlebih, dirinya juga seorang wanita dewasa.Berbulan-bulan mencoba mengabaikan kebutuhan biologisny
“Hans, akhirnya kita bertemu lagi.”Pemilik resort sekaligus event organizer berusia awal empat puluh tahunan itu langsung menjabat tangan Hans, bahkan memeluknya seperti seorang sahabat yang lama tidak bertemu.“Apa kabar, Dam? Masih betah menyendiri seperti sebelumnya?” balas Hans, memicu tawa mereka berdua.Satu-dua obrolan mengalir lancar, tidak terasa canggung sama sekali. Sebaliknya, Liliana tercengang di posisinya. Dia tidak menyangka Hans dan Adam saling mengenal satu sama lain.“Sudah, kita lanjutkan obrolannya lagi nanti. Jangan sungkan. Ayo duduk.”Hans menempati sebuah kursi, menyisakan Liliana yang masih mematung di tempatnya. Dia terkejut, tidak pernah melihat Hans berpelukan dengan orang lain, terlebih rekan bisnis. Pria itu selalu menjaga jarak dengan orang lain.“Ah, Nona Liliana, kenapa masih diam di sana? Ayo silakan duduk.”Liliana tergagap, “Ba … baik,” jawabnya sambil melirik Hans setelah terpaksa mengulas senyum canggung. Jauh di lubuk hatinya, dia masih bertany
“Presdir, sudah waktunya pergi ke tempat pertemuan.” Suara Liliana terdengar jernih, menghalangi Hans yang berniat pergi menemui Eva.“Aku tahu. Kau siapkan dokumennya, kita bertemu di lobi.”“Baik,” jawab Lily dengan senyum lebar di wajahnya. Sejak sebulan terakhir, dia semakin banyak berkontribusi untuk bisnis Hans. Dia mendapat promosi untuk menjadi sekretaris utama, menggantikan sekretaris sebelumnya yang dipindahkan ke kantor cabang.Bram segera mengikuti Hans, menekan tombol lift dan membiarkan tuannya masuk terlebih dahulu.“Presdir, ada sesuatu yang ingin saya sampaikan,” ucapnya saat lift mulai bergerak turun.“Ada apa?”“Sepertinya Liliana memiliki maksud tersembunyi dengan Anda.”Kening Hans berkerut, menoleh dan menatap asisten pribadinya.“Jangan asal bicara atau menduga-duga.”Bram menggeleng, mendekat ke arah Hans dengan wajah serius.“Saya juga tidak ingin mempercayainya, tapi dia sudah memesan kamar atas nama Anda di hotel Pacific.”“Memesan kamar untukku?”“Benar. Jik
"Selamat pagi, Tuan, Nyonya," sapa asisten rumah tangga yang melihat Hans dan Eva turun dari lantai dua. Keduanya berjalan bersisian, dengan tangan Hans memegangi lengan istrinya."Selamat pagi. Bibi, apa sarapannya sudah siap?" balas Eva sambil mendekat ke arah meja makan dan melihat hidangan yang sudha tersaji di sana."Sudah, Nyonya. Silakan.""Terima kasih banyak. Tolong panggilkan Liliana untuk makan bersama."Wanita paruh baya itu mengangguk, segera mengetuk pintu kamar tamu dan menyampaikan maksudnya."Kau sangat dekat dengannya?" tanya Hans sambil melirik ke arah Liliana yang baru saja membuka pintu."Bisa dibilang begitu. Dia satu-satunya temanku.""Hanya teman?"Eva mengangguk, "Ya. Teman baik.""Bukan sahabat?" selidik Hans ingin tahu."Apa bedanya? Kami saling membantu satu sama lain saat membutuhkan. Itu sudah cukup. Entah namanya teman atau sahabat, itu hanya sebutan saja."Hans mengangguk, menyadari istrinya tidak terlalu dekat dengan Liliana. Mereka terhubung karena per
“Lepaskan tangan kotormu dari wanita itu!”Suara Hans terdengar bersamaan tangan yang mencekal lengan pria berjaket kulit di depannya. Tatapan tajamnya jelas menunjukkan kekuasaan mutlak yang dimiliki.“Siapa kamu? Jangan ikut campur urusanku dengan jal—”Plak!Belum selesai berbicara, Hans sudah lebih dulu menggunakan punggung tangannya untuk menampar wajah pria itu.“Sial. Apa urusanmu dengannya, hah? Dia pasangan kencanku!” protesnya setelah meludah ke samping dengan wajah merah menahan marah.“Dia sekretarisku. Siapa pun yang menyakiti orang-orangku, aku berhadapan langsung denganku. Jangan berpikir untuk menindasnya atau kau tidak akan bertahan hidup lagi di kota ini.”Pria pasangan kencan buta itu tertawa, sama sekali tidak percaya dengan ucapan Hans.“Kalaupun benar dia sekretarismu, kamu tidak ada urusan lagi karena ini bukan lagi jam kerja. Yang harus pergi itu kamu. Jangan mengganggu kencan kami!”Liliana refleks meraih lengan Hans dan menunjukkan gelengan kepala sambil mengg