Gak Ibu, gak anak. Sama aja mainnya maksa, ini pake kontrak kerja sama pula. Emang yaa buah jatuh gak jauh dari pohonnya!
"Kamu terlihat sangat cantik, Sayang," puji Kuina sambil mengamati pantulan wajah Evalia yang terlihat di cermin. Tidak butuh waktu lama bagi wanita konglomerat itu untuk mempersiapkan pernikahan sederhana seperti yang diminta menantunya. Dokumen yang siap hanya dalam hitungan jam, gedung resepsi pernikahan yang dilakukan tertutup dan hanya dihadiri keluarga dekat, termasuk urusan make up artist dan semuanya. Kuina benar-benar bisa mendapatkannya hanya dalam hitungan jam. Tentu saja dengan bayaran yang sepadan. “Kamu terlihat tegang sekali,” ujarnya sambil duduk di samping Eva, menarik tangan gadis itu yang sekarang tertutup sarung tangan pengantin warna putih, senada dengan gaun mewah yang melekat di tubuhnya. “Ada yang bisa Mama bantu? Atau, ada yang kamu butuhkan?” Sikap hangat Kuina hanya mendapat gelengan kepala sebagai jawaban. Evalia banyak diam setelah menandatangani perjanjian dengan wanita itu. “Baiklah. Kalau begitu Mama akan lihat keadaan di luar. Jika kamu membutuhkan
"Pa," sapa Hans saat menghampiri ayahnya di balkon. Udara malam terasa membelai wajahnya. Dani mengembuskan napas kasar dari mulut, bingung bagaimana menyampaikan maksudnya. Dia benar-benar turut prihatin melihat putra semata wayangnya itu dibenci oleh istrinya. Kehidupan rumah tangga mereka, entah bagaimana nasibnya. "Kamu baik-baik saja?" tanya Dani membuka percakapan. "Hmm. Sedikit lega. Setidaknya pernikahan ini berjalan dengan lancar dan Eva sama sekali tidak membuat keluarga kita malu. Dia bisa berdamai di depan kolega bisnis kita." "Tapi Mama tetap saja terguncang, Hans. Sikap Eva berubah jadi lebih dingin dibandingkan sebelumnya. Kamu akan menemui kesulitan yang jauh lebih kompleks nantinya." Hans tersenyum pahit dan berkata, "Itu tidak lebih buruk dibandingkan aku tidak bisa memilikinya, Pa. Bagaimanapun juga, itu risiko karena aku sudah menyakitinya. Mungkin itu memang balasan yang tepat untuk kebodohanku malam itu." Dani bergerak mendekati Hans, menepuk pundaknya. "Pa
"Di mana pakaian kotormu?""Apa?"Hans harus memastikan indra pendengarannya berfungsi dengan baik saat pagi hari berhadapan dengan Eva. Wanita itu mengetuk pintu kamarnya dan menanyakan pakaian kotor."Kulihat ada mesin cuci di belakang. Sebagai seorang istri, sudah seharusnya aku mencuci pakaian suamiku."Hans tak lantas merespons, butuh waktu lama untuk loading otaknya. Dia tidak pernah membayangkan Eva akan melakukan tugas keseharian seperti itu."Kau tidak perlu melakukannya, Eve. Biarkan asisten rumah tangga saja yang—""Di mana?!" sela Eva dengan wajah tanpa ekspresi, datar dan menginginkan jawaban secepatnya.Karena melihat Hans tetap bergeming di posisinya, Eva memilih memasuki kamar pria itu setelah mengucap permisi sewajarnya. Mata indahnya langsung berkeliling, sebelum memasuki kamar mandi dan membawa keranjang berisi baju yang dipakai Hans kemarin."Eve ....""Menyingkirlah!" tegas Evalia saat Hans menghadang langkahnya, menahan keranjang itu dari sisi yang lain."Aku meni
"Mau makan apa?" tanya Hans setelah seorang pramusaji memberikan buku menu kepada mereka."Terserah kamu saja.""Ada alergi makanan?""Aman.""Baiklah."Hans mengangguk, segera memesan paket lengkap untuk mereka berdua. Terlebih dahulu, dia meminta satu cup es krim sebagai makanan pembuka."Aku tidak tahu makanan apa yang bagus untuk wanita hamil, maupun makanan yang tidak boleh diberikan. Lain kali, tolong beri tahu aku.""Semua makanan baik selama tidak berlebihan. Selama kamu bukan seorang pemilih, anakmu juga seharusnya bisa makan segalanya."Tarikan napas panjang terlihat detik berikutnya. Hans tidak tahu bagaimana menghadapi Eva jika mode acuh tak acuhnya sedang kambuh."Apa yang ingin kamu bicarakan?" Akhirnya kata itu yang terucap dari bibir Hans setelah satu dua menit berlalu tanpa ada yang bersuara. Eva sudah menghabiskan makanan manis di atas mangkuk, juga memakan ceri yang digunakan sebagai topping.Eva yang semula menghempaskan punggung ke belakang, kembali menegakkan tub
"Hari ini jadwal pemeriksaan kandungan ke dokter. Aku sudah membuat janji temu dengan Dokter Bina, salah satu seniorku di kampus dulu," ucap Hans begitu menghampiri Eva di meja makan di satu pagi yang cerah.Hari itu, tepat satu bulan Hans dan Eva berbagi atap yang sama. Artinya, kandungan wanita itu memasuki bulan ketiga di mana pada sebagian orang sedang menderita morning sickness yang parah."Kapan kau ada waktu?" imbuh Hans sambil menarik kursi dan duduk di tempat yang biasa digunakan olehnya. Meski susah payah mengendalikan perasaan, tetap saja rasa cinta pria itu justru semakin bertambah. Degup jantung Hans berdetak begitu cepat saat Eva membantunya memakai dasi kemarin pagi."Kapan saja bisa, tapi mungkin lebih baik mencari waktu pribadi. Menghindari bertemu orang yang mengenal kita berdua. Aku tidak pandai berbohong, malas juga mencari alasan jika ada yang bertanya.""Bagaimana jika sepulang bekerja? Seharusnya Bina bisa memiliki waktu khusus sebelum memeriksa pasien lain.""K
"Satu sendok lagi. Ayo buka mulutmu," pinta Eva sambil menebalkan kesabarannya. Baru dua suap, Hans sudah menggeleng, menolak bubur nasi yang masuk ke mulutnya."Sudah cukup. Aku kenyang," ucap Hans lemah. Wajahnya pucat pasi dengan bibir sedikit gemetar. Dia menolak pergi ke rumah sakit, tapi juga menolak obat apa pun yang diberikan oleh Eva. Lebih-lebih saat akan disuntik, dia berteriak histeris karena takut dengan jarum. Bulir air mata sampai membasahi wajahnya, mengiba menunjukkan penolakannya."Kalau seperti ini terus, kamu tidak akan sembuh. Bukankah pekerjaan menumpuk di kantor?!" Eva yang mulai jengkel, menatap sebal ke arah Hans yang bersikap keras kepala. Dia bahkan sampai berkacak pinggang demi menunjukkan rasa gemasnya."Panggilkan saja Mama. Aku akan sembuh setelah dia datang merawatku."PLAK!Alih-alih menuruti permintaan Hans, justru sebuah tepukan yang mendarat di perut pria itu, membuatnya mengaduh tertahan. Eva yang memang keras tabiatnya, berbanding terbalik dengan
"Tuhan, jika kebersamaan ini hanya mimpi, aku tidak ingin terbangun selamanya," gumam Hans sambil menatap wajah cantik yang masih terlelap di hadapannya.Dia berkali-kali terjaga, khawatir Eva akan menjauh dari tubuhnya. Rasa kantuk yang sempat mendera, entah ke mana rimbanya. Berjam-jam Hans memusatkan perhatiannya kepada wajah Evalia Ayu Lesmana yang benar-benar ayu itu, menikmati setiap jengkalnya seolah tak ada waktu esok maupun lusa.Dalam diam, Hans berkali-kali tersenyum. Dia hampir tidak pernah sakit selama ini, tapi entah kenapa pagi tadi merasa mual yang teramat sangat sampai membuatnya muntah. Meski merasa tidak nyaman pada awalnya, tapi dia justru bersyukur setelahnya.Eva menjadi orang pertama yang paling memedulikannya, menungguinya tanpa lepas perhatian sedetik pun darinya. Wanita itu bersikap lebih lembut, melunak dan tak mengarahkan tatapan sengit seperti sebelum-sebelumnya. Entah karena iba, atau yang lainnya. Tetap saja, Hans bahagia karena Eva bersedia menyuapinya s
"Kemarilah. Ayo duduk."Hans beranjak dari kursinya dan mempersilakan Eva duduk di sofa. Penat yang semula memenuhi kepala, seketika itu juga seolah sirna. Kedatangan Eva membuat pria itu bersemangat."Aku bawakan makanan untukmu, khawatir kamu tidak bisa makan makanan sembarangan."Sebenarnya Hans sudah baik-baik saja. Dia tidak lagi muntah-muntah seperti kemarin meski masih ada sedikit rasa mual. Namun, dia tidak akan membuang kesempatan langka ini, mendapat perhatian dari sang istri tercinta."Kau sendiri sudah makan?" tanya Hans sambil duduk, memperhatikan wanita yang menggunakan jas warna putih melingkupi tubuh mungilnya."Gampang. Aku bisa makan kapan saja.""Mana boleh seperti itu," sela Hans cepat sambil berdiri. Dia beranjak, menghubungi seseorang melalui telepon ekstensi di atas meja dan berbicara beberapa patah kata."Apa saja yang ada di kantin eksekutif. Antar ke ruanganku sekarang!"Eva meneguk ludahnya dengan paksa, merasa sungkan dengan yang baru saja Hans lakukan. Sika
“Nyonya, ada tamu untuk Anda.”Eva mengangguk, menyangga perut besarnya sambil keluar dari kamar. Tampak Liliana tersenyum menyambutnya.“Apa kabar, Eva? Lama tidak bertemu,” sapanya sambil mendekati Eva dan memberikan pelukan hangat. Namun, tangan Eva tak menyambutnya.“Silakan duduk. Apa yang membawamu kemari?” tanyanya to the point.Liliana terbiasa mendapati sikap Eva yang cukup pendiam, tidak menyadari bahwa sandiwaranya telah terungkap. Hans sudah menceritakan semuanya, termasuk menegaskan bahwa Liliana ada di bawah pengawasan pria itu.“Sebentar lagi hari persalinanmu, bukan? Aku membawakan makanan enak untukmu selagi kamu bisa makan bebas. Setelah bersalin nanti, kamu nggak mungkin makan sembarangan.”Sebelum sempat Eva merespons, Liliana dengan tidak tahu diri langsung berjalan ke arah dapur dan mengambil mangkuk.“Cicipi sedikit saja, Eve. Kamu pasti suka,” ucap Liliana sambil mendekatkan sendok di tangannya ke arah Eva setelah keduanya duduk berdekatan di atas sofa.“Maaf,
"Tuan, ada kabar buruk!" Bram memasuki ruang kerja Hans tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu. Ada hal lain yang lebih penting yang harus disampaikan kepada pria itu. Hans mengangkat wajahnya dan bertanya, "Ada apa?" Bram meletakkan lembaran foto yang tersebar ke seluruh karyawan ke atas meja, menampilkan foto-foto Arvin yang sedang menggenggam tangan Eva. Gosip segera merebak di antara ratusan karyawan Dirgantara Artha Graha itu. "Seorang anonim mengirimkan ini di web sebelum salah satu karyawan kita meneruskannya ke grup obrolan. Mereka mengira itu suami Nyonya Eva dan memberikan pujian karena melihat kemesraan keduanya." Hans bungkam, menyipitkan matanya demi menatap potret itu sekali lagi. Dilihat dari sudut pandang orang luar, memang tidak mungkin keduanya tidak memiliki hubungan. Pria dengan kacamata tebal itu sedang meniup luka di punggung tangan Eva yang sedang mengelus perut sambil menatap sayu ke arah si pria. "Apa yang harus saya lakukan, Tuan?" tanya Bram setelah men
"Presdir, ini jadwal Anda hari ini," ucap Liliana sambil meletakkan komputer tablet di tangannya ke depan Hans setelah dipersilakan memasuki ruangan. "Aku sudah mendapat salinannya dari Bram, tidak perlu merepotkanmu. Untuk ke depannya, tidak perlu masuk ke ruangan ini tanpa panggilan dariku karena mulai hari ini kamu bukan sekretaris utama lagi." Liliana menelan ludah dengan paksa, menyadari sikap atasannya begitu dingin. "Kenapa masih di sini?" "Ah, maaf. Apa saya membuat kesalahan sampai Presdir memindahkan saya ke divisi lain?" "Kau tidak menyadari kesalahanmu?" Liliana menggeleng dengan wajah polos. Gadis itu tentu saja sadar, tapi dia ingin tahu sejauh mana Hanson menyadari rencana liciknya. Mungkin ada sedikit celah yang bisa dia manfaatkan. "Jangan pernah berpikir berlebihan. Istriku hanya Evalia Lesmana selamanya." Dengan wajah tertunduk menahan malu, Liliana meninggalkan Hans. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, dia membereskan barang-barangnya di meja dan men
“Jadi, kalian bertiga berkomplot menipuku?” tanya Eva sambil menghempas tangan Hans yang sedari tadi menggenggam jemarinya erat-erat sambil menjelaskan hubungan Liliana dan Felix selama ini.“Eve, aku tidak pernah berniat untuk—”“Faktanya, dia mendekatiku karena membantumu!”“Ya, itu benar. Aku minta maaf karena memanfaatkan hubungan kalian, tapi saat itu aku sangat mengkhawatirkanmu dan kau menolak untuk bertemu denganku.”Eva mendengkus, mengubah posisi duduknya jadi membelakangi Hans. Kakinya terulur ke lantai yang dingin.Seketika itu juga, Hans turun dari ranjang dan mengambil sandal rumah milik Eva dan memakaikannya. Namun, wanita yang terlanjur emosi itu menendangnya dengan sengaja. Dia berjalan menjauh dari ranjang dengan bertelanjang kaki.“Eve, dengarkan dulu.”“Aku tidak ingin mendengar apa pun. Diam dan enyahlah dariku!”Hans tidak melawan saat Eva menyingkirkannya. Dia hanya bisa menatap punggung wanita itu keluar dari kamar dan menuju dapur.Segelas air putih langsung d
Saat Hans membuka pintu kamar, semerbak aroma harum menyapa indra penciumannya. Seulas senyum terkembang di wajahnya yang tampan.“Selamat malam, Sayang,” sapa Hans sambil mendekap tubuh Eva yang sedang berdiri di depan lemari, mencari piyama. Tangannya melekat erat di perut buncit wanita itu sambil menyesap leher jenjang yang tak tertutup apa pun.Eva baru selesai berendam. Rambut panjangnya sengaja diikat tinggi di atas kepala agar tidak basah. Siapa sangka, Hans pulang sebelum dia bisa merapikannya.“Kamu sudah pulang,” ujarnya sambil menoleh, mendapati wajah tampan yang hampir bersentuhan dengan hidungnya.“Kenapa mandi di tengah malam begini, hmm?” bisiknya di telinga Eva sambil sesekali melumatnya.Degup jantung Eva tak terkendali mendapat perlakuan seperti itu, membuat wajahnya memerah. Bagaimanapun juga, meski masih belum mencintai Hans, dia tidak bisa menolak pesona pria itu. Terlebih, dirinya juga seorang wanita dewasa.Berbulan-bulan mencoba mengabaikan kebutuhan biologisny
“Hans, akhirnya kita bertemu lagi.”Pemilik resort sekaligus event organizer berusia awal empat puluh tahunan itu langsung menjabat tangan Hans, bahkan memeluknya seperti seorang sahabat yang lama tidak bertemu.“Apa kabar, Dam? Masih betah menyendiri seperti sebelumnya?” balas Hans, memicu tawa mereka berdua.Satu-dua obrolan mengalir lancar, tidak terasa canggung sama sekali. Sebaliknya, Liliana tercengang di posisinya. Dia tidak menyangka Hans dan Adam saling mengenal satu sama lain.“Sudah, kita lanjutkan obrolannya lagi nanti. Jangan sungkan. Ayo duduk.”Hans menempati sebuah kursi, menyisakan Liliana yang masih mematung di tempatnya. Dia terkejut, tidak pernah melihat Hans berpelukan dengan orang lain, terlebih rekan bisnis. Pria itu selalu menjaga jarak dengan orang lain.“Ah, Nona Liliana, kenapa masih diam di sana? Ayo silakan duduk.”Liliana tergagap, “Ba … baik,” jawabnya sambil melirik Hans setelah terpaksa mengulas senyum canggung. Jauh di lubuk hatinya, dia masih bertany
“Presdir, sudah waktunya pergi ke tempat pertemuan.” Suara Liliana terdengar jernih, menghalangi Hans yang berniat pergi menemui Eva.“Aku tahu. Kau siapkan dokumennya, kita bertemu di lobi.”“Baik,” jawab Lily dengan senyum lebar di wajahnya. Sejak sebulan terakhir, dia semakin banyak berkontribusi untuk bisnis Hans. Dia mendapat promosi untuk menjadi sekretaris utama, menggantikan sekretaris sebelumnya yang dipindahkan ke kantor cabang.Bram segera mengikuti Hans, menekan tombol lift dan membiarkan tuannya masuk terlebih dahulu.“Presdir, ada sesuatu yang ingin saya sampaikan,” ucapnya saat lift mulai bergerak turun.“Ada apa?”“Sepertinya Liliana memiliki maksud tersembunyi dengan Anda.”Kening Hans berkerut, menoleh dan menatap asisten pribadinya.“Jangan asal bicara atau menduga-duga.”Bram menggeleng, mendekat ke arah Hans dengan wajah serius.“Saya juga tidak ingin mempercayainya, tapi dia sudah memesan kamar atas nama Anda di hotel Pacific.”“Memesan kamar untukku?”“Benar. Jik
"Selamat pagi, Tuan, Nyonya," sapa asisten rumah tangga yang melihat Hans dan Eva turun dari lantai dua. Keduanya berjalan bersisian, dengan tangan Hans memegangi lengan istrinya."Selamat pagi. Bibi, apa sarapannya sudah siap?" balas Eva sambil mendekat ke arah meja makan dan melihat hidangan yang sudha tersaji di sana."Sudah, Nyonya. Silakan.""Terima kasih banyak. Tolong panggilkan Liliana untuk makan bersama."Wanita paruh baya itu mengangguk, segera mengetuk pintu kamar tamu dan menyampaikan maksudnya."Kau sangat dekat dengannya?" tanya Hans sambil melirik ke arah Liliana yang baru saja membuka pintu."Bisa dibilang begitu. Dia satu-satunya temanku.""Hanya teman?"Eva mengangguk, "Ya. Teman baik.""Bukan sahabat?" selidik Hans ingin tahu."Apa bedanya? Kami saling membantu satu sama lain saat membutuhkan. Itu sudah cukup. Entah namanya teman atau sahabat, itu hanya sebutan saja."Hans mengangguk, menyadari istrinya tidak terlalu dekat dengan Liliana. Mereka terhubung karena per
“Lepaskan tangan kotormu dari wanita itu!”Suara Hans terdengar bersamaan tangan yang mencekal lengan pria berjaket kulit di depannya. Tatapan tajamnya jelas menunjukkan kekuasaan mutlak yang dimiliki.“Siapa kamu? Jangan ikut campur urusanku dengan jal—”Plak!Belum selesai berbicara, Hans sudah lebih dulu menggunakan punggung tangannya untuk menampar wajah pria itu.“Sial. Apa urusanmu dengannya, hah? Dia pasangan kencanku!” protesnya setelah meludah ke samping dengan wajah merah menahan marah.“Dia sekretarisku. Siapa pun yang menyakiti orang-orangku, aku berhadapan langsung denganku. Jangan berpikir untuk menindasnya atau kau tidak akan bertahan hidup lagi di kota ini.”Pria pasangan kencan buta itu tertawa, sama sekali tidak percaya dengan ucapan Hans.“Kalaupun benar dia sekretarismu, kamu tidak ada urusan lagi karena ini bukan lagi jam kerja. Yang harus pergi itu kamu. Jangan mengganggu kencan kami!”Liliana refleks meraih lengan Hans dan menunjukkan gelengan kepala sambil mengg